Partisipasi Masyarakat Dalam Pelaksanaan Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP)(Studi Pada Kelurahan Kota Bangun Kecamatan Medan Deli )
PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PELAKSANAAN
PROGRAM PENANGGULANGAN KEMISKINAN PERKOTAAN
(P2KP)
(Studi Pada Kelurahan Kota Bangun Kecamatan Medan Deli )
S K R I P S I
OLEH :
ARNELLA LUBIS
080921015Departemen Ilmu Administrasi Negara
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2010
(2)
DAFTAR ISI
Halaman
BAB I : PENDAHULUAN ... 1
I.1. Latar Belakang Masalah ... 1
I.2. Perumusan Masalah ... 8
I.3. Tujuan Penelitian ... 9
I.4. Manfaat Penelitian ... 9
I.5. Kerangka Teori ... 10
I.5.1. Partisipasi ... 10
I.5.1.1. Pengertian Partisipasi ... 10
I.5.1.2. Bentuk Partisipasi Masyarakat ... 15
I.5.1.3. Tangga Partisipasi ... 17
I.5.1.4. Pentingnya Partisipasi Dalam Pembangunan ... 20
I.5.2. Kemiskinan... 22
1.5.3 Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP) ... 25
I.5.3.1. Visi dan Misi P2KP ... 27
I.5.3.2. Nilai-Nilai dan Prinsip-Prinsip Yang Melandasi P2KP ... 27
I.5.3.3. Tujuan ... 29
I.5.3.4. Kelompok Sasaran ... 30
I.5.4. Partisipasi Masyarakat Dalam Pelaksanaan Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP) ... 33
I.6. Defenisi Konsep ... 36
I.7. Defenisi Operasional ... 37
I.8. Sistematika Penulisan ... 39
BAB II. : METODE PENELITIAN ... 40
II.1. Bentuk Penelitian ... 40
II.2. Lokasi Penelitian ... 40
II.3. Populasi dan Sampel ... 40
(3)
II.3.2. Sampel ... 41
II.4. Teknik Pengumpulan Data ... 42
II.5. Teknik Analisa Data ... 43
BAB III. : DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN ... 44
III.1. Gambaran Umum Kelurahan Kota Bangun ... 44
III.2. Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP) ... 47
BAB IV : PENYAJIAN DAN ANALISA DATA ... 54
IV.1. Hasil Wawancara Dengan Fasilitator Kelurahan (Faskel) dan Koordinator Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) Mengenai Partisipasi Masyarakat Dalam Pelaksanaan Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP) ... 54
IV.2. Hasil Wawancara dengan Tokoh Masyarakat Mengenai Partisipasi Masyarakat dalam Pelaksanaan Program Penanggulangan Kemiskinan (P2KP) ... 61
BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ... 77
VI.1. Kesimpulan ... 77
VI.2. Saran ... 78 DAFTAR PUSTAKA
(4)
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel I.1. Tangga Partisipasi (Leader of Participation) Oleh Sherry Arnstein ... 17
(5)
BAB I PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang Masalah.
Seiring dengan adanya tuntutan globalisasi, maka negara sedang berkembang dituntut untuk mampu bersaing dengan negara maju. Seperti apa yang diutarakan Brewer (Budiman, 2004 : 108) bahwa sistem dunia yang ada sekarang adalah sistem kapitalisme global, dimana sistem dunia inilah yang sekarang menjadi kekuatan yang menggerakkan negara-negara di dunia. Oleh karenanya negara-negara yang sedang berkembang harus segera mencari cara agar tetap bertahan terhadap perkembangan dunia. Jika tidak, gejala ketergantungan kembali akan terjadi pada negara-negara yang tidak sanggup beradaptasi, hingga berujung pada keterbelakangan.
Ketergantungan atau depedensi yang mengikat negara sedang berkembang kepada negara maju harus segera dilepaskan. Pelepasan ketergantungan itu ditujukan untuk kemandirian negara sedang berkembang dalam menghadapi persaingan global. Salah satu cara yang dapat ditempuh untuk melepaskan ketergantungan tersebut adalah dengan jalan menerapkan sistem pemberdayaan masyarakat pada sendi-sendi kehidupan pembangunan negara sedang berkembang. Pemberdayaan itu bertujuan untuk menyiapkan sejak dini masyarakat yang siap dan memiliki kemampuan untuk survive dalam menghadapi globalisasi sekaligus untuk mewujudkan sense of community pada masyarakat. Karena melalui pemberdayaan, peran serta masyarakat akan semakin besar
(6)
didalam pembangunan hingga nantinya menimbulkan rasa tanggung jawab bersama dalam mewujudkan pembangunan tersebut.
Teori pembangunan yang mengusung pemberdayaan masyarakat untuk menghentikan ketergantungan negara sedang berkembang terhadap negara maju, salah satunya terlihat jelas melalui teori Bottom Up, atau teori pembangunan yang mengutamakan kepada peran serta masyarakat dalam menciptakan program-program pembangunan. Teori ini didasarkan atas asumsi bahwa masyarakat lebih memahami kebutuhan mereka sehingga masyarakat diikutsertakan dalam pembuatan program pembangunan agar program pembangunan tersebut tepat guna. Selain itu dengan diikutsertakannya masyarakat dalam pembuatan program pembangunan, maka masyarakat merasa lebih dilibatkan dalam program pemerintah, sehingga timbul rasa tanggung jawab serta kecintaan, kebersamaan dan rasa memiliki masyarakat terhadap lingkungannya. Dalam teori Bottom Up, pemerintah sebagai pencipta sarana tercapainya aspirasi masyarakat, dan pemerintah juga yang membuat kebijakan program selanjutnya. Jadi pada teori ini, pemberdayaan masyarakat sudah mulai diwujudkan dalam praktek pembuatan program pembangunan berupa saran dan masukan tentang kebutuhan masyarakat.
Selanjutnya pemberdayaan masyarakat diteruskan dengan teori Top Down yang mendasarkan bahwa kebijakan yang dibuat oleh pihak pemerintah dalam hal pembangunan harus dilaksanakan oleh masyarakat, sehingga masyarakat disini bertugas selain sebagai pelaksana kebijakan juga sebagai pemberi respon balik atas kebijakan yang dibuat oleh pemerintah. Teori ini melihat implementasi penerapan kebijakan dari sisi birokrasi. Penerapan kebijakan dari sisi birokrasi ini dapat dilihat melalui mekanisme kerja sistem politik yang dimulai dari
(7)
mengalirnya input berupa tuntutan ataupun dukungan yang diusulkan oleh kelompok-kelompok kepentingan ataupun parpol berwujud kepentingan khusus yang harus diartikulasikan hingga menjadi usulan yang sifatnya umum kemudian dimasukkan kedalam proses pembuatan kebijakan yang dilakukan oleh badan legislatif dan eksekutif (tahap konversi). Maka dalam tahap ini input berubah menjadi output dalam bentuk kebijakan-kebijakan dan keputusan-keputusan. Kebijakan itu lalu dilaksanakan oleh birokrasi. Dalam hal ini nantinya terdapat feedback (umpan balik) yang dipengaruhi oleh lingkungan hingga menghasilkan tahapan baru yakni input, konversi serta output kembali. Jadi nantinya aspirasi masyarakat tersebut dapat terealisasi berwujud kebijakan.
Apabila kedua teori ini dihubungkan, maka dituntut suatu program pembangunan yang mendudukkan masyarakat sebagai pelaku utamanya melalui partisipasi aktif. Melalui partisipasi aktif ini masyarakat tidak hanya berkedudukan sebagai obyek program, tetap ikut serta menentukan program yang cocok bagi mereka. Mereka memutuskan, menjalankan, dan mengevaluasi hasil dari pelaksanaan program. Nasib dari program apakah akan berlanjut atau berhenti tergantung pada tekad dan komitmen masyarakat sendiri.
Di Indonesia pendekatan pembangunan dengan mengikutsertakan warga atau masyarakat mulai tumbuh pada awal Pelita VI, yang mana hal ini ditandai dengan munculnya program-program penanggulangan kemiskinan yang menggunakan pola atau skema tindakan serangan langsung yang lebih substansial terhadap permasalahan (Molejarto : 1994). Diantaranya kegiatan-kegiatan seperti Pemetaan Kantong Kemiskinan, Inpres Desa Tertinggal dan lain-lain, hingga yang sedang berjalan saat ini yakni Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan
(8)
yang dikenal dengan P2KP. Adapun P2KP ini dalam pelaksanaannya menggunakan pola pendekatan bertumpu kepada partisipasi aktif masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa tanpa adanya partisipasi aktif masyarakat maka keberhasilan pelaksanaan P2KP tidak mungkin untuk dapat dicapai secara optimal.
Partisipasi dalam hal ini dilakukan secara partisipatif dalam tiap-tiap langkah pelaksanaan P2KP atau lebih dikenal dengan siklus P2KP, yakni dimulai dari siklus/tahap Rembuk Kesiapan Masyarakat hingga Pemanfaatan Dana Bantuan Langsung Masyarakat. Adapun salah satu tahap yang paling mendominasi unsur partisipasi di dalamnya yakni tahap Pembentukan dan Pengembangan Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM). Dalam pelaksanaan pengentasan masyarakat dari kemiskinan, P2KP meletakkan sasaran utamanya kepada KSM yang merupakan masyarakat tergolong kalangan ekonomi lemah untuk ditumbuhkan kemandiriannya. Sehingga bukan masyarakat miskin secara perseorangan yang akan diberdayakan, melainkan sejumlah orang dalam masyarakat yang tergabung dalam suatu wadah KSM yang dikenai tindakan (treatment).
Pada hakekatnya, Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) didefenisikan sebagai kumpulan orang yang menyatukan diri secara sukarela dalam kelompok dikarenakan adanya ikatan pemersatu, yaitu adanya kepentingan dan kebutuhan yang sama, sehingga dalam kelompok tersebut memiliki kesamaan tujuan yang ingin dicapai bersama. Sedangkan KSM dalam rangka P2KP, keberadaan sekumpulan warga tersebut harus memenuhi kriteria sebagai pemanfaat program,
(9)
serta bertujuan mengatasi berbagai permasalahan kemiskinan yang menyangkut sarana dan prasarana dasar pengembangan SDM serta pengembangan ekonomi.
KSM sendiri merupakan sebuah wadah yang dibentuk atas dasar semangat dan keinginan bersama untuk berbuat mewujudkan perubahan kearah yang lebih baik. Kelompok ini dibentuk karena adanya kesadaran mendalam pada diri setiap orang, bahwa kebersamaan akan membantu mereka mengatasi kemiskinan dan berbagai persoalan yang dihadapinya. Kesadaran akan kebersamaan ini akan menjadi perisai yang menghiasi setiap perjalanan siklus di P2KP. Pembentukan KSM sendiri yang akan menjadi pemanfaat dana BLM (Bantuan Langsung Masyarakat) harus menjadikan kebersamaan sebagai keyword, baik dalam konsep maupun opersional kegiatannya. Perlu disadari bahwa KSM memiliki posisi strategis dalam pelaksanaan P2KP. Bahkan, keberhasilan KSM akan menjadi tolak ukur keberlangsungan program ini di masyarakat. Dikatakan demikian, karena di dalam KSM itulah semua nilai-nilai luhur akan diuji. Kepedulian, keadilan, rasa tanggungjawab serta kebersamaan akan sangat berperan ketika KSM melaksanakan kegiatannya. Ketika nilai-nilai tersebut ternyata tidak muncul dalam aktivitas pemanfaatan dana yang dilakukan KSM, maka dimungkinkan proses pembelajaran di masyarakat akan terhambat. Jika hal ini terjadi, maka keberlangsungan program akan terancam, bahkan terpaksa berjalan mundur. Guna menghindari hal tersebut maka pembentukan KSM harus didasarkan pada berbagai pertimbangan.
Secara psikologis, anggota KSM harus menyadari bahwa rasa kebersamaan, kepedulian dan kasih sayang merupakan dasar bagi pertemuan mereka dalam kelompok yang dibentuknya, dan tanpa itu semua keberadaan
(10)
mereka di KSM tidak banyak memberikan makna. Perlu disadari, KSM tidak sama dengan kelompok swadaya lainnya, termasuk koperasi. Jika di dalam koperasi keanggotaan berkumpul karena keinginan bersama untuk mensejahterakan ekonomi anggotanya dengan mengorientasikan perolehan keuntungan material, maka di dalam KSM keanggotaan berkumpul karena keinginan untuk menumbuhkan kebersamaan dan kepedulian demi terwujudnya perubahan dan kesejahteraan.
