Retrospeksi Kebijakan Industri Substitusi Impor

Box 2. Retrospeksi Kebijakan Industri Substitusi Impor

  Kebijakan substitusi impor (SI) adalah kebijakan perdagangan dan ekonomi yang didasarkan pada premis bahwa negara berkembang harus berusaha untuk menggantikan produk impor dengan produksi dalam negeri. Kebijakan ini memiliki tiga prinsip utama, yaitu (1) kebijakan industri yang aktif untuk mempromosikan industri dalam negeri untuk memproduksi produk pengganti yang strategis, yang sering melibatkan investasi pemerintah pada infrastruktur dan sektor strategis, serta pembentukan bank pembangunan untuk mendukung kegiatan tersebut; (2) trade barriers yang bersifat protektif (yaitu, tarif dan kuota untuk melindungi industri baruinfant industry) dan mengubah terms of trade dari pola ekspor utama tradisional; dan (3) kebijakan moneter terkait nilai tukar dengan sistem multiple exchange rate untuk mendukung import nonkompetitif terhadap barang antara dan modal. Umumnya, tahap pertama SI bersifat "mudah" karena industri yang diproteksi adalah non-durable goods dan kemudian ke tahapan "dewasa", yaitu memperdalam SI, yaitu industri memproduksi nondurable consumer goods serta barang antara dan modal.

  Kebijakan SI telah dianalisis dalam sejumlah studi oleh OECD, World Bank dan NBER (Reinert and Rajan, 2010). Analisis tersebut menunjukkan bahwa ada biaya makroekonomi terkait kebijakan SI. Pertama, SI menyebabkan inefisiensi dalam alokasi sumber daya. Kebijakan nilai tukar yang overvalued menyebabkan bias terhadap ekspor dan mendukung sektor padat modal domestik sehingga mengarah pada underutilized capital, penurunan produktivitas modal, dan kegagalan investasi yang secara signifikan berpengaruh terhadap penurunan pengangguran. Kedua, SI umumnya menyebabkan impor naik lebih cepat dari yang diharapkan karena permintaan barang modal dan barang antara untuk mendukung industri baru; sebagai akibatnya, masalah neraca pembayaran justru makin mendalam sehingga daripada mengurangi ketergantungan pada input impor (energi dan teknologi), strategi SI justru semakin meningkatkan impor secara signifikan. Ketiga, SI dinilai mendorong aktivitas mencari laba yang tidak produktif (directly unproductive profit seeking) yang mengalihkan sumber daya dari kegiatan produktif menjadi tidak produktif, tetapi menguntungkan. Yang selanjutnya akan mengurangi investasi dan pertumbuhan produktivitas serta pertumbuhan jangka panjang. Keempat, di negara–negara tempat pasar domestik relatif kecil, SI menciptakan pasar yang kurang kompetitif, yang dalam beberapa kasus menyebabkan menurunnya efisiensi, pertumbuhan produktivitas, dan inovasi.

  Pada era 1990-an dampak SI pada kinerja ekonomi dipertimbangkan kembali, khususnya dalam konteks perekonomian Asia Timur yang bertumbuh pesat. Pandangan ini berargumen bahwa SI akan mendahului kegiatan ekspor dan merupakan prasyarat untuk export led growth. Argumen pandangan ini adalah tidak mungkin suatu negara dapat mengekspor tanpa mengakumulasi kemampuan teknologi pada fase SI yang mendahuluinya. Perbedaannya adalah pada tahap “matang” dari kebijakan SI tersebut. Pada tahap ini negara Latin Amerika melakukan pendalaman SI yang dibarengi dengan kebijakan moneter dan fiskal. Sementara itu, negara Asia Timur, pada tahap “matang” karena tetap melakukan SI dengan penekanan pada promosi ekspor serta mengaitkan insentif dengan kinerja ekspor. Model campuran SI ini dinilai lebih berhasil jika dibandingkan dengan pendalaman SI karena pemerintah (1) dapat melakukan disiplin terhadap sektor swasta berdasarkan kinerja standar (target ekspor) sebagai ganti dari subsidi terhadap sektor swasta; (2) menghindari ketidakseimbangan eksternal dengan promosi ekspor dan menjaga nilai tukar yang kompetitif; dan (3) berhasil melakukan desain proteksi dan promosi ekspor yang mendorong proses pembelajaran teknologi dan akumulasi pengetahuan.

