LIMA BELAS
LIMA BELAS
M nahi dagangannya ketika Ali Topan datang. Ali
unir, pemilik kios koran dan majalah di samping toko sepatu Bata Blok M, sedang repot membe-
Topan langsung menyomot Kompas. “Nir, ada berita rumah digusur atau tukang becak ditangkepin?” kata Ali Topan. “Di Kompas ada, tapi yang lebih seru di Ibu Kota, gong. Nenek-nenek diperkosa kira-kira juga ada di situ,” kata Munir. Ia memberikan Ibu Kota pada Ali Topan.
“Makasih!” sahut Ali Topan, kemudian ia duduk di bangku milik Munir. Ia membaca. Munir meneruskan kerjanya, mengatur koran-koran
dan majalah. Seorang petugas keamanan Blok M datang ke kios itu dan berdiri di dekat Munir. Ia menyomot beberapa majalah.
“Minjam dulu ah, buat bacaan di kantor,” katanya. Munir tak menjawab. Mulutnya separuh ternganga. Ali
Topan melirik ke arah petugas keamanan itu. Kebetulan si petugas memandangnya.
“Ada apa liat-liat?” kata si petugas. Ali Topan kaget. Dalam hatinya ia berkata, galak amat
petugas itu. “Situ kenapa liat-liat saya?” kata Ali Topan. Si petugas melengak. Ia melotot. “Mau saya gampar kamu?” katanya. “Lho, ada kasus apa?” kata Ali Topan sembari mema- petugas itu. “Situ kenapa liat-liat saya?” kata Ali Topan. Si petugas melengak. Ia melotot. “Mau saya gampar kamu?” katanya. “Lho, ada kasus apa?” kata Ali Topan sembari mema-
“Jangan melotot begitu dong, nanti saya takut,” kata Ali Topan. Munir dan beberapa penjual mainan anak- anak tersenyum mendengar omongan Ali Topan. Mereka senang melihat petugas keamanan yang sok itu dipermainkan oleh Ali Topan.
”Mau gua gampar? Banyak bacot kau!” kata si petugas. Ia bergerak mendekati Ali Topan, tangannya diangkat untuk menggampar Ali Topan. Langsung saja Ali Topan
berdiri. “Kalau mau dipecat sama bapak saya, coba gampar!” kata Ali Topan. Ia berkacak pinggang. Gagah sekali. Petugas keamanan keder juga melihat gaya Ali Topan, lagi pula ia berpikir siapa gerangan bapak si anak muda ini.
“Bapak kamu siapa?” tanyanya, melembut. “Bapak saya orang!” Munir dan teman-temannya terta wa. P etugas
keamanan melihat ke arah mereka. Wajahnya merah padam menahan amarah. Tapi ia tak berani bertindak sembarangan.
“Bapak kamu jendr al ya?” tanya si petugas, meyakinkan dirinya sendiri. “Punya KTP apa enggak, berani berani nanya bapak saya? Nanti saya sebut nama bapak saya, situ kaget lagi. Udah pergi sana saya tak ada tempo melayani situ,” kata Ali Topan. Lantas ia duduk kembali, dan melanjutkan bacaannya. Petugas keamanan ragu sejenak, tapi kemu- dian ia memutuskan untuk menuruti perasaan kedernya. Sambil menyandang perasaan malu, ia ngeloyor pergi.
“Gila lu, Pan! Untung dia ngeri, kalau dia kalap kan repot lu,” kata Munir.
“Waah, boss kita ini hebat ‘kali. Gertakannya mantap ‘kali. Hebaaat,” kata seorang penjual mainan. Ali Topan cuma tersenyum. “Gertakan begitu ada elmunya tuh, bukan sembarang
gertakan,” kata Ali Topan sembari tersenyum lebar.
“Elmu apa, Boss?” kata penjual mainan anak-anak. “Wah, itu nggak boleh sembarangan dikasih tahu,” kata
Ali Topan. Ia menaruh Kompas dan Ibu Kota, lalu ngeloyor pergi.