Berkaitan dengan konsep diatas, P2KP yang mengedepankan pola pendekatan yang bertumpu pada aspirasi masyarakat ini dalam pelaksanaannya juga dijadikan sebagai pengalaman baru bagi Kelurahan Kota Bangun Kecamatan Medan Deli. Kelurahan Kota Bangun yang terdiri dari delapan lingkungan ini, menyikapi program tersebut bukan semata-mata agar dapat memperoleh dan memanfaatkan dana Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) P2KP dalam rangka penanggulangan kemiskinan, namun kembali lagi sembari ditekankan kepada proses pembelajaran kritis masyarakat dalam menentukan sendiri kebutuhan dan pemecahan masalahnya serta tumbuh kepercayaan diri hingga kebersamaan dan kepedulian bahwa masyarakat mampu melaksanakan penyusunan suatu program.
Secara teknis, Program P2KP Reguler di Kelurahan Kota Bangun dilaksanakan mulai tanggal 1 Januari 2006 hingga 2010 ini. Adapun untuk penyaluran Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) pada Kelurahan Kota Bangun dilakukan melalui 3 tahap, yakni BLM Tahap I, II, dan III. Nantinya pada masing-masing tahap, berdasarkan konsep Tridaya, dibagi lagi menjadi 3 jenis bantuan yakni BLM untuk bantuan sosial, lingkungan, serta ekonomi. Disetiap BLM inilah terdapat atau terdiri dari beberapa KSM. Pada BLM Tahap I, pembentukan dan
(11)
pengembangan KSM dilakukan dari bulan Desember hingga Januari 2007. Lalu, pada BLM Tahap II pembentukan dan pengembangan KSM dilakukan pada bulan Februari hingga Maret 2007, sedangkan untuk BLM Tahap III pembentukan dan pengembangn KSM pada bulan Mei` hingga Maret 2008.
Terdapat pengakuan dari seorang fasilitator yang dalam hal ini mempunyai peran sebagai pendamping berjalannya program (pra penellitian 4 januari 2010, wawancara dengan Pak Harahap), bahwasanya terdapat kendala dalam perealisasian program, misalnya pada penyaluran BLM untuk jenis bantuan lingkungan berupa KSM pembuatan jalan setapak dalam penyaluran Tahap III di Kelurahan Kota Bangun. Sesungguhnya, dana bantuan untuk jenis BLM lingkungan ini digunakan dalam pembelian atau penyediaan material bangunan, sedangkan untuk pengerjaannya dirumuskan sebagai bagian dari partisipasi atau swadaya masyarakat dalam bentuk gotong royong. Namun permasalahan yang timbul, yakni nilai partisipasi melalui gotong royong sebagai wujud swadaya masyarakat itu belum dapat terwujud, karena diketahui pada saat pelaksanaan tahap KSM tersebut yang timbul malah kesepakatan sistem upah untuk pengerjaan bantuan jenis BLM lingkungan ini. Hal demikian disebabkan karena, masyarakat yang menjalankan pengerjaan bantuan ini sesuai dengan konsep KSM itu sendiri merupakan masyarakat ekonomi lemah, sehingga mereka juga memikirkan keberlangsungan hidup mereka apabila dalam seharinya hanya gotong royong tanpa menghasilkan uang untuk kebutuhan makan mereka. Disini dapat dipertanyakan, seperti apa bentuk partisipasi yang dipahami serta dilakukan masyarakat.
(12)
Kendala yang terjadi dalam pelaksanaan siklus P2KP itu sendiri, menjadikan peneliti tertarik untuk mengetahui bagaimana sebenarnya keberlangsungan dari pelaksanaan partisipasi masyarakat dalam P2KP Kelurahan Kota Bangun serta hasil akhirnya dan juga bagaimanakah bentuk partisipasi masyarakat didalamnya. Untuk itu peneliti dalam hal ini memfokuskan diri melihat lebih jauh berjalannya tahap Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) pada P2KP Kelurahan Kota Bangun, juga sehubungan dengan berlangsungnya tahap tersebut berkenaan dengan proses penelitian yang dilakukan yakni penyaluran BLM Tahap III.
I. 2. Perumusan Masalah.
Untuk mempermudah penelitian dan agar penelitian memiliki arah yang jelas dalam menginterpretasikan fakta dan data ke dalam penulisan skripsi, maka terlebih dahulu dirumuskan permasalahannya.
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimanakah partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP) di Kelurahan Kota Bangun, Kecamatan Medan Deli.
2. Bagaimanakah keberlangsungan dari pelaksanaan Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP) Kelurahan Kota Bangun dilihat dari unsur partisipasi masyarakatnya.
(13)
3. Bagaimanakah hasil akhir dari pelaksanaan Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP) Kelurahan Kota Bangun dilihat dari unsur partisipasi masyarakatnya.
I. 3. Tujuan Penelitian
.
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui bentuk partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP) di Kelurahan Kota Bangun.
2. Untuk mengetahui pelaksanaan partisipasi masyarakat dalam Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP) yang dilakukan di Kelurahan Kota Bangun.
3. Untuk mengetahui keberhasilan dari pelaksanaan partisipasi masyarakat di dalam Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP) di Kelurahan Kota Bangun.
I. 4. Manfaat Penelitian.
Disamping tujuan yang hendak dicapai diatas, maka suatu penelitian harus mempunyai manfaat yang jelas. Adapun manfaat penelitian yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah:
1. Bagi penulis, penelitian ini merupakan usaha untuk meningkatkan kemampuan berfikir melalui penulisan karya ilmiah dan untuk menerapkan teori-teori yang penulis peroleh selama perkuliahan di Departemem Ilmu
(14)
Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.
2. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu sumbangan pemikiran dalam menjalankan berbagai program penanggulangan kemiskinan, khususnya kepada Kelurahan Kota Bangun, serta sebagai masukan bagi penyelenggaraan berbagai program kemiskinan kedepan.
3. Bagi Departemen Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara, penelitian ini diharapkan dapat melengkapi ragam penelitian yang telah dibuat oleh para mahasiswa dan dapat menjadi bahan referensi bagi terciptanya suatu karya ilmiah.
I. 5. Kerangka Teori I. 5. 1. Partisipasi
I. 5. 1. 1. Pengertian Partisipasi
Kata partisipasi berasal dari bahasa Inggris yaitu participation, take a part yang artinya peran serta atau ambil bagian atau kegiatan bersama-sama dengan orang lain. Menurut Davis (Sastroputro, 1998), mengemukakan bahwa partisipasi “as a mental and emotional involvement of a earson in a group situation which encourages him a contribute to group goals and share responsibility in them”. Partisipasi merupakan keterlibatan mental atau pikiran dan emosi perasaan sumbangan dalam usaha mencapai tujuan serta tanggungjawab terhadap usaha yang bersangkutan.
Menurut Sastroputro (1998), mengemukakan defenisi partisipasi yang dikutip beberapa ahli sebagai berikut:
(15)
1. Achmadi, menyatakan partisipasi dalam bentuk swadaya gotong royong merupakan modal utama. Swadaya adalah kemampuan dari suatu kelompok masyarakat dengan kesadaran dan inisiatif sendiri mengadakan ikhtiar pemenuhan kebutuhan.
2. Alstaire White, menyatakan partisipasi adalah keterlibatan komuniti setempat secara aktif dalam pengambilan keputusan atau pelaksanaanya terhadap proyek-proyek pembangunan.
3. Santoso Sastroputro, menyatakan partisipasi adalah keterlibatan spontan dalam kesadaran disertai dengan tanggungjawab terhadap kepentingan kelompok untuk mencapai tujuan bersama.
4. Daryono menyatakan partisipasi berarti keterlibatan dalam proses pengambilan keputusan, menentukan kebutuhan, menentukan tujuan dari prioritas, dalam rangka mengeksploitasi sumber-sumber potensial dalam pembangunan.
Adapun Oakley, dalam Modul P2KP 2006 mengartikan partisipasi ke dalam 3 (tiga) bentuk yaitu :
1. Partisipasi sebagai bentuk kontribusi, yaitu interpretasi dominan dari partisipasi dalam pembangunan di dunia ketiga adalah melihatnya sebagai suatu keterlibatan secara sukarela atau bentuk kontribusi lainnya dari masyarakat desa menetapkan sebelumnya program dan proyek pembangunan. 2. Partisipasi sebagai organisasi, meskipun diwarnai dengan perdebatan yang
panjang diantara para praktisi dan teoritisi mengenai organisasi sebagai instrumen yang fundamental bagi partisipasi, namun dapat dikemukakan bahwa perbedaan organisasi dan partisipasi terletak pada hakekat bentuk
(16)
organisasional sebagai sarana bagi partisipasi, seperti organisasi-organisasi yang biasa dibentuk atau organisasi yang muncul dan dibentuk sebagai hasil dari adanya proses partisipasi. Selanjutnya dalam melaksanakan partisipasi masyarakat dapat melakukannya melalui beberapa dimensi, yaitu :
a. Sumbangan pikiran (ide atau gagasan) b. Sumbangan materi (dana, barang, alat)
c. Sumbangan tenaga (bekerja atau memberi kerja) d. Memanfaatkan/melaksanakan pelayanan pembangunan
3. Partisipasi sebagai pemberdayaan, yaitu partisipasi merupakan latihan pemberdayaan bagi masyarakat desa, meskipun sulit untuk didefenisikan, akan tetapi pemberdayaan merupakan upaya untuk mengembangkan keterampilan dan kemampuan masyarakat desa untuk memutuskan dan ikut terlibat dalam pembangunan..
Secara umum ada 2 (dua) jenis defenisi partisipasi yang beredar di masyarakat, menurut Loekman (1995), yaitu :
1. Partisipasi rakyat dalam pembangunan sebagai dukungan rakyat terhadap rencana/proyek pembangunan yang dirancang dan ditentukan tujuannya oleh perencana. Ukuran tinggi rendahnya partisipasi rakyat dalam defenisi ini pun diukur dengan kemauan rakyat ikut menanggung biaya pembangunan, baik berupa uang maupun tenaga dalam melaksanakan pembangunan.
2. Partisipasi rakyat dalam pembangunan merupakan kerjasama yang erat antara perencana dan rakyat dalam merencanakan, melaksanakan, melestarikan dan mengembangkan hasil pembangunan yang telah dicapai. Ukuran tinggi dan rendahnya partisipasi rakyat dalam pembangunan tidak hanya diukur dengan
(17)
kemauan rakyat untuk menanggung biaya pembangunan, tetapi juga dengan ada tidaknya hak rakyat untuk ikut menentukan arah dan tujuan proyek yang akan dibangun di wilayah mereka. Ukuran lain yang dapat digunakan adalah ada tidaknya kemauan rakyat untuk secara mandiri melestarikan dan mengembangkan hasil proyek itu.
Sebelumnya sangat penting diketahui defenisi dari masyarakat itu sendiri. Adapun menurut Sadeli (Masyurdin, 1994:43), masyarakat adalah golongan besar atau kecil terdiri dari beberapa manusia yang dengan atau karena sendirinya bertalian secara golongan dan pengaruh mempengaruhi satu sama lainnya. Sedangkan Ralph Linton, menyatakan masyarakat merupakan setiap kelompok manusia yang telah hidup dan bekerja cukup lama sehingga mereka dapat mengatur diri sendiri, dan mereka menganggap diri mereka sebagai suatu kesatuan sosial dengan batas-batas yang dirumuskan dengan jelas. Jadi dapat disimpulkan bahwa masyarakat adalah sekelompok manusia yang hidup dalam wilayah tertentu, dimana terdapat kesadaran bahwa mereka adalah satu kesatuan sosial dan memiliki sistem kesatuan serta sistem kebudayaan sendiri yang selalu berubah.
Diketahui bahwasanya pengertian dari partisipasi juga telah mengalami berbagai penyimpangan sehingga lebih mendekati apa yang sering disebut sebagai “mobilisasi“ atau malah sering sekali diartikan sebagai “rekayasa sosial”, dimana masyarakat tetap saja didudukkan sebagai objek pembangunan.
