Strategi Kebijakan Nasional

4.3 Strategi Kebijakan Nasional

  Berdasarkan hasil analisis daya saing yang dilakukan, kurang optimalnya kinerja perdagangan Indonesia berasal dari adanya berbagai permasalahan pada faktor enablers (antara lain, SDM dan ketenagakerjaan), akses pasar, logistik dan infrastruktur, serta kurangnya skema insentif. Untuk menjawab berbagai tantangan tersebut, dilakukan formulasi strategi dengan menggunakan kerangka pikir seperti pada Gambar 42. Untuk mencapai sasaran akhir yang berupa kesejahteraan sosial dan stabilitas makroekonomi, diperlukan peningkatan daya saing ekonomi melalui upgrading dan deepening industri, penciptaan nilai tambah, serta berorientasi ekspor. Industri yang dimaksud adalah seluruh industri secara umum, baik yang berbasis SDA, padat karya, teknologi menengah ataupun teknologi tinggi. Untuk itu, diperlukan strategi kebijakan industri nasional yang mencakup tujuh elemen dasar, yaitu (1) institusi dan leadership; (2) skema insentif perdagangan dan investasi; (3) SDM dan ketenagakerjaan; (4) infrastruktur; (5) efisiensi teknis dan business services; (6) akses pembiayaan; serta (7) akses pasar.

  Gambar 42. Kerangka Strategi Kebijakan Industri Nasional

4.3.1 Institusi dan Leadership

  Aspek institusi dan leadership menjadi aspek sentral yang akan memengaruhi

  efektivitas implementasi strategi

  secara umum karena

  kemampuannya dalam memengaruhi implementasi strategi pada kategori lain.

  a. Koordinasi (antarsektor, pusat-daerah)

  Diperlukan penguatan fungsi koordinasi antarsektor dan antardaerah yang mencakup kelembagaan, sinkronisasi KPI (key performance indicators) institusi, dan organisasi yang sejalan dengan pembangunan industri berdaya saing. Selain itu, juga diperlukan sinergi perencanaan dan pengendalian kebijakan, regulasi, anggaran, dan pengembangan wilayah (RTRW).

  b. Trust dan collective actions

  Beberapa hal yang perlu dilakukan ialah (1) penyamaan visi dan persepsi segenap elemen dalam mendukung pembangunan nasional; (2) karakter leadership yang membangun kepercayaan publik serta mendorong kinerja aparat yang akuntabel dan kredibel; serta(3) penegakan hukum yang adil dan konsisten.

  c. Efektivitas manajemen pemerintahan dan tata kelola

  Ada beberapa hal yang perlu dilakukan untuk meningkatkan efektivitas manajemen pemerintahan dan tata kelola, antara lain (1) penyederhanaan birokrasi (debirokratisasi); (2) penempatan pejabat yang lebih berdasarkan pada kompetensi; (3) manajemen pemerintahan yang berorientasi pada pelayanan Ada beberapa hal yang perlu dilakukan untuk meningkatkan efektivitas manajemen pemerintahan dan tata kelola, antara lain (1) penyederhanaan birokrasi (debirokratisasi); (2) penempatan pejabat yang lebih berdasarkan pada kompetensi; (3) manajemen pemerintahan yang berorientasi pada pelayanan

4.3.2 Skema Insentif Trade and Investment

  a. Promosi Ekspor

  Untuk memperbaiki promosi ekspor, diperlukan revitalisasi peran Indonesia Trade Promotion Center (ITPC) sebagai marketer yang dikelola secara profesional. Selain itu, diperlukan promosi dagang yang lebih intensif dan permanen, antara lain dengan pembukaan outlet di ruang publik.

  b. Fasilitasi Investasi

  Selain penguatan koordinasi institusi (BKPM dan BKPMD), peningkatan fasilitasi investasi juga dapat dilakukan dengan integrasi pelayanan terpadu satu pintu (PTSP) pusat dan daerah sehingga terdapat standar yang sama dalam pelayanan perizinan.

