Studi Kasus Strategi Kebijakan Sektoral

Box 3. Studi Kasus Strategi Kebijakan Sektoral

1. Industri TPT

  Pakaian merupakan salah satu industri ekspor tertua dan terbesar serta yang paling lazim. Industri tersebut merupakan batu loncatan untuk pembangunan nasional dan sering kali berperan sebagai industri pemula bagi negara yang terlibat dalam industrialiasi yang berorientasi ekspor karena biaya tetap yang rendah dan penekanan pada manufaktur padat karya. Secara historis, ekspansi global industri pakaian didorong oleh kebijakan perdagangan. Industri pakaian merupakan salah satu industri yang paling dilindungi dari semua industri, mulai dari subsidi pertanian pada bahan input (kapas, wol, dan rayon) serta sejarah panjang kuota berdasarkan general agreement on tariff and trade dalam MFA dan perjanjian penerusnya di bawah WTO, The Agreement on Textiles and Clothing (ATC).

  Struktur dari rantai nilai pakaian (apparel value chain) dapat digambarkan seperti smile curve yaitu aktivitas yang bernilai tambah tertinggi berada di tahap praproduksi (RD dan desain) dan pascaproduksi (pemasaran merk, logistik, dan jasa) dari proses produksi. Produksi aktual dari pakaian, yaitu penciptaan pekerjaan banyak terjadi, telah menjadi sangat kompetitif, terkonsentrasi, dan selalu terpapar tekanan beban biaya. Tahap-tahap utama dari peningkatan ekonomi (economic upgrading) dalam rantai nilai pakaian adalah sebagai berikut.

  1. AssemblyCut, Make and Trim (CMT)

  Produsen pakaian memotong dan menjahit kain tenunan atau rajutan atau merajut pakaian langsung dari benang.

  2. Original Equipment Manufacturing (OEM)Full PackageFree on Board (FOB)

  Produsen pakaian bertanggung jawab terhadap seluruh kegiatan produksi termasuk CMT dan finishing. Perusahaan harus memiliki kemampuan logistik hulu, termasuk pengadaan (sourcing dan pembiayaan) bahan baku yang diperlukan, barang, dan trim yang diperlukan untuk produksi.

  3. Original Design Manufacturing (ODM)Full Package With Design

  Model bisnis yang berfokus pada penambahan kemampuan desain untuk produksi pakaian.

  4. Original Brand Manufacturing (OBM)

  Model bisnis yang berfokus pada merk dan penjualan produk merk sendiri.

  Negara berkembang masuk ke segmen yang paling rendah dari rantai nilai karena berbagai keuntungan, termasuk perjanjian perdagangan yang menguntungkan, buruh kerja upah murah, dan faktor kedekatan dengan pasar.

  Untuk masuk ke tingkatan segmen rantai nilai yang lebih tinggi, berbagai faktor lainnya perlu dipertimbangkan. Faktor-faktor tersebut di antaranya keberadaan industri tekstil domestik atau regional; produsen tekstil dan pakaian yang besar di suatu negara; komitmen yang kuat terhadap pertumbuhan industri dari pemerintah dan sektor swasta dibutuhkan dalam hal peningkatan desain dan merk agar dapat mengembangkan bakat yang dibutuhkan dan mendirikan merk nasional.