Oleh karenanya terdapat beberapa pengertian partisipasi yang dapat dipakai atau dirumuskan oleh Parwoto, dalam modul P2KP 2006 berjudul Pengorganisasian Masyarakat sebagai berikut :
(18)
a. Pelibatan diri pada suatu tekad yang telah menjadi kesepakatan bersama. b. “Voluntary involvement of people in making and implementing decisionis
directly affecting there lives…. Pelibatan secara sukarela oleh masyarakat dalam pengambilan dan pelaksanaan keputusan yang langsung menyangkut hidup mereka.
c. “A voluntary process by which people including the disadvantaged ( income, gender, ethnicity, education ) influence or control the decisions that affect them . Suatu proses yang wajar dimana masyarakat termasuk yang kurang beruntung (penghasilan, gender, suku, pendidikan) mempengaruhi atau mengendalikan pengambilan keputusan yang langsung menyangkut hidup mereka.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa partisipasi adalah bentuk keterlibatan dan keikutsertaan masyarakat secara aktif dan sukarela, baik karena alasan dari dalam dirinya maupun dari luar dirinya, dalam keseluruhan proses kegiatan yang berlangsung. Sehingga partisipasi masyarakat diartikan sebagai keterlibatan sekelompok masyarakat, baik secara aktif maupun sukarela dengan alasan intrinsik maupun ekstrinsik dalam suatu proses kegiatan baik pemerintahan maupun pembangunan mulai dari perencanaan, pelaksanaan hingga perkembangannya.
Partisipasi masyarakat selalu memiliki ciri-ciri sebagai berikut ini :
a. Bersifat proaktif, dan bukan reaktif, yang artinya masyarakat ikut menalar baru bertindak.
b. Ada kesepakatan yang dilakukan oleh semua yang terlibat. c. Ada tindakan yang mengisi kesepakatan tersebut.
(19)
d. Ada pembagian kewenangan dan tanggung jawab dalam kedudukan setara. Terkait dengan uraian di atas, maka partisipasi masyarakat menjadi elemen yang penting dalam pembagian masyarakat. Menurut Adi (2001), partisipasi masyarakat atau keterlibatan warga dalam pembangunan dapat dilihat dari dalam 4 (empat) tahap yaitu :
1. Tahap assesment.
Dilakukan dengan mengidentifikasikan masalah dan sumber daya yang dimiliki. Untuk itu masyarakat dilibatkan secara aktif merasakan permasalahan yang sedang terjadi merupakan pandangan mereka sendiri.
2. Tahap alternatif program atau kegiatan.
Dilakukan dengan melibatkan warga untuk berfikir tentang masalah yang mereka hadapi dan cara mengatasinya dengan memikirkan beberapa alternatif program.
3. Tahap pelaksanaan (implementasi) program atau kegiatan.
Dilakukan dengan melaksanakan program yang sudah direncanakan dengan baik agar tidak melenceng dalam pelaksanaanya di lapangan.
4. Tahap evaluasi (termasuk evaluasi input, proses dan hasil).
Dilakukan dengan adanya pengawasan dari masyarakat dan petugas terhadap program yang sedang berjalan.
I. 5. 1. 2. Bentuk Partisipasi Masyarakat.
Menurut Davis, yang dikutip oleh Sastroputro (1998), bahwa bentuk-bentuk partisipasi masyarakat dapat dilihat sebagai berikut:
a. Konsultasi, biasanya dalam bentuk jasa. b. Sumbangan spontan berupa uang dan barang.
(20)
c. Mendirikan proyek yang sifatnya berdikari dan donornya berasal dari sumbangan individu/instansi yang berada diluar lingkungan tertentu (dermawan, pihak ketiga).
d. Mendirikan proyek yang sifatnya berdikari dan dibiayai seluruhnya oleh komuniti (biasanya diputuskan oleh komuniti, antara lain rapat desa yang menentukan anggarannya).
e. Sumbangan dalam bentuk kerja yang biasanya dilakukan oleh tenaga ahli setempat.
f. Aksi masa.
g. Mengadakan pembangunan dikalangan keluarga desa sendiri. h. Membangun proyek komuniti yang bersifat otonom.
Dengan mengutip pengkategorian oleh Deshler dan Sock, dalam Modul P2KP 2006, disebutkan bahwa secara garis besar terdapat 3 (tiga) jenis partisipasi, yaitu:
1. Partisipasi Teknis.
Partisipasi adalah keterlibatan masyarakat dalam pengidentifikasian masalah, pengumpulan data, dan pelaksanaan kegiatan. Pengembangan partisipasi dalam hal ini adalah sebuah taktik untuk melibatkan masyarakat dalam kegiatan-kegiatan praktis dalam konteks pengembangan masyarakat.
2. Partisipasi Asli.
Partisipasi adalah keterlibatan masyarakat didalam proses perubahan dengan melakukan refleksi kritis dan aksi yang meliputi dimensi politis, ekonomis, ilmiah dan ideologis, secara bersamaan. Pengembangan partisipasi dalam hal ini adalah pengembangan kekuasaan dan kontrol lebih besar terhadap suatu
(21)
situasi melalui peningkatan kemampuan masyarakat dalam melakukan pilihan kegiatan dan berotonomi.
3. Partisipasi Semu.
Partisipasi politis yang digunakan orang luar atau kelompok dominan (elite masyarakat) untuk kepentingannya sendiri, sedangkan masyarakat hanya sekedar objek.
I. 5. 1. 3. Tangga Partisipasi
Dalam modul P2KP 2006 berjudul Pengorganisasian Masyarakat oleh Parwoto, dikatakan bahwa konsep yang luas mengenai partisipasi, telah menempatkan partisipasi sebagai sebuah kata yang tidak jelas yang memiliki arti yang berbeda bagi setiap orang. Dalam beberapa hal partisipasi telah menjadi beberapa konsep yang omnibus (apapun dapat disebut partisipasi). Salah satu cara untuk memahami partisipasi adalah dengan menggunakan “tangga partisipasi“. Tangga partisipasi memperlihatkan relasi antara warga dengan pemerintah dalam formulasi dan pelaksanaan kebijakan publik.
Sejak diperkenalkan oleh Sherry Arnstein, kurang lebih 20 tahun yang lalu banyak pihak yang mencoba merumuskan tangga partisipasi. Sherry Arnstein yang seorang sosiolog mencoba membuat jenjang partisipasi dalam delapan jenjang, dimana tingkat terendah adalah manipulasi atau rekayasa sosial dan yang tertinggi adalah bila terjadi kontrol sosial atau pengendalian oleh masyarakat. Kemudian delapan jenjang tersebut dikelompokkan lagi menjadi 3 (tiga) kelompok sebagai berikut:
(22)
Termasuk didalamnya secara berjenjang mulai dari yang terendah adalah: a. Manipulasi/rekayasa sosial, adalah pendekatan yang mendudukkan
masyarakat sebagai objek pembangunan dan dimanipulasi agar sesuai dengan harapan program yang telah dirumuskan oleh pengambil keputusan (pemerintah).
b. Terapi, yaitu pendekatan yang mendudukkan masyarakat sebagai pihak yang tidak tahu apa-apa (orang sakit) dan harus percaya terhadap apa yang diputuskan oleh pemerintah (dokter).
2. Tokenism atau yang memiliki kadar haidah sebagai kelompok menengah. Termasuk didalamnya secara berjenjang dari yang terendah adalah:
a. Informasi, yaitu pendekatan pembangunan dengan pemberian informasi akan apa yang akan dilakukan oleh pemerintah seperti pemasyarakatan program dan lain-lain.
b. Konsultasi, yaitu pendekatan pembangunan dengan memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk berkonsultasi mengenai apa yang akan dilakukan oleh pemerintah di lokasi yang bersangkutan.
c. Penentraman, yaitu pendekatan pembangunan dengan misalnya merekrut tokoh-tokoh masyarakat untuk duduk dalam panitia pembangunan sebagai upaya menentramkan masyarakat tetapi keputusan tetap ditangan pemerintah.
3. Kadar Kedaulatan Rakyat yakni sebagai kelompok yang tertinggi.
(23)
a. Kerjasama, yaitu pendekatan pembangunan yang mendudukkan masyarakat sebagai mitra pembangunan yang setara sehingga keputusan dimusyawaratkan dan diputuskan bersama.
b. Pendelegasian, yaitu pendekatan pembangunan yang memberikan kewenangan penuh kepada masyarakat untuk mengambil keputusan yang langsung menyangkut hidup mereka.
c. Kontrol sosial, yaitu pendekatan pembangunan dimana keputusan tertinggi dan pengendalian pembangunan ada ditangan masyarakat.
Dapat disimpulkan bahwasanya partisipasi baru benar-benar terjadi apabila memiliki kadar kedaulatan rakyat yang cukup dan kadar kedaulatan rakyat tertinggi adalah terjadinya kontrol sosial (social control/citizen control) dimana keputusan penting dan pengendalian pembangunan ada ditangan masyarakat.
Para praktisi juga umumnya menerima bahwa tangga yang lebih tinggi merupakan wujud dari kualitas partisipasi yang lebih tinggi. Tetapi para praktisi juga dapat menerima bentuk partisipasi yang lebih rendah dalam situasi sosial politik sejauh bentuk tersebut merupakan salah satu strategi untuk mendorong partisipasi yang lebih luas.
Tabel. I.1. Tangga Partisipasi (Leader of Participation) oleh Sherry Arnstein Kontrol sosial
Pendelegasian Kadar Kedaulatan Rakyat
Kerjasama
Penentraman (placation)
Konsultasi Kadar Hadiah
Informasi
Terapi Non Partisipasi
(24)
Sumber : Modul P2KP III Pengorganisasian Masyarakat I. 5. 1. 4. Pentingnya Partisipasi dalam Pembangunan.
Gagasan tentang pelibatan warga atau masyarakat dalam kajian masalah pembangunan, terutama melalui model pemberdayaan masyarakat guna peningkatan partisipasi masyarakat sesungguhnya bukanlah topik yang baru sama sekali. Semenjak timbulnya kesadaran bahwa perspektif pertumbuhan ekonomi (economic growth) menimbulkan permasalahan kesenjangan, ketidakadilan dan kemerataan dalam pembagian manfaat pembangunan, maka berkembanglah berbagai pandangan yang ingin memberikan alternatif kepada pandangan yang hanya mengandalkan pertumbuhan.
Perbedaan pandangan tentang pendekatan pembangunan tersebut berlangsung cukup lama, yang mana tujuannya adalah mengakhiri era delivered development dimana pembangunan direncanakan sepenuhnya dari atas dan dengan era partisipatory development dimana pembangunan direncanakan dari bawah dengan melibatkan warga, dan menempatkan warga sebagai subyek dalam proses pembangunan (Korten : 1986).
Di Indonesia pendekatan pembangunan dengan mengikutsertakan warga atau masyarakat mulai tumbuh pada awal Pelita VI, yang mana hal ini ditandai dengan munculnya program-program penanggulangan kemiskinan yang menggunakan pola atau skema tindakan serangan langsung yang lebih substansial terhadap permasalahan (Molejarto : 1994). Diantaranya kegiatan-kegiatan seperti Pemetaan Kantong Kemiskinan, Inpres Desa Tertinggal dan lain-lain, hingga yang sedang berjalan saat ini yakni Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan yang dikenal dengan P2KP.
(25)
Conyers (1991) menyebutkan ada tiga alasan utama mengapa partisipasi masyarakat mempunyai sifat yang sangat penting dalam pelaksanaan pembangunan yaitu:
1. Partisipasi masyarakat merupakan suatu alat guna memperoleh informasi mengenai kondisi, kebutuhan dan sikap masyarakat setempat, yang tanpa kehadirannya program pembangunan serta proyek-proyek akan gagal
2. Bahwa masyarakat akan lebih mempercayai proyek atau program pembangunan jika merasa dilibatkan dalam proses persiapan dan perencanaannya, karena mereka akan lebih mengetahui seluk-beluk proyek tersebut. Kepercayaan semacam ini adalah penting khususnya bila mempunyai tujuan agar dapat diterima oleh masyarakat.
3. Merupakan suatu hak demokrasi bila masyarakat dilibatkan dalam pembangunan masyarakat mereka sendiri. Dapat dirasakan mereka pun mempunyai untuk turut “urun rembug“ (memberikan saran) dalam menentukan jenis pembangunan yang akan dilaksanakan di daerah mereka. Sementara itu, Yeremias T. Keban melalui kolom tanggapan terhadap topik Partisipasi Masyarakat yang dikutip dalam diskusi publik LGSP USAID (2007:1), menyebutkan bahwa pentingnya partisipasi masyarakat meliputi sebagai berikut:
1. Partisipasi sangat diperlukan dalam rangka demokrasi, bahkan beberapa dekade lalu Berelson pernah mengatakan bahwa partisipasi adalah syarat mutlak untuk suatu kehidupan demokrasi. Untuk Indonesia yang sudah menerima ideologi demokrasi, maka partisipasi mau tidak mau harus diterima dan dipraktekkan dalam sistem politik, administrasi pemerintahan dan dalam
(26)
proses pengambilan keputusan publik. Partisipasi harus menjadi bagian yang tak terpisahkan dari proses kepemerintahan.