  c. Kawasan industri

  Dalam pembangunan kawasan industri, terdapat dua hal yang patut diperhatikan, yaitu (1) pembangunan kawasan industri di luar Pulau Jawa berorientasi pada bisnis dan pemerataan (KEK); (2) penyediaan lahan oleh pemerintah untuk pengembangan kawasan industri (Kawasan Berikat NusantaraKBN) yang terintegrasi dengan dukungan konektivitas dan infrastruktur.

  d. Insentif fiskal

  Beberapa insentif fiskal dapat dilakukan untuk mendorong perdagangan dan investasi, antara lain berupa (1) penerapan insentif perpajakan bagi industri berorientasi ekspor; (2) penghilangan hambatan kebijakan perpajakan yg memperberat industri; dan (3) penyelesaian restitusi pajak yang lebih cepat dan efisien.

  e. Lingkungan makroekonomi yang kondusif

  Diperlukan upaya pengendalian inflasi secara lebih intensif dan menyeluruh. Selain itu, kestabilan nilai tukar rupiah perlu dijaga dengan bauran kebijakan.

4.3.3 SDM dan Ketenagakerjaan

  Beberapa hal yang dapat direkomendasikan kepada pemerintah terkait tenaga keraja antara lain adalah sebagai berikut.

  a. Penyempurnaan sistem pendidikan nasional (link and match)

  Beberapa upaya dapat dilakukan untuk meningkatkan sistem pendidikan, antara lain ialah (i) melakukan kebjakan pro dan insentif yang tinggi untuk menjadi tenaga terampil (tamatan nonuniversitas), misalnya dengan gratis biaya pendidikan D1, D2, D3 di bidang teknik; (ii) membangun paradigma positif terhadap tenaga kerja terampil; (iii) mengarahkan talent pooling mulai dari SMAsederajat; (iv) mendorong hubungan universitas-industri dengan adopsi kurikulum yang aplikatif dengan kebutuhan industri, termasuk magang; (v) menyediakan beasiswa pascasarjana untuk pengembangan studi terkait industri strategis (prioritas); (vi) meningkatkan kualitas pengajar dan laboratorium dan fasilitas riset sesuai dengan kebutuhan pengembangan industri daerah; serta (vii) mempermudah izin utk pendirian universitas asing yang berkualitas internasional, khususnya pada science, technology, math, and health (STEM–H).

  b. Ketrampilan dan produktivitas pekerja

  Keterampilan dan produktivitas pekerja dapat ditingkatkan, antara lain, melalui (1) revitalisasi balai pelatihan tenaga kerja (mencakup kurikulum, pengajar, dan fasilitas); (2) industri dipersyaratkan untuk mengalokasikan anggaran bagi pelatihan karyawan; (3) peningkatan peran aktif industriswasta dalam mempersiapkan tenaga kerja yang terampil dan siap kerja melalui program apprentice; (4) standardisasi kompetensi kerja nasional Indonesia untuk industri dan jasa pendukung (transportasi, logistik, dan lain-lain); serta (5) upaya mendorong karyawan meningkatkan kemampuan bahasa Inggris aktif.

  c. Kebijakan ketenagakerjaan

  Kebijakan yang dapat dilakukan, antara lain adalah (1) pemberian insentif bagi industri yang mengalokasikan anggaran untuk peningkatan keahlian tenaga kerja; (2) pendirian serikat buruh harus mendapat izin formal dari pemerintah pusat dan daerah; dan (3) regulasi khusus yang mempermudah pengadaan tenaga kerja asing (TKA) di bidang industri dengan jangka waktu tertentu

