EMPAT BELAS
EMPAT BELAS
soknya, sekitar pukul 10.00 Waktu Indonesia Barat, Hadi datang ke rumah Ali Topan, membawa
E sepucuk surat keputusan Direktur SMA Bulungan
I, mengenai skorsing. Selama satu bulan penuh, ia tidak diizinkan mengikuti pelajaran sekolah. Yang menerima surat itu Nyonya Amir. Ali Topan sedang berada di kamarnya. Nyonya Amir membaca surat keputusan itu, kemudian pergi ke kamar Ali Topan. Ia masuk ke kamar anaknya dan mendapati Ali Topan sedang tidur-tiduran. Nyonya Amir duduk di ranjang Ali Topan.
“Kamu tidak sekolah hari ini?” tanya Nyonya Amir. “Males,” jawab Ali Topan. “Kenapa males?” “Kemarin ribut di sekolah.” “Kenapa ribut?” “Biasa.” “Biasa apa?” “Soal cewek.” “Lho, sudah punya cewek? Kok mama nggak di kasih
tahu?” Ali Topan tak menjawab. Ia merasa aneh. Mamanya kok lain sekali hari ini? Kok menaruh perhatian banget? Ia menelentang, memandang ibunya. Ibunya tampak tersenyum. Tapi wajahnya pucat sekali.
“Ada apa?” tanya Ny. Amir. “Mama tumben nanya-nanya. Udah insap ya?” kata
Ali Topan.
Mamanya terperanjat. Wajahnya yang pucat makin pucat. Tapi senyumnya masih diusahakan keluar, untuk mengurangi rasa kagetnya.
“Kepala Sekolahmu mengirim ini,” kata Nyonya Amir. Ia menunjukkan surat pada anaknya. “Apa itu? Surat skorsingya? Atau Ali dipecat dari sekolah?” tanya Ali Topan. “Baca saja sendiri,” kata Nyonya Amir. Ia memberikan surat itu pada anaknya. Ali Topan membaca surat itu. Ekspresi wajahnya tidak berubah. Tenang-tenang saja tampaknya.
“Kamu nakal betul ya di sekolah, kok sampai di skors begitu lama. Jangan nakal dong Ali.” “Ha ha ha. Jaman sekarang memang jamannya orang nakal, Mama. Kalau nggak ada orang nakal, nggak rame dunia,” kata Ali Topan.
Nyonya Amir tertegun. Darahnya tersirap. Kata-kata anaknya terasa sebagai ratusan jarum yang menancap di ulu hatinya. Dipandangnya wajah anaknya, tapi terba- yang wajah lelaki tanggung yang bukan anaknya. Sema- kin ia memandang Ali Topan, semakin terbayang wajah anak-anak muda yang menjadi “gigolo”-nya. Kepalanya terasa pening mendadak. Pandang an matanya berkunang-kunang.
“Apa kamu bilang?” bisiknya. Ali Topan memandang- nya. Sepasang mata seakan-akan layu. Sinar matanya suram, mengandung kecewa.
“Maaf, Mama, Ali nggak suka keadaan di rumah ini. Ali nggak mengerti kemauan mama dan papa. Terus terang Ali kecewa,” kata Ali Topan.
Nyonya Amir tertegun. Peningnya menjadi-jadi. Sebe- tulnya rasa pening itu hampir tak bisa ditahannya, tapi ke-aku-annya sebagai seorang ibu tidak bisa menerima Nyonya Amir tertegun. Peningnya menjadi-jadi. Sebe- tulnya rasa pening itu hampir tak bisa ditahannya, tapi ke-aku-annya sebagai seorang ibu tidak bisa menerima
“Kamu memang tidak akan pernah bisa mengerti!” gumamnya. Lalu ia bangkit, dan segera berjalan ke luar. Pintu kamar Ali Topan dibantingnya. Surat hukuman dari sekolah melayang jatuh kelantai.
Sesaat Ali Topan memandang daun pintu yang dibanting dan surat hukuman yang terletak dilantai.Lalu iapun bangkit, dari tempat tidurnya. Matanya terasa panas. Sekuat tenaga ia tahan airmata yang hendak ke luar, namun sia-sia. Iapun menunduk. Butir-butir airmata jatuh ke lantai. Ia menangis, terisak-isak.
