TUJUH BELAS

TUJUH BELAS

ua hari kemudian di Taman Ria Senayan. Matahari bergerak pelahan, sinarnya menghangati pagi. Ali

D Topan dan Anna Karenina berjalan bergandengan

tangan dari pintu masuk menuju pohon flamboyan yang tegak di tepi danau Angsa Hitam. Disebut Danau Angsa Hitam sebab danau itu tempat memelihara angsa-angsa hitan yang didatangkan dari luar negeri.

Bunga-bunga flamboyan melayang ditiup angin, menari-nari bagaikan balerina, jatuh ke permukaan danau, sopan tampaknya.

“Pagi yang indah sekali,” gumam Ali Topan sambil memandang wajah Anna Karenina, “seindah lagu Koes Bersaudar a,” sambungnya. Kem udian, sambil melangkah pelahan, Ali Topan menyenandungkan lagu Pagi yang Indah Sekali ciptaan Tonny Koeswoyo. Anna Karenina mendengarkan dengan seksama senandung Ali Topan:

Pagi yang indah sekali Membawa hati bernyanyi Walau gadisku ‘tlah pergi Dan tak kan mungkin kembali …………

Anna Karenina tercekam mendengarkan syair lagu yang dinyanyikan Ali Topan. Ia berhenti melangkah. Matanya sayu mengawasi Ali Topan.

“Gadismu t’lah pergi? Siapa yang pergi? Kenapa dia pergi, Topan?” tanya Anna Karenina dengan lemah “Gadismu t’lah pergi? Siapa yang pergi? Kenapa dia pergi, Topan?” tanya Anna Karenina dengan lemah

“Ayo duduk, Anna...,” kata Ali Topan. “Kamu belum menjawab pertanyaanku.” “Soal nyanyian tadi?” Anna Karenina mengangguk. Ali Topan tertawa kecil. “Yang pergi itu gadisnya Tonny Koeswoyo, bukan

gadisnya Ali Topan. Perginyapun di dalam lagu. Ngerti, An?” kata Ali Topan, “ayo duduk dong. Jangan sampai pagi yang indah ini pecah oleh kesedihan yang aneh,” sambungnya.

“Kamu merasa sedih?” tanya Anna sambil duduk di depan Ali Topan. Ali Topan tak menjawab. Ia memandang Anna Karenina dengan seksama. Tampak olehnya sinar mata gadis itu menyimpan kesedihan, walaupun bibirnya mengulum senyuman.

“Kamu merasakan kesedihan yang aneh?” tanya Anna lagi. Ali Topan mengangguk. Ia memang merasakan sesuatu, semacam kesedihan yang halus sekali, tidak kentara, tapi hadir dalam suasana yang indah.

“Kamu sih nyanyi lagu itu. Lagunya bagus, tapi sedih ya?” “Iya,” kata Ali Topan polos. “Seharusnya kita gembira bisa bertemu.” “Ya, seharusnya begitu. Nah, ayolah kita bergembira.

La la la la la la ...,” kata Ali Topan. Iapun bertralala, cukup keras, sehingga sepasang angsa hitam yang sedang berenang berduaan di danau kecil menengok ke arahnya.

Ali Topan menunjuk ke arah angsa-angsa hitam, lalu berkata terus:

“Lihat, lihatlah! Angsa angsa hitam memandang kita. Mungkin keduanya berbisik-bisik, bicara tentang kita, An. Tuh, tuh, tuh mereka tersenyum pada kita.”

“Mana ada angsa tersenyum?” “Pasti mereka tersenyum. Dan pasti mereka bisik bisik

tentang kita. Kamu tahu apa yang mereka bicarakan, An?”

“Tahu.” “Apa?” “Yang jantan bilang, he liat tuh Si Ali Topan sedang

merayu ceweknya.” Ali Topan tertawa tergelak gelak mendengar perkataan Anna yang sungguh di luar dugaannya. Sukacita sekali hati Ali Topan. Demikian pula hal Anna Karenina. Pasangan remaja yang sedang diamuk cinta itu lantas lupa pada kesedihan yang baru saja mereka bicarakan.

“Kamu tau apa ngga, kenapa angsa itu bulunya hitam?” tanya Ali Topan. “Nggak tauk!” “He, pikir dulu dong. Belum apa-apa udah bilang nggak

tauk!” “Kami juga mikir dong, kalau ngasih pertanyaan yang bener. Angsa bulu hitamlah ditanya kenapa bulunya hitam. Kamu tanya aja sendiri ke angsanya, jangan tanya saya,” kata Anna Karenina. “Kalau kamu bertanya kenapa saya cantik, mungkin sa ya bisa jawab,” sambungnya sembari mengulum senyuman bertendens.

Ali Topan melengak. Ternyata Anna pandai pula berse- loroh. “Lho, kamu cantik toh? Saya baru tahu.” Kata Ali Topan. Wajahnya distel bodo.

Anna kaget mendengar perkataan itu. “Menurut kamu, saya ini cantik apa tidak?” “Menurut saya sih biasa-biasa saja,” sahut Ali Topan. “Uh! Memerah lah wajah Anna mendengar perkataan

yang lugas itu. Mulutnya terbuka bahna bengongnya. Ia menjublag seperti patung. Matanya berkedap kedip seperti angsa hitam.

“Lho, mengapa? Apa saya salah omong?” Anna menggeleng. “Kamu marah?” Anna menggeleng lagi. Sinar matanya mendingin. Tadi

itu ia punya niat bermanja manja pada Ali Topan. Ia ingin sekali dipuji cantik oleh Ali Topan. Ternyata jawaban yang ke luar bukan sebagaimana yang diinginkan.

Ali Topan segera meraba perasaan Anna. Sambil memajang senyuman, iapun berkata lembut, “Jangan marah dong. Siapa yang tidak tahu kalau kamu cantik? Lihat! Bunga flamboyan, angsa hitam dan telaga serta seisi taman ria ini, masih kalah cantik denganmu, Anna. Tadi itu, saya bilang kamu biasa-biasa saja, supaya jangan kelewat mekar, tau?”

“Nggak!” “Nggak tau?” “Masa bodo!” “Siapa yang bodo?” “Kamu!” Ali Topan ketawa keras sekali. Anna tampak keki betul

oleh godaan-godaannya. Wajah Anna cemberut, omong- annya ketus, tapi sinar matanya makin lama makin berbi- nar. Ada keriaan di antara cahaya matanya.

Ali Topan menjentik ujung hidung Anna. Dan gadis itupun tersenyumlah.

“Kamu nakal,. Suka menggoda saya,” kata Anna.

“Lho, apa kamu nggak pengen saya goda?” Anna mendelik, bahna kagetnya. “Pengen? Pengen? Amit amit jabang bayi! Emangnya

saya perempuan murahan ya/!” kata Anna. Dia mendelik terus sampai biji matanya hampir keluar. Marah betul rupanya.

“Lho, saya main-main kok kamu serius?” kata Ali Topan dengan penuh kerendahan hati. Ditatapnya Anna, ditembaknya gadis itu dengan senyuman yang polos, dan diusapnya anak rambut yang jatuh di kening sang gadis.

Maka hati Anna luluh. Kemarahannya mereda. Senyumnya muncul kembali pelahan lahan. “Ali Topaaan…,” gumam Anna. Manja. “Hm? Apa sayang?” “Kamuu…. Kamu…..” “Kenapa?” “Jangan nakal ya?” Ali Topan tak menjawab. Ia mengerjap-ngerjapkan

matanya saja. Anna Karenina menatapnya, menunggu jawaban. Tapi Ali Topan tak mau menjawab.

“Kamu nggak denger saya ngomong?” tanya Anna. “Dengar.” “Saya harap kamu jangan nakal ya? Ngerti maksud

saya?” Ali Topan tak menger ti bahwa maksud Anna, janganlah ia nakal dalam pengertian bangor, main- mainkan perempuan. Kalau hati Anna bisa ngomong, tidak lebih tidak kurang, kata-kata yang ke luar dari hatinya adalah: “I love you, my darling. I love you banget. Tapi you musti love me juga dong. You jangan love cewek

lain ……” “Kalau lelaki nggak nakal bisa sepi Kebayoran. Nggak ada entertainment,” kata Ali Topan,yang masih bodo lain ……” “Kalau lelaki nggak nakal bisa sepi Kebayoran. Nggak ada entertainment,” kata Ali Topan,yang masih bodo

“Ah, kamu...,” kata Anna, “susah mengerti.” “Lho, kan betul. Kalau anak lelaki nggak berandalkan

lucu. Anak lelaki diam di rumah udah liwat jamannya, Anna.”

“Liwat gimana?” “Iya, sudah liwat, kayak tukang bakso. Nanti kalau ada

lagi jaman yang lain, kita panggilin deh,” seloroh Ali Topan.

Anna Karenina tertawa geli. Lelucon Ali Topan benar- benar pas di hatinya. Hatinya terbebas, rasanya dunia lain sekali. Lebih indah dan lebih menyenangkan.

Dipandanginya wajah Ali Topan yang keren. Ali Topanpun memandangi wajah Anna yang profilnya

mirip film Diana Rigg. “Anna….” “Hm?” “Bagaimana perasaan kamu pagi ini?” Anna Karenina mendongak ke arah langit, menahan

senyum kecil di bibirnya, lalu menjawab, “Biasa biasa saja.”

“Kurang ajar. Kamu balas dendam ya?” Anna mendelik karena makian itu. “Ih! Kamu kalau omong seenak perut aja!” kata Anna

dengan keras, “lihat-lihat orangnya dong, kamu pikir saya ini babu kamu apa, seenaknya memaki kurang ajar! Saya benci kamu!” sambungnya.

Dengan wajah kaku dan sinar mata menyala-nyala, Anna segera berdiri. Ali Topan menyekap mulutnya. Ia Dengan wajah kaku dan sinar mata menyala-nyala, Anna segera berdiri. Ali Topan menyekap mulutnya. Ia

“Anna…. Saya tidak bersungguh-sungguh mamaki kamu. Saya menyesal betul ……..,” kata Ali Topan. Ia berdiri pula, merendengi Anna. Tapi Anna segera mama- lingkan muka ke arah angsa hitam yang berenang-renang di danau buatan.

“Anna…..,” kata Ali Topan, lembut sekali. Anna diam saja. Hatinya kesal betul. Baru pertama kali

dalam hidupnya ada orang memakinya kurang ajar, dan orang itu justru Ali Topan yang disayanginya. Dalam hatinya ia merasa sedih betul. Baru mulai jatuh sayang, baru mulai bersemi bunga bunga cinta, orang itu sudah berani memakinya kurang ajar secara lugas. Bagaimana kalau sudah kawin nanti dan beranak cucu? Barangkali bisa dibelah-belahnya tulang belulangku, demikian kata hati Anna.

Anna termenung. Hatinya sedih betul. Ingin rasanya berlari menjauhi Ali Topan yang kasar, tapi ada perasaan lain yang menahannya. Ia sendiri tak tahu daya tarik apa yang menyebabkan ia tak sanggup berbuat apa-apa di depan Ali Topan. Jangankan berhadapan, pada saat ia berjauhan, tak saling tampak muka, angan-angan dan perasaannya tetap lengket pada Ali Topan.

Tak terasa airmata membasahi pipi Anna. Ia menangis. Terbayang olehnya, jalan nekat yang diambilnya untuk bisa bertemu Ali Topan pagi ini. Pada saat ibunya ke wc, dan Boy sedang membeli bensin, Anna pergi dari rumahnya. Ia mencegat taksi yang segera membawanya ke warung gado-gado Bibi Sexy. Ali Topan sudah menunggu. Dari warung Bibi Sexy, mereka langsung ke Taman Ria Senayan.

Merana betul hatinya mengingat makian yang Merana betul hatinya mengingat makian yang

Plak! Plok! Plak! Plok! Plak! Plok! Bunyi gamparan yang keras terdengar di belakangnya.

Anna menoleh, refleks. Apa yang terjadi membuatnya heran, dan otomatis mengerem tangisannya. Ali Topan telah menggampari dirinya sendiri. Kedua pipinya berwarna merah, darah mengalir dari bibirnya!

“Topaaaan!”Anna memekik, tubuhnya direbahkan ke Ali Topan. Mereka berpelukan. Anna membenamkan kepalanya di pelukan Ali Topan, dan Ali Topan mengu- sap-usap rambut gadisnya.

Angin berhembus. Bunga-bunga flamboyan berguguran, melayang

seperti kupu-kupu merah. Angsa-angsa hitam berenang berkejaran. Indah sekali.

Jam tiga siang lewat beberapa menit, mereka mening- galkan Taman Ria Senayan. Anna senyum, demikian pula Ali Topan. Ali Topan dengan gembira memboncengkan Anna Karenina. Pelukan Anna di pinggangnya terasa kuat dan hangat.

Rupanya, kehangatan masih belum boleh berlama- lama mereka rasakan. Tepat di depan rumah Panbers Club

Band di Jalan Hang Tuah Raya, sebuah Mercy memotong motor Ali Topan, dan menggiringnya ke pinggir jalan. Dua manusia bertampang murka turun dari Mercy itu. Ayah Anna dan Boy.

“Kamu bawa lari anakku, he?!” begitu kata ayah Anna sambil langsung menghantam muka Ali Topan dengan tinjunya. Bug! Bug! Ali Topan terjengkang saja dari sadel motornya! Melihat Ali Topan terjengkang, Boy ikut nimbrung, menyepak perut Ali Topan! Begh! Begitu dia mengayunkan kakinya, hendak menyepak kepala, Ali Topan berkelit dan menangkap kaki itu. Langsung dipuntirnya, dan Boy langsung menggrusak jatuh!

Fans Panbers yang kebetulan memenuhi rumah grup itu, berhamburan ke luar, menonton pergumulan itu! Anna yang mencoba memisahkan, ditarik ke dalam mobil oleh ayahnya. Ia meronta ronta dan menjerit jerit, tapi tak berdaya.

“Boy! Sudah!” teriak Tuan Surya. Boy mendengar teriakan itu, tapi ia tak berdaya memenuhinya, Ali Topan yang gusar mengamuk bagaikan badai! Dihajarnya Boy habis habisan. Dalam sekejap, mata Boy bengapn. Dan giginya rontok dua kena dengkul Ali Topan.

Para penonton bersorak sorai. Hayooo! Hayooo! Hembat teruuuuus! Sodok! Sodok!

Libas! Libas! Horeeeeee! Yihuuuuuuuuy! Sorak sorai itu terhenti, ketika Tuan Surya m,engacungkan laras pistol ke arah Ali Topan, dan berkata dingin: “Berhenti! Atau saya tembak kamu!”

Ali Topan menghentikan hajarannya. Ia memandang Tuan Surya dengan penuh kebencian. Ia ingin rasanya menghajar batok kepala orang tua itu., supaya copot dari batang lehernya. Tapi ada Anna di antara mereka……

Boy beringsut-ingsut ke mobil.

Tuan Surya mebukakan pintu, Boy pun masuklah. Disopiri Tuan Surