Pemetaan Daya Saing Indonesia

4.1.1.4 Sustainability Margin

  Kemampuan untuk mempertahankan hubungan perdagangan merupakan suatu ukuran perekonomian yang berkembang dengan baik (well developed economy). Ada tiga indikator yang digunakan untuk mengevaluasi durasi dan ketahanan hubungan produk-partner serta menjelaskan faktor–faktor yang memengaruhi product birth dan extinction.

  Export Duration yang mengukur tingkat kelangsungan hidup selama periode tahun dari hubungan produk baru-pasar dengan nilai minimal USD10.000. Selama rentang waktu 10 tahun (tahun 2003–2013), pangsa kelangsungan hidup hubungan produk baru-pasar yang bertahan di Indonesia adalah sebesar 61,2 dengan jumlah hubungan ekspor sebesar 326. Export duration ini hanya lebih baik dibandingkan

  Filipina dan Malaysia, tetapi lebih rendah dibandingkan Vietnam, Thailand, Tiongkok, dan India (Gambar 22).

  Sumber: WITS World Bank, diolah

  Gambar 22. Durasi Ekspor

  Perubahan pada arus ekspor dapat terjadi sepanjang dua margin yang berbeda, yaitu intensif dan ekstensif. Intensive margin meliputi perubahan pada arus perdagangan saat ini (existing) yang dapat dibagi lagi menjadi peningkatan, penurunan, dan kepunahan (extinction). Extensive margin meliputi penambahan arus perdagangan baru yang mungkin terjadi karena pengenalan produk baru (introduction of a new product), masuk ke pasar baru (entry into new market), atau diversifikasi produk dengan mitra dagang saat ini. Indikator decomposition of export growth along margins of trade mendekomposisi semua pertumbuhan perdagangan menjadi salah satu dari tujuh kategori eksklusif sesuai dengan margin tersebut.

  Suatu negara yang sudah mengekspor ke berbagai pasar dan telah sangat terdiversifikasi portofolio ekspornya mungkin memiliki potensi terbatas untuk ekspansi pada extensive margin. Bahkan, untuk negara–negara berkembang, extensive margin umumnya menyumbang tidak lebih dari 20 pertumbuhan ekspor (Brenton dan Newfarmer, 2009). Sementara itu, bagi eksportir yang telah mature, pertumbuhan umumnya terjadi pada intensive margin.

  Dari Error! Reference source not found. (Lampiran) dapat dilihat keenam negara menghadapi tantangan persaingan yang kompetitif dalam produk dan pasar tradisional dengan kerugian terjadi dalam intensive margin, termasuk punahnya hubungan produk–pasar. Dalam EM kinerja ekspor negara–negara tersebut tidak menunjukkan pertumbuhan yang berarti, hanya sebagian kecil peningkatan pada penjualan produk yang ada ke pasar baru. Indonesia relatif lebih baik dari Filipina dan Malaysia dari sisi IM (IM tumbuh 108,73 dan turun 9,15). Namun, dapat Dari Error! Reference source not found. (Lampiran) dapat dilihat keenam negara menghadapi tantangan persaingan yang kompetitif dalam produk dan pasar tradisional dengan kerugian terjadi dalam intensive margin, termasuk punahnya hubungan produk–pasar. Dalam EM kinerja ekspor negara–negara tersebut tidak menunjukkan pertumbuhan yang berarti, hanya sebagian kecil peningkatan pada penjualan produk yang ada ke pasar baru. Indonesia relatif lebih baik dari Filipina dan Malaysia dari sisi IM (IM tumbuh 108,73 dan turun 9,15). Namun, dapat

