budaya Karo dan pemahaman atas manfaat yang dibentuk oleh kehidupan mereka ketika berhadapan dengan orang luar dalam konteks ini indekost sebagai
mahasiswi di Kota Medan yang memiliki jarak dengan daerah asal kampung.
4.2. Man Belo dan Anak Gadis Karo
Kebiasaan menyirih dalam budaya Karo kerap dilakukan oleh mereka yang dianggap dewasa dalam rentang usia 30 tahun keatas, baik laki-laki maupun
perempuan. Kebiasaan ini dipengaruhi oleh sistem budaya dalam upacara yang selalu menyertakan penggunaan sirih, seperti upacara pertunangan, perkawinan,
menambang hingga meramal. Kedekatan penggunaan sirih dalam upacara menyebabkan sirih menjadi
sesuatu yang lazim dalam adat budaya Karo, hal ini menyebabkan turunnya pengetahuan tentang menyirih kepada generasi muda namun pewarisan
pengetahuan ini tidak secara otomatis menyebabkan generasi muda Karo memiliki keinginan untuk menyirih karena beberapa hal, diantaranya stigma atas menyirih
yang merupakan kegiatan orang dewasa hingga alasan menyebabkan gigi tampak berwarna.
Alasan yang menyebabkan kecanggungan dalam melakukan kegiatan menyirih pada awalnya juga melanda generasi muda anak gadis Karo yang
berada di perantauan Kota Medan, namun hal ini terkikis seiring perkembangan waktu dan sebagai perwujudan rasa memunculkan kebanggaan etnis dalam
persaingan kehidupan. Pada lain sisi, kebiasaan menyirih pada anak gadis Karo juga disebabkan
alasan pandangan masyarakat terhadap perempuan yang merokok, masyarakat
Universitas Sumatera Utara
memandang negatif anak gadis yang merokok, stigam negatif ditempelkan pada perilaku merokok dikalangan anak gadis. Hal ini yang menyebabkan anak gadis
Karo lebih memilih untuk menyirih daripada merokok walaupun memiliki bahan yang sama tembakau.
Anak kecil menyirih Sumber: Penulis
Mengenai hal ini, seorang informan Cristiani br Bangun, 24 tahun menuturkan bahwa :
orang melihat kalo cewek merokok itu gak bagus, makanya lebih milih menyirih ... orang liatnya kebiasaan orangtua
Karo.
Putri Sebayang, 23 Tahun mengatakan : menyirih awalnya malu, diketawain sama kawan tapi sejak
jumpa kawan-kawan kami selalu menyirih bersama dan selalu berganti tempat nongkrong buat menyirih, misalnya minggu ini
dirumah si anu, minggu besoknya rumah yang lain lagi.
Universitas Sumatera Utara
Erika br Sitepu, 21 Tahun mengatakan :
“pertama makan sirih waktu main ke kost kawan, disana ada pula kawannya yang kebetulan dari Kabanjahe. Kami sama-sama makan sirih
sambil cerita. Ini untuk mempererat hubungan sesama anak rantau. Padahal di Kabanjahe kami tidak pernah cakapan tetapi di Medan inilah
kami mulai cakapan, menurut saya itu kegiatan positiflah walau orang jijik melihatnya.”
Pernyataan informan tersebut memberikan gambaran bahwa kebiasaan menyirih pada anak gadis Karo adalah suatu hal yang lumrah namun perlu proses
dalam melakukan kegiatan menyirih di Kota Medan, karena alasan stigma masyarakat yang melihat menyirih sebagai kegiatan orangtua.
Kegiatan menyirih yang dilakukan berkelompok oleh anak gadis Karo di Kota Medan juga dilakukan sebagai pernyataan sikap atas latar belakang etnis
secara implisit, kompetisi etnik dalam kehidupan perkotaan menyebabkan hal tersebut terjadi. Dengan adanya kelompok-kelompok menyirih setidaknya warisan
budaya Karo man belo dapat terus berjalan. Mengenai kelompok menyirih dikalangan anak gadis Karo pada umumnya
berbentuk kelompok yang terdiri dari 5 hingga 20 orang, ketika mereka berkumpul untuk berdiskusi ataupun sekedar bercengkrama biasanya disertai
dengan menyirih, mereka beranggapan bahwa dengan adanya sirih maka pembicaraan akan berlangsung secara santai.
4.3. Man Belo Sebagai Identitas Etnik