BAB I PENDAHULUAN
I. 1. Latar Belakang Masalah.
Seiring dengan adanya tuntutan globalisasi, maka negara sedang berkembang dituntut untuk mampu bersaing dengan negara maju. Seperti apa yang diutarakan
Brewer Budiman, 2004 : 108 bahwa sistem dunia yang ada sekarang adalah sistem kapitalisme global, dimana sistem dunia inilah yang sekarang menjadi kekuatan yang
menggerakkan negara-negara di dunia. Oleh karenanya negara-negara yang sedang berkembang harus segera mencari cara agar tetap bertahan terhadap perkembangan
dunia. Jika tidak, gejala ketergantungan kembali akan terjadi pada negara-negara yang tidak sanggup beradaptasi, hingga berujung pada keterbelakangan.
Ketergantungan atau depedensi yang mengikat negara sedang berkembang kepada negara maju harus segera dilepaskan. Pelepasan ketergantungan itu ditujukan
untuk kemandirian negara sedang berkembang dalam menghadapi persaingan global. Salah satu cara yang dapat ditempuh untuk melepaskan ketergantungan tersebut
adalah dengan jalan menerapkan sistem pemberdayaan masyarakat pada sendi-sendi kehidupan pembangunan negara sedang berkembang. Pemberdayaan itu bertujuan
untuk menyiapkan sejak dini masyarakat yang siap dan memiliki kemampuan untuk survive dalam menghadapi globalisasi sekaligus untuk mewujudkan sense of
community pada masyarakat. Karena melalui pemberdayaan, peran serta masyarakat akan semakin besar didalam pembangunan hingga nantinya menimbulkan rasa
tanggung jawab bersama dalam mewujudkan pembangunan tersebut.
Universitas Sumatera Utara
Teori pembangunan yang mengusung pemberdayaan masyarakat untuk menghentikan ketergantungan negara sedang berkembang terhadap negara maju,
salah satunya terlihat jelas melalui teori Bottom Up, atau teori pembangunan yang mengutamakan kepada peran serta masyarakat dalam menciptakan program-program
pembangunan. Teori ini didasarkan atas asumsi bahwa masyarakat lebih memahami kebutuhan mereka sehingga masyarakat diikutsertakan dalam pembuatan program
pembangunan agar program pembangunan tersebut tepat guna. Selain itu dengan diikutsertakannya masyarakat dalam pembuatan program pembangunan, maka
masyarakat merasa lebih dilibatkan dalam program pemerintah, sehingga timbul rasa tanggung jawab serta kecintaan, kebersamaan dan rasa memiliki masyarakat terhadap
lingkungannya. Dalam teori Bottom Up, pemerintah sebagai pencipta sarana tercapainya aspirasi masyarakat, dan pemerintah juga yang membuat kebijakan
program selanjutnya. Jadi pada teori ini, pemberdayaan masyarakat sudah mulai diwujudkan dalam praktek pembuatan program pembangunan berupa saran dan
masukan tentang kebutuhan masyarakat. Selanjutnya pemberdayaan masyarakat diteruskan dengan teori Top Down
yang mendasarkan bahwa kebijakan yang dibuat oleh pihak pemerintah dalam hal pembangunan harus dilaksanakan oleh masyarakat, sehingga masyarakat disini
bertugas selain sebagai pelaksana kebijakan juga sebagai pemberi respon balik atas kebijakan yang dibuat oleh pemerintah. Teori ini melihat implementasi penerapan
kebijakan dari sisi birokrasi. Penerapan kebijakan dari sisi birokrasi ini dapat dilihat melalui mekanisme kerja sistem politik yang dimulai dari mengalirnya input berupa
tuntutan ataupun dukungan yang diusulkan oleh kelompok-kelompok kepentingan
Universitas Sumatera Utara
ataupun parpol berwujud kepentingan khusus yang harus diartikulasikan hingga menjadi usulan yang sifatnya umum kemudian dimasukkan kedalam proses
pembuatan kebijakan yang dilakukan oleh badan legislatif dan eksekutif tahap konversi. Maka dalam tahap ini input berubah menjadi output dalam bentuk
kebijakan-kebijakan dan keputusan-keputusan. Kebijakan itu lalu dilaksanakan oleh birokrasi. Dalam hal ini nantinya terdapat feedback umpan balik yang dipengaruhi
oleh lingkungan hingga menghasilkan tahapan baru yakni input, konversi serta output kembali. Jadi nantinya aspirasi masyarakat tersebut dapat terealisasi berwujud
kebijakan. Apabila kedua teori ini dihubungkan, maka dituntut suatu program
pembangunan yang mendudukkan masyarakat sebagai pelaku utamanya melalui partisipasi aktif. Melalui partisipasi aktif ini masyarakat tidak hanya berkedudukan
sebagai obyek program, tetap ikut serta menentukan program yang cocok bagi mereka. Mereka memutuskan, menjalankan, dan mengevaluasi hasil dari pelaksanaan
program. Nasib dari program apakah akan berlanjut atau berhenti tergantung pada tekad dan komitmen masyarakat sendiri.
