DUA BELAS
DUA BELAS
sok harinya di sekolah. Maya memberikan titipan dari Ali Topan kepada Anna Karenina.
E “Nih, balasan dari dia,” kata Maya.
“Oh ya? Terima kasih Maya,” kata Anna. Ia cepat memasukkan buku itu ke dalam tasnya. Hatinya berdebar-debar. Ia ingin segera membaca surat balasan itu, tapi beberapa teman yang baru datang lewat di sisi bangkunya.
“Kamu ke rumahnya?” tanya Anna. “Ih, gengsi dong. Saya ketemu dia di blok-M, tampang-
nya kusut banget, begitu saya kasih surat kamu tampang- nya jadi berseri-seri seperti penyanyi pop di layar tivi,” kata Maya sambil senyum. Anna mencubit lengan Maya.
“Dia masuk apa tidak hari ini?” tanya Anna. “Nggak tahu, emangnya saya ibunya apa yang musti
tahu segala urusan dia,” jawab Maya. Wajah Anna Kare- nina bersemu dadu karena godaan itu.
Bel sekolah berdentang. Jam pertama hari itu adalah jam yang paling tidak disukai oleh murid-murid, yaitu “pembinaan budi pekerti” oleh Ibu Dewi. Ali Topan memberi sebutan “pendidikan over acting” untuk jam pelajarannya.
Ibu Dewi masuk ke dalam kelas. Ia memakai pakaian yang selalu mengikuti mode dan mahal, sesuatu yang tidak cocok dengan jabatannya sebagai pembina budi pekerti. Dandanan wajahnya pun, yang ditandai dengan gincu menyala, bedak tebal, bulu mata palsu sangat mem- bantu pandangan negatif murid-murid terhadap dirinya.
Pertama kali Ibu Dewi melihat ke arah bangku Ali Topan. Tak pernah sekalipun ia melihat Ali Topan siap di tempatnya ketika ia masuk. Kalau tidak kesiangan, sampai hampir habis jam pembinaannya, pasti Ali Topan tidak masuk. Dan ia tak habis mengerti kenapa murid yang satu itu begitu berani terbuka menantangnya.
“Dia ke mana?” tanya Ibu Dewi pada Boby. “Saya tidak tahu, Bu,” jawab Boby. Itu adalah tanya jawab yang rutin, semacam pendahulu-
an untuk acara ‘pidato’ muluk-muluk tentang budi pekerti, sopan santun, moral baik dan buruk serta lain- lain dongengan lagi.
Biasanya, kalau ada Ali Topan, selalu saja ada peristiwa yang lucu dibuatnya, yang menguap keraslah, yang berlagak mengantuk, atau jatuhnya setumpukan buku ke lantai. Bahkan pernah ada seekor tikus got berlari kian kemari di dalam kelas dan mengakibatkan kelas geger, anak-anak perempuan naik semua ke atas bangku mereka, bahkan Ibu Dewi lari terbirit-birit ke luar sampai terkencing-kencing. Dugaan kuat Ali Topan yang membuat ulah, tapi dugaan itu tak bisa dibuktikan, akhirnya dibekukan.
Ali Topan bangun tidur pada pukul 7.23 wib. Selesai mandi pada pukul 7.31 wib, ia segera mengenakan busana hariannya, jeans bluwek dan kemeja batik cap Dua Bedil. Seharusnya busana seragam SMA Bulungan bukan jeans bluwek, dan batik cap Dua Bedil, tapi celana biru muda dengan baju batik Keris. Ali Topan selalu merasa gerah kalau memakai seragam sebagai yang ditentukan oleh Kepala Sekolah. Oleh karena itu, ditambah catatan yang hampir setiap hari dicatat oleh ibu-ibu dan bapak-bapak guru sehubungan dengan kelakuannya yang “bebas-ak- tif,” maka nilai budi pekerti Ali Topan tidak pernah bagus.