  Sebagaimana sejumlah negara berkembang lain di Asia, Indonesia juga menempuh jalur kebijakan industrialisasi dalam bentuk substitusi impor pada tahap awal proses industrialisasinya. Namun, berbeda dengan Korea, kebijakan SI di Indonesia tidak berhasil menciptakan struktur industri yang kompetitif. Perbedaannya adalah kebijakan SI Korea--yang diterapkan secara selektif pada industri tertentu--terintegrasi dengan kebijakan lainnya seperti perdagangan, sumber daya manusia, dan teknologi. Sementara itu, kebijakan selektif di Indonesia tersebut tidak dibarengi dengan kebijakan komplementer dalam perdagangan, SDM, dan teknologi (Kim, 2004).

  Kebijakan SI diterapkan pemerintah pada tahun 70-an, terutama setelah oil boom. Pada masa itu pemerintah menerapkan kebijakan industri SI yang dibiayai dari devisa berlimpah dari minyak. Tujuan kebijakan tersebut adalah memproduksi sendiri produk yang selama ini harus diimpor sehingga bisa menghemat devisa. Dalam perspektif industri kebijakan tersebut bertujuan untuk membangun kapasitas industri berat nasional berbasiskan proyek besar SDA. Kebijakan industri itu diwarnai dengan proteksi yang tinggi serta pembangunan industri berat yang justru bertentangan dengan keunggulan komparatif Indonesia, yaitu industri berbasiskan tenaga kerja murah (Basri, 2001 sebagaimana Damayanthi, 2008).

  Beberapa industri yang didorong pada masa itu adalah baja, gas alam, kilang minyak, dan aluminium melalui kredit lunak dari bank–bank BUMN.

  Jatuhnya harga minyak di pasar dunia pada tahun 1982 dan 1986 serta ambruknya nilai tukar dollar AS pasca–Plaza Accord menyebabkan pemerintah harus mencari sumber pembiayaan dalam negeri yang lain (Kim, 2004). Pemerintah kembali ke kebijakan pintu terbuka melalui liberalisasi perdagangan dan investasi asing. Untuk memenuhi kebutuhan devisa, kebijakan industri yang ditempuh adalah industrialisasi berorientasi ekspor. Fase ini ditandai dengan diluncurkannya berbagai paket kebijakan deregulasi dalam rangka liberalisasi pasar, termasuk di dalamnya deregulasi perizinan investasi dan deregulasi sektor perbankan dan keuangan yang didukung oleh kebijakan devaluasi berkala nilai tukar rupiah untuk menjaga daya saing.

  Industri manufaktur padat karya Indonesia mengalami masa keemasan di era ini dengan terjadinya relokasi industri dan investasi di sektor industri padat karya, seperti pakaian jadi dan sepatu dari Korsel, Taiwan, Hongkong, dan Singapura. Ekspor manufaktur yang menyumbang hingga 53 persen dari total ekspor (1993) nasional mencatat pertumbuhan riel hampir 30 persen per tahun pada kurun 1980– 1993. Pertumbuhan GNP di periode tersebut tercatat berkisar pada tingkat 7, tidak terlalu jauh dari negara Asia timur lainnya.

  Menurut Basri (2001), perubahan orientasi kebijakan ke arah pasar pada masa itu terjadi karena pilihan yang pragmatis–rasional dan bukan karena alasan yang bersifat ideologis.