“Makasih, Nir,” katanya. “Sama sama,” kata Munir. Ali Topan berhenti sebentar di toko Bata, melihat lihat.
Lalu berjalan lagi ke arah Pasar Melawai bagian belakang.
Melewati lorong-lorong kecil bagian toko-toko tekstil, ia bersiul-siul lagu sembarangan. Sapaan halo dari para pegawai toko-toko tekstil dijawabnya dengan halo juga.
Di ujung lorong ada seorang gadis memanggil namanya. “Hai, Maya, ngapain?” sahut Ali Topan sambil menghampiri Maya yang tersenyum manis. “Disuruh mama beli kain kelambu,” kata Maya. “Lho, kok masih pakai kelambu? Kan ada Raid?” “Mama alergi kalau bau obat-obatan semprot, jadi
pakai kelambu. Kamu dari mana? Kangen deh,” kata Maya.
“Kalau kangen, beliin rokok dong,” kata Ali Topan. Penjual tekstil yang mendengar omongan itu, kertawa
he he he. Maya yang sudah hafal kebiasaan Ali Topan mengangguk pertanda paham. “Tunggu sebentar ya, saya selesaikan transaksi dulu,” kata Maya. Ia pun membayar harga kain kelambu yang telah dibelinya.
Tak lama kemudian, kedua teman itu berjalan menuju kios rokok yang terletak di samping bioskop Kebayoran. Maya membelikan sebungkus Dji Sam Soe dan Ali Topan menyatakan terima kasih sepenuh hatinya.
“Ke mana kita? Ada cerita apa di sekolah? Bagaimana kabar cewek gua? Apakah Ibu Dewi sudah meninggal dunia? Dan Pak Brotpang apa sehat sehat atau masih pilek?” pertanyaan Ali Topan beruntun menyambar
kuping Maya. Maya tertawa renyai. Ia senang betul pada Ali Topan. Segalanya deh. Stel habis senangnya pada Ali Topan. Memang, Maya diam-diam memendam perasaan naksir pada temannya yang keren dan badung itu. Tapi taksir- annya cuma mampu dipendam di dasar laut nuraninya, sebab ia maklum bahwa Ali Topan tak ada minat padanya dalam soal cinta menyinta.
Cukup kasihan sebenarnya kalau ada gadis sedikit manis seperti Maya, yang punya cita-cita memeluk gunung padahal menyusuri bukitnya pun sudah ngeri dia, ngeri kalau ditolak. Dan, tidak mengherankan tidak pula disesalkan kalau Maya memendam sedikit birahi pada anak manusia yang kerennya stel habis model Ali Topan, sebab, bidadaripun, umpama katanya, jika melihat cucu Adam yang tampangnya orisinil seperti Ali Topan, runtuhlah imannya dan bisa kejadian ia minta pensiun sebagai bidadari.
Maya bercerita perihal Anna Karenina yang setiap hari nampak sendu dan merana, perihal ulangan ulangan yang membadai menjelang ujian, perihal Ibu Dewi yang makin merajalela dan perihal macam macam yang bisa diceritakan.
“Wah, kasihan kekasih hati pujaan jantung gua, May,” kata Ali Topan, “hatinya tersiksa menanggung derita.
Tapi tolong bilang sama dia, May, jangan kuatir tentang nasib gua, gua cukup makan, cukup minum dan istirahat nyenyak.”
“Anna kuatir kalau kamu nggak lulus ujian nanti. Si Meinar malah bilang sama Anna, kalau perlu dia mau lapor papanya, supaya urusan skorsing kamu ditinjau kembali. Kan papa si Meinar jendral di Hankam. Tapi cewek kamu nggak mau,” kata Maya.
“Wah, betul itu, jangan bawa bawa Hankam deh buat soal sepele kayak gini, entar diketawain marmut kan repot kita? Jangan deh, jangan mengundang kekuatan luar. Tapi bilang sama Meinar, gua mengucapkan terima kasih atas i’tikad baiknya,” kata Ali Topan. Terhar u perasaannya mendengar rencana Meinar, teman sekelasnya yang cukup dahsyat itu.