Tanpa sarapan pagi, Ali Topan berangkat ke sekolah pada pukul 7.44. Ia mengendarai motornya sebagaimana anak-anak muda Jakarta yang sedang puber, yaitu ngebut. Seringkali ia ditangkap polisi lalu lintas karena penge- butannya, tapi sering kali pula ia dibebaskan karena polisi diberinya alasan yang masuk akal. Ia selalu mengatakan, ketika ditanya kenapa ngebut, bahwa ia hanya mencontoh adegan ngebut di dalam film luar dan dalam negeri.
”Kalau Bapak ingin agar saya berhenti ngebut, coba Bapak larang adegan ngebut di film-film itu,” demikian katanya senantiasa. Ketika polisi-polisi itu menunjukkan gejala “perdamaian di bawah tangan”, Ali Topan suka juga membual, dengan mengatakan dia anak jenderal. Secara psikologis dia tahu, berdasarkan pengalaman orang lain, polisi–polisi itu agak ngeri jika ada seseorang remaja mengaku anak jenderal. Tapi pernah juga sekali tempo dia membentur “batu”, ketika seorang polisi lalulintas tidak peduli apa yang ia bualkan, dan Ali Topan kena “tilang” di Pengadilan Negeri Jakarta Barat yang terletak di kampung Slipi.
Dia memang jagoan mengendarai motor. Dalam tempo
3 menit dia sudah sampai di Jalan Wijaya II. Ia suka mengambil jalan memutar ke sekolahnya yang terletak di Jalan Mahakam, untuk menikmati tikungan-tikungan ke- cil yang terdapat di situ. Pada saat ia menikung dari Jalan Wijaya II ke arah Panglima Polim Tiga, ban motornya mendadak kempes. Ali Topan menghentikan motornya dan memeriksa ban depan yang kempes. Ia mendapati sebuah paku besar menancap di ban motornya.
“Sialan, lu anak siapa sih paku! Nggak disekolahin ya sama bapak lu! Pagi-pagi begini bikin kempes ban motor gua!” Ali Topan menggerutu. Ia berusaha mencabut paku itu, tapi tidak bisa, karena paku itu menancap dan “Sialan, lu anak siapa sih paku! Nggak disekolahin ya sama bapak lu! Pagi-pagi begini bikin kempes ban motor gua!” Ali Topan menggerutu. Ia berusaha mencabut paku itu, tapi tidak bisa, karena paku itu menancap dan
“Pagi-pagi sudah kena musibah rupanya…” kata tukan tambal ban seorang muda asal Medan. “Iya. Musibah gua kan rejeki lu, Bang! Bisa banget lu omong musibah-musibahan,” jawab Ali Topan. Dia memarkir motornya di depan tukang bengkel yang tersipu-sipu mendengar kata-katanya.
“Kena paku rupanya? Di mana?” kata tukang tambal ban. “Di Bandung!,” sahut Ali Topan, “gua tinggal ini motor, nanti siang gua ambil,” tambahnya sembari melemparkan kunci motor pada tukang tambal ban yang bengong itu tanpa banyak pernik, Ali Topan berjalan pergi, menyambung perjalanannya.
Ali Topan berjalan kaki dengan santai. Ia bersiul-siul gembira. Kedua buah tangannya berada didalam saku jeans. Indah sekali pagi, nyaman sekali hatinya.
Seorang pengendara motor dari arah belakang berhenti di dekatnya. Dia Teddy, anak kelas I-7. “Eh, tumben jalan kaki, Pan. Ke mana motor lu?” tanya Teddy, “udah telat nih. Lu naik deh,” tambahnya.
“Hei, lu Ted. Ban motor gue pecah kena paku. Yuk , gua nebeng dah,” kata Ali Topan. Dia membonceng Teddy.
Sampai di sekolah Ali Topan melompat turun. “Terima kasih, Ted,” kata Ali Topan, kemudian ia segera berlari menuju kelasnya. Teddy menuntun motornya ke tempat parkir.