  f ld 2.73 cts cts ts

  w marke

  o d n ts marke ro

  ld marke

  fo o

  ld marke

  ld marke

  d ro f marke

  cti o ro p mar ld marke n

  Sumber: WITS World Bank, diolah

  Gambar 23. Dekomposisi Pertumbuhan Ekspor tahun 2003–2013

  Indikator export suspension and factor endowments mengidentifikasi aliran perdagangan yang bernilai paling sedikit 10.000 dolar AS yang menghilang sejak tahun awal. Indikator itu dipilih untuk membandingkan faktor intensitas produk tersebut terhadap faktor pendukung tertentu milik negara tersebut. Harapannya adalah kematian produk lebih mungkin terjadi jika faktor intensitas suatu produk berada jauh dari faktor pendukungnya. Jika titik faktor pendukung suatu negara diwakili oleh perpotongan antara rata–rata intensitas modal manusia dan fisik, dapat dilihat seberapa jauh atau seberapa dekat faktor intensitas ekspor dari titik rata–rata faktor pendukungnya. Dari Gambar 24 terlihat bahwa ekspor Indonesia pada tahun 2013 tidak begitu selaras dengan faktor pendukungnya. Hal itu ditunjukkan jarak antara faktor intensitas ekspor dengan titik perpotongan faktor pendukungnya yang cukup jauh. Berbeda halnya dengan Thailand, mayoritas ekspor besarnya berada relatif lebih dekat dengan faktor pendukungnya. Hal itu dapat mengindikasikan kelangsungan ekspor produk–produk di Thailand akan lebih bertahan lama.

  Sumber: WITS World Bank, diolah

  Gambar 24. Export Relative to Endowment – Indonesia 2013

  Sumber: WITS World Bank, diolah

  Gambar 25. Export Relative to Endowment – Thailand 2013

4.1.2 Diagnostik Daya Saing

  Indonesia memiliki permasalahan pada keempat dimensi daya saing dengan isu terutama pada tenaga kerja (skill set), logistik, kebijakan, dan institusi domestik yang tidak kondusif serta kurangnya dukungan market access dari sisi free trade agreement (FTA) dan non-tariff measures (NTMs). Hal itu juga ditemukan dari hasil FGD dengan pelaku usaha, faktor utama yang disebutkan adalah ketidakpastian hukum.

  Tabel 7. Ringkasan Diagnostik Daya Saing

  Tantangan Utama

  Keterangan

  Ekspor Indonesia

  Akses Pasar

  ↓↓

  Didominasi oleh non-tariff measures dari negara maju. FTA Indonesia relatif tertinggal dibandingkan negara kawasan.

  Incentive Framework ↓↓

  paling tertinggal

  dibandingkan peers. Dari sisi kebijakan dan institusi domestik, kemudahan berusaha Indonesia terendah di ASEAN dan menurun dalam 10 tahun terakhir.

  Factors Condition

  ↓↓

  Tenaga kerja khususnya pada skill set, kondisi logistik merupakan hambatan utama.

  Trade and Invesment ↓

  Kendala utama dalam promosi ekspor dan investasi

  Facilitation

  Indonesia adalah di bidang standar dan sertifikasi yang belum memenuhi standar internasional dengan promosi investasi dan ekspor yang tergolong lemah.

  Keterangan:

  ↓ : Sedikit tertinggal dibandingkan peers ↓↓ : Tertinggal dibandingkan peers

4.1.2.1 Akses Pasar

  Hambatan terbesar dari segi akses pasar didominasi oleh non-tariff measures yang banyak diterapkan oleh negara-negara maju yang merupakan tujuan ekspor. Rendahnya tarif bea masuk di negara-negara maju seharusnya menjadi peluang bagi peningkatan ekspor Indonesia. Namun, proteksi dari segi non-tariff measures, seperti sanitary and phytosanitary (SBS) dan technical barriers (TBT) yang berlaku di beberapa negara maju dapat menjadi hambatan bagi eksportir dalam melakukan penetrasi pasar.