2. Secara teoritis, partisipasi memberi pengaruh positif terhadap kinerja/pencapaian hasil dan kepuasan. Artinya, semakin menggunakan atau mempraktekkan partisipasi, maka semakin meningkat kinerja atau pencapaian hasil serta kepuasaan.
3. Partisipasi juga penting dalam rangka membangun public trust. Ketika masyarakat diberikan kesempatan untuk berpartisipasi maka mereka merasa bahwa pemerintah tidak menipu mereka, pemerintah dekat dengan mereka, pemerintah dapat dipercaya. Sementara itu, kepentingan mereka mendapatkan perhatian dalam kesempatan itu karena mereka diberi keleluasan untuk menyampaikan berbagai pendapat, keluhan dan sebagaianya.
4. Partisipasi juga diperlukan untuk kepentingan masyarakat (ada learning process/education, gain skills) dan juga untuk pemerintah (meyakinkan masyarakat, membangun trust, mengurangi kegelisahan, dan lain-lain).
1.5.2. Kemiskinan
Masalah kemiskinan memang telah lama ada sejak dahulu kala. Pada masa lalu umumnya masyarakat menjadi miskin bukan karena kurang pangan, tetapi miskin dalam bentuk minimnya kemudahan atau materi. Dari ukuran kehidupan modern pada masa kini mereka tidak menikmati fasilitas pendidikan, pelayanan kesehatan dan kemudahan-kemudahan lainnya yang tersedia pada jaman modern.
Kemiskinan sebagai suatu penyakit sosial ekonomi tidak hanya dialami oleh negara yang sedang berkembang, tetapi juga negara-negara maju, seperti Inggris dan Amerika Serikat. Negara Inggris mengalami kemiskinan di
(27)
penghujung tahun 1700-an pada era kebangkitan revolusi industri yang muncul di Eropa. Pada masa itu kaum miskin Inggris berasal dari tenaga-tenaga kerja pabrik yang sebelumnya sebagai petani yang mendapatkan upah rendah, sehingga kemampuan daya belinya juga rendah. Mereka umumnya tinggal di permukiman kumuh yang rawan terhadap penyakit sosial lainnya, seperti prostitusi, kriminalitas, pengangguran.
Amerika Serikat sebagai negara maju juga dihadapi masalah kemiskinan, terutama pada masa depresi dan resesi ekonomi tahun 1930-an. Pada tahun 1960-an Amerika Serikat tercatat sebagai negara adi daya y1960-ang d1960-an terkaya di dunia. Sebagian besar penduduknya hidup dalam kecukupan. Bahkan Amerika Serikat telah banyak memberi bantuan kepada negara-negara lain. Namun, di balik keadaan itu tercatat sebanyak 32 juta orang atau seperenam dari jumlah penduduknya tergolong miskin.
Indonesia sebagai negara yang kaya akan sumber daya alamnya mempunyai 49,5 juta jiwa penduduk yang tergolong miskin. Jumlah penduduk miskin tersebut terdiri dari 17,6 juta jiwa di perkotaan dan 31,9 juta jiwa di pedesaan. Angka tersebut lebih dari dua kali lipat banyaknya dibanding angka tahun 1996 (sebelum krisis ekonomi) yang hanya mencatat jumlah penduduk miskin sebanyak 7,2 juta jiwa di Perkotaan dan 15,3 juta jiwa pedesaan. Akibat krisis jumlah penduduk miskin diperkirakan makin bertambah.
Ada dua kondisi yang menyebabkan kemiskinan bisa terjadi, yakni kemiskinan alamiah dan karena buatan. Kemiskinan alamiah terjadi antara lain akibat sumber daya alam yang terbatas, penggunaan teknologi yang rendah dan bencana alam. Kemiskinan “buatan” terjadi karena lembaga-lembaga yang ada di
(28)
masyarakat membuat masyarakat tidak mampu menguasai sarana ekonomi dan berbagai fasilitas lain yang tersedia, hingga mereka tetap miskin. Maka itulah sebabnya para pakar ekonomi sering mengkritik kebijakan pembangunan yang melulu terfokus pada pertumbuhan ketimbang pemerataan (Kuncoro : 2004).
Berbagai persoalan kemiskinan penduduk memang menarik untuk disimak dari berbagai aspek, sosial, ekonomi, psikologi dan politik. Aspek sosial terutama akibat terbatasnya interaksi sosial dan penguasaan informasi. Aspek ekonomi akan tampak pada terbatasnya pemilikan alat produksi, upah kecil, daya tawar rendah, tabungan nihil, lemah mengantisipasi peluang. Dari aspek psikologi terutama akibat rasa rendah diri, fatalisme, malas, dan rasa terisolir. Sedangkan, dari aspek politik berkaitan dengan kecilnya akses terhadap terhadap fasilitas dan kesempatan, diskriminatif, posisi lemah dalam proses pengambil keputusan.
Dalam Otonomi Dan Pembangunan Daerah (Kuncoro : 2004), disebutkan bahwa kemiskinan dapat dibedakan menjadi tiga pengertian : kemiskinan absolut, kemiskinan relatif dan kemiskinan kultural. Seseorang termasuk golongan miskin absolut apabila hasil pendapatannya berada di bawah garis kemiskinan, tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup minimum : pangan, sandang, kesehatan, papan, pendidikan. Seseorang yang tergolong miskin relatif sebenarnya telah hidup di atas garis kemiskinan namun masih berada di bawah kemampuan masyarakat sekitarnya. Sedang miskin kultural berkaitan erat dengan sikap seseorang atau sekelompok masyarakat yang tidak mau berusaha memperbaiki tingkat kehidupannya sekalipun ada usaha dari pihak lain yang membantunya.
Lebih lanjut, garis kemiskinan merupakan ukuran rata-rata kemampuan masyarakat untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup minimum. Melalui
(29)
pendekatan sosial masih sulit mengukur garis kemiskinan masyarakat, tetapi dari indikator ekonomi secara teoritis dapat dihitung dengan menggunakan tiga pendekatan, yaitu pendekatan produksi, pendapatan dan pengeluaran. Sementara ini yang dilakukan Biro Pusat Statistik (BPS) untuk menarik garis kemiskinan adalah pendekatan pengeluaran.
I. 5. 3. Program Penanggulangan Kemiskinan Pekotaan ( P2KP )
Dalam Pedoman Umum P2KP 3 (Rahadi : 2007), disebutkan bahwa P2KP adalah salah satu program nasional yang dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia dalam rangka menanggulangi berbagai persoalan kemiskinan yang terjadi di masyarakat, khususnya bagi masyarakat yang tinggal di wilayah perkotaan melalui konsep memberdayakan masyarakat dan pelaku pembangunan lokal lainnya yang mengusung nilai-nilai luhur dan prinsip universal.
P2KP memahami bahwa akar penyebab dari persoalan kemiskinan yang sebenarnya adalah karena kondisi masyarakat yang belum berdaya dengan indikasi kuat yang dicerminkan oleh perilaku/sikap/cara pandang masyarakat yang tidak dilandasi dengan nilai-nilai universal kemanusiaan yakni jujur, dapat dipercaya, ikhlas, kerelawanan, adil, kesetaraan serta kesatuan dalam keragaman dan tidak bertumpu pada prinsip-prinsip universal kemasyarakatan yakni transparansi, akuntabilitas, partisispasi, demokrasi, desentralisasi.
Sehingga P2KP meyakini bahwa pendekatan yang lebih efektif untuk mewujudkan proses perubahan perilaku masyarakat adalah melalui pendekatan pemberdayaan atau proses pembelajaran (edukasi) masyarakat dan penguatan
(30)
kapasitas untuk mengedepankan peran pemerintah daerah dalam mengapresiasi dan mendukung kemandirian masyarakatnya.
Adapun substansi P2KP sebagai proses pemberdayaan dan pembelajaran masyarakat, nantinya dilakukan dengan terus menerus untuk menumbuhkembangkan kesadaran kritis masyarakat terhadap nilai-nilai universal kemanusiaan, prinsip kemasyarakatan dan prinsip pembangunan berkelanjutan sebagai landasan yang kokoh untuk membangun masyarakat yang mandiri dan sejahtera. Proses pembelajaran di tingkat masyarakat ini dilangsungkan selama masa program P2KP maupun pasca program P2KP olen masyarakat sendiri dengan membangun dan melembagakan komunitas belajar kelurahan.
Sedangkan substansi P2KP sebagai penguatan kapasitas pemerintah daerah dalam rangka mengedepankan peran dan tanggung jawab pemerintah daerah, dilakukan melalui pelibatan intensif pemda pada pelaksanaan siklus kegiatan P2KP, penguatan peran dan fungsi Komite Penanggulangan Kemiskinan Daerah (KPKD) agar mampu menyusun dokumen Strategi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (SPKD) dan PJM Pronangkis Kota/Kabupaten berbasis aspirasi dan program masyarakat (Pronangkis Kelurahan).
Selain itu, dalam programnya P2KP juga mendorong kemandirian serta kemitraan masyarakat bersama pemerintah daerah dalam penanggulangan kemiskinan di perkotaan. Namun, untuk lebih menjamin kapasitas kemandirian masyarakat dan pemda agar mampu menangani kemiskinan di wilayahnya, maka perlu didorong upaya-upaya menuju tatanan kepemerintahan yang baik (good governance) yakni demokrasi, partisipasi, transparansi, akuntabilitas, desentralisasi.
(31)
I.5.3.1. Visi dan Misi P2KP
Mengingat bahwa program penanggulangan kemiskinan di Perkotaan (P2KP) adalah landasan dan pemicu tumbuhnya gerakan pembangunan berkelanjutan dalam penanggulangan kemiskinan di perkotaan, maka diperlukan rumusan visi dan misi yang jelas sehingga dapat dipakai sebagai acuah perilaku dan arahan pihak (stakeholders) dalam mengembangkan program-program kemiskinan di wilayahnya.
1. Visi
Terwujudnya masyarakat madani, yang maju, mandiri, dan sejahtera dalam lingkungan pemukiman sehat, produktif dan lestari.
2. Misi
Membangun masyarakat mandiri yang mampu menjalin kebersamaan dan sinergi dengan pemerintah maupun kelompok setempat dalam menanggulangi kemiskinan secara efektif dan mampu mewujudkan terciptanya lingkungan permukiman yang tertata, sehat, produktif dan berkelanjutan.
I.5.3.2. Nilai-Nilai dan Prinsip-prinsip Yang Melandasi P2KP
Sejalan dengan substansi konsep Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) bahwa persoalan kemiskinan dapat ditanggulangi dengan terwujudnya pembangunan berkelanjutan yang berlandaskan nilai-nilai luhur kemanusiaan, prinsip kemasyarakatan yang bersifat universal dan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan, maka rumusan nilai-nilai yang melandasi pelaksanaan P2KP adalah sebagai berikut :
(32)
Nilai-nilai universal kemanusiaan yang harus dijunjung tinggi, ditumbuhkembangkan dan dilestarikan oleh semua pelaku P2KP (baik masyarakat, konsultan, pemerintah, maupun kelompok peduli), dalam melaksanakan P2KP adalah :
a. Jujur
b. Dapat dipercaya c. Ikhlas / kerelawanan d. Adil
e. Kesetaraan
f. Kesatuan dalam keragaman
2. Prinsip-prinsip Universal Kemasyarakatan (Good Governance)
Prinsip-prinsip universal kemasyarakatan yang mengacu pada tata kepemerintahan yang baik (Good Govermance) yang harus dijunjung tinggi, ditumbuhkembangkan dan dilestarikan oleh semua pelaku P2KP (baik masyarakat, konsultan, maupun pemerintah), dalam melaksanakan P2KP adalah :
a. Demokrasi; dalam setiap proses pengembalian keputusan apapun, musyawarah harus menjadi alat terkuat dan pilar utama dalam menjalankan suatu proses demokrasi.
b. Partisipasi; dalam tiap langkah kegiatan P2KP harus dilakukan secara partisipatif sehingga mampu membangun rasa kepedulian dan kepemilikan serta proses belajar melalui bekerja bersama.
c. Transparansi dan akuntabilitas; dalam proses manajemen program maupun manajemen organisasi masyarakat.