Di Indonesia pendekatan pembangunan dengan mengikutsertakan warga atau masyarakat mulai tumbuh pada awal Pelita VI, yang mana hal ini ditandai dengan
munculnya program-program penanggulangan kemiskinan yang menggunakan pola atau skema tindakan serangan langsung yang lebih substansial terhadap permasalahan
Molejarto : 1994. Diantaranya kegiatan-kegiatan seperti Pemetaan Kantong Kemiskinan, Inpres Desa Tertinggal dan lain-lain, hingga yang sedang berjalan saat
ini yakni Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan yang dikenal dengan
Universitas Sumatera Utara
P2KP. Adapun P2KP ini dalam pelaksanaannya menggunakan pola pendekatan bertumpu kepada partisipasi aktif masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa tanpa
adanya partisipasi aktif masyarakat maka keberhasilan pelaksanaan P2KP tidak mungkin untuk dapat dicapai secara optimal.
Partisipasi dalam hal ini dilakukan secara partisipatif dalam tiap-tiap langkah pelaksanaan P2KP atau lebih dikenal dengan siklus P2KP, yakni dimulai dari
siklustahap Rembuk Kesiapan Masyarakat hingga Pemanfaatan Dana Bantuan Langsung Masyarakat. Adapun salah satu tahap yang paling mendominasi unsur
partisipasi di dalamnya yakni tahap Pembentukan dan Pengembangan Kelompok Swadaya Masyarakat KSM. Dalam pelaksanaan pengentasan masyarakat dari
kemiskinan, P2KP meletakkan sasaran utamanya kepada KSM yang merupakan masyarakat tergolong kalangan ekonomi lemah untuk ditumbuhkan kemandiriannya.
Sehingga bukan masyarakat miskin secara perseorangan yang akan diberdayakan, melainkan sejumlah orang dalam masyarakat yang tergabung dalam suatu wadah
KSM yang dikenai tindakan treatment. Pada hakekatnya, Kelompok Swadaya Masyarakat KSM didefenisikan
sebagai kumpulan orang yang menyatukan diri secara sukarela dalam kelompok dikarenakan adanya ikatan pemersatu, yaitu adanya kepentingan dan kebutuhan yang
sama, sehingga dalam kelompok tersebut memiliki kesamaan tujuan yang ingin di capai bersama. Sedangkan KSM dalam rangka P2KP, keberadaan sekumpulan warga
tersebut harus memenuhi kriteria sebagai pemanfaat program, serta bertujuan mengatasi berbagai permasalahan kemiskinan yang menyangkut sarana dan prasarana
dasar pengembangan SDM serta pengembangan ekonomi.
Universitas Sumatera Utara
KSM sendiri merupakan sebuah wadah yang dibentuk atas dasar semangat dan keinginan bersama untuk berbuat mewujudkan perubahan kearah yang lebih baik.
Kelompok ini dibentuk karena adanya kesadaran mendalam pada diri setiap orang, bahwa kebersamaan akan membantu mereka mengatasi kemiskinan dan berbagai
persoalan yang dihadapinya. Kesadaran akan kebersamaan ini akan menjadi perisai yang menghiasi setiap perjalanan siklus di P2KP. Pembentukan KSM sendiri yang
akan menjadi pemanfaat dana BLM Bantuan Langsung Masyarakat harus menjadikan kebersamaan sebagai keyword, baik dalam konsep maupun opersional
kegiatannya. Perlu disadari bahwa KSM memiliki posisi strategis dalam pelaksanaan P2KP. Bahkan, keberhasilan KSM akan menjadi tolak ukur keberlangsungan
program ini di masyarakat. Dikatakan demikian, karena di dalam KSM itulah semua nilai-nilai luhur akan diuji. Kepedulian, keadilan, rasa tanggungjawab serta
kebersamaan akan sangat berperan ketika KSM melaksanakan kegiatannya. Ketika nilai-nilai tersebut ternyata tidak muncul dalam aktivitas pemanfaatan dana yang
dilakukan KSM, maka dimungkinkan proses pembelajaran di masyarakat akan terhambat
Secara psikologis, anggota KSM harus menyadari bahwa rasa kebersamaan, kepedulian dan kasih sayang merupakan dasar bagi pertemuan mereka dalam
kelompok yang dibentuknya, dan tanpa itu semua keberadaan mereka di KSM tidak banyak memberikan makna. Perlu disadari, KSM tidak sama dengan kelompok
swadaya lainnya, termasuk koperasi. Jika di dalam koperasi keanggotaan berkumpul . Jika hal ini terjadi, maka keberlangsungan program akan terancam, bahkan
terpaksa berjalan mundur. Guna menghindari hal tersebut maka pembentukan KSM harus didasarkan pada berbagai pertimbangan.