4.3.4 Infrastruktur

  Tingginya biaya logistik yang diperkirakan mencapai 24 PDB (ALFI, 2015) dan rendahnya Logistics Performance Index Indonesia di ASEAN-5 memengaruhi lemahnya daya saing Indonesia. Dari perspektif Global Value Chain, besarnya biaya logistik di Indonesia mengakibatkan Indonesia kurang efisien untuk dipilih sebagai lokasi offshoring dan hub dalam produksi global. Oleh karena itu, Indonesia cenderung dipilih hanya sebagai pasar untuk produk akhir. Hal ini perlu ditangani melalui berbagai kebijakan mikro untuk memperbaiki kinerja logistik dan fasilitasi perdagangan. Reformasi infrastruktur menjadi salah satu solusi untuk memperbaiki kinerja logistik.

  a. Konektivitas (jalan, logistik, pelabuhan, dan customs)

  Perbaikan konektivitas dapat ditempuh, antara lain, dengan (1) pengalihan logistik dari jalan darat ke kereta dan angkutan laut (short sea shipping) dengan menambah jumlah stasiun dan pelabuhan; (2) peningkatan akses jalan dari kawasan industri ke pelabuhan untuk mempercepat waktu tempuh dan menurunkan biaya transportasi; (3) pembangunan infrastruktur (antara lain trans Java highway, perbaikan jalan, aerocity, logistics center, fasilitas kargo udara, pengembangan kawasan pelabuhan, dan broadband); serta (4) sistem informasi antarpenyedia logistik yang terintegrasi.

  b. Energi dan utilitas

  Untuk mendukung industri, diperlukan (1) kebijakan energi yang mendukung peningkatan daya saing industri; dan (2) dukungan utilitas yang sustainable.

  c. Kebijakan fiskal bidang logistik

  Kebijakan fiskal bidang logistik mencakupi (1) insentif perpajakan bagi penyedia jasa logistik domestik yang mendukung industri ekspor; dan (2) peningkatan moda transportasi logistik (kereta api dan kapal laut).

  d. Regulasi pendukung

  Regulasi pendukung terutama meliputi (1) penguatan status hukum transportasi dan logistik dari Perpres No. 26 Tahun 2012 tentang Sislognas menjadi UU Logistik. Dengan status dan kedudukan hukum setingkat UU, regulasi yang mengatur aktivitas logistik akan mengarah pada sinkronisasi dan harmonisasi hukum. Dengan demikian, stakeholder terkait akan memiliki acuan pada saat menyusun peraturan-perundangan di bawahnya, baik di tingkat pusat maupun daerah. Pembentukan UU Logistik akan membuat aktivitas Regulasi pendukung terutama meliputi (1) penguatan status hukum transportasi dan logistik dari Perpres No. 26 Tahun 2012 tentang Sislognas menjadi UU Logistik. Dengan status dan kedudukan hukum setingkat UU, regulasi yang mengatur aktivitas logistik akan mengarah pada sinkronisasi dan harmonisasi hukum. Dengan demikian, stakeholder terkait akan memiliki acuan pada saat menyusun peraturan-perundangan di bawahnya, baik di tingkat pusat maupun daerah. Pembentukan UU Logistik akan membuat aktivitas

4.3.5 Efisiensi Teknis dan Business Services

  a. Technological improvement

  Untuk mengembangkan teknologi, hal yang perlu dilakukan ialah (1) revitalisasi mesin yang digunakan oleh industri; (2) adopsimodifikasi dan penciptaan teknologi baru yang difasilitasi oleh pemerintah.

  b. RD dan inovasi

  Untuk mendorong terciptanya proses research and development (RD) dan inovasi, perlu dilakukan, antara lain (1) pendirian fasilitas RD oleh pemerintah untuk dapat digunakan publik; (2) pemerintah (kemenristek) menyediakan sistem informasi riset yang terintegrasi dari seluruh instansi (termasuk universitas dan swasta); (3) insentif bagi instansi untuk pemanfaatan dan pengembangan hasil riset oleh user (industri); (4) insentif fiskal bagi perusahaan dengan alokasi anggaran research and development tinggi; serta (5) dorongan bagi kalangan usaha dan industri untuk pengembangan networking untuk inovasi dan adopsi teknologi.