  Meskipun industri pakaian global telah berkembang secara cepat sejak awal tahun 1970-an dan telah disediakan lapangan kerja bagi puluhan juta pekerja di beberapa negara kurang berkembang di dunia, industri tersebut telah mengalami dua krisis besar dalam lima tahun terakhir. Krisis pertama adalah peraturan The Multi Fibre Arrangement (MFA) yang menetapkan bahwa kuota dan tarif preferensial pada pakaian dan barang tekstil yang diimpor oleh Amerika Serikat, Kanada, dan banyak negara Eropa sejak awal tahun 1970-an dihapus oleh World Trade Organization (WTO) dan digantikan dengan perjanjian WTO tentang tekstil dan pakaian, yakni ATC (berlaku tahun 1995–2005). MFAATC membatasi ekspor ke pasar konsumen utama dengan memberlakukan batasan per negara (kuota) akan volume produk impor tertentu. Sistem itu dirancang untuk melindungi industri domestik Amerika Serikat dan Uni Eropa dengan membatasi impor dari pemasok kompetitif seperti Tiongkok. Kekhawatiran negara berkembang kecil dan miskin yang bergantung pada ekspor pakaian bahwa mereka akan terdorong keluar dari sistem perdagangan global oleh persaingan kompetitor yang lebih besar seperti Tiongkok, India, dan Bangladesh. Krisis yang kedua adalah ekonomi. Resesi global yang terjadi baru-baru ini, yang dipicu oleh krisis perbankan di Amerika Serikat pada tahun 2008, dan yang menyebar cepat ke sebagian besar negara industri dan berkembang membawa dunia ke ambang krisis ekonomi yang paling parah sejak The Great Depression tahun 1930-an. Penutupan pabrik dan PHK pekerja di negara- negara industri berujung pada menurunnya permintaan konsumen yang mengakibatkan berkurangnya order dan menyusutnya pasar untuk ekonomi berorientasi ekspor di negara berkembang. Resesi tersebut berdampak cukup besar pada industri pakaian dan menyebabkan penutupan pabrik, peningkatan tajam pada angka pengangguran, serta tumbuhnya kekhawatiran akan munculnya kerusuhan sosial akibat terlantarnya pekerja mencari pekerjaan baru.

  Penghapusan kuota pada 1 Januari 2005 menandai akhir dari terbatasnya akses ke pasar Eropa dan Amerika Utara. Pengecer dan pembeli lain bebas mengakses ke sumber tekstil dan pakaian dengan jumlah tak terbatas dari negara

  mana saja, hanya tunduk pada sistem tarif dan transitional safeguards yang akan berakhir pada akhir tahun 2008. Peluang itu dimanfaatkan dengan baik oleh produsen pakaian biaya terendah terbesar, yakni Tiongkok, India, Bangladesh, dan Vietnam. Hal tersebut terlihat dari meningkatnya pangsa impor pakaian dari negara- negara tersebut di negara konsumen pakaian terbesar, yakni Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Jepang. Sementara itu, pangsa ekspor pakaian Indonesia hanya terlihat meningkat di pasar Amerika Serikat. Namun, saat ini Tiongkok menghadapi tantangan baru, yakni upah buruhnya yang semakin meningkat hingga 20 per tahun sehingga dapat berdampak pada daya saing produk yang dihasilkannya. Hal itu dilakukan melalui dua tren secara simultan, yaitu pergeseran produksi CMT ke negara Asia yang biaya produksinya lebih rendah, dan meningkatkan tekanan kompetitif pada industri Tiongkok agar peningkatan mutu terjadi secara cepat untuk menjaga daya saing. Kondisi pergeseran produksi dari Tiongkok ini merupakan peluang dan dapat dimanfaatkan oleh Indonesia untuk mencoba meningkatkan pangsa pasarnya. Berbagai langkah dan strategi dapat ditempuh, yakni dengan cara sebagai berikut.

  1. Tingkatkan investasi pada pendidikan dan pelatihan (training)

  Kesempatan untuk menjalani pendidikan dan training dapat membantu mengatasi skill deficit yang dapat menghambat economic upgrading. Pendidikan sebaiknya mencakup keahlian teknis maupun soft skills dalam area, seperti manajemen, pengembangan produk, desain, dan riset pasar.

  2. Menciptakan fungsi pemasaran (marketing) dan jejaring

  Perusahaan dan pemerintah sebaiknya bekerja sama menciptakan organisasi untuk memasarkan negarakawasan dan menyelaraskan perusahaan dengan organisasi internasional yang berhubungan dengan pengembangan standar, industry advocacy, riset dan pengembangan, serta praktik terbaik.

  3. Mempromosikan investasi langsung (FDI) atau joint ventures untuk

  mengembangkan kemampuan vertikal (vertical capabilities) Strategi ini sangat bagus, terutama bagi kawasan yang masih didominasi model produksi perakitan atau CMT (cut, make, dan trim). Hal itu akan membantu menciptakan backward linkages dan mengembangkan keahlian bukan di dalam negara. Otoritas ekonomi harus menyediakan layanan satu pintu bagi investor atau pemasok yang merencanakan untuk mendirikan perusahaan baru.