  Dalam era ‘70-an, ketika dana minyak tersedia dan peran kelompok nasionalis menguat, pilihan kebijakan yang non–pasar dan proteksionis … memiliki harga yang relatif ‘murah’ dibandingkan kebijakan pro–pasar … karena untuk memperoleh dukungan politik, pemerintah akan mengakomodasi tekanan kelompok kepentingan yang kuat pada waktu itu, sedangkan pada pertengahan 1980-an, ketika harga minyak jatuh, … pilihan kebijakan yang non-pasar menjadi relatif lebih ‘mahal’….

  Liberalisasi yang terjadi waktu itu bersifat parsial dan gradual. Masih banyak proteksi industri dalam bentuk nontariff barriers dan beberapa sektor industri tetap tertutup bagi asing dan diproteksi ketat. Kebijakan industrialisasi pada fase itu berorientasi untuk melakukan lompatan teknologi. Pemerintah menetapkan sepuluh industri sebagai industri strategis yang harus diproteksi yaitu industri pesawat terbang, industri maritim, industri pembuatan kapal, sektor transportasi Liberalisasi yang terjadi waktu itu bersifat parsial dan gradual. Masih banyak proteksi industri dalam bentuk nontariff barriers dan beberapa sektor industri tetap tertutup bagi asing dan diproteksi ketat. Kebijakan industrialisasi pada fase itu berorientasi untuk melakukan lompatan teknologi. Pemerintah menetapkan sepuluh industri sebagai industri strategis yang harus diproteksi yaitu industri pesawat terbang, industri maritim, industri pembuatan kapal, sektor transportasi

  Argumen waktu itu adalah Indonesia tidak bisa selamanya menggantungkan diri pada industri padat karya untuk menopang pertumbuhan ekonomi tinggi dalam jangka panjang. Untuk mempertahankan kesinambungan pertumbuhan, diperlukan investasi pada teknologi canggih dan industri-industri bernilai tambah tinggi. Sumber penerimaan negara dalam jumlah besar diarahkan pada industri- industri yang mendapat proteksi dari pemerintah ini. Kebijakan proteksi dan subsidi terhadap kelompok industri strategis itu tetap dipertahankan pada masa 1985- 1997, demikian pula kebijakan substitusi impor untuk industri–industri berat.

  Proteksi ini dinilai tidak berhasil karena industri–industri yang diproteksi secara ketat itu tidak menyumbang banyak pada pertumbuhan ekspor dan pertumbuhan industri nasional. Hal itu berbeda dengan di Korea, industri berat di Korea mampu menjadi sektor generatif yang ikut melahirkan berbagai industri lain yang terkait dan menjadi motor bagi pertumbuhan ekonomi.

  Sementara itu, industri padat karya yang banyak menyerap lapangan kerja, yang justru tidak atau relatif tidak diproteksi justru menjadi penyumbang terbesar pertumbuhan industri dan ekspor hingga awal 1990-an, seperti tekstil dan pakaian jadi, sepatu, dan elektronik. Namun, karena problem struktural, munculnya pesaing baru, dan kurangnya dukungan pemerintah, industri padat karya yang berorientasi ekspor itu tidak mampu tumbuh secara optimal. Problem struktural yang melingkupi industri padat karya nasional itu, antara lain, adalah sempitnya basis produk dan basis pasar ekspor, tingginya kandungan impor, tidak adanya pendalaman teknologi, lemahnya UKM sebagai industri pendukung, serta rendahnya produktivitas (Kim, 2004).

  Kim (2004) melihat problem struktural industri Indonesia sangat kompleks, lintas sektor dan kait-mengait; melibatkan pula kebijakan perdagangan, teknologi, sumber daya manusia, dan persaingan. Kesan yang ada selama ini, kebijakan pada tiap–tiap sektor berjalan sendiri-sendiri. Padahal, untuk menyukseskan suatu proses industrialisasi, perlu kebijakan lintas sektoral yang saling mendukung, konsisten, dan koheren.

  Kelemahan struktural industri Indonesia adalah hasil dari kegagalan kebijakan pada masa lalu yang dapat dibagi menjadi empat bagian besar, yaitu sebagai berikut.