  Sumber: WITS World Bank, diolah

  Gambar 26. Tarif Impor di Beberapa Negara

  Rata–rata tarif bea masuk untuk barang impor yang diterapkan oleh Indonesia berkisar antara 5–10. Negara–negara maju tujuan ekspor, seperti USA dan Jepang menerapkan tarif bea masuk barang impor <5. Amerika, Jepang, Tiongkok, Korea, India, dan Eropa memberlakukan tarif bea masuk yang tinggi untuk produk–produk pertanian, berkisar antara 5–35. Di Indonesia, tarif bea masuk untuk produk pertanian relatif sama dengan produk–produk non-pertanian. Beberapa negara di kawasan, seperti Thailand dan Vietnam memberlakukan tarif bea masuk yang lebih tinggi untuk produk pertanian. Bilateral trade arrangement antara Indonesia dan beberapa negara tujuan ekspor menyebabkan produk–produk Indonesia bisa mendapatkan tarif bea masuk yang lebih rendah. Jika dibandingkan dengan negara–negara kawasan, tarif bea masuk yang berlaku di Indonesia dan Filipina tergolong paling rendah, terutama untuk produk–produk impor dari negara– negara Asia Tenggara. Eropa memberlakukan non-tariff measures yang cukup tinggi, terutama dalam bentuk TBT dan SPS. Oleh karena itu, respon yang krusial adalah membentuk trade agreement dengan Eropa untuk mengeliminasi non-tariff measures tersebut.

  Tabel 8. Daftar Non–Tariff Measures di Beberapa Negara

  Sumber: WITS World Bank, diolah Indonesia relatif tertinggal jika dibandingkan dengan negara peers dalam

  menjajaki dan ikut serta dalam regional trade agreements (RTA) dengan negara– negara di luar ASEAN. Misalnya, Indonesia tidak mempunyai RTA dengan Eropa atau AS, padahal negara–negara di kawasan tersebut mempunyai produk yang bersifat komplementer dengan Indonesia. Sebagai salah satu implikasi, berdasarkan hasil FGD dengan pelaku usaha, beberapa perusahaan asing lebih memilih melakukan ekspansi ke Vietnam daripada ke Indonesia karena negara Vietnam mempunyai keunggulan dalam hal akses pasar. Indonesia juga akan berisiko terkena dampak negatif trade diversion atas RTA yang tidak diikuti.

4.1.2.2 Incentive Framework

  Incentive framework merupakan salah satu determinan daya saing dari sisi suplai, yaitu kerangka insentif yang dihadapi pelaku usaha. Terdapat dua hal yang dikupas, yaitu kebijakan perdagangan dan investasi serta kebijakan dan institusi domestik. Dari sisi kebijakan perdagangan dan investasi, kebijakan FDI Indonesia

  minyak dan gas, serta listrik dan perbankan yang keterbukaan terhadap investasi asing lebih tinggi daripada rata–rata. Sementara itu, dari sisi kebijakan dan institusi domestik, kemudahan berusaha Indonesia terendah di ASEAN dan jika dibandingkan dengan peers-nya menurun dalam 10 tahun terakhir (Gambar 28) minyak dan gas, serta listrik dan perbankan yang keterbukaan terhadap investasi asing lebih tinggi daripada rata–rata. Sementara itu, dari sisi kebijakan dan institusi domestik, kemudahan berusaha Indonesia terendah di ASEAN dan jika dibandingkan dengan peers-nya menurun dalam 10 tahun terakhir (Gambar 28)

  Sumber: Doing Business, diolah

  Sumber: Doing Business, diolah

  Gambar 27. Ease of Establishment

  Gambar 28. Ease of Doing

  Index

  Business

  Sumber: Doing Business, diolah

  Gambar 29. Kemudahan Berusaha di Indonesia

4.1.2.3 Factor Conditions Kondisi tenaga kerja, logistik, serta beberapa faktor lain yang kurang baik

  menjadi hambatan keunggulan Indonesia dibandingkan dengan negara peers lainnya.