(33)
d. Desentralisasi; dalam proses pengembalian keputusan yang langsung menyangkut kehidupan dan penghidupan masyarakat.
3. Prinsip-prinsip Universal Pembangunan Berkelanjutan (Tridaya)
Prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan yang harus dijunjung tinggi ditumbuhkembangkan dan dilestarikan oleh semua pelaku P2KP (baik masyarakat, konsultan, maupun pemerintah), dalam melaksanakan P2KP adalah melalui peneapan konsep Tridaya sebagai berikut :
a. Perlindungan lingkungan (Environmental Protection) b. Pengembangan masyarakat (Social Development) c. Pengembangan ekonomi (Economic development) I.5.3.3. Tujuan
Adapun tujuan dari pelaksanaan P2KP yaitu :
a. Terbangunnya lembaga masyarakat berbasis nilai-nilai universal kemanusiaan, prinsip-prinsip kemasyarakatan dan berorientasi pembangunan berkelanjutan, yang aspiratif, representatif, mengakar, mampu memberikan pelayanan kepada masyarakat miskin, mampu memperkuat aspirasi/suara masyarakat miskin, mampu memperkuat aspirasi/suara masyarakat miskin dalam proses pengambilan keputusan lokal, dan mampu menjadi wadah sinergi masyarakat dalam penyelesaian permasalahan yang ada di wilayahnya.
b. Meningkatnya akses bagi masyarakat miskin perkotaan ke pelayanan sosial, prasarana dan sarana serta pendanaan (modal), termasuk membangun kerjasama dari kemitraan sinergi ke berbagai pihak terkait, dengan menciptakan kepercayaan pihak-pihak terkait tersebut terhadap lembaga masyarakat (BKM).
(34)
c. Mengedepankan peran pemerintah kota/kabupaten agar mereka makin mampu memenuhi kebutuhan masyarakat miskin, baik melalui pengokohan Komite Penanggulangan Kemiskinan (KPK) di wilayahnya, maupun kemitraan dengan masyarakat serta kelompok peduli setempat.
I.5.3.4. Kelompok Sasaran
Pada dasarnya, kelompok sasaran P2KP mencakup empat sasaran utama, yakni masyarakat, pemerintah daerah, kelompok peduli setempat dan para pihak terkait (Stakeholders).
P2KP ini, pada pelaksanaannya menggunakan pola pendekatan bertumpu pada partisipasi aktif masyarakat, maka keberhasilan pelaksanaan P2KP ini tidak mungkin untuk dapat dicapai secara optimal.
Partisipasi dalam hal ini dilakukan secara partisipatif dalm tiap-tiap langkah pelaksanan P2KP atau lebih dikenal dengan siklus P2KP yakni dimulai dari siklus/ tahap Rembuk Kesiapan Masyarakat (RKM) hingga pemanfaatan Dana Bantuan Langsung Masyarakat (BLM). Diketahui bahwa, salah satu tahap yang paling mendominasi unsur partisipasi didalamnya yakni tahap Pembentukan/ Pengembangan Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM).
Pembentukan KSM pada dasarnya menjadi bagian dari proses belajar masyarakat dalam pengorganisasian kelompok, yaitu menggambarkan serangkaian kegiatan untuk membangun kelompok-kelompok swadaya masyarakat yang dilakukan oleh masyarakat sendiri, sehingga tumbuh ikatan kebersamaan yang cukup kuat, sebagai sarana menumbuhkan solidaritas dan kepedulian diantara masyarakat serta media belajar bersama dalam memecahkan persoalan-persoalannya secara mandiri.
(35)
Dengan demikian, pada hakekatnya KSM dapat didefenisikan sebagai kumpulan orang yang menyatukan diri secara sukarela dalam kelompok dikarenakan adanya ikatan pemersatu, yakni adanya kepentingan dan kebutuhan yang sama, sehingga dalam kelompok tersebut memiliki kesamaan tujuan yang ingin dicapai bersama. Sedangkan KSM dalam rangka P2KP, keberadaan sekumpulan warga tersebut haruslah memenuhi kriteria sebagai pemanfaat proyek, serta bertujuan untuk mengatasi berbagai permasalahan kemiskinan yang menyangkut sarana dan prasarana dasar, penngembangan SDM serta pengembangan ekonomi.
Posisi KSM di P2KP adalah independen. Posisi KSM dalam P2KP adalah sebagai pelaku langsung dalam pelaksanaan kegiatan penanggulangan kemiskinan. Anggota masyarakat yang tergabung dalam KSM tidak hanya untuk meningkatkan wawasan tentang prinsip dan nilai P2KP, akan tetapi juga menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Melalui interaksi antar sesama anggota KSM, sangat memungkinkan terjadi pergesekan yang mencerdaskan sehingga tumbuh nilai-nilai baru, cara pandang, cara menyelesaikan masalah, maupun cara memahami realitas yang dapat mempengaruhi kehidupan.
Diketahui, KSM dalam P2KP bukanlah semata-mata sebagai kelompok peminjam atau yang berorientasi pada kegiatan ekonomi, melainkan kelompok pemberdayaan. Dalam hal ini, bisa dikatakan KSM merupakan wadah bagi tumbuhnya rasa percaya diri, semangat kemandirian saling kepercayaan sosial, rasa kebersamaan dan lain-lain. Namun demikian, apabila terjadi pembentukan KSM yang diawali dan didasari oleh kepentingan ekonomi adalah kenyataan yang wajar, karena selama ini program pengembangan yang ada di masyarakat lebih
(36)
banyak dengan pendekatan peningkatan pendapatan, selain juga karena kehidupan sehari-hari warga masyarakat tidak lepas dari masalah ekonomi. Kenyataan tersebut harus disikapi lebih bijak dengan menggunakannya sebagai jalan masuk menuju KSM sebagai wadah pemberdayaan.
Agar KSM dalam P2KP benar-benar menjadi wadah bagi pemberdayaan anggota-anggotanya, maka ada beberapa prinsip yang perlu, yang bisa dijadikan pedoman di internal KSM yakni :
a. Karakter saling mepercayai dan mendukung.
Melalui pengembangan karakter tersebut, bisa mendorong para anggota untuk mengekspresikan gagasan, parasaan dan kekhawatirannya dengan nyaman. Dengan demikian, setiap anggota KSM memiliki keleluasaan mengungkapkan pemikiran dan pendapat, serta mampu mengajukan usul dan saran yang perlu djadikan pembahasan dalam rapat kelompok tanpa adanya segan atau adanya hambatan psikologis lainnya.
b. Mandiri dalam membuat keputusan.
Melalui kebersamaan kelompok, maka secara mandiri dimungkinkan adanya proses pengambilan keputusan melalui kesepakatan yang diambil oleh kelompok itu sendiri. Keputusan kelompok lazimnya merupakan hasil pemusyawaratan bersama dan tidak diperkenankan adanya dominasi dari perorangan atau beberapa orang yang bersifat pemaksaan kehendak atau intervensi dari pihak manapun. Kelompok juga berwenang untuk mengatur rumah tangganya sendiri sesuai dengan keputusan bersama.
(37)
Melalui basis kelompok, dimungkinkan terjadinya proses belajar bersama yang lebih efisien dan efektif, sehingga peningkatan dan penguatan kapasitas KSM terkait dengan pengembangan kemampuan/ kapasitas para anggotanya sesuai dengan kebutuhan-kebutuhannya dapat berjalan.
d. Partisipasi yang nyata.
Melalui basis kelompok, peluang setiap anggota untuk memberikan kontribusi kepada kelompok atau anggota kelompok lainnya, sebagai wujud komitmen kebersamaan dapat berjalan. Dengan demikian, potensi untuk menumbuhkan keswadayaannya dalam wujud partisipasi nyata terbuka luas.
I. 5.4. Partisipasi Masyarakat dalam Pelaksanaan Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP)..
Partisipasi merupakan bentuk keterlibatan dan keikutsertaan masyarakat secara aktif dan sukarela, baik karena alasan dari dalam dirinya maupun dari luar dirinya, dalam keseluruhan proses kegiatan yang berlangsung. Partisipasi masyarakat sendiri, diartikan sebagai keterlibatan sekelompok masyarakat, baik secara aktif maupun sukarela dengan alasan intrinsik maupun ekstrinsik dalam suatu proses kegiatan baik pemerintah maupun pembangunan mulai dari perencanaan, pelaksanaan hingga perkembangannya.
Gagasan tentang pelibatan warga atau masyarakat dalam kajian masalah pembangunan, terutama melalui model pemberdayaan masyarakat guna peningkatan partisipasi masyarakat sesungguhnya bukanlah topik yang baru sama sekali. Semenjak timbulnya kesadaran bahwa perspektif pertumbuhan ekonomi (economic growth) menimbulkan permasalahan kesenjangan, ketidakadilan dan kemerataan dalam pembagian manfaat pembangunan, maka berkembanglah
(38)
berbagai pandangan yang ingin memberikan alternatif kepada pandangan yang hanya mengandalkan pertumbuhan.
Perbedaan pandangan tentang pendekatan pembangunan tersebut berlangsung cukup lama, yang mana tujuannya adalah mengakhiri era delivered development dimana pembangunan direncanakan sepenuhnya dari atas, dan dengan era partisipatory development dimana pembangunan direncanakan dari bawah dengan melibatkan warga dan menempatkan warga sebagai subyek dalam proses pembangunan (Korten : 1986).
Di Indonesia pendekatan pembangunan dengan mengikutsertakan warga atau masyarakat mulai tumbuh pada awal Pelita VI, yang mana hal ini ditandai dengan munculnya program-program penanggulangan kemiskinan yang menggunakan pola atau skema tindakan serangan langsung yang lebih substansial terhadap permasalahan (Molejarto : 1994). Diantaranya kegiatan-kegiatan seperti Pemetaan Kantong Kemiskinan, Inpres Desa Tertinggal dan lain-lain, hingga yang sedang berjalan saat ini yakni Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan yang dikenal dengan P2KP.
Adapun P2KP ini dalam pelaksanaannya menggunakan pola pendekatan bertumpu kepada partisipasi aktif masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa tanpa adanya partisipasi aktif masyarakat maka keberhasilan pelaksanaan P2KP tidak mungkin untuk dapat dicapai secara optimal.
Diketahui bahwa, suatu identifikasi kemiskinan yang dilakukan tanpa melibatkan partisipasi masyarakat di dalamnya lalu kemudian digulirkan sebuah program “bantuan” kepada orang-orang yang tergolong miskin, acapkali yang terjadi adalah kecenderungan sosial. Hal ini disebabkan, karena dalam pandangan
(39)
masyarakat setempat, bahwa masyarakat yang memperoleh bantuan bukanlah tergolong warga yang miskin dilingkungan tempat tinggal mereka. Masyarakat setempat memiliki pandangan atau konsep tersendiri mengenai kemiskinan di wilayah tinggal mereka. Inilah yang umum disebut sebagai “kearifan lokal”. Dalam mengidentifikasikan kemiskinan masyarakat, unsur kearifan lokal perlu dihargai, masyarakat yang lebih mengetahui keadaan wilayahnya daripada orang luar yang datang ,membawa seperangkat alat untuk melihat kemiskinan di wilayah mereka (Santoso, 2005).
Oleh karenanya P2KP sendiri merupakan sekaligus sebagai suatu program penanggulangan kemiskinan di perkotaan yang mendudukkan masyarakat sebagai pelaku utamanya melalui partisipasi aktif. Partisipasi dalam hal ini dilakukan secara partisipatif dalam tiat-tiap langkah pelaksanaan P2KP, atau lebih dikenal dengan siklus P2KP, yakni dimulai dari siklus/tahap Rembuk Kesiapan Masyarakat hingga Pemanfaatan Dana Bantuan Langsung Tunai. Adapun salah satu tahap yang paling mendominasi unsur partisipasi di dalamnya yakni tahap Pengembangan Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM).
Pada hakekatnya, Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) didefenisikan sebagai kumpulan orang yang menyatukan diri secara sukarela dalam kelompok dikarenakan adanya ikatan pemersatu, yaitu adanya kepentingan dan kebutuhan yang sama, sehingga dalam kelompok tersebut memiliki kesamaan tujuan yang ingin di capai bersama. Sedangkan KSM dalam rangka P2KP, keberadaan sekumpulan warga tersebut harus memenuhi kriteria sebagai pemanfaat proyek, serta bertujuan mengatasi berbagai permasalahan kemiskinan yang menyangkut sarana dan prasarana dasar pengembangan SDM serta pengembangan ekonomi.