Ali Topan sampai di depan kelas, tapi dia tidak langsung masuk. Dia berdiri di dekat pilar di depan kelas. Suara Ibu Dewi membuatnya enggan masuk, namun Ali Topan sampai di depan kelas, tapi dia tidak langsung masuk. Dia berdiri di dekat pilar di depan kelas. Suara Ibu Dewi membuatnya enggan masuk, namun
Di dalam kelas, Ibu Dewi mulai “berdakwah”. Murid- murid segera diam. Memperhatikannya. “Anak-anak, hari ini Ibu akan menerangkan satu masalah yang menyangkut tatacara pergaulan kaum muda. Masalah ini sangat penting agar kalian bisa menjadi pelajar teladan. Judul masalah sudah Ibu pilihkan, yaitu Bagaimana Memperoleh Manfaat Dari Pergaulan . Sungguh, hal ini penting bagi kalian, karena anak-anak muda jaman sekarang sedang menjadi perhatian kaum pendidik dan masyarakat akibat makin hari makin tinggi angka kenakalan remaja di Jakarta,” kata Ibu Dewi. Ia berkata dengan suara nyaring dan mimiknya selalu khas, gerak kelopak mata dan bibir yang genit seperti penyiar tivi serta tangan yang selalu menjentik-jentik debu kapur yang jatuh ke busananya.
Murid-murid diam, tapi sebagian besar pikiran mereka bukan kepada masalah yang sedang dibicarakan melain- kan kepada gerak kelopak mata dan bibir Ibu Dewi, yang sok anggun itu.
“Mengerti kalian?” tanya Ibu Dewi. Murid-murid serempak mengatakan pengertian mereka. Ibu Dewi tam- pak suka dengan jawaban yang serempak itu. Ia melirik ke murid-murid di barisan belakang, kemudian menu- liskan “ceramahnya.”
Anna Karenina mengambil surat dari Ali Topan, lalu ditaruhnya di bawah tas sekolah yang ditaruhnya di atas meja. Ketika Ibu Dewi sedang asyik menulis teori-teori pergaulan, ia mempergunakan kesempatan itu untuk membaca surat dari Ali Topan. Begitu Ibu Dewi selesai menulis dan mulai berbicara lagi, Anna segera mendo- ngak, melihat ke arah Ibu Dewi. Hal itu dilakukannya Anna Karenina mengambil surat dari Ali Topan, lalu ditaruhnya di bawah tas sekolah yang ditaruhnya di atas meja. Ketika Ibu Dewi sedang asyik menulis teori-teori pergaulan, ia mempergunakan kesempatan itu untuk membaca surat dari Ali Topan. Begitu Ibu Dewi selesai menulis dan mulai berbicara lagi, Anna segera mendo- ngak, melihat ke arah Ibu Dewi. Hal itu dilakukannya
“Mengertiiiiii!” sahut murid-murid, serempak. Anna Karenina cuma menggumam saja, ia tidak bermi-
nat untuk ikut-ikutan berteriak seperti teman-temannya yang serempak menyambut pernyataan Ibu Dewi.
Ibu Dewi berbalik menghadap papan tulis lagi. Ia menuliskan sesuatu, tapi tiba-tiba ia berbalik menghadap ke arah para murid. Tepat pada saat itu Anna Karenina sedang mengangkat tasnya, menarik kertas surat dari Ali Topan.
“Hei, kamu! Sedang bikin apa kamu?” kata Ibu Dewi. Tangannya menunjuk Anna Karenina yang terkejut men- dengar tegurannya. Secara refleks Anna menyimpan kembali surat dari Ali Topan ke bawah tasnya. Wajahnya tampak gugup sekali. Ia tidak menjawab.
Ibu Dewi menghampiri Anna. Para murid yang lain langsung memusatkan perhatian mereka ke arah Ana dan Ibu Dewi.
Ibu Dewi membalik tas Anna dan mengambil surat dari bawah tas itu. “Apa ini?” tanya Ibu Dewi. Anna Karenina tidak menjawab . Wajahnya pias. Ibu Dewi membaca surat Ali Topan itu. Wajahnya berubah sinis. Ia mengangkat surat itu, lalu membaca isi surat dengan suaranya yang nyaring. Anna Karenina cuma bengong saja. Perasaannya sangat risau sekali.