  Untuk kondisi tenaga kerja, terdapat biaya yang tinggi. Upah minimum terlalu tinggi (apabila mempertimbangkan produktivitas), jika dibandingkan dengan Untuk kondisi tenaga kerja, terdapat biaya yang tinggi. Upah minimum terlalu tinggi (apabila mempertimbangkan produktivitas), jika dibandingkan dengan

  Dari sisi skill, terdapat permasalahan yang lebih serius. World Bank (2014) menyatakan bahwa (1) terdapat skill mismatch, 50 lulusan SMAsetara dan 15 lulusan universitas bekerja di unskilled position; (2) 70 pengusaha manufaktur mengatakan ‘sangat sulit’ untuk mengisi skilled positions; (3) hanya 5 pekerja yang memperoleh on-the-job training formal. Lebih lanjut, hasil FGD mengindikasikan bahwa Indonesia membutuhkan medium dan high skilled workers pada tahun 2020. MEA menyebabkan Indonesia akan mengalami shortage skilled labor.

  Sumber: World Development Indicators, diolah Sumber: Global Competitiveness Index, WEF

  Gambar 30. Upah Minimum dan

  Gambar 31. Biaya Pemecatan

  Produktivitas

  Kondisi logistik memprihatinkan dan sangat menghambat perkembangan daya saing. Walaupun data WDI menunjukkan bahwa Logistic Performance Index dan kondisi infrastruktur Indonesia sedikit meningkat, kondisinya masih lebih rendah dibandingkan peers. Skor international shipments turun dan menempati peringkat terbawah. Lebih lanjut, waktu yang dibutuhkan untuk ekspor-impor relatif lama dibandingkan negara peers, yang antara lain karena adanya hambatan akses di darat dan proses bongkar muat di pelabuhan.

  Beberapa masalah lain yang diketahui adalah (1) kecepatan, bandwidth,dan harga internet broadband tidak kompetitif; (2) kurangnya sertifikasi internasional dan compliance atas produk ekspor dan proses industri; (3) kurangnya penggunaan lisensi teknologi; (4) listrik yang bermasalah; serta (5) regulasi tidak tepat sasaran.

  Sumber: Doing Business, World Bank

  Sumber: World Bank

  Gambar 32. Upah Minimum dan

  Gambar 33. Logistic Performance

  Produktivitas

  Index

  Sumber: Ookla Net Index

  Sumber: Enterprise Surveys, World Bank

  Gambar 34. Biaya Bulanan Internet

  Gambar 35. Persentase Perusahaan dengan Lisensi Teknologi Asing

4.1.2.4 Trade Promotion Infrastructure Infrastruktur promosi perdagangan meliputi berbagai intervensi Pemerintah

  untuk mengatasi kegagalan pasar (tantangan koordinasi dan informasi asimetrik) dan kegagalan Pemerintah yang membatasi partisipasi dan kinerja ekspor, termasuk promosi ekspor tradisional dan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), lembaga koordinasi industri, standar dan sertifikasi, serta inovasi.

  Kendala utama dalam promosi ekspor dan investasi Indonesia adalah di bidang standar dan sertifikasi. Meskipun banyak hal yang dapat dilakukan untuk meningkatkan hal tersebut dari perspektif kelembagaan, masalah yang timbul lebih banyak dari rendahnya tingkat kecanggihan industriperusahaan Indonesia, yang pada gilirannya terkait dengan salah satu tantangan daya saing fundamental, yaitu inovasi.

a. Standar dan Sertifikasi

  Tantangan utama untuk meningkatkan daya saing kualitas produk ekspor Indonesia adalah mampu memberikan standar internasional (bahkan mempunyai sertifikasi untuk membuktikannya). Berdasarkan data pada Sumber: WDI, diolah

  Gambar 36 , hanya 3 perusahaan Indonesia yang memiliki sertifikasi berkualitas internasional, jauh tertinggal dengan negara kawasan lainnya. Kebanyakan standar teknis penting diberlakukan oleh pembeli internasional atau mitra dagang agar para eksportir memenuhi standar tersebut sehingga dapat berlanjut dengan pemberian kontrak. Sebagian besar perusahaan industri Indonesia sudah memenuhi standar nasional, tetapi belum dapat memenuhi standar internasional. Kendala utamanya adalah masalah besarnya biaya sertifikasi standar internasional dan implikasinya terhadap daya saing. Sertifikasi ternyata meningkatkan biaya produksi, sementara biaya tersebut sukar untuk ditransmisikan ke konsumen.