(40)
Berkaitan dengan konsep diatas, P2KP yang mengedepankan pola pendekatan yang bertumpu pada aspirasi masyarakat ini dalam pelaksanaannya juga dijadikan sebagai pengalaman baru bagi Kelurahan Kota Bangun. Kelurahan Kota Bangun yang terdiri dari delapan lingkungan ini, menyikapi program tersebut bukan semata-mata agar dapat memperoleh dan memanfaatkan dana Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) P2KP dalam rangka penanggulangan kemiskinan, namun kembali lagi sembari ditekankan kepada proses pembelajaran kritis masyarakat dalam menentukan sendiri kebutuhan dan pemecahan masalahnya serta tumbuh kepercayaan diri bahwa masyarakat mampu melaksanakan penyusunan suatu program.
Terdapatnya berbagai kendala yang terjadi dalam pelaksanaan siklus P2KP itu sendiri, menjadikan peneliti tertarik untuk mengetahui bagaimana sebenarnya keberlangsungan dari pelaksanaan partisipasi masyarakat dalam P2KP Kelurahan Kota Bangun serta hasil akhirnya dan bagaimanakah bentuk partisipasi masyarakat didalamnya. Untuk itu peneliti dalam hal ini memfokuskan diri melihat lebih jauh berlangsungnya tahap Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) pada P2KP Kelurahan Kota Bangun sehubungan dengan berjalannya tahap tersebut berkenaan dengan proses penelitian yang dilakukan.
I. 6. Defenisi Konsep
Konsep merupakan istilah dan defenisi yang digunakan untuk menggambarkan secara abstrak kejadian, keadaan, kelompok atau individu yang menjadi pusat penelitian ilmu sosial (Singarimbun, 1995:30). Berdasarkan
(41)
pengertian tersebut, maka penulis mengemukakan defenisi dari beberapa konsep yang digunakan yakni:
1. Partisipasi merupakan bentuk keterlibatan dan keikutsertaan masyarakat secara aktif dan sukarela tentunya, baik karena alasan dari dalam dirinya maupun dari luar dalam keseluruhan proses kegiatan yang berlangsung.
2. Masyarakat merupakan sekelompok manusia yang hidup dalam wilayah tertentu, dimana terdapat kesadaran bahwa mereka adalah satu kesatuan sosial dan memiliki sistem kehidupan dan sistem kebudayaan sendiri yang selalu berubah.
3. Partisipasi masyarakat diartikan sebagai keterlibatan sekelompok manusia yang selanjutnya disebut sebagai masyarakat, baik secara aktif maupun sukarela dengan alasan intrinsik maupun ekstrinsik dalam suatu proses kegiatan baik pemerintahan maupun pembangunan, mulai dari perencanaan, pelaksanaan hingga perkembangannya.
4. Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan adalah salah satu program Nasional yang dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia dalam rangka menanggulangi berbagai persoalan kemiskinan yang terjadi di masyarakat, khususnya bagi masyarakat yang tinggal di wilayah perkotaan melalui konsep memberdayakan masyarakat dan pelaku pembangunanan lokal lainnya yang mengusung nilai-nilai luhur dan prinsip universal.
I. 7. Defenisi Operasional.
Defenisi operasional adalah unsur-unsur penelitian yang memberitahukan bagaimana cara mengukur suatu variabel sehingga dalam pengukuran ini dapat
(42)
diketahui indikator-indikator apa saja yang melekat dalam variabel sebagai pendukung untuk dianalisis ke dalam variabel tersebut.
Berikut ini indikator-indikator yang dipakai sebagai alat pengukur dari partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP) :
1. Adanya forum musyawarah berupa serangkaian kegiatan berbentuk kelompok-kelompok swadaya masyarakat yang dilakukan oleh masyarakat sendiri.
2. Kemampuan masyarakat untuk terlibat dalam proses pelayanan publik. 3. Akses bagi masyarakat untuk menyampaikan pendapat.
4. Bentuk partisipasi yakni partisipasi teknis berupa keterlibatan masyarakat dalam pengidentifikasian masalah, pengumpulan data serta pelaksanaan kegiatan ; partisipasi asli berupa keterlibatan masyarakat di dalam proses perubahan dengan melakukan refleksi kritis dan aksi yang meliputi dimensi politis, ekonomis, ilmiah dan ideologis secara bersamaan ; serta partisipasi semu berupa partisipasi politis yang digunakan orang luar atau kelompok dominan (elit masyarakat) untuk kepentingan sendiri.
(43)
I. 8. Sistematika Penulisan BAB I : PENDAHULUAN
Bab ini memuat latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka teori, defenisi konsep, defenisi operasional, dan sistematika penulisan.
BAB II : METODE PENELITIAN
Bab ini memuat bentuk penelitian, lokasi penelitian, populasi dan sampel penelitian, teknik pengumpulan data, dan teknik analisa data.
BAB III : DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN
Bab ini menguraikan tentang gambaran atau karakteristik lokasi penelitian.
BAB IV : PENYAJIAN DATA DAN ANALISA DATA
Bab ini memuat hasil penelitian yang diperoleh dari lapangan dan dokumentasi seperti jawaban dari informan dan data tertulis serta menganalisanya.
BAB V : PENUTUP
Bab ini memuat kesimpulan dan saran yang diberikan penulis berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan.
(44)
BAB II
METODE PENELITIAN
II. 1. Bentuk Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah bentuk penelitian deskriptif dengan analisa kualitatif, menurut Hadani (1990:60) bentuk deskriptif memusatkan perhatian pada masalah-masalah atau fenomena-fenomena yang ada pada saat penelitian dilakukan atau masalah yang bersifat aktual, kemudian pengambilan fakta-fakta tentang masalah yang diselidiki diiringi dengan interpretasi yang akurat.
Dengan demikian penelitian ini menggambarkan fakta-fakta dan menjelaskan keadaan dari objek penelitian berdasarkan fakta-fakta sebagaimana adanya dan mencoba menganalisa untuk memberi kebenarannya berdasarkan data yang diperoleh.
II. 2. Lokasi Penelitian.
Adapun yang menjadi lokasi dari penelitian ini adalah Kelurahan Kota Bangun Kecamatan Medan Deli Jl. Kol Yos. Sudarso Km. 10,5.
II. 3. Populasi dan Sampel II. 3. 1. Populasi
Menurut Sugiyono (2005 : 90) populasi adalah wilayah generalis yang terdiri atas objek/subyek yang mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk memepelajari dan kemudian ditarik
(45)
kesimpulannya. Maka yang dikatakan sebagai populasi adalah berupa objek maupun subjek yang ditentukan oleh peneliti dan berada pada suatu wilayah tertentu yang menjadi lokasi penelitian serta memenuhi syarat-syarat tertentu sesuai dengan konsep penelitian serta menjadi bahan kajian yang berkaitan dengan masalah penelitian. Berdasarkan hal tersebut diatas maka peneliti menetapkan yang menjadi populasi adalah seluruh warga masyarakat Kelurahan Kota Bangun sebanyak 10. 879 jiwa.
II. 3. 2. Sampel
Menurut Singarimbun (1995 : 53) sampel diartikan sebagai bagian dari populasi yang menjadi sumber data yang sebenarnya, dengan kata lain sampel adalah bagian dari populasi. Pengambilan sebagian itu dimaksudkan sebagai representatif dari seluruh populasi sehingga kesimpulan juga berlaku bagi keseluruhan populasi.
Peneliti menentukan sampel masyarakat Kelurahan Kota Bangun ini dengan menggunakan teknik purposive sampling yaitu penentuan sampel tidak didasarkan atas strata, pedoman atau wilayah, tetapi berdasarakan atas adanya tujuan tertentu dan tetap berhubungan dengan permasalahan penelitian untuk dijadikan sebagai informan kunci dan informan biasa. Adapun jumlah sampel yang dijadikan sebagai informan biasa berjumlah 10 orang yang terdiri dari 7 orang ketua Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) serta 2 orang tokoh masyarakat.
Adapun 7 ketua KSM ini diambil berdasarkan teknis penyaluran bantuan itu sendiri, dimana pada Kelurahan Kota Bangun khususnya, Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) ini disalurkan melalui 3 tahap yakni BLM Tahap I, Tahap II
(46)
dan Tahap III. Nantinya pada masing-masing tahap, berdasarkan konsep TRIDAYA, dibagi lagi menjadi 3 jenis yakni BLM untuk bantuan sosial, lingkungan serta ekonomi. Disetiap jenis bantuan inilah yang terdiri dari beberapa KSM. Oleh karenanya peneliti merasa perlu untuk mengambil sampel pada tiap jenis bantuan di ketiga tahap penyaluran bantuan tersebut. Adapun tokoh masyarakat disini, diambil dari masing-masing tahap penyaluran yakni pada tahap I, II serta III.
Sedangkan yang dijadikan sebagai informan kunci dalam penelitian ini yaitu, seorang fasilitator kelurahan (faskel) yang berperan sebagai pendamping selama berjalannya program P2KP, serta seorang koordinator BKM.
II. 4. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini penulis menggunakan dua macam data menurut klasifkasi jenis dan sumbernya, yaitu:
1. Pengumpulan data primer, adalah pengumpulan data yang dilakukan secara langsung pada lokasi penelitian. Pengumpulan data primer tersebut dilakukan dengan instrumen sebagai berikut:
a. Metode Wawancara (interview), yaitu mengadakan tanya jawab langsung kepada pihak-pihak yang terkait dan memiliki relevansi terhadap masalah penelitian.
2. Pengumpulan Data Sekunder, yaitu kegiatan penelitian yang dilakukan dengan cara menelaah sejumlah buku, karya ilmiah, dan dokumen/arsip yang berhubungan dengan masalah yang diteliti.
(47)
II. 5. Teknik Analisa Data.
Sesuai dengan metode penelitian ini, maka teknik analisa data yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini, adalah teknik analisa data kualitatif, yaitu data yang diperoleh dari lapangan selanjutnya diinterpretasikan sehingga memberikan keterangan terhadap permasalahan yang diteliti.
(48)
BAB III
DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN
III.1. Gambaran Umum Kelurahan Kota Bangun
Kelurahan Rambung merupakan salah satu daerah yang berada di Kecamatan Medan Deli. Kelurahan Kota Bangun sendiri memiliki luas wilayah 2.50 km2 dan luas pemukiman 1.76 km2. Selebihnya diisi dengan perkantoran, kuburan, pekarangan, taman serta prasarana umum lainnya.
Penduduk sebagai salah satu komponen pembangunan memiliki dua sisi yang sangat penting yakni, di satu sisi sebagai subyek pembangunan dan disisi lain sebagai objek pembangunan. Begitu juga jumlah yang besar merupakan sumber dari ketersediaan tenaga kerja, namun dengan penyebaran dan kualitas yang rendah justru dapat menimbulkan permasalahan kerja sendiri.
Berdasarkan data tahun 2009, penduduk Kelurahan Kota Bangun berjumlah 10. 879 jiwa, dimana umur 21 hingga 28 tahun yang paling mendominasi mengisi jumlah penduduk Kelurahan Kota Bangun ini.
Dalam hal pendidikan di Kelurahan Kota Bangun, terdapat 867 orang yang belum sekolah, sedangkan yang tamatan SD/sederajat sebanyak 2760 orang, SLTP/sederajat 2615 orang serta yang paling mendominasi pendidikan penduduk di Kelurahan Kota Bangun yakni SLTA/Sederajat sebanyak 1570 orang. Selain itu terdapat pula penduduk yang mengenyam sekolah tinggi, yakni tercatat sebanyak 120 orang yang menamatkan D1, 113 orang untuk D-2, 135 orang untuk D-3, 230 orang untuk S-1 serta 2 orang untuk S2.
(49)
Adapun kualitas pendidikan penduduk diatas yang menjadikan di Kelurahan Kota Bangun terdapat 4227 orang memiliki mata pencaharian sebagai buruh/swasta. Namun di Kelurahan Kota Bangun ini juga terdapat pegawai negeri sebanyak 27 orang, pedagang 142 orang, pengemudi becak 25orang serta banyak lagi profesi yang digeluti oleh penduduk di sini.
Apabila dilihat dari tenaga kerja Kelurahan Kota Bangun mencatat sebanyak 8437 orang warga yang bekerja dengan usia sekitar 15-60 tahun, kemudian sebanyak 1411 orang sebagai ibu rumah tangga serta 985 orang penduduk masih sekolah.