  c. Business services

  Di sisi lain untuk peningkatan efisiensi teknis, perlu dikeluarkan kebijakan untuk mendorongmemberikan insentif bagi peningkatan business service provider (a.l. supply chain, marketing, dan accounting, dan lain–lain).

  d. Hak Kekayaan Intelektual (HAKI)

  Aspek terkait HAKI tidak terlepas dari pencapaian efisiensi teknis. Untuk itu, kebijakan yang ada perlu mempermudah perolehan atas hak cipta paten serta dalam tatanan implementasi secara umum perlu dilakukan penegakan hukum yang tegas atas pelanggaran HAKI.

4.3.6 Akses Pembiayaan

  a. Akses pembiayaan dan financial inclusion

  Peningkatan akses pembiayaan dapat dilakukan, antara lain, melalui (1) penguatan lembaga pembiayaan ekspor; (2) penyediaan skema pembiayaan khusus untuk industri yang berorientasi ekspor; dan (3) peningkatan akses pembiayaan bagi industri daerah yang strategis.

  b. Modal ventura

  Terkait modal ventura, perlu dibangun awareness (social responsibility) bagi industri besar yang sukses untuk mengembangkan industri pemula, antara lain, melalui pembiayaan ekuitas. Selain itu, kebijakan hendaknya mengurangi hambatan masuknya modal ventura asing untuk meningkatkan alternatif pendanaan.

  c. Sumber pembiayaan jangka panjang

  Sebagai sumber pembiayaan jangka panjang, industri perlu didorong untuk masuk ke pasar modal dan obligasi.

4.3.7 Akses Pasar

  a. Keikutsertaan pada trade agreement (TA) harus dilakukan secara strategis

  1) Perlunya grand strategy dan positioning Indonesia terhadap TA

  Kerja sama perdagangan (TA) berguna untuk memfasilitasi perusahaan agar lebih kompetitif di pasar yang lebih besar, menarik FDI, dan mendorong industrial upgrading (Laksono dan Situmorang, 2014). TA juga dapat menjadi sarana untuk mengeliminasi tarif dan relaksasi non-tariff measures. Hal itu akan menyebabkan harga input lebih murah (bahan mentah dan capital goods) dan pengembangan akses pasar untuk ekspor Indonesia lebih mudah.

  Jika dibandingkan dengan negara di kawasan ASEAN, kerja sama perdagangan Indonesia relatif tertinggal, baik dalam regional trading (Error! Reference source not found.) maupun bilateral trading (Tabel 11). FTA Indonesia sebagian besar dilakukan dalam regional trading system ASEAN dengan bilateral FTA hanya dengan Jepang dan Pakistan (berbentuk PTA). Dalam mega block trading, Indonesia sedang melakukan negosiasi regional comprehensive economic partnership (RCEP) yang juga diikuti negara ASEAN lainnya.

  Tabel 11. Trade Agreement Negara ASEAN

  Mitra

  Indonesia

  Filipina Thailand

  Malaysia Vietnam

  ASEAN

  AFTA, ACFTA–Tiongkok, AKFTA–Korea, AJCEP– Jepang, AIFTA– India, AANZFTA– Australia New Zeland, dan RECP (dalam proses

  yang terdiri dari 10 ASEAN member states, Australia, Tiongkok,

  India, Jepang, Korea, dan New Zealand)

  7 Uni Eropa menerapkan tarif yang lebih besar untuk barang jadi dibandingkan dengan bahan mentah yang berimplikasi mengurangi insentif untuk melakukan industrial

  upgrading.