“Wah, wah, wah …Surat cinta dari kekasih. Bukan “Wah, wah, wah …Surat cinta dari kekasih. Bukan
Di luar, Ali Topan merasa tegang. Ia mendengar suara Ibu Dewi yang sedang marah kepada Anna. Dan ia tahu Ibu Dewi mengada-ada dengan pembacaan surat yang tidak cocok dengan surat yang ditulisnya untuk Anna. ’Apakah Anna mendapat surat dari orang lain?’ demikian pikirnya. Maka ia menunggu perkembangan selanjutnya. Ia waspada.
Di dalam kelas Ibu Dewi berkacak pinggang di depan Anna. Anna tetap merunduk. Murid-murid lainnya diam. “Hei! Inilah contoh anak yang baik sekali kelakuannya,” kata Ibu Dewi sinis. “Ada gur u menerangkan pelajaran di depan kelas, dia asyik membaca surat cinta dari kekasihnya!” tambahnya.
Anna Karenina merunduk terus. Ibu Dewi menyentuh dagu Anna, lalu mengangkat
dagu itu, hing ga Anna ter paksa menengadah, memandangnya.
“Kamu murid baru di sini ya! Coba berdiri di depan kelas!” kata Ibu Dewi. Anna Karenina berdiri, perlahan, lalu berjalan di depan kelas. Ia merasa telah membuat kesalahan, oleh sebab itu ia pasrah menerima hukuman apapun. Ibu Dewi menggenggam surat rampasannya. Ia menghampiri Anna, dan berdiri di depan Anna.
“Hei, Kamu ke sini untuk belajar atau untuk cari pacar?” tanya Ibu Dewi. Anna tidak menjawab. Ia melihat surat yang di “Hei, Kamu ke sini untuk belajar atau untuk cari pacar?” tanya Ibu Dewi. Anna tidak menjawab. Ia melihat surat yang di
Ibu Dewi memandangnya dengan tajam, kemudian ia berpaling ke arah murid-murid yang lain. “Hai, kalian kiranya ingin mendengarkan pembacaan surat cinta, bukan?” katanya. Murid-murid tak ada yang menjawab. Maya dan Boby berpandangan. Keduanya mengangkat bahu.
Ibu Dewi memberikan surat rampasannya pada Anna. “Kau, bacalah! Supaya semua teman tahu bagaimana
hebatnya pacarmu y ang bernama Ali Topan itu merangkai kalimat cinta!,” kata Ibu Dewi.
Di luar kelas, Ali Topan tersentak mendengar namanya disebut. Sudah pasti, sudah pasti surat yang ditulisnya untuk Anna yang jadi perkara. Tanpa pikir dua kali, Ali Topan melangkah masuk ke dalam kelas. Wajahnya tegang, pandangannya matanya menyapu seluruh kelas, lalu hinggap di wajah Ibu Dewi. Ditatapnya mata Ibu Dewi. Kemarahan terbayang diwajahnya.
“Ini dia pahlawan cinta kita!,” Ibu Dewi berseru, “hei, kau baca surat itu!, serunya lagi, pada Anna Karenina. Anna tergetar. Ia memandang Ali Topan dan Ali Topan juga memandangnya. Tiba-tiba Ali Topan mengulurkan tangannya, meminta surat itu.
“Biar saya yang membacanya, An,” katanya. Anna memberikan surat itu. Ibu Dewi membelalakkan
matanya. Menghadapi Ali Topan selalu membuatnya kehilangan akal. Karena itu ia selalu memunculkan kemarahan dan sinisme yang galak.
“Ibu Dewi, karena saya yang membuat surat ini, saya kira lebih tepat jika saya yang membacanya…,” kata Ali Topan.
“Boleh juga, Bung!” kata Ibu Dewi. Tanpa banyak pernik, Ali Topan membaca suratnya.
Anna Karenina Yang Manis! Saya senang sekali menerima suratmu. Saya tiba-tiba
jadi bersemangat dan hidup terasa tidak suram lagi. Rasanya, baru pertama kali dalam sejarah hidup saya sampai hari ini, saya menerima perhatian yang menakjubkan. Surat Anna saya bawa ke manapun saya pergi. Setiap saat saya ingin membacanya. Nah, sekian dulu. Oh ya, soal saran kamu supaya saya rajin sekolah, itu gampang diatur. Terima kasih.