  Selain itu, masih lemahnya infrastruktur standardisasi Indonesia juga menjadi penyebab kurang kompetitifnya produk ekspor Indonesia. Banyak laboratorium penguji di Indonesia tidak mendapat pengakuan internasional sehingga memengaruhi proses sertifikasi dan pemenuhan standar yang dibutuhkan oleh pembeli internasional. Daya saing eksportir Indonesia juga ditentukan oleh rezim standar nasional. Rezim standar nasional yang lemah ditambah dengan kurangnya monitoring dan penegakan peraturan berkontribusi pada terjadinya kompetisi kualitas rendah pada pasar domestik.

  Sumber: WDI, diolah

  Gambar 36. Internationally–Recognized Quality Certification

b. Inovasi

  Industri di Indonesia perlu terus meningkatkan kualitas produk dan daya tambah agar dapat mempertahankan daya saing dalam jangka panjang. Untuk Industri di Indonesia perlu terus meningkatkan kualitas produk dan daya tambah agar dapat mempertahankan daya saing dalam jangka panjang. Untuk

  Gambar 37 dan Sumber: World Economic Forum GCI, diolah Gambar 38 menunjukkan kesenjangan (gap) yang terjadi pada kapasitas

  inovasi Indonesia, baik pada tingkat nasional maupun perusahaan. Alokasi anggaran untuk riset dan penelitian di Indonesia lebih rendah jika dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya. Kebanyakan industri di Indonesia masih mengandalkan pembeli internasional untuk memberikan persyaratan spesifikasi desain dan teknik sehingga hanya memproduksi sesuai dengan spesifikasi. Hal itu membatasi kemampuan potensial sektor industri untuk dapat menciptakan inovasi dan bergabung pada Global Production Networks (GPN). Bahkan, proses replikasi produk pun tidak selamanya berhasil dilakukan oleh industri di Indonesia karena persyaratan presisi yang begitu ketat dan rendahnya toleransi yang diperbolehkan. Kurangnya perhatian terhadap kualitas dan desain berhubungan erat dengan rendahnya tingkat kecanggihan suatu perusahaan. Banyak perusahaan yang telah berdiri sejak tahun 1980-an merasa telah nyaman dan tidak merasa perlu mengambil risiko untuk mendorong inovasi desain industri. Walaupun demikian, berdasarkan informasi dari pelaku usaha, hanya sedikit industri yang mulai melakukan inovasi dengan mendesain beberapa produk untuk pasar domestik dan juga mulai bergabung dalam Global Value Chain (GVC).

  5.2 5.1 5.2 2006-2007 5.00 2014-2015

  Vietnam

  China

  India

  Indonesia Malaysia Philippines Thailand

  Sumber: WDI, diolah

  Sumber: World Economic Forum GCI,

  diolah

  Gambar 38. Kualitas dari

  Gambar 37. Pengeluaran RD (

  Lembaga Riset

  PDB)

  Pada tingkat perusahaan, investasi pada riset dan pengembangan masih tergolong rendah. Institusi atau lembaga untuk mendukung pengembangan Pada tingkat perusahaan, investasi pada riset dan pengembangan masih tergolong rendah. Institusi atau lembaga untuk mendukung pengembangan

  Sementara itu, di sektor ICT (information-communication technology) baru terdapat satu Pusat Pendidikan Khusus Elektronika dan Telematika di Surabaya. Balai Diklat Industri (BDI) di Surabaya yang dikelola oleh Kementerian Perindustrian juga menyediakan pendidikan dan pelatihan di bidang elektronika dan garmen. Pada masa yang akan datang Kementerian Perindustrian bekerja sama dengan universitas di Banten akan mendirikan Akademi Komunitas Petrokimia Banten. Pendirian akademi tersebut merupakan sebuah jawaban atas tantangan industri petrokimia terhadap kualitas sumber daya lokal yang berbasis kompetensi sehingga akhirnya dapat meningkatkan daya saing industri petrokimia nasional.