  Mitra

  Indonesia

  Filipina Thailand

  Malaysia Vietnam

  Zealand Turki

  JSG

  √

  Tabel 11. (lanjutan)

  Malaysia Vietnam

  Eropa Wacana

  √ Peru √ Tiongkok √

  ) Tidak tersedia informasi

  ) Joint Study Group

  Gambar 43. Kerjasama Perdagangan Mega Block Trading

  2) Kolaborasi strategis antara pemerintah dan pengusaha dalam proses FTA

  Agar FTA dapat memberikan manfaat yang optimal, penyusunan FTA harus dilakukan bersama dengan pengusaha. Hasil FGD dengan pelaku usaha mengonfirmasi bahwa dukungan akses pasar Indonesia belum cukup memadai, terutama pada beberapa negara besar tujuan ekspor (contoh Eropa dan Amerika Serikat) khususnya bagi sektor yg cost sensitive seperti TPT, cocoa dan lainnya. Untuk pasar Eropa saat ini produk tekstil Indonesia

  masih menikmati skema generalised scheme of preferences (GSP 8 ) walaupun

  akan segera berakhir pada tahun 2017. Tanpa GSP harga produk Indonesia akan lebih tinggi 10–30.

  Selain dari sisi tarif, FTA juga dapat menjadi media untuk pengurangan dan streamlining non-tariff barriers (NTB) yang dihadapi produk ekspor Indonesia. Produk ekspor Indonesia, baik dalam pertanian maupun manufaktur menghadapi NTB yg “berat” di pasar. Laksono dan Situmorang (2014) menyebutkan bahwa NTB yang dihadapi bersifat ketat, inkonsisten, tidak transparan, dan cenderung tidak terstandardisasi. Contoh NTB di pasar Eropa adalah pada rotan (legalitas), palm oil (standardisasi, lingkungan hidup), dan tembakau. Sektor makanan dan minuman juga menghadapi tantangan terkait metode higienis dan sanitasi dalam menembus pasar ekspor global serta standardisasi di pasar ASEAN (GAPMMI, 2015). FTA dapat menjadi salah satu media untuk mencapai kesepakatan dengan pasar terkait standar, sertifikasi, testing, dan transparansi informasi, selain peningkatan kapasitas industri Indonesia.

  3) Melakukan diseminasi manfaat FTA terhadap pengusaha

  Pemanfaatan fasilitas FTA oleh pengusaha juga masih rendah. Sesuai dengan kajian DInt (2015), meskipun tarif ATIGA sudah rendah (terutama utk ASEAN6), utilisasinya masih rendah. Hal itu dapat disebabkan oleh rendahnya pemahaman atas FTA dan rendahnya margin preference dan prosedur utilisasi tarif ATIGA yang kompleks (costly).

  b. SertifikasiStandardisasi

  8 Dengan Amerika Serikat, Indonesia memiliki GSP untuk beberapa produk manufaktur, perhiasan, karpet, produk pertanian, kimia, dan produk plastik serta karet.

  Penetapan standar nasional yang sesuai dengan standar internasional serta penguatan infrastruktur standardisasi Indonesia, antara lain, berupa laboratorium uji berstandar internasional.

  c. Sistem informasirepository

  Pembangunan dan updating sistem informasi mengenai FTA yang lengkap, transparan, dan dapat diakses dengan mudah.

  d. Perluasan pasar dan sistem

  Perluasan pasar ekspor nonkonvensional serta mendorong eksportir untuk mengoptimalisasi sistem pengiriman barang dari free on board (FOB) ke cost, insurance, and freight (CIF).

  Sementara itu, terkait strategi substitusi impor dan bagaimana paket kebijakan industri saat ini terkait strategi di atas karena tidak terlalu terkait dengan pembahasan dalam riset ini, secara khusus dapat dilihat pada lampiran.

  Menurut jangka waktu (timing) penerapan, strategi nasional dapat dibagi menjadi jangka pendek, jangka menengah, serta jangka panjang. Detil atas hal ini dijelaskan lebih lanjut pada Gambar 44.