Ali Topan Ali Topan selesai membaca suratnya. Ia memberikan
surat itu kembali pada Anna. Teman-temannya ada yang tertawa mengikik mendengar Ali Topan membaca surat. Tapi tak ada yang berani mengeluarkan cemoohan. Teman-teman sudah kenal Ali Topan. Mereka respek padanya. Respek campur ngeri.
“Sekarang kamu yang baca,” kata Ibu Dewi pada Anna. Anna, Ali Topan dan murid-murid lainnya terkejut. Mereka menganggap Ibu Dewi keterlaluan. Lagipula, yang menjadi pertanyaan anak-anak, kenapa bunyi Ibu Dewi lain dengan bunyi Ali Topan mengenai surat itu? Apakah Ibu Dewi mengada-ada tadi?
“Saya kan sudah membaca, Ibu Dewi?” tanya Ali Topan. Nadanya lembut. “Kalau saya suruh dia baca kamu mau apa? Atau kalau saya mau sobek-sobek surat kamu, lantas kamu mau apa?” kata Ibu Dewi. Ia berpaling ke Anna. “Ke sinikan surat itu!,” katanya.
Anna memberikan surat itu. Ibu Dewi merobek-robek surat itu dengan tenang dan membuang robekan kertas itu tepat kena wajah Ali Topan dan berhamburan ke lantai. Beberapa potongan menempel di baju dan tas sekolahnya.
Kelas dicekam sunyi. Semuanya menunggu reaksi Ali Topan. Mereka memastikan, Ali Topan naik pitam. Kali ini mereka salah duga. Ali Topan mampu menekan emosinya. Perlahan ia membungkuk, berjongkok memunguti robekan kertas suratnya. Dikumpulkannya robekan kertas itu di tangan kirinya, kemudian ia berdiri lagi. Dia berikan robekan surat pada Anna Karenina, kemudian ia berpaling ke Ibu Dewi.
“Terima kasih atas kebijaksanaan Ibu,” kata Ali Topan. Kata-katanya merendah, tapi nadanya dingin betul. “Saya tidak butuh terima kasih kamu!,” kata Ibu Dewi. Ali Topan tersenyum. “Boleh kami duduk, Ibu?” katanya. Tenang. “Kamu menghina saya ya?” kata Ibu Dewi. “Tidak.” “Tapi sikap kamu kurang pantas! Kamu sok jago.
Keluar kamu! Saya muak melihat tampangmu! Sana! Ke luar!”
“Jangan begitu dong, Bu. Masa saya mau sekolah disuruh keluar? Itu kan kurang bijaksana namanya,” kata Ali Topan.
“Kamu selalu membantah! Anak berengsek!” kata Ibu Dewi. Dia berjalan ke meja, mengambil tasnya, lalu keluar cepat-cepat. Wajahnya geram betul. Ali Topan menarik tangan Anna, mengajaknya kembali ke bangkunya. “Wan, sorry kalau gue bikin kacau lagi,” kata Ali Topan “Kamu selalu membantah! Anak berengsek!” kata Ibu Dewi. Dia berjalan ke meja, mengambil tasnya, lalu keluar cepat-cepat. Wajahnya geram betul. Ali Topan menarik tangan Anna, mengajaknya kembali ke bangkunya. “Wan, sorry kalau gue bikin kacau lagi,” kata Ali Topan
“Boleh aja gue jadi ketua kelas, tapi pakai syarat. Kalau kita boleh pakai busana yang sedikit nyentrik dan merokok di dalam kelas, oke saja. Lu bilang deh ke Pak Broto,” kata Ali Topan. Tentu saja teman temannya tertawa. Grrr. Suasana jadi segar lagi.
Di Kantor Direktur Sekolah. Pak Broto Panggabean mendengar “laporan” Ibu Dewi. Seperti biasanya, Ibu Dewi mendramatisir laporannya dengan airmata yang meleleh dipipinya.