“Terus kamu nggak belajar? Nanti gimana dong kalau nggak lulus, mengulang lagi setahun?” “Soal belajar kan nggak cuma di sekolahan, Maya. Apalagi sekolahan brengsek begitu, keseringan sekolah bisa miring otak kita. Pokoknya, kalau gua nggak lulus ujian nanti, lu boleh sunat gua lagi.”
“Ih! Geli!” Ali Topan ketawa. Maya menutup mulutnya dengan tas sekolahnya,
menahan tawa pula. Rasanya, kata-kata paling jorok pun yang keluar dari mulut Ali Topan, indah kedengaran di kupingnya.
Mereka sudah sampai di pelataran Pasar Melawai. Di dekat tempat parkir motor, Ali Topan melihat petugas keamanan yang galak, melihat ke arahnya. Sinar mata orang itu tampak mencorong, mengandung amarah. Di sebelahnya ada seorang temannya lagi yang juga menga- wasi Ali Topan. Bekesiur hati Ali Topan, merasakan gela- Mereka sudah sampai di pelataran Pasar Melawai. Di dekat tempat parkir motor, Ali Topan melihat petugas keamanan yang galak, melihat ke arahnya. Sinar mata orang itu tampak mencorong, mengandung amarah. Di sebelahnya ada seorang temannya lagi yang juga menga- wasi Ali Topan. Bekesiur hati Ali Topan, merasakan gela-
Topan namanya, kalau di saat gawat tidak menemukan akal kancil. Sekira tiga langkah sampai di depan petugas keamanan itu, ia memandang Maya dengan serius. Lalu ia berkata dengan nada keras.
“Papa si Meinar pangkatnya Mayor Jendral apa Letnan Jendral, May? Rasanya udah naek pangkat dong dia. Masa dari dulu cuma Mayor Jendral terus? Kan kariernya di Hankam hebat tuh!”
Maya memandang Ali Topan dengan perasaan heran. Yang lebih heran, sampai mundur selangkah, adalah dua petugas keamanan. Mendengar Ali Topan menyebut jendral, ngerilah hati mereka. Lantas beliau-beliau itu pura-pura membuang muka ke atap Pasar Melawai.
Ali Topan berjalan dengan gaya koboy, mengambil motornya. Dihidupkannya motor, dan sengaja dimain- kannya gas motornya sekeras-kerasnya, hingga Maya menutup kuping dan berteriak-teriak. Ia baru berhenti berteriak setelah Ali Topan menormalkan gas motornya.
“Kalau mau ngebut saya nggak mau diantar pulang, mendingan jalan kaki,” kata Maya, mengajuk. “Sorry boy.” “Boy lagi, emangnya gua cowok.” He he he he he he he. Ha ha ha ha ha ha.. Hu hu h u hu hu
hu hu. Ho ho hi hu ho ho hi hu. Ali Topan kumat urak- annya. Sepanjang jalan ke rumah Maya ia tertawa renyai bak kicauan burung kukuk beluk. Jalan motor dilambat- kannya hingga Maya senanglah hatinya. Berbunga betul hati Maya bisa memeluk pinggang Ali Topan. Rasanya, matipun tidak penasaran.
Ketika motor sampai di rumah Maya, buyarlah lamunan indah gadis itu. Pelukan tangannya di pinggang
Ali Topan merosot otomatis. Wajahnya rada tersipu-sipu bak wajah perawan dicolek penyamun.
“Mampir dulu?” kata Maya. “Makasih deh. Lain kali saja. Oom masih ada urusan
laen,” kata Ali Topan. Sembari melepas senyum bertendens, ia memacu sepeda motornya. Ia bermaksud menjenguk sahabatnya, Bobby, mau nanya soal-soal ulangan dan catatan-catan pelajaran sahabat itu.
Bobby sedang mendengarkan kaset Dino, Dessy and Billy , ketika Ali Topan nongol di kamarnya. “Hello friend, apakah revolusi sudah selesai?” tegur Ali Topan sembari menyelipkan sebatang Dji Sam Soe di bibirnya.