Dadanya terasa sesak, hatinya terasa hampa. Ia ingin sekali berteriak sekuat-kuatnya. Ia ingin meledakkan seluruh perasaan yang terpendam lama, rasa kecewa berasal dari rasa kehilangan sesuatu, yaitu perhatian ibunya. Dulu mamanya nggak begitu. Masih biasa-biasa saja. Seperti mamanya waktu ia masih kecil. Meskipun cerewet, dan kalau bicara membentak-bentak, tapi masih waras. Mamanya berubah sejak tahu suaminya main perempuan. Dia jadi kacau.
Ia tidak berteriak. Ia hanya terisak-isak. Ia tak mau berteriak kepada ibunya, walaupun sekujur tubuh dan seisi jiwanya ingin berteriak, Hentikan, hentikan semua kegilaan di rumah ini!!!
Ia memejamkan mata sejenak dan menarik napas panjang-panjang . Kedua tangannya mengepal. Ditinjunya udara berkali-kali untuk melampiaskan tekanan perasaan di dalam jiwanya.
Akhirnya ia terkulai lemas. Perlahan dibukanya kelopak matanya. Bibirnya terbuka. Ia menyebut nama Tuhan. Lalu ia berjalan mengambil celana blue jeans dan jaket- Akhirnya ia terkulai lemas. Perlahan dibukanya kelopak matanya. Bibirnya terbuka. Ia menyebut nama Tuhan. Lalu ia berjalan mengambil celana blue jeans dan jaket-
Dengan tubuh terkulai ia pergi ke kamar mandi. Diciduknya air, diusapnkan ke wajahnya. Demikian ber- kali-kali. Sesudah itu ia menyenduk air dengan tangan- nya, untuk berkumur-kumur. Lalu ia ke luar.
Tak lama kemudian, Ali Topan naik motor mening- galkan rumahnya. Ia ngebut!
Ali Topan memacu motornya di jalanan. Wajahnya muram. Pikirannya kusut. Ia merasa sebagai anak paling malang di Jakarta.
Dalam keadaan risau begini, ia ingin sendiri. Ia tidak membutuhkan siapapun. Tidak Gevaert, tidak Bobby, dan tidak Dudung! walaupun mereka teman-teman seper- mainan, ia sedikit sekali bicara tantang keadaannya di rumah. Teman-temannya itu mendengar-dengar perihal rumah tangganya yang kacau balau, tapi bukan dari dia.
Kebayoran memang bukan sekecil Subang, tapi untuk urusan permainan seks-gelap, seperti yang dikerjakan oleh kedua orangtuanya, rasanya setiap hidung anak Kebayoran tahu. Ter utama ikhwal ibunya, yang mendapat sebutan Tante Dun Hill –karena selalu merokok Dun Hill– setiap pemuda hidung belang rasanya belum sah kalau belum pernah pergi dengannya, begitu kelakar para muda Kebayoran.
Dan ayahnya? Tak ada rotan, akar pun jadi, kelakar mereka. Artinya, tak ada perempuan lacur, bencongpun jadi!
“Gilak!” teriak Ali Topan. Ia kaget sendiri mendengar teriakannya, sebab pengen-
dara mobil di sampingnya melotot ke arahnya, kaget. Ali Topan mengebutkan motornya di antara mobil- mobil sedan di jalur cepat Jalan Raya Jendral Sudirman.
Seharusnya ia masuk ke jalur lambat, tempat khusus bagi pengendara motor yang dicampur dengan biskota. Tapi ia tak peduli jalur lambat. Ia ingin cepat. Ia tak peduli sumpah serapah oom-oom di dalam mobil yang marah karena ia tidak mematuhi aturan lalulintas jalan raya. Ia sedang sumpek.
Ia mengepotkan motornya di antara kendaraan lainnya dengan kecepatan 80 sampai 90 km per jam. Ia terus menggeblas. Lewat kolong jembatan Semanggi. Dua polisi lalulintas yang sedang patroli menudingnya. Tapi Ali Topan masa bodo saja. Ia menggeblas terus. Polisi mengejarnya.
Di Bendungan Hilir ia masuk ke jalur lambat. Kece- patan motornya dikuranginya. Ia menyelipkan motornya di balik bis PPD, hingga polisi patroli kehilangan jejak- nya.
Polisi itu celingukan, mencari-cari Ali Topan. Ia heran, cepat betul anak tanggung itu menghilang. Ia tidak tahu Ali Topan bersembunyi di balik bis kota. Ali Topan mengintip polisi yang melaju ke depan sambil celingukan mencarinya.
Sampai Bunderan Hotel Indonesia, Ali Topan masih merendengi bis PPD. Ia melihat penumpang dan kondek- tur bis PPD ketawa-tawa melihatnya. Mereka tahu kela- kuannya mempermainkan polisi.
“Udah, kebut aje, polisinya udah ngilang,” kata kondektur bis. Ali Topan diam saja. Malas menjawab. Lepas dari bunderan HI, Ali Topan memacu motornya kembali. Ia lurus ke arah utara. Ia ingin segera sampai di pantai Bina Ria, salah satu tempat yang disenanginya untuk menyendiri.
Matahari mulai tenggelam di makan laut barat. Langit berwarna merah marong. Ombak makin besar dan angin Matahari mulai tenggelam di makan laut barat. Langit berwarna merah marong. Ombak makin besar dan angin
Sekujur tubuhnya lusuh. Dan perutnya terasa lapar. Sudah berjam-jam ia merenung sendiri berdialog dengan angin dan laut. Sepatunnya penuh pasir. Demikian pula celana jeans-nya.
Ia berjalan ke tepi pantai. Dimasukkannya kakinya ke laut, sebatas paha. Celana dan bajunya basah kuyup. Ia mengambil pasir dari dalam laut. Digenggammya pasir itu, lalu dilemparkannya ke tengah. Kemudian ia mencuci wajahnya dengan air laut. Dijilatinya tangannya yang basah. Asin. Dan agak pahit. Hausnya makin mencekik.
Akhirnya ia berbalik, berjalan menuju semak tempat ia memarkir motornya. Diangkatnya sang motor, ditepuk- tepuknya sadelnya. Lalu ia menyemplakinya.
Sebelum berlalu, ia menoleh ke arah laut. “Aku pulang dulu ya laut, kapan-kapan aku ke sini lagi,” katanya. Lantas ia hidupkan motornya, dan berlalu dari situ.
Sementara itu di rumah Anna. Ia duduk di hadapan bapaknya, di ruang tengah. Boy dan ibunya turut juga dalam pertemuan itu. Anna sedang dimarahi oleh bapaknya perkara hubungannya dengan Ali Topan.
“Kenapa jadi begini, Anna? Papa kan sudah bilang berkali-kali agar membatasi pergaulan dengan anak anak yang tidak cocok dengan derajat kita. Kau harus selalu ingat bahwa kau masih punya tetesan darah bangsawan. Itu masih berlaku, walaupun orang bilang sekarang jaman modern. Bagaimanapun modernnya jaman, tetapi tetap ada perbedaan derajat antara tetesan bangsawan dengan tetesan darah rakyat biasa yang tidak jelas asal usulnya,” kata Pak Surya.
“Saya tak mengerti soal itu, Papa,” sahut Anna. “Kau memang tak pernah mau mengerti. Pokoknya,
mengerti atau tidak, Papa ingin kau menurut aturan, titik! Di sekolah yang dulu, kau bergaul sembarangan. Sesudah dipindahkan ke sekolah baru, masih begitu saja,” kata Pak Surya.
“Mustinya dia sekolah di rumah saja, biar tak bikin pusing orangtua. Saya pun sanggup mengajarnya, kalau diminta,” sela Boy.
Anna benci sekali mendengar ucapan Boy. Kebencian- nya ditunjukkan dengan cara melihat Boy dengan pandangan jijik.
“Gua nggak mau belajar sama kamu, bangsat!” kata Anna. Semua kaget mendengar makian Anna. Tak ada yang menyangka dia berani memaki Boy. Boy melengak, tapi segera berpura-pura tenang. Ia mengawasi Anna. Boy tersenyum kecil.
“Sejak kau pakai kalung itu, kau suka marah-marah, An?” kata Boy. Ucapan yang acuh tak acuh itu justru berakibat hebat. Anna membelalak.
“Oh, begitu kau bilang, Boy?” kata Pak Surya, “Coba kulihat kalungmu, An,” ucapnya pada Anna. Pak Surya menjamah kalung di leher Anna. Anna mencoba me- ngelak, tapi tangan ayahnya sudah menyentuh kalung itu.
“Coba buka,” kata Pak Surya. Anna diam saja. “Diguna-gunai melalui kalung itu dia, Pa,” kata nyonya
Surya yang sangat terpengaruh oleh ucapan Boy. “Coba buka, Papa mau lihat,” kata Pak Surya kembali. Anna masih diam. Tapi wajahnya memperlihatkan
penolakan yang hebat. Ia sangat marah pada Boy, benci pada hasutannya yang dipercaya oleh ayah dan ibunya.
Kedua orangtuanya memang sangat percaya pada tahayul.
Pak Surya menarik kalung Anna perlahan. Anna tetap bertahan. Berulang-ulang Pak Surya memintanya untuk membuka kalung itu.
“Besok papa belikan kalung emas bermata berlian untuk ganti kalung ini, Anna. Bukalah,” kata pak Surya. Anna menggeleng-nggelengkan wajahnya. Air matanya berlinang.
“Biar… biar Anna pakai kalung ini saja, Papa. Boleh ya Papa? Kalung ini tida ada guna-gunanya… percaya deh Papa…,” kata Anna dengan bibir bergetar menahan perasaan yang tertekan.
“Aaaah, cerewet!” kata Pak Surya, sambil menyentak kalung itu. Putus! Anna memekik. Lehernya terasa sakit, tapi hatinya lebih sakit lagi. Maka iapun menangislah. Terisak-isak.
Pak Surya menggenggam kalung itu. Ia mencium-cium benda itu, seperti kelakuan dukun klenik yang sedang mengendus setan.
“Hm. Hm… bau melati… ini pasti ada apa-apanya…,” gumam Pak Surya. Ia melihat ke istrinya, lalu mengang- surkan kalung itu. Nyonya Surya membaui kalung itu, mengendus-ngendus dengan penuh semangat. Pikirannya sudah dipenuhi oleh guna-guna. Begitu terbaui olehnya bunga melati, iapun mengangguk- angguk. Ia menoleh ke arah Boy. Boy melirik Anna dengan gaya sinis betul. Sinar “kemenangan” menyertai tatapan sinisnya itu.
Anna Karenina tak tahan melihat kelakuan mereka. Dalam kedongkolannya, ia merasa sedikit geli. Tentu saja kalung itu bau melati, karena memang diolesinya kalung dari Ali Topan dengan parfum Jasmine yang bau Anna Karenina tak tahan melihat kelakuan mereka. Dalam kedongkolannya, ia merasa sedikit geli. Tentu saja kalung itu bau melati, karena memang diolesinya kalung dari Ali Topan dengan parfum Jasmine yang bau
“Untung Boy memberi ingat. Kalau tidak, bahaya! Bisa kecolongan lagi kita,” kata nyonya Surya. Pak Surya mengangguk-anggukkan kepalanya, seperti burung kun- tul. Boy ikut-ikutan mengangguk-angguk. Anna ingin sekali meludahi muka Boy. Ingin sekali.
“Besok bawa anakmu ke Mbah Ruspi, Ma,” kata Pak Surya. Mbah Ruspi yang dimaksudkannya itu adalah seorang tua yang menjadi dukun keluarga.
“Saya tidak mau!” kata Anna dengan keras. “Tuh, tuh, guna-gunanya masih nempel,” kata Nyonya
Surya. Pak Surya langsung mendekati Anna. Disentuhnya dahi Anna, dengan maksud meraba-raba “setan” yang dianggapnya menyarangi Anna. Anna menepis tangan ayahnya.
“Wah, setannya bandel betul! Melawan!” kata Pak Surya. Gila betul orangtua ini. Dia menangkapnya tangan Anna. Lalu dipegangnya kuat-kuat. Pikirannya dipenuhi bayangan anaknya kena guna-guna. Sebelah tangannya mengusap dahi Anna. Anna memejamkan matanya. Ia tak sanggup menahan kesedihan hati yang bercampur rasa marah yang sangat. Perlakuan orangtuanya sungguh keterlaluan.
Ia cuma bisa menangis. Terisak-isak. Pak Surya melepaskan sentuhannya. Ia membiarkan
Anna menangis. Malah ditontonnya anaknya yang sedang menangis.
Ali Topan sampai di jalan Thamrin. Perutnya lapar. Ia mengebutkan kendaraannya supaya cepat sampai di kebayoran. Pikirannya sudah mendahului sampai di Ali Topan sampai di jalan Thamrin. Perutnya lapar. Ia mengebutkan kendaraannya supaya cepat sampai di kebayoran. Pikirannya sudah mendahului sampai di
Di depan gedung Sarinah ia terkesiap. Mobil ayahnya tampak di antara kendaraan yang lain. Ditancapnya gas motornya untuk menyusul mobil itu.
Mobil itu memang mobil ayahnya. Pak Amir tampak sedang tertawa-tawa, menyetir mobilnya. Di sebelahnya duduk seorang perempuan. Ia sama sekali tak mengira kalau anaknya sedang membuntuti di samping sebuah mobil lain di belakangnya.
“Badanku capek, pegel semua. Kau harus memijati aku Marta,” kata pak Amir, sambil menyubit paha perempuan bawaannya. Marta mengaduh, tapi membiarkan tangan Pak Amir tetap di atas pahanya. Bahkan ketika tangan itu menggerayang ke mana-mana tetap dibiarkannya.
“Sabar ah, sabar… sebentar lagi aku tekuk semua tulang-tulang, Oom Amir, supaya hilang capeknya,” kata Marta.
“Wah, kalau tulang ditekuk-tekuk, tambah capek dong.” “Iya, capek, tapi kan enak,” sambil tertawa cekikikan. Pas dia ketawa begitu, Ali Topan merendengi mobil
Pak Amir. Ali Topan memandang tajam ke arah ayahnya, Pak Amir kaget melihat Ali Topan. Setir mobilnya sampai terlepas dan mobilnya sedikit ngepot. Marta ikut kaget karena mobil itu hampir menghajar mobil lain.
Pak Amir mencoba tersenyum wajah ke anaknya, tapi Ali Topan menampakkan wajah murka. “Dari mana kau?” sapa Pak Amir, mencoba beramah tamah. Ali Topan tak menjawab. Ia membuang pandangannya. Lalu memacu motornya ke depan. Pak Amir malah Pak Amir mencoba tersenyum wajah ke anaknya, tapi Ali Topan menampakkan wajah murka. “Dari mana kau?” sapa Pak Amir, mencoba beramah tamah. Ali Topan tak menjawab. Ia membuang pandangannya. Lalu memacu motornya ke depan. Pak Amir malah
Marta. “Hus! Bapaknya saja, jangan anaknya…,” kata Pak Amir. Ia melotot. Tapi tangannya menggerayangi paha Marta kembali.
“Nanti dia mengadu ke ibunya. Bisa gawat nih, Oom,” kata Marta. “Nggak, nggak. Dia nggak suka ngadu. Nanti kalau ngadu saya tempelengi,” sahut Pak Amir. Mereka sampai di bundaran Hotel Indonesia. Lampu lalulintas hijau. Pak Amir terus membelokkan mobilnya ke Hotel Indonesia.
Ali Topan mengebutkan motornya. Perutnya yang lapar tiba-tiba tak terasa lagi. Kelaparannya lenyap, kalah oleh kepahitan hatinya. Seringkali ia memergoki ayahnya membawa perempuan, yang sekali lirik saja diketahuinya sebagai perempuan bawaan. Bahkan pernah dulu ia bersama Bobby, Dudung dan Gevaert berlibur ke daerah Puncak, dan mengintip orang bercinta di sebuah villa. Yang diintipnya ayahnya sendiri.
Tak terasa ia sampai di bunderan Senayan. Matanya perih kena angin dan debu malam. Diusapnya matanya dengan tangan kiri, lalu mengebut lagi ke jurusan CSW.
Wajah Anna Karenina terbayang tiba-tiba. Dan rindunya pun datang bersama bayangan wajah gadisnya. Tiba-tiba pula hatinya berdetak. Serasa ada sesuatu yang tidak enak mengganjal perasaannya. Tiba-tiba ada suatu tarikan perasaan yang kuat, keinginannya bertemu dengan Anna. Ia ingin tahu apakah Anna dimarahi oleh orangtuanya karena persoalan di sekolah sianghari tadi.
Tiba-tiba pikiran khasnya muncul, didorong oleh instink aneh yang dimilikinya. Ali Topan memang punya instink tajam. Ia sering bergerak instinktif. Spontan.
Begitu instinknya memberi sinyal berupa perasaan ingin ketemu Anna, Ali Topan langsung menuruti kehendak itu. Ia menahan rasa laparnya. Motornya langsung ditujukan ke arah rumah Anna. Dia ingin datang ke rumah gadisnya.
Anna Karenina masih duduk diam di kursinya. Ia masih tetap dibanjiri nasehat dan petuah oleh ayah dan ibunya. Sudah bosan dia mendengar petuah dan nasehat yang diobral, yang itu ke itu melulu. Tapi untuk beranjak pergi, ia masih ngeri. Ia belum pernah memberontak secara total. Pemberontakannya selama ini cuma terbatas pada memaki Boy, atau membantah omongan orangtuanya secara kecil-kecilan, dan akhirnya menangis.
Keluarga Anna Karenina memang termasuk keluarga yang sedikit sableng. Istilah ilmiahnya, ayah dan ibu Anna, kehilangan rasionalisme dalam mendidik anak- anak mereka. Emosi lebih berbicara. Subyektif sekali. Mereka melihat Anna dan Ika sebagai anak kecil melihat boneka-boneka.
Anak-anak tak punya hak cukup untuk memilih jalan hidupnya sendiri. Hukum wajib dan larangan, semata- mata da tang dari pihak or angtua. Kebe basan berpendapat, kebebasan menentukan apa yang disukai dan tidak disukai oleh Anna dan Ika, cuma ada di dalam hati. Tak pernah diberi kesempatan. Mereka lupa, betapa masyarakat di luar rumah setiap saat berubah, begitu cepat. Kaum muda makin menuntut kebebasan, dan memperoleh hal itu dari masyarakat, sedangkan kaum Anak-anak tak punya hak cukup untuk memilih jalan hidupnya sendiri. Hukum wajib dan larangan, semata- mata da tang dari pihak or angtua. Kebe basan berpendapat, kebebasan menentukan apa yang disukai dan tidak disukai oleh Anna dan Ika, cuma ada di dalam hati. Tak pernah diberi kesempatan. Mereka lupa, betapa masyarakat di luar rumah setiap saat berubah, begitu cepat. Kaum muda makin menuntut kebebasan, dan memperoleh hal itu dari masyarakat, sedangkan kaum
Perang nilai, pembaharuan dan kekolotan yang penuh basa basi dan kemunafikan, melahirkan banyak kepahitan. Di antara kepahitan itu makin banyaknya jumlah ‘unwanted child,’ bayi-bayi yang dicetak dalam kepanikan. Motif cinta ataukah nafsu, begitu kabur. Dan tidak menjadi peduli.
Ika Jelita, kakak perempuan Anna Karenina, termasuk dalam kasus itu. Ia memang jelita bagai porselen. Sialnya, ayah dan ibunya menganggap Ika seperti barang antik, bukan sebagai manusia. Rumah merupakam semacam museum. Ika seperti patung kuno yang ditaruh di dalam lemari kaca. Hanya bisa dilihat, boleh ditaksir, tapi tak boleh menaksir orang yang disukainya. Sampai pada waktunya ia pantas pacaran, pacarpun dipilihkan oleh orangtuanya. Ada anak jendral pensiunan, ada anak dokter jiwa, ada anak pedagang kaya, dan ada keturunan bangsawan Yogya.
Bukan tak ganteng, bukan tak punya cinta, tapi Ika sudah punya pacar. Namanya Muhammad Iqbal, anak Betawi asli. Ia anak yang soleh dan cukup terpelajar. Miskinpun tidak, karena orangtuanya punya sawah dan kebun buah-buahan. Tabiatnya baik. Orangnya rendah hati. Yang utama, Ika mencintainya, dan iapun mencintai Ika dengan sepenuh hati. Tapi, Tuan dan Nyonya Surya tidak setuju Ika pacaran dengan Muhammad Iqbal. Iqbal kampungan, kata mereka. Dan segerobak kejelekan lainnya yang diada-adakan.