  JANGKA PENDEK

  Faktor Institusi dan Leadership Debirokratisasi, Penempatan sesuai kompetensi, Manajemen pemerintahan serta

  mekanisme umpan balik SDM dan ketenagakerjaan Gratis pendidikan D1D2D3 (teknik), talent pool–ing mulai dari SMA, Insentif training

  untuk industri, Merger serikat buruh, Regulasi khusus TKA Skema insentif trade investment Revitalisasi peran ITPC (Indonesia Trade Promotion Center), insentif perpajakan untuk

  industri ekspor, Menghilangkan hambatan perpajakan, restitusi pajak yang efisien Infrastruktur Kebijakan energi yang mendukung, Insentif perpajakan, Sinkronisasi peraturan logistik,

  cash less customs JANGKA MENENGAH

  Faktor Institusi dan Leadership Penyamaan visipersepsi, leadership, Penegakan hukum, Sinergi (antar sektor, antar

  Akses pembiayaan daerah, perencanaan–pengendalian, Kemitraan dengan swasta masyarakat

  SDM dan ketenagakerjaan Penguatan lembaga pembiayaan skema pembiayaan khusus untuk industri ekspor, Kurikulum beasiswa, pengajar fasilitas riset–sains aplikatif untuk industri, izin utk

  Bantuan teknis akses KUR, modal ventura asing universitas asing, Alokasi anggaran training, Standarisasi kompetensi kerja

  Skema insentif trade investment Akses pasar Promosi dagang intensif dan permanen, Integrasi institusi (BKPM–BKPMD, PTSP Pusat– daerah, lahan yg terintegrasi dengan infrastruktur, Integrasi daerah hulu–hilir, Bauran

  kebijakan untuk stabilitas makro Diseminasi manfaat FTA

  Infrastruktur Akses jalan kawasan industri, Sistem informasi logistik, utilitas yang sustainable, Koordinasi dalam barang impor Technical efficiency Revitalisasi mesin, fasilitas RD untuk publik, sistem informasi riset, Insentif fiskal untuk RD, pengembangan networking, insentif pendirian business service provider, Mempermudah hak cipta paten, Penegakan hukum Akses pembiayaan Social responsibility bagi industri besar untuk industri pemula, industri untuk masuk ke pasar modal dan obligasi Akses pasar Grand strategy FTA, Kolaborasi pemerintah–pengusaha, standar nasional=internasional, infrastruktur standarisasi

  JANGKA PANJANG

  Infrastruktur Pengalihan logistik ke kereta dan angkutan laut, Pembangunan infrastruktur, Peningkatan moda transportasi logistik Akses pasar Perluasan pasar ekspor, Optimalisasi eksportir untuk CIF (cost, insurance freight)

  Gambar 44. Timeline Penerapan Strategi Nasional

Dokumen yang terkait

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

DEKONSTRUKSI HOST DALAM TALK SHOW DI TELEVISI (Analisis Semiotik Talk Show Empat Mata di Trans 7)

21 290 1

MANAJEMEN PEMROGRAMAN PADA STASIUN RADIO SWASTA (Studi Deskriptif Program Acara Garus di Radio VIS FM Banyuwangi)

29 282 2

FREKWENSI PESAN PEMELIHARAAN KESEHATAN DALAM IKLAN LAYANAN MASYARAKAT Analisis Isi pada Empat Versi ILM Televisi Tanggap Flu Burung Milik Komnas FBPI

10 189 3

MOTIF MAHASISWA BANYUMASAN MENYAKSIKAN TAYANGAN POJOK KAMPUNG DI JAWA POS TELEVISI (JTV)Studi Pada Anggota Paguyuban Mahasiswa Banyumasan di Malang

20 244 2

PERANAN ELIT INFORMAL DALAM PENGEMBANGAN HOME INDUSTRI TAPE (Studi di Desa Sumber Kalong Kecamatan Wonosari Kabupaten Bondowoso)

38 240 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24