  4. Investasi pada teknologi dan sistem produksi fleksibel

  Investasi diperlukan untuk meningkatkan kapasitas mesin produksi, logistik, dan teknologi informasi yang memungkinkan pemasok menjadi lebih terintegrasi pada jaringan pembeli.

  5. Mengembangkan full package capabilities Perusahaan harus bisa atau mempunyai aliansi dengan perusahaan yang dapat menyediakan produk akhir dan jasa tambahan berkaitan dengan pengembangan produk, desain, logistik, dan pengendalian kualitas.

  6. Mengembangkan standar agar dapat memenuhi sertifikasi standar regional dan internasional

  7. Melakukan praktik produksi yang berkelanjutan Perusahaan yang dapat bertahan adalah perusahaan yang memilih untuk bersaing pada kredensial lingkungan mereka di samping biaya, kualitas, dan faktor tradisional lainnya.

  8. Mendiversifikasi pembeli, produk, dan pasar akhir Perusahaan harus melakukan diversifikasi menjadi berbagai lini produk, pasar pengguna akhir, dan pasar geografis yang berbeda.

2. Industri Otomotif

  Industri otomotif di Indonesia saat ini pada umumnya masih terkonsentrasi pada kegiatan perakitan (assembly). Padahal, nilai tambah tertinggi tidak berasal dari aktivitas itu. Sesuai dengan keniscayaan pada Global Value Chain (GVC), yaitu bahwa suatu negara akan mengupayakan efisien dalam suatu aktivitas dalam rantai produksi yang bernilai tambah tinggi. Sesuai dengan smile curve, aktivitas yang bernilai tambah tinggi pada GVC adalah desain, research and development, serta aktivitas penjualan yang berorientasi ekspor. Namun, Indonesia masih terkendala pada aspek human capital dalam melakukan aktivitas tersebut. Saat dunia sudah memiliki negara desainer otomotif yang efisien seperti Jepang dan Korea, Indonesia sangat berat untuk mengembangkan merek dan desain otomotif sendiri. Terkait dengan itu, langkah selanjutnya yang mungkin dilakukan Indonesia adalah meningkatkan keunggulan komparatif pada parts dan components otomotif sehingga secara keseluruhan produk otomotif, nilai tambah yang dihasilkan di Indonesia akan menjadi jauh lebih tinggi dibandingkan semula. Berdasarkan pendapat Kohpaiboon dan Yamashita (2011), penentuan lokasi produksi dari komponen otomotif terutama hanya didasarkan atas daya saing dari sisi biaya.

  Terkait dengan hal tersebut, Indonesia dapat mencontoh Thailand untuk mengembangkan industri ini. Seperti yang telah dijelaskan pada bagian Terkait dengan hal tersebut, Indonesia dapat mencontoh Thailand untuk mengembangkan industri ini. Seperti yang telah dijelaskan pada bagian

  Sebagai tambahan yang perlu dikoreksi dari Thailand adalah aspek human capital. Secara jangka pendek, diperlukan pembebasan tenaga kerja untuk skill tertentu yang dibutuhkan sesuai dengan preferensi investor. Namun, investasi untuk human capital dalam negeri harus segera dimulai. Beberapa hal yang dapat mendukung, antara lain, adalah (1) diskusi intensif antara kementerian tenaga kerja, investor, serta kementerian yang menaungi pendidikan menengah atas dan tinggi untuk mengetahui jenis skill yang dibutuhkan dan upaya memfasilitasinya dalam kurikulum; (2) memberikan kebebasan bagi universitas luar negeri membuka cabangnya di Indonesia, khususnya untuk jurusan penting yang masih belum mampu dipenuhi oleh universitas dalam negeri; dan (3) melonggarkan peraturan pembatasan tenaga kerja asing untuk mekanisme pertukaran tenaga kerja temporer. Hal itu untuk mendukung lancarnya proses learning tenaga kerja Indonesia, khususnya untuk skill yang hanya dapat diperoleh di head office.