Pak Broto Panggabean memanggil sekretarisnya. “Hadi, Ali Topan suruh menghadap,” kata Pak Broto. “Ya, Pak,” kata Hadi. Dia berjalan cepat ke luar. “Anak
setan itu kok nggak bosen dipanggilin terus. Gua aja yang disuruh manggil udah bosen. Dia dia juga,” gumam Hadi pada dirinya sendiri.
Hadi sampai di kelas, berdiri di depan pintu sambil cengar cengir. Dia melambai ke arah Ali Topan. “Hallo Boss. Urusan biasa dah!” kata Hadi. Murid- murid ketawa. “Biasa apaan?” kata Ali Topan. “Dipanggil Godfather,” kata Hadi. “Eh, bego ! God itu nggak ber-father dan father itu
bukan God,” kata Ali Topan. “Lu bilangin ke Pak Brotpang... jadi Direktur Sekolah kok kerjaannya manggil-manggil murid sih. Apa nggak ada kerjaan lain yang lebih bermanfaat buat pembangunan?” kata Ali Topan. Grrrrrrrrrr lagi teman temannya.
“Saya nggak tahu. Nanti saja tanya yang “Saya nggak tahu. Nanti saja tanya yang
Ali Topan berjalan keluar kelas diiringi komentar jahil yang ke luar dari mulut teman-teman kelasnya. Anna Karenina tidak ikut berkomentar. Dia menundukkan kepalanya. Maya juga diam.
Ali Topan menghadap Pak Broto Panggabean. “Selamat Pagi, Pak,” kata Ali Topan. “Iya. Pagi pagi kau bikin perkara lagi. Ini Ibu Dewi
melaporkan kelakuan kau yang brengsek. Dan, pelajaran terhenti. Itu berarti kau bikin rugi teman teman kau yang lain,” kata Pak Broto Panggabean.
Ali Topan diam saja. Percuma menjawab, sebab jawabannya akan sama seperti jawaban pada setiap kali dipanggil Pak Broto. Pak Broto Panggabean mengusap- usap kumisnya yang tebal.
“Aku sudah capek marah-marah. Kau rupanya punya adat eksentrik ya. Semakin hebat dimarahi semakin hebat berengsek kau! Nah, tadi Ibu Dewi melapor, katanya kau pacaran di dalam kelas. Main surat cinta dengan Anna, murid baru itu. Nah, Ibu Dewi minta supaya kita bikin pertemuan antara kau, Anna, orang tua kau dan orangtua Anna dengan kami di sini. Kau menghadap lagi besok pagi jam delapan,” kata Pak Broto Panggabean.
Ali Topan keluar dengan wajah lesu, tanpa permisi pada Pak Broto. Ibu Dewi ditengokpun tidak olehnya. Jalannya rada loyo. Dia memikirkan kegawatan esok hari. Sudah jelas urusan bakal jadi meriah.
Dia membayangkan wajah ibu Anna yang non-kom- promis itu, wajah ayah Anna yang rada acuh, sopir Mercy yang namanya Oom Boy dengan tampang klimis yang menjijikkan. Wajah tiga manusia aneh itu akan bertemu dengan wajah Ibu Dewi yang sinisnya bukan kepalang, Dia membayangkan wajah ibu Anna yang non-kom- promis itu, wajah ayah Anna yang rada acuh, sopir Mercy yang namanya Oom Boy dengan tampang klimis yang menjijikkan. Wajah tiga manusia aneh itu akan bertemu dengan wajah Ibu Dewi yang sinisnya bukan kepalang,
Membayangkan Anna, dia menggeplak jidatnya sendiri. Sampai di depan kelas Ali Topan masih menggeplak-geplak jidatnya sendiri. Kusut pikirannya.
Ali Topan masuk ke dalam kelasnya. Teman temannya memandang padanya. “Gimana, Pan?”tanya Bobby. “Prihatin, mek!,” sahutnya. Dia menghampiri Anna
Karenina, dan berdiri di depan gadis manis yang merasa sebagai gadis paling apes di seluruh dunia.
“An! Besok orang tua kamu bakal disuruh datang oleh penguasa sekolah ini. Orangtua saya juga di panggil, tapi jelas mereka nggak bakal datang. Besok kita berdua bakal diadili di depan orang-orang tua itu. Saya harap kamu tabah,” kata Ali Topan. Suaranya cukup keras sehingga anak anak lain bisa mendengarnya.
“Bakalan seru dong, Pan. Kalau perlu kite rubuhin aje sekolahan kagak berbobot ini,” Wandi, anak betawi asli mencuap.
“Iya, Pan kita culik sekalian Pak Broto dan Ibu Dewi. Kite ceburin ke Bina Ria biar dimakan jaws!” kata I Soen, peranakan Cina-Sunda yang duduk sebangku dengan Ridwan. Teman teman sekelas, termasuk Ali Topan & Anna tertawa mendengar leluconnya.
“Apa lu kate?” kata Bobby, ”dimakan jaws? Udah pinter ngomong Inggris lu, Cina!” tambahnya dalan nada bergurau.
“Pejajaran lu, Bob. Gue bukan Cina, gue orang Sunda tau? Sekali lagi lu ngatain gue Cina, gue embat lu,” kata I Soen. Tampangnya dibikin seperti orang marah.
“Sorry boy, I belum tau. Tapi kalau lu mau jual sih, gue “Sorry boy, I belum tau. Tapi kalau lu mau jual sih, gue
tertawa ketawa ha-ha-hi-hi mendengar celotehan I Soen. Anna Karenina juga tertawa terpingkal pingkal. Mereka lupa sejenak pada ‘musibah’ yang menimpa diri mereka.
Kelas menjadi gaduh oleh suara ketawa bebas-aktif yang spontan ke luar dari mulut seluruh murid di situ. Humor demi humor yang ditimpa komentar ‘asbun’ merupakan obat mujarab pengusir hati yang gundah.
Di tengah tengah keriuhan suasana, Hadi datang membawa instruksi khusus dari Pak Direktur. Isi instruksi itu pendek tapi tegas: kelas III Paspal 1 distrap, tidak boleh memperoleh pelajaran hari itu. Murid murid harus tetap di kelas, tidak boleh ke luar tanpa izin langsung dari direktur.
“Jangankan distrap sehari, sebulan juga kita masih oke. Dia pikir kita sedih kali, padahal sih gembira betul hati kita,” kata I Soen.
Ali Topan meminta maaf kepada teman-temannya atas keterlibatan mereka karena perbuatannya. Seperti biasanya, teman-temannya mengerti, karena hanya pengertian itu yang bisa mereka berikan kepada sesama teman.
Saat pulang, Ali Topan mengantar Anna ke gerbang sekolah. “Anna, apa pikiranmu soal urusan besok?” tanya Ali Topan. Anna memandang sayu pada Ali Topan, lalu menggelengkan kepalanya dan berkata tidak tahu.
“Kamu merasa takut?” tanya Ali Topan. Anna menggeleng. “Kamu merasa kecewa pada saya?”
“Mungkin!” sahut Anna Karenina. Ali Topan terkesima mendengar jawaban itu. Ia
memandang Anna dengan tajam. Tapi Anna menunduk saja. Bahkan gadis itu mempercepat jalannya langsung menuju Mercy yang sudah menunggu.
Ketika Mercy disopiri Oom Boy bergerak meninggalk- an gedung sekolahnya, Anna melirik sekejap ke arah Ali Topan yang berdiri dengan aksi di pintu gerbang. Dua tangannya masuk ke kantong celana dan pandangan matanya gagah sekali. Anna Karenina tidak tahu kalau gaya yang keren itu ditampilkan Ali Topan untuk menutupi perasaan hatinya yang terpukul oleh jawaban Anna.
“Mungkin?” gumam Ali Topan. Lantas ia tersenyum sendirian. Ia menarik napas berat, lalu berbalik langkah, berjalan menuju tempat parkir motor. Bobby, Dudung dan Gevaert menunggu di situ.
“Gimana, Pan?” tanya Gevaert. “Mungkin,” sahut Ali Topan. Ia menghidupkan
motornya, lalu meninggalkan tempat parkir, diikuti teman temannya.