“Hai, revolusi mendingin karena Che Guevara sedang diskors oleh Fidel Castro,” sahut Bobby. “Bagaimana dengan konsep-konsep penanaman modal, Aljabar dan Kimia Organik dalam rangka pembangunan ujian kita?”
“Ada tuh di tas gua. Lengkap dengan data-data komisi buat pejabat yang berwenang memutuskan.” Ali Topan melemparkan sebatang Dji Sam Soe ke arah Bobby yang tetap duduk relaks di tempat tidurnya. “Apakah LNG-nya bisa dirojer?” Ali Topan melemparkan korek api cap orang keling
mikul kendi. Bobby menyulut rokoknya dengan gaya teknokrat. Gaya tinggi.
Ali Topan mengambil tas Bobby dari rak buku, lalu memberikan tas itu pada pemiliknya. Ia tidak mau meng- ambil sendiri buku catatan Aljabar dan Kimia di situ. Bobby mengambilkan buku-buku dan catatannya.
“Lu apa-apa minta dilayani. Kapan ber entinya kelakuan begitu, friend,” kata Bobby.
“Itulah yang dinamakan tatakrama, friend. John Lenon menyebutnya etiket. Yang udah-udah, gua baca di buku Can’t Buy Me Love sih begitu. Kalau gelas ada tatak- annya, kalau manusia ada tatakramanya, begitu friend.”
“Buku apa? Can’t Buy Me Love? Nggak salah tuh, yang gua baca sih buku Blowin’ In the Wind,” kata Bobby, senyum dia.
“Yeaaah, sama juga. Tapi yang lebih klasik mah di buku Pileuleuyan yang diedit oleh Nyi Upit Sarirosa,” sahut Ali Topan, disambungnya dengan heh he heh heh.
Bobby pun ber-heh heh heh heh pula. Ali Topan mencatat apa yang perlu dicatatnya. Ringkas. Sempurna. Bobby sudah hafal kejeniusan Ali Topan dalam urusan pelajaran. Dia sudah bosan heran dan bertanya-tanya, bagaimana caranya otak Ali Topan bekerja. Ia yang punya catatan rapi, belajar cukup getol, tapi jarang dapat angka tujuh pada setiap ulangan Aljabar atau Kimia. Sedangkan Ali Topan yang rasanya ke sekolah cuma iseng, dan hidupnya semi acak-acakan, ulangannya paling apes dapat 8. Kalau nggak sungkan sama Pak Guru, dia selalu dapat 9 atau 10. Brilian-lah, begitu kalau orang Barat bilang.
“Jadi skorsing gua berakhir pas dua hari menjelang minggu tenang, Bob? Lama juga gua cuti nih,” kata Ali Topan, seusai merapikan catatannya.
“Nggak juga. Gua denger sih, Pak Borot mau meninjau keputusan itu. Dia tiap hari negosiasi sama Bu Dewi. Gua rasa sih skorsing lu dipersingkat. Paling-paling lu disuruh minta maaf secara tertulis di atas plat segel.”
“Minta maap? Lu kira lebaran pake acara minta maap. Emoh aku!” “Lantas apa maumu? Apa yang kau cari, Ali Topan?” kata Bobby. Dia ini paling doyan omong gaya tinggi, “Minta maap? Lu kira lebaran pake acara minta maap. Emoh aku!” “Lantas apa maumu? Apa yang kau cari, Ali Topan?” kata Bobby. Dia ini paling doyan omong gaya tinggi,
“Seandainya Tuhan tidak memberi izin kepadamu, apakah yang kau cari Ali Topan?” tanya Bobby, menahan tawa.
“Seandainya ada acara begitu ya tidak apa-apa, sebab Tuhan itu Maha Bijaksana.” “Bijaksana apa bijaksini.” “Eh lu jangan kurang ajar, Bob! Dosa ngoceh semba-
rangan becandain Tuhan. Lu kire Tuhan itu statusnye kayak Oom lu? Baek-baek lu ngoceh. Ntar bisu ngga ketauan sebabnye lu,” kata Ali Topan. Serius die.