Berdasarkan data perekonomian masyarakat tahun 2009 terdapat tingkat perekembangan Kelurahan yakni sebagai berikut :
a. Pengangguran
Jumlah angkatan kerja (penduduk usia 15-55 tahun) : 3525 orang Jumlah penduduk usia 15-55 tahun yang masih sekolah : 594 orang Jumlah penduduk usia 15-55 tahun menjadi ibu rumah tangga : 1675 orang Jumlah penduduk usia 15-55 tahun bekerja penuh : 1820 orang Jumlah penduduk usia 15-55 tahun bekerja tidak tentu : 765 orang b. Sektor Industri : RT Pangan
Nilai total produksi : 130.000.000
Nilai input (bahan baku/penolong) : 65.000.000
Tenaga kerja : 60.000.000
c. Jumlah penduduk
Jumlah penduduk tahun ini : 10879 jiwa
(50)
d. Kemiskinan
Jumlah Kepala Keluarga : 1899 Rt
Jumlah Keluarga Prasejahtera : 317 Rt
Jumlah Keluarga Sejahtera 1 : 614 Rt
Jumlah Keluarga Sejahtera 2 : 585 Rt
Jumlah Keluarga Sejahtera 3 : 330 Rt
Jumlah Keluarga Sejahtera 3 plus : 53 Rt
e. Penguasaan Aset Ekonomi oleh masyarakat Aset Rumah
Tidak memiliki rumah : 830 Rt
Memiliki rumah sendiri : 715 Rt
Aset lainnya
Memiliki usaha ekonomi : 310 Rt
Tidak memiliki usaha : 1589 Rt
Aset rumah disewakan
Memiliki rumah kontrakan : 90 Rt
Tidak memiliki rumah dikontrakan : 1809 Rt Memiliki mobil
Memiliki mobil : 58 Rt
Tidak memiliki mobil : 1841 Rt
Memiliki motor
Memiliki motor : 435 Rt
Tidak memiliki motor : 1464 Rt
(51)
Jumlah RW atau sebutan lain : 0 RW
Jumlah RW kumuh : 0 RW
III.2. Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP)
Dalam usaha mengatasi kemiskinan di daerahnya, Kelurahan Kota Bangun diketahui juga ikut dalam salah satu program penanggulangan kemiskinan yang lagi berjalan di berbagai kota saat ini. Program tersebut yakni P2KP (Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan). P2KP sebagai salah satu program nasional yang dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia dalam rangka menanggulangi berbagai persoalan kemiskinan yang terjadi di masyarakat, khususnya bagi masyarakat yang tinggal di wilayah perkotaan melalui konsep memberdayakan masyarakat serta pelaku pembangunan lokal lainnya yang mengusung nilai-nilai universal dijadikan sebagai pengalaman baru oleh masyarakat Kelurahan Kota Bangun.
Adapun di Kelurahan Bangun, yang terlibat dalam pelaksanaan program ini yakni tersusun dalam suatu perangkat organisasi yakni Perangkat Organisasi BKM (Badan Keswadayaan Masyarakat Sejahtera) yakni :
1) BKM (Badan Keswadayaan Masyarakat)
BKM adalah lembaga masyarakat warga, yang pada hakekatnya mengandung pengertian sebagai wadah masyarakat untuk bersinergi dan menjadi lembaga kepercayaan masyarakat milik masyarakat, yang diakui oleh masyarakat sendiri maupun pihak luar dalam upaya masyarakat membangun kemandirian menuju tatanan masyarakat madani yang dibangun dan dikelola berlandasan berbasis nilai-nilai universal.
(52)
a) Merumuskan dan menetapkan kebijakan serta aturan main (termasuk sanksi) secara demokratis dan partisipatif mengenai hal-hal yang bermanfaat untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat kelurahan, termasuk penggunaan dana BLM program pemberdayaan masyarakat dan penanggulangan kemiskinan di wilayahnya ;
b) Mengorganisasi masyarakat untuk bersama-sama merumuskan visi, misi, rencana strategis, dan rencana program penanggulangan kemiskinan (pronangkis) ;
c) Memonitor, mengawasi dan mengendalikan pelaksanaan keputusan-keputusan yang telah diambil BKM, termasuk penggunaan dana program pemberdayaan masyarakat dan penanggulangan kemiskinan di wilayahnya.
d) Mendorong berlangsungnya proses pembangunan partisipatif sejak tahap penggalian ide dan aspirasi, pemetaan swadaya atau penilaian kebutuhan, perencanaan, pengambilan keputusan, pelaksanaan, pemeliharaan hingga monitoring dan evaluasi.
e) Memverifikasi penilaian yang telah dilakukan oleh unit-unit pelaksana dan memutuskan proposal mana yang diprioritaskan didanai oleh dana program pemberdayaan masyarakat dan penanggulangan kemiskinan di wilayahnya atau dana-dana lain yang dihimpun oleh BKM, atas dasar kriteria dan prosedur yang disepakati dan ditetapkan bersama ;
f) Memonitor, mengawasi dan memberi masukan untuk berbagai kebijakan maupun program pemerintah lokal yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat miskin maupun pembangunan di kelurahannya ;
(53)
g) Menjamin dan mendorong peran serta berbagai unsur masyarakat, khususnya masyarakat miskin dan kaum perempuan di wilayahnya, melalui proses serta hasil keputusan yang adil dan demokratis ;
h) Membangun transparansi kepada masyarakat khususnya dan pihak luar umumnya, melalui berbagai media seperti papan pengumuman, sirkulasi laporan kegiatan dan keuangan bulanan/triwulan serta rapat-rapat terbuka, dan lainnya.
i) Membangun akuntabilitas kepada masyarakat dengan mengauditkan diri melalui auditor external/independen serta menyebarluarkan hasil auditnya kepada seluruh lapisan masyarakat.
j) Melaksanakan Rapat Anggota Tahunan dengan dihadiri masyarakat luas dan memberikan pertanggungjawaban atas segala keputusan dan kebijakan yang diambil kepada masyarakat.
k) Membuka akses dan kesempatan seluas-luasnya kepada masyarakat untuk melakukan kontrol terhadap kebijakan, keputusan, kegiatan dan keuangan yang dibawah kendali BKM.
l) Memfasilitasi aspirasi dan prakarsa masyarakat dalam perumusan kebutuhan dan usulan program penanggulangan kemiskinan dan pembangunan wilayah kelurahan setempat, untuk dapat dikomunikasikan, dikoordinasikan dan diintegrasikan dengan program serta kebijakan pemerintah kelurahan, kecamatan dan kota.
m) Mengawal penerapan nilai-nilai dasar, dalam setiap keputusan maupun pelaksanaan kegiatan penanggulangan kemiskinan serta pembangunan
(54)
n) Menghidupkan serta menumbuhkembagkan kembali nilai-nilai luhur dalam kehidupan bermasyarakat, pada setiap tahapan dan proses pengambilan keputusan serta pelaksanaan kegiatan penanggulangan kemiskinan dan/atau pembangunan kelurahan dengan bertumpu pada kondisi budaya masyarakat setempat (kearifan lokal) ;
o) Merencanakan dan menetapkan kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan penciptaan lapangan kerja baru, pengembangan ekonomi rakyat, dan peningkatan kualitas lingkungan serta permukiman yang berkaitan langsung dengan upaya – upaya perbaikan kesejahteraan masyarakat miskin setempat.
p) Memfasilitasi networking (jejaring) kerjasama dengan berbagai potensi sumberdaya yang ada di sumber-sumber luar masyarakat setempat.
2) Perangkat Organisasi BKM
a) Unit Pengelola Keuangan (UPK)
1. Dipimpin oleh seorang manajer yang dipilih melalui rapat anggota BKM
2. Anggota sesuai kebutuhan
3. Tidak diperbolehkan dirangkap oleh BKM 4. Pengawasan pelaksanaan UP oleh BKM 5. Pelayanan UP berorientasi pada masyarakat
b) Unit Pengelola Sosial (UPS) dan Unit Pengelola Lingkungan (UPL)
1. Masing-masing UP berkedudukan mandiri dalam melaksanakan kegiatan dan pengelolaan dana
(55)
3. Berkewajiban memberikan informasi dan laporan perkembangan masing-masing kegiatan
4. Memberikan pertanggungjawaban berkala dan pertanggungjawaban akhir
5. Memberi masukan bagi pertimbangan keputusan BKM c) Sekretariat
1. Pelaksana operasional dan administrasi kegiatan sehari-hari 2. Maksimum 3 orang, bekerja paruh waktu
3. Tidak diperkenankan dirangkap oleh BKM atau UP 3) Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM)
KSM adalah kumpulan orang yang menyatukan diri secara sukarela dalam kelompok dikarenakan adanya ikatan pemersatu, yakni adanya kepentingan dan kebutuhan yang sama, sehingga dalam kelompok tersebut memiliki kesamaan tujuan yang ingin dicapai bersama.
Tugas Pokok Dan Fungsi KSM
a. Sebagai sarana pendorong dalam proses perubahan sosial. Proses pembelajaran yang terjadi dalam KSM adalah menjadi pendorong terjadinya perubahan paradigma, pembiasaan praktek nilai-nilai baru, cara pandang dan cara kerja baru serta melembagakannya dalam praktek kehidupan sehari-hari.
b. Sebagai wadah pembahasan dan penyelesaian masalah. Setiap kegiatan yang dilaksanakan KSM lazimnya berkaitan dengan upaya memecahkan permasalahan yang dihadapi oleh kelompok, dan penyelesaian merupakan rumusan bersama yang disepakati secara bersama-sama pula.
(56)
c. Sebagai wadah untuk menyalurkan aspirasi. Jika ada permasalahan, kepentingan ataupun harapan yang berkembang di masyarakat, maka KSM dapat menampungnya, membahas dan menyalurkan kepada pihak-pihak yang relevan, dengan tetap berpijak pada hak-hak warga masyarakat yang lainnya.
d. Sebagai wadah untuk menggalang tumbuhnya saling kepercayaan (menggalang social trust). Melalui KSM, para anggota bisa saling terlihat dalam pelaksanaan kegiatan dan membagi tanggung jawab semata-mata atas dasar saling percaya. Saling percaya secara sosial ini dapat dibangun melalui cara penjaminan di antara para anggota kelompok yang telah bersepakat serta melalui rekomendasi kelompok. Ketika kelompok membangun hubungan dengan pihak lain pun, kepercayaan tersebut sebagai modalnya yang utama.
e. Sebagai wahana untuk endorong pertumbuhan ekonomi masyarakat. Jika masyarakat membutuhkan dana atau modal, maka KSM bisa berfungsi sebagai sumber keuangan. Keuangan di KSM bisa saja bersumber dari pihak luar ataupun dari internal anggota sendiri, misalnya dengan cara iuran bersama. Iuran anggota tersebut bisa menjadi modal usaha dan sekaligus menjadi salah satu bentuk ikatan pemersatu dan membangun kekuatan secara mandiri.
(57)
Perangkat Organisasi BKM Kota Bangun sebagai berikut :
Garis Fasilitasi Garis Perintah Garis Kemitraan
BKM Koordinator PORIAMAN HRP
SEKRETARIAT NURAINI
UPS Mariani
UPL Syahbarudin
UPK Mahfuza
LURAH
KSM/ PANITIA
KSM PANITIA
KSM
(58)
BAB IV
PENYAJIAN DAN ANALISA DATA
Penyajian data ini berbentuk data yang berasal dari hasil wawancara (interview) dilakukan kepada informan kunci yang terdiri dari seorang fasilitator kelurahan (faskel) serta seorang koordinator Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM); dan 9 orang Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) serta 2 orang tokoh masyarakat sebagai informan biasa.