  Masih minimnya sarana dan prasarana pendidikan dan pelatihan bagi sektor industri disebabkan oleh masih kurangnya perhatian dari pemerintah untuk inovasi dan juga masih minimnya inisiasi dari tingkat industri itu sendiri. Namun, Pemerintah sudah terlihat mulai lebih agresif dan berinisiatif dalam membangun

  terlihat dari

  ditandatanganinya beberapa nota kesepahaman pembangunan akademi atau pusat inovasi di berbagai daerah.

c. Promosi Ekspor dan Investasi

  Indonesia telah menginvestasikan sumber daya yang cukup besar untuk menarik dan mengoordinasikan investasi ke Indonesia. Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) telah ditunjuk menjadi agen promosi investasi (IPA) pada tingkat pusat sejak tahun 1970-an. BKPM merupakan institusi yang mempunyai hubungan yang cukup kuat dengan sektor swasta dan pemerintah Indonesia telah menginvestasikan sumber daya yang cukup besar untuk menarik dan mengoordinasikan investasi ke Indonesia. Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) telah ditunjuk menjadi agen promosi investasi (IPA) pada tingkat pusat sejak tahun 1970-an. BKPM merupakan institusi yang mempunyai hubungan yang cukup kuat dengan sektor swasta dan pemerintah

  Tabel 9. IPI Performance Score

  Sumber: GIPB 2009 Summary Report (World Bank)

  Sama halnya dengan promosi investasi, promosi ekspor juga sudah mendapat perhatian khusus Pemerintah, yaitu melalui Direktorat Jenderal Pengembangan Ekspor Nasional (DJPEN) di bawah Kementerian Perdagangan. DJPEN secara rutin menghadiri pameran perdagangan, forum–forum internasional untuk mempromosikan sektor industri unggulan Indonesia, dan juga berdialog dengan kementerian perdagangan negara lain. Dalam hal pembiayaan perdagangan atau ekspor, kehadiran Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia atau Indonesia Eximbank membantu dalam penyediaan modal kerja, jaminan, dan asuransi bagi eksportir.

  Terkait FDI, penelitian menunjukkan bahwa saat ini Indonesia cenderung lebih protektif dengan hambatan nontarif dan hambatan investasi yang lebih tinggi dibandingkan peers (Patunru dan Rahardja, 2015). Hambatan tersebut perlu dihilangkan, khususnya pada FDI yang berorientasi ekspor.

d. Kawasan Ekonomi Khusus (KEK)

  KEK merupakan kawasan yang dipersiapkan dan yang memiliki keunggulan geoekonomi dan geostrategis serta berfungsi untuk menampung kegiatan industri, ekspor, impor, dan kegiatan ekonomi lain yang memiliki nilai ekonomi tinggi dan daya saing internasional. Di dalam KEK perlu dibangun fasilitas pendukung dan perumahan bagi pekerja. Pada setiap KEK disediakan lokasi untuk usaha mikro, kecil, menengah (UMKM), dan koperasi, baik sebagai pelaku usaha maupun sebagai pendukung kegiatan perusahaan yang berada dalam KEK.

  Jumlah KEK Indonesia relatif setara dengan negara peers meskipun jika dibandingkan dengan luas wilayah, jumlah itu masih relatif kecil. Selain itu, pengembangan kawasan ekonomiindustri di Indonesia masih terbatas. Hal itu disebabkan, antara lain, oleh beberapa faktor berikut.

  (1) Dukungan infrastruktur yang masih terbatas (energi, konektivitas, dll.).

  Beberapa KEK yang didirikan berada jauh dari infrastruktur pendukungnya seperti pelabuhan. Seyogianya, pendirian KEK dilakukan beserta dengan pendirian infrastruktur pendukung.

  (2) Kurangnya fungsi pemantauan (monitoring) dan pengelolaan yang efektif

  akan manajemen kawasan serta relatif minimnya promosi zona ekonomi tersebut.