  1) Tidak adanya kebijakan industrialisasi yang konsisten dan terintegrasi dengan

  kebijakan sektor lain (perdagangan, SDM, dan teknologi). Contohnya pembangungan berbasis teknologi yang ambisius tidak didukung oleh kebijakan teknologi pada tingkat industri yang harus dimotori oleh sektor swasta. Di Korea setiap kebijakan industri selalu disertai dengan kebijakan SDM dan pengembangan teknologi jangka panjang yang dikoordinasikan dalam framework pembangunan berjangka 5 tahun.

  2) Kegagalan strategi industri yang dimotori perusahaan pemerintah. Kelemahan

  perusahaan pemerintah adalah adanya inefisien, korupsi, perilaku rent–seeking yang selanjutnya menyebabkan proteksi industri dalam jangka panjang dan merusak perkembangan sektor swasta.

  3) Kegagalan dalam mendorong pengembangan sumber daya manusia (SDM),

  kegiatan riset dan pengembangan (RD) swasta. Mengingat kebijakan industri pemerintah ditujukan pada 10 industri strategis, dukungan dana untuk perusahaan pemerintah dan swasta di sektor lain lebih terbatas sehingga menyebabkan menurunnya pembiayaan bagi pusat riset dan laboratorium pengujian pendukung sektor swasta. Selain itu, tidak ada insentif fiskal untuk mendorong kegiatan inovatif pada perusahaan swasta.

  4) Kegagalan dalam mendorong pembangunan usaha kecil dan menengah (UKM).

  Ekonomi pasar hanya dapat berkembang jika disertai dengan pertumbuhan UMKM yang sehat. UMKM tidak hanya merupakan sumber penyedia lapangan pekerjaan, tetapi juga sumber penting untuk inovasi dan kompetisi. UMKM di Korea terhubung dengan industri manufaktur dalam sistem subkontrak yang menandakan hubungan antar industri yang erat. Sementara itu, di Indonesia sistem subkontrak antara UMKM dan industri besar belum berkembang. UMKM umumnya hanya menyediakan permintaan konsumen akhir dan bukan menyediakan input untuk perusahaan besar. Sebagai hasilnya, hubungan antarindustri sangat lemah sehingga menghambat pertumbuhan industri supply yang cost effective.

  Sumber: Kim, Chuk Kyo (2004). Industrial Development Strategy for Indonesia: Lessons

  from Korean Experience. Policy Recommendation Paper for Korea Development Institute (KDI) and Korea International Cooperation Agency (KOICA).

  Reinert, Kenneth A. and Ramkishen S. Rajan, eds., 2010. The in Princeton

  Encyclopedia of the World Economy. Princeton and Oxford: Princeton University Press.

  Damayanthi, Vivin Retno, 2008. Proses Industrialisasi Di Indonesia Dalam

Dokumen yang terkait

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

DEKONSTRUKSI HOST DALAM TALK SHOW DI TELEVISI (Analisis Semiotik Talk Show Empat Mata di Trans 7)

21 290 1

MANAJEMEN PEMROGRAMAN PADA STASIUN RADIO SWASTA (Studi Deskriptif Program Acara Garus di Radio VIS FM Banyuwangi)

29 282 2

FREKWENSI PESAN PEMELIHARAAN KESEHATAN DALAM IKLAN LAYANAN MASYARAKAT Analisis Isi pada Empat Versi ILM Televisi Tanggap Flu Burung Milik Komnas FBPI

10 189 3

MOTIF MAHASISWA BANYUMASAN MENYAKSIKAN TAYANGAN POJOK KAMPUNG DI JAWA POS TELEVISI (JTV)Studi Pada Anggota Paguyuban Mahasiswa Banyumasan di Malang

20 244 2

PERANAN ELIT INFORMAL DALAM PENGEMBANGAN HOME INDUSTRI TAPE (Studi di Desa Sumber Kalong Kecamatan Wonosari Kabupaten Bondowoso)

38 240 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24