IV.1. Hasil Wawancara Dengan Fasilitator Kelurahan (Faskel) Dan Koordinator Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) Mengenai Partisipasi Masyarakat Dalam Pelaksanaan Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP)
1. Menurut anda, apa saja yang menjadi kendala di lapangan pada penyaluran BLM I, II, III baik pada sektor sosial, lingkungan maupun ekonomi
Faskel : Pada BLM I, untuk bantuan ekonomi, secara administrasi saya lihat masyarakat atau dalam hal ini KSM masih kesulitan, yakni khususnya dalam menyusun sebuah laporan proposal guna pengajuan pinjaman ekonomi bergulir. Hal ini karena SDM masyarakat setempat yang masih minim. Nah, inilah yang menyebabkan kurang maksimalnya penyaluran bantuan ekonomi tersebut. Maka sebagai solusinya, dalam pengerjaan di lapangan banyak dibantu oleh UP (Unit Pelaksana) bidang ekonomi sebagai penguatan dari KSM tersebut. Untuk bantuan sosial, kita ketahui pada siklus sebelumnya P2KP sudah berhasil merumuskan profil
(59)
KK miskin, namun disini dalam aplikasi penyalurannya, terjadi kebijakan baru yakni pemerataan. Seharusnya penyaluran harus sesuai dengan prioritas kebutuhan (mendahulukan kebutuhan yang paling mendesak), namun di lapangan karena profil KK miskin Kelurahan Kota Bangun itu berbeda tipis, maka diambil kebijakan untuk pemerataan (menyamaratakan semua) saja agar tidak mengundang perselisihan. Kemudian di lingkungan (bantuan lingkungan), yang namanya kebersamaan memang sudah tergali, namun kendala terlihat dalam pengerjaannya di lapangan, misalnya dalam pembuatan parit. Nah, ini kan memakan waktu yang lama, jadi bagaimana nasib dapur keluarga masing-masing dari anggota KSM yang mengerjakan proyek lingkungan itu, sementara pengerjaannya swadaya. Disini, saya picing mata apabila tak mengurangi kualitas pengerjaan mereka.
Dalam BLM II kendala masih sama, terutama untuk ekonomi yakni kesulitan dalam administrasi yang menurut mereka berbelit-belit sekali hanya untuk meminjam uang yang nominalnya cukup sedikit. Begitu juga pada bantuan sosial, masih kurangnya kesadaran masyarakat untuk melihat siapa yang paling membutuhkan sebenarnya. Sedangkan dilingkungan, terkendalanya pada saat diketahui bahwa pengucuran dana BLM II ini, bertepatan dengan melonjaknya harga-harga sehingga KSM-KSM harus mampu mempertanggung jawabkannya sesuai dengan rincian dana. Dalam arti disini, LPJnya harus jelas.
(60)
Sedangkan di BLM III, pada penyaluran ekonomi ada sedikit kegagalan yakni dalam KSM pelatihan bengkel, dimana peserta belum bisa membedakan keinginan dengan kebutuhan. Mereka lebih mendahulukan atau mementingkan keinginan daripada kebutuhan, balik lagi disini karena kurangnya kesadaran dari masyarakat itu sendiri. Kendala dibantuan sosial juga sama, yakni kurangnya kesadaran masyarakat untuk seharusnya mendahulukan mereka-mereka yang memerlukan dana paling kritis. Di lingkungan, pada dasarnya di BLM III ini dijalankan dengan baik oleh KSM–KSM setempat.
Koordinator BKM : Dari yang saya lihat, untuk BLM I kegiatan yang dilakukan KSM ekonomi sampai saat ini berjalan, walaupun ada satu hingga dua orang yang tertunggak. Kegiatan ekonomi pada tahap I ini berbentuk pelatihan-pelatihan seperti pelatihan memasak, komputer, bengkel serta pembuatan pot. Untuk kegiatan-kegiatan lingkungan, gak semuanya aspirasi masyarakat, melainkan ada campur tangan tokoh masyarakat. Contohnya, ada satu KSM yang sampai saat ini tidak ada pertanggungjawabannya, yakni di lingkungan I KSM pembuatan lampu jalan. Sedangkan yang lain mudah-mudahan berjalan. Untuk kegiatan sosial, saya rasa tidak ada kendala yang berarti.
(61)
Pada BLM II, mudah-mudahan kendala tidak ada tapi satu yang disempurnakan dimana BLM II untuk bantuan lingkungan ini tidak ada biaya perawatan masyarakat. Misalnya jalan dibuat, nah setelah 2 hingga 3 bulan dipakai diharapkan masyarakat yang melanjutkannya. Untuk bantuan sosial juga tidak terkendala saya lihat, sedangkan untuk kegiatan ekonomi berjalan baik.
BLM III ini, saya rasa tidak ada kendala berarti. Sampai saat ini sudah dapat dirasakan masyarakat penyalurannya.
2. Menurut anda, apakah KSM di Kelurahan Kota Bangun ini sudah mampu menampung aspirasi masyarakat secara reprentatif dengan arah yang jelas, dapat dikontrol dan bersifat terbuka ?
Faskel : Dalam hal aspirasi masyarakat sudah terwakili atau belum, menurut saya sudah karena KSM ini juga terbentuk melalui hasil rapat masyarakat, yang mana didalamnya sebelum melakukan segala sesuatu terdapat rembuk-rembuk guna untuk melihat apakah yang disalurkan benar-benar sudah mengena kepada yang dikatakan masyarakat miskin tersebut. Rembuk itulah yang menjadi kekuatan. Kemudian, tentu saja dengan arah yang jelas karena program ini sudah dikonsep sedemikian rupa hanya penyalurannya. Semuanya semata-mata juga untuk masyarakat. Begitu juga dengan kontrol, dimana selain diharapkan juga terdapat kontrol dari masyarakat,
(1)
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
V.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian, maka penulis dapat memberikan beberapa kesimpulan, antara lain :
1. Bentuk partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan P2KP di Kelurahan Kota Bangun yakni partisipasi asli yang kemudian ditindak lanjuti dengan partisipasi teknis. Partisipasi asli dalam hal ini berupa keterlibatan masyarakat yang dilakukan atau kesadaran mereka bahwa apa yang diberikan atau diprioritaskan oleh P2KP merupakan kebutuhan mereka, sehingga diperlukan suatu pengembangan partisipasi melalui keterlibatan dalam suatu wadah yakni KSM. Kemudian partisipasi yang sudah tertanam pada masyarakat ditindak lanjuti dengan partisipasi teknis, dimana masyarakat yang sudah berbekal kesadaran, dimotivasi untuk terlebih dahulu melakukan pengidentifikasian masalah, pengumpulan data, kemudian pelaksanaan kegiatan. Hal ini untuk mengajak masyarakat agar belajar lebih kritis lagi mengenali kebutuhan mereka.
2. Pelaksanaan atau realisasi dari program P2KP digambarkan melalui siklus atau tahapan. Adapun salah satu tahap yang paling mendominasi unsur partisipasi didalamnya yakni tahap pembentukan dan pengembangan KSM. Oleh karenanya P2KP meletakkan sasaran utamanya pada KSM. Di Kelurahan Kota Bangun, KSM yang merupakan forum musyawarah berupa serangkaian kegiatan berbentuk kelompok-kelompok swadaya hampir sepenuhnya
(2)
terbentuk, namun aspirasi masyarakat dalam hal ini masih ada yang belum terwakili, baik pada bantuan sosial, lingkungan, maupun ekonomi yang dilaksanakan pada penyaluran BLM Tahap I, II, maupun III. Hal ini berarti, dalam pelaksanaannya masih terdapat beberapa kendala.
3. Adapun keberhasilan dari pelaksanaan partisipasi masyarakat dalam P2KP di Kelurahan Kota Bangun digambarkan melalui tergalinya sense of community masyarakat. Di Kelurahan Kota Bangun sendiri, pada kenyataannya secara umum sense of community tersebut sudah terbentuk sehingga sudah dapat menggali jiwa kebersamaan, saling kepercayaan serta semangat gotong royong, masyarakat setempat. Hal ini berarti partisipasi akan keterlibatan masyarakat melalui KSM terhadap program P2KP memberikan hasil yang positif terhadap kinerja dan pencapaian hasil serta kepuasan masyarakat.
V.2. Saran
Berdasarkan hasil penelitian, maka penulis dapat memberikan beberapa saran yang dapat dijadikan sebagai masukan antara lain :
1. Walaupun berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan diperoleh hasil bahwa partisipasi masyarakat terhadap program ini cukup baik, namun juga harus senantiasa dilakukan perbaikan-perbaikan ke depan seperti misalnya lebih menginternalisasikan nilai-nilai luhur kemanusiaan ke segala aspek kehidupan masyarakat, lembaga lokal maupun kelompok peduli yang ada. Dengan hal ini, diharapkan di masyarakat tumbuh benih-benih kepedulian kepada sesama sehingga mampu membangun kebersamaan, gotong royong,
(3)
kerjasama sebagai pondasi yang kokoh untuk memberdayakan masyarakat sendiri.
2. Melakukan penguatan yakni penguatan akuntabilitas masyarakat, dimana diharapkan masyarakat peduli untuk menumbuhkembangkan kontrol sosial secara obyektif dan efektif sehingga menjamin pelaksanaan kegiatan penanggulangan kemiskinan benar-benar berpihak kepada masyarakat miskin dan mendorong kemandirian serta keberlanjutan upaya-upaya penangulangan kemiskinan di Kelurahan Kota Bangun.
3. Menjalin kemitraan dengan Pemko dan kelompok – kelompok peduli setempat. Hal ini bertujuan agar masalah-masalah yang dialami masyarakat dapat ditangani secara efektif, mandiri dan berkelanjutan.
(4)
DAFTAR PUSTAKA
Adi, Isbandi Rukminto. 2001. Pemberdayaan, Pengembangan Masyarakat dan Intervensi Komunitas, (Pengantar Pada Pemikiran dan Pendekatan Praktis). Jakarta : Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Budiman, Arief, 2004. Teori Pembangunan Dunia Ketiga. Medan
Conyers, Diana. 1991. Perencanaan Sosial di Dunia Ketiga : Suatu Pengantar. Yogyakarta : Gajah Mada University Press.
Hadani, Nawawi. 1990. Metode Penelitian Sosial. Yogyakarta : Gajah Mada Press.
Korten, David, C. 1986. Pembangunan Yang Memihak Rakyat, Kupasan Tentang Teori dan Metode Pembangunan, Lembaga Studi Pembangunan. Jakarta. Kuncoro, Mudrajad, 2004. Otonomi dan Pembangunan Daerah. Reformasi,
Perencanaan, Strategi dan Peluang. Erlangga. Jakarta.
Loekman, Soetrisno. 1995. Menuju Masu Partisipatif, Yogyakarta : Kanisius. Masyurdin, T. 1994. Sosiologi Suatu Pengenal Awal. Medan : Kelompok Studi
Hukum dan Masyarakat FH USU.
Molejarto, Vihyandika, 1994. Kemiskinan : Hakekat, Ciri Dimensi, dan Kebijakan dalam Centre For Strategis and International Studies, Kemiskinan Mengais Sumberdaya. Majalah Analisis, Tahun XXXIII. No. 3
Rahadi, R. Arif, dkk, 2007. Pedoman Umum P2KP-3. Jakarta : Direktorat Jenderal Cipta Karya.
Sastroputro, Santoso, R.A. 1998. Propaganda Salah Satu Bentuk Komunikasi Masa. Bandung : Alumni.
Singarimbun, Masri. 1995. Metode Penelitian Survey. Jakarta : LP3ES. ---. 2006. Modul P2KP. Medan : Darma Dedana Cipta Consultans
---. 2007. Diskusi Publik : Partisipasi Masyarakat Dalam Pemerintahan Daerah : Inputs Untuk Revisi UU No. 32/2004. Medan : LGSP USAID.
(5)
Sugiyono. 2005. Metode Penelitian Administrasi. Bandung : Penerbit Alfabeta.
Artikel :
Santoso, Ditto. 7 Agustus 2005. Pendekatan Alternatif Dalam Mengidentifikasi Kemiskinan.
Situs Internet
(6)
PEDOMAN WAWANCARA
1. Menurut anda apa saja yang menjadi kendala di lapangan pada penyaluran BLM I, II, III baik pada sektor sosial, lingkungan, maupun ekonomi.
2. Menurut anda, apakah KSM di Kelurahan Kota Bangun ini sudah mampu menampung aspirasi masyarakat secara representatif, dengan arah yang jelas, dapat dikontrol dan bersifat terbuka.
3. Menurut anda, apakah KSM yang merupakan tahap P2KP sudah menjadi wadah yang melibatkan masyarakat dalam proses pelayanan publik.
4. Menurut anda, realisasi dari tahap KSM tersebut apakah sudah mewakili akses bagi masyarakat dalam menyampaikan pendapat.
5. Menurut anda, sejauhmana partisipasi dan keterlibatan masyarakat dalam proyek-proyek baik sosial, lingkungan maupun ekonomi.
6. Menurut anda, apakah melalui KSM sudah terjalin sense of communitiy masyarakat ?