Bobby senyum-senyum kecil. Tapi hatinya memang takut. Dia merasa keterlaluan dalam soal Tuhan. Untuk menetralisir suasana, dia membesarkan volume musik Dino, Dessy and Billy-nya.
“Ngomong punya ngomong, gimana kabar Dudung sama Gevaert? Apa semuanya baek?” “Baek, cuman rada kurang ajar.” “Di pasal berape kurang ajarnye?” “Di pasal perkosaan. Masak sih, Dudung and Gevaert
berani-beranian naksir perempuan. Si Dudung naksir si Meiske anak Gang Kembang, Si Gevaert naksir Farah anak Jalan Tumaritis. Berbarengan lagi cintanya, kan repot?”
“Kapan peristiwanye? Dan gimana silsilahnye si Farah sama si Meiske itu? Anak orang baek-baek apa anak seniman? Anak ABRI atawa anak pegawe negri? Di mana lahirnye, di mana bahenolnye? Pegimane guratan “Kapan peristiwanye? Dan gimana silsilahnye si Farah sama si Meiske itu? Anak orang baek-baek apa anak seniman? Anak ABRI atawa anak pegawe negri? Di mana lahirnye, di mana bahenolnye? Pegimane guratan
“Nah, itu die, Boss. Gua kan repot. Tiap istirahat udah pade bedua-duaan, kayak pejabat sama bintang pilem gitu. Rasenye, pengen gua goreng aje itu anak dua. Bandel sih, dapet perempuan nggak bagi-bagi.”
“Ooh begituuu? Coba deh nanti Oom tanya mereka, kenapa tidak membagi perempuan padamu, Bobiiih.” “Eh, jangan manggil Bobih begitu dong, kayak panggilan orang Gunung Kembung...” Kedua sobat itu tertawa bersama-sama. Renyah. Sesudah capek ketawa dan bosen ngobrol, Ali Topan permisi pulang.
“Nanti malem ke rumah Gevaert, Bob. Kongko- kongko.” “Jangan kebanyakan kongko, ujian sudah di depan congor kita, Pan. Ntar ngga lulus gua bisa ngga diaku anak oleh babe gua.”
“Oh ya?”
Malam harinya mereka berkumpul. Ceritanya belajar bareng, tapi toh acara saling ‘ngeledek’ tetap berjalan. Tiga nama perempuan: Anna Karenina, Farah dan Meiske merupakan topik yang menyenangkan Bobby. Ia menyatakan bahwa perempuan itu cenderung merusak karier, mengganggu pelajaran. Ia mengatakan, sebelum jadi sarjana, sebaiknya orang lelaki jangan pacaran sama perempuan. Bahaya, katanya.
“Tergantung perempuannya, kalau hatinya memang busuk, ya merusak, kalau hatinya baik ya bikin baik, Bob. Kalau si Farah mah, rasanya berhati emas,” kata Gevaert.
“Berapa karat?”
“Dua puluh lima karat!” “Wah. Monas kalah dong?” “Jangan sentimen lu. Belon kena sentuh perempuan lu
ya? Sekali kena panah asmara, mabok dah lu.” “Oh ya?” “Iya.” “Yah, mudah-mudahan deh gua kuat iman. Rasanya
sih, tipe ideal gua belum lahir ke dunia. Kalau perempuan biasa saja sih, sorry deh, geli gua. Paling dikit sih selevel sama Putri Caroline dari Monaco.”
“Lu ngomong gitu waras apa lagi sakit?” kata Ali Topan. “Waras. Kenapa? Gua kan gini-gini masih ada tetesan darah biru. Bangsawan Yogya, mack. Asal paham saja.” “Oo darah nenek moyang lu kecampuran tinta dong? Lu jual ke pabrik Parker bisa laku tuh.” Sampai disitu ledek-meledek selesai. Ali Topan tahu, kalau diteruskan, Bobby bisa kalap. Omongan dibelokkan ke buku-buku pelajaran. Demikian sampai jauh malam.