Universitas Sumatera Utara
karena keinginan bersama untuk mensejahterakan ekonomi anggotanya dengan mengorientasikan perolehan keuntungan material, maka di dalam KSM keanggotaan
berkumpul karena keinginan untuk menumbuhkan kebersamaan dan kepedulian demi terwujudnya perubahan dan kesejahteraan.
Berkaitan dengan konsep diatas, P2KP yang mengedepankan pola pendekatan yang bertumpu pada aspirasi masyarakat ini dalam pelaksanaannya juga dijadikan
sebagai pengalaman baru bagi Kelurahan Rambung Kecamatan Padang Hilir Kota Tebing Tinggi Sumatera Utara. Kelurahan Rambung yang terdiri dari sepuluh
lingkungan ini, menyikapi program tersebut bukan semata-mata agar dapat memperoleh dan memanfaatkan dana Bantuan Langsung Masyarakat BLM P2KP
dalam rangka penanggulangan kemiskinan, namun kembali lagi sembari ditekankan kepada proses pembelajaran kritis masyarakat dalam menentukan sendiri kebutuhan
dan pemecahan masalahnya serta tumbuh kepercayaan diri hingga kebersamaan dan kepedulian bahwa masyarakat mampu melaksanakan penyusunan suatu program.
Secara teknis, Program P2KP Reguler di Kelurahan Rambung dilaksanakan mulai tanggal 1 Agustus 2006 hingga 2008 ini. Adapun untuk penyaluran Bantuan
Langsung Masyarakat BLM pada Kelurahan Rambung dilakukan melalui 3 tahap, yakni BLM Tahap I, II, dan III. Nantinya pada masing-masing tahap, berdasarkan
konsep Tridaya, dibagi lagi menjadi 3 jenis bantuan yakni BLM untuk bantuan sosial, lingkungan, serta ekonomi. Disetiap BLM inilah terdapat atau terdiri dari beberapa
KSM. Pada BLM Tahap I, pembentukan dan pengembangan KSM dilakukan dari bulan November hingga Desember 2006. Lalu, pada BLM Tahap II pembentukan dan
pengembangan KSM dilakukan pada bulan Juli hingga Agustus 2007, sedangkan
Universitas Sumatera Utara
untuk BLM Tahap III pembentukan dan pengembangn KSM pada bulan Februari hingga Maret 2008.
Terdapat pengakuan dari seorang fasilitator yang dalam hal ini mempunyai peran sebagai pendamping berjalannya program pra penelitian, 11 Januari 2008,
wawancara dengan Khairani, bahwasanya terdapat kendala dalam perealisasian program, misalnya pada penyaluran BLM untuk jenis bantuan lingkungan berupa
KSM pembuatan jalan setapak dalam penyaluran Tahap III di Kelurahan Rambung. Sesungguhnya, dana bantuan untuk jenis BLM lingkungan ini digunakan dalam
pembelian atau penyediaan material bangunan, sedangkan untuk pengerjaannya dirumuskan sebagai bagian dari partisipasi atau swadaya masyarakat dalam bentuk
gotong royong. Namun permasalahan yang timbul, yakni nilai partisipasi melalui gotong royong sebagai wujud swadaya masyarakat itu belum dapat terwujud, karena
diketahui pada saat pelaksanaan tahap KSM tersebut yang timbul malah kesepakatan sistem upah untuk pengerjaan bantuan jenis BLM lingkungan ini. Hal demikian
disebabkan karena, masyarakat yang menjalankan pengerjaan bantuan ini sesuai dengan konsep KSM itu sendiri merupakan masyarakat ekonomi lemah, sehingga
mereka juga memikirkan keberlangsungan hidup mereka apabila dalam seharinya hanya gotong royong tanpa menghasilkan uang untuk kebutuhan makan mereka.
Disini dapat dipertanyakan, seperti apa bentuk partisipasi yang dipahami serta dilakukan masyarakat.
Kendala yang terjadi dalam pelaksanaan siklus P2KP itu sendiri, menjadikan peneliti tertarik untuk mengetahui bagaimana sebenarnya keberlangsungan dari
pelaksanaan partisipasi masyarakat dalam P2KP Kelurahan Rambung serta hasil
Universitas Sumatera Utara
akhirnya dan juga bagaimanakah bentuk partisipasi masyarakat didalamnya. Untuk itu peneliti dalam hal ini memfokuskan diri melihat lebih jauh berjalannya tahap
Kelompok Swadaya Masyarakat KSM pada P2KP Kelurahan Rambung, juga sehubungan dengan berlangsungnya tahap tersebut berkenaan dengan proses
penelitian yang dilakukan yakni penyaluran BLM Tahap III.
I. 2. Perumusan Masalah .