3. Industri Information and Communication Technology

  Industri ICT di Indonesia memiliki potensi yang besar, Business monitoring International (2015) memperkirakan industri ICT di Indonesia akan tumbuh rata- rata 12,5 per tahunnya dengan kapitalisasi pasar mencapai 275 trilliun rupiah pada 2019. Untuk penjualan perangkat lunak diperkirakan akan mencapai lebih dari 50 trilliun rupiah, sedangkan pada 2019 penjualan perangkat keras berupa komputer pribadi dan jasa layanan IT masing-masing akan mencapai 100 trilliun rupiah dan 80 trilliun rupiah. Jika dibandingkan dengan negara–negara tetangga, seperti Malaysia dan Singapura, porsi belanja IT per PDB Indonesia masih sangat rendah, yaitu hanya sekitar 1,6, sedangkan Malaysia dan Singapura masing- masing sebesar 6,42 dan 6,37.

  Saat ini, Indonesia memiliki koneksi internet yang paling rendah jika dibandingkan dengan negara-negara di kawasan Asia–Pasifik. Permasalahan lain yang dihadapi adalah kondisi geografis Indonesia yang berupa kepulauan sehingga Saat ini, Indonesia memiliki koneksi internet yang paling rendah jika dibandingkan dengan negara-negara di kawasan Asia–Pasifik. Permasalahan lain yang dihadapi adalah kondisi geografis Indonesia yang berupa kepulauan sehingga

  Bagi para pelaku usaha di industri ICT, permasalahan yang kerap mereka temui adalah permasalahan sumber daya manusia, perpajakan, dan persaingan usaha. Menurut para pelaku usaha, sumber daya manusia Indonesia tidak memiliki kesiapan kerja, khususnya para tenaga kerja dengan latar belakang pendidikan sarjana. Meskipun demikian, para tenaga kerja dengan latar belakang pendidikan SMK dirasa lebih cepat beradaptasi dengan dunia kerja sehingga pelaku usaha membutuhkan waktu yang relatif singkat dan biaya investasi yang lebih sedikit dalam mempersiapkan tenaga kerja tersebut untuk terjun langsung ke dalam dunia kerja. Selain itu, permasalah double tax juga masih menjadi hambatan bagi pelaku usaha industri ICT untuk berkembang. Pengeluaran mereka menjadi bertambah seiring dengan pajak yang dikenakan dua kali. Iklim usaha industri ICT di Indonesia saat ini juga dirasa sangat kompetitif mengingat banyak perusahaan asing yang ikut bersaing dalam memperebutkan tender. Oleh karena itu, diperlukan kebijakan yang mendukung pertumbuhan industri ICT. Pertama, kegiatan magang bagi mahasiswa perlu lebih digalakkan sehingga pengalaman kerja mereka dapat meningkat dan mempermudah mereka dalam beradaptasi dengan dunia kerja. Selain itu, kebijakan perpajakan perlu dikaji kembali guna menghindari double tax. Untuk menciptakan iklim persaingan usaha yang lebih baik, diperlukan kebijakan yang memprioritaskan perusahaan lokal dalam mengikuti tender yang dilakukan oleh perusahaan BUMN.

Dokumen yang terkait

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

DEKONSTRUKSI HOST DALAM TALK SHOW DI TELEVISI (Analisis Semiotik Talk Show Empat Mata di Trans 7)

21 290 1

MANAJEMEN PEMROGRAMAN PADA STASIUN RADIO SWASTA (Studi Deskriptif Program Acara Garus di Radio VIS FM Banyuwangi)

29 282 2

FREKWENSI PESAN PEMELIHARAAN KESEHATAN DALAM IKLAN LAYANAN MASYARAKAT Analisis Isi pada Empat Versi ILM Televisi Tanggap Flu Burung Milik Komnas FBPI

10 189 3

MOTIF MAHASISWA BANYUMASAN MENYAKSIKAN TAYANGAN POJOK KAMPUNG DI JAWA POS TELEVISI (JTV)Studi Pada Anggota Paguyuban Mahasiswa Banyumasan di Malang

20 244 2

PERANAN ELIT INFORMAL DALAM PENGEMBANGAN HOME INDUSTRI TAPE (Studi di Desa Sumber Kalong Kecamatan Wonosari Kabupaten Bondowoso)

38 240 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24