Ika dan Iqbal bercinta lewat pintu belakang. Backstreet. Orangtua Ika tahu. Larangan jatuh. Aturan diperketat. Mereka lupa, makin ketat aturan, makin deras larangan, Ika dan Iqbal bercinta lewat pintu belakang. Backstreet. Orangtua Ika tahu. Larangan jatuh. Aturan diperketat. Mereka lupa, makin ketat aturan, makin deras larangan,
Kini Anna mengalami nasib sama walau tak serupa. Orangtuanya masih belum kapok. Mereka tak mau menimba pelajaran dari pengalaman mereka sendiri. Jiwa anaknya tak diselami, kemauannya tidak ditimbang- timbang. ’Pokoknya, prek deh buat Ali Topan,’ demikian keputusan mereka.
Mereka tak menyadari, orangtua pun bisa kuwalat kalau mengkorup hak asasi anaknya. Mereka lupa bahwa mereka bukan Sang Maha Kuasa. Padahal Tuhan telah menanamkan benih cinta di setiap hati umat-Nya. Dan benih itu punya bunga-bunga. Bunga bunga cinta punya keindahan masing-masing. Dan, tak bisa ditahan mekar dan wanginya. Kalau menahan mekarnya bunga, kalau membekap wanginya, itulah melawan takdir.
Rupanya, pikiran Tuan dan Nyonya Surya tidak sampai ke situ. Jadinya, mereka takabur. Menganggap enteng cinta muda-mudi. Kalau diterus-teruskan, mereka meng- anggap enteng Tuhan anak-anak itu. Mereka pikir, barangkali, Tuhan anak-anak muda berbeda dengan Tuhan mereka.
Anna, Ia gadis yang sedikit nyentrik. Kemauannya lebih keras dari Ika, kakaknya. Bedanya dengan Ika, Anna lebih ekstrovert, terbuka. Ia masih punya setitik harapan, orang tuanya membolehkan ia bergaul dengan Ali Topan. Tapi ia kecewa, karena Ali Topan sudah distempel sebagai pemuda begajulan.
Yang mencemaskan Anna, adalah manusia bernama
Boy. Sebagai gadis, Anna punya perasaan, Boy menak- sirnya. Taksiran itu habis-habisan. Boy pandai menyem- bunyikan minatnya dari pandangan orangtua Anna. Tapi nafsu yang terpancar dari dua matanya, tak lolos dari pandangan Anna. Anna ngeri betul pada Boy. Matanya seperti mata tukang perkosa di film-film. Buas dan lapar betul!
Selama ini Anna cuma bisa memendam kengeriannya. Lagi pula ia tidak bisa sembarangan omong, khawatir kalau Boy menjadi-jadi, jika tahu Anna membaca jalan pikirannya yang mesum. Anna khawatir Boy jadi ge-er alias gede rasa.
Kehadiran Ali Topan dalam hidupnya membawa kese- jukan di dalam hati. Tapi orang tuanya menganggap justru sebagai badai yang memporak-porandakan segalanya. Tanpa alasan yang masuk akal. Hingga Anna kesal dan mulai nekat. Diam-diam ia sudah ambil keputusan untuk memberontak, merebut haknya, seperti Ika.
Ketukan di pintu membuat semua orang menoleh. Dan semua orang itu terkejut ketika tahu siapa tamu mereka. Ali Topan!
Sejenak mereka terpana. Tuan Surya mengernyitkan dahi, Nyonya Surya menunjukkan aksi bengong, Boy meringis, dan Anna berhenti menangis!
Ali Topan berdiri tegak. Ia menanti persilaan dari si empunya rumah. Ternyata persilaan itu tak kunjung datang. Yang datang justru kejutan lain.
“Usir anak gila itu, Boy!” seru Tuan Surya. Tersirap darah Anna mendengarnya. Ia mengangkat
kepalanya, melihat ke arah Boy yang berjalan ke pintu. Anna jadi nekat. Dengan sebat ia bergerak, berlari ke kepalanya, melihat ke arah Boy yang berjalan ke pintu. Anna jadi nekat. Dengan sebat ia bergerak, berlari ke
Genggaman itu lepas ketika Tuan Surya datang dan menggeprak tangan mereka! Anna Karenina ditariknya ke dalam, lalu ia berdiri murka di depan Ali Topan.
“Jahanam! Pergiiii!” hardiknya. Ali Topan menganggukkan kepalanya dengan sopan
namun gagah. Kemudian ia memutar badannya, dan berjalan dari hadapan orangtua yang murka itu.
Diiringi isak tangis Anna Karenina, ia menyemplak motornya, lantas pergi dari rumah itu. Hatinya puas bisa bertemu dengan Karenina.