  Sumber: Economic Zones in The ASEAN (UNIDO)

  Gambar 39. Gambaran Kawasan Ekonomi Khusus di Kawasan

4.1.3. Focus Group Discussion (FGD)

  Kegiatan FGD merupakan sarana untuk mengonfirmasi hasil benchmark datakuantitatif (desk analysis) dengan kondisi yang terjadi sebenarnya di lapangan. Dari hasil FGD terungkap tiga hal utama yang menjadi perhatian para pelaku usaha, yakni terkait regulasi, kemampuan sumber daya manusia, dan koordinasi. Berikut ini merupakan beberapa hambatan yang disarikan berdasarkan hasil FGD.

  a. Kejelasan aturan main dan kepastian hukum

  Regulasi yang mendukung pengembangan sektor industri dan perdagangan di Indonesia masih dirasakan kurang optimal dan cenderung tidak jelas implementasinya. Regulasi yang ada banyak yang tumpang tindih antara satu sektor dan sektor lainnya. Khusus terkait kebijakan mengenai tarif tenaga listrik (TTL) dan upah tenaga kerja, pelaku usaha mengharapkan bahwa ada penetapan mekanisme yang terencana terkait penetapan tarif dan upah tersebut.

  b. Keterbatasan jumlah free trade agreement (FTA) yang dilakukan Indonesia, baik multilateran maupun bilateral

  Pelaku usaha mengharapkan adanya penambahan jumlah trade agreement dengan negara maju tujuan ekspor untuk mendorong perluasan akses pasar Indonesia dan upaya tergabung dalam global supply chain. Selain itu, dalam FGD juga terungkap bahwa trade agreement yang sudah terjadi mengalami hambatan dalam implementasinya (menemui jalan buntu). Keterhambatan implementasi tersebut disebabkan oleh kurang detilnya pihak Indonesia menjelaskan poin-poin yang dibutuhkan dalam trade agreement tersebut. Hal itu disinyalir akibat dari kurangnya koordinasi antara pihak yang melakukan trade agreement dan perwakilan pelaku usaha dalam memetakan kebutuhan-kebutuhan yang diperlukan oleh pelaku usaha sebagai subjek yang melakukan proses produksi ataupun perdagangan. Selain itu, pemanfaatan butir-butir kesepakatan dalam FTA juga masih sangat terbatas sehingga dibutuhkan lebih banyak upaya memperkenalkan dan mempermudah pemanfaatan butir–butir kesepakatan FTA tersebut.

  c. Kemampuan sumber daya manusia (SDM)

  Secara teknis kemampuan SDM Indonesia masih kurang bersaing dengan negara lain. Keunggulan upah buruh yang murah di Indonesia pada masa lampau sudah tidak terlalu dapat diandalkan lagi apalagi sejalan dengan niat Indonesia untuk menyasar peningkatan ekspor pada industri med-tech dan hi- Secara teknis kemampuan SDM Indonesia masih kurang bersaing dengan negara lain. Keunggulan upah buruh yang murah di Indonesia pada masa lampau sudah tidak terlalu dapat diandalkan lagi apalagi sejalan dengan niat Indonesia untuk menyasar peningkatan ekspor pada industri med-tech dan hi-

  d. Aturan perpajakan

  Aturan perpajakan Indonesia merupakan salah satu hambatan yang cukup besar perannya dalam sektor industri dan perdagangan di Indonesia. Salah satunya adalah PPN berganda dan restitusi pajak yang memerlukan waktu lama sebagai keluhan utama pelaku usaha di lapangan.

  e. Koordinasi Pemerintah Pusat (Pempus), Pemerintah Daerah (Pemda), maypun dengan pelaku usaha

  Kendala birokrasi dan koordinasi, baik antarkementerian maupun pempus dan pemda, terutama dengan pelaku usaha masih menjadi kendala yang signfikan dalam mewujudkan industri yang berdaya saing tinggi. Proses keberhasilan pengembangan sektor industri bergantung pada perencanaan dan pengembangan sektor-sektor industri yang dicanangkan oleh pemerintah, termasuk infrastruktur yang diarahkan untuk mendukung penanganan dan perkembangan sektor industri tersebut.

4.1.4. Analisis Keterkaitan Nilai Tambah

  Analisa keterkaitan nilai tambah 6 menggunakan pengkinian data terhadap

  Asian IO 2005 dengan menggunakan data tahun 2013 untuk melihat posisi industri Indonesia di rantai nilai global. Hal itu terkait perubahan pola perdagangan dunia dari semula berdasarkan trade in goods menjadi trade in task. Secara umum, hasil analisis dekomposisi perdagangan (

  Analisis Triangular Trade dan Rantai Nilai di Asia dengan Fokus pada Indonesia sebagai Masukan dalam Penyusunan Strategi Nasional Indonesia di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN oleh Rakhman dkk. (2015).

  ) menunjukkan bahwa tiga negara yang paling kompetitif dalam ASEAN-5, terkait rantai nilai global, adalah Thailand, Malaysia, dan Singapura.

  Ukuran kompetitif tersebut diperoleh berdasarkan analisis daya saing internal dan eksternal. Analisis daya saing internal menunjukkan bahwa Malaysia dan Singapura memiliki kapabilitas ekspor yang tertinggi dalam memproses foreign value added atau memiliki produktivitas impor yang tinggi (kemampuan mengekspor setelah mengimpor tinggi). Sementara itu, analisis daya saing eksternal menunjukkan bahwa Malaysia, Thailand, dan Singapura tercatat sebagai negara dengan skala ekspor terbesar. Perbandingan hasil antara tahun 2005, 2009, dan 2013 menunjukkan bahwa daya saing antarnegara tidak mengalami perubahan yang signifikan.

  Dari sisi investasi, (Error! Reference source not found.) dapat dilihat bentuk FDI yang berbeda antarnegara ASEAN. Di Thailand FDI mendorong ekspor; di Indonesia FDI mendorong penyerapan tenaga kerja dan memasok permintaan domestik; di Vietnam FDI mendorong investasi modal, ekspor, dan penyerapan tenaga kerja; dan di Malaysia FDI berdampak pada ekspor dengan penyerapan tenaga kerja yang lebih terampil (sektor skill-intensive). Hal itu menguatkan temuan analisis kinerja perdagangan bahwa Indonesia belum menjadi lokasi pilihan untuk menjadi industri yang berorientasi ekspor, tetapi cenderung menjadi pasar yang ditandai dengan daya saing internal yang lemah dan tipe investasi yang masuk yang lebih bertujuan memasok permintaan domestik.

  Sumber: Rakhman et al (2015)

  Gambar 40. Daya Saing Internal dan Eksternal Negara ASEAN5

  Tabel 10. Perbandingan Dampak FDI Negara ASEAN

  ASEAN–5

  FDI ValueForeign Export ValueForeign EmploymentForeign

  Productivity Ratios Affiliates Affiliates Affiliates

  Indonesia USD4.85

  Sumber: ITC database

Dokumen yang terkait

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

DEKONSTRUKSI HOST DALAM TALK SHOW DI TELEVISI (Analisis Semiotik Talk Show Empat Mata di Trans 7)

21 290 1

MANAJEMEN PEMROGRAMAN PADA STASIUN RADIO SWASTA (Studi Deskriptif Program Acara Garus di Radio VIS FM Banyuwangi)

29 282 2

FREKWENSI PESAN PEMELIHARAAN KESEHATAN DALAM IKLAN LAYANAN MASYARAKAT Analisis Isi pada Empat Versi ILM Televisi Tanggap Flu Burung Milik Komnas FBPI

10 189 3

MOTIF MAHASISWA BANYUMASAN MENYAKSIKAN TAYANGAN POJOK KAMPUNG DI JAWA POS TELEVISI (JTV)Studi Pada Anggota Paguyuban Mahasiswa Banyumasan di Malang

20 244 2

PERANAN ELIT INFORMAL DALAM PENGEMBANGAN HOME INDUSTRI TAPE (Studi di Desa Sumber Kalong Kecamatan Wonosari Kabupaten Bondowoso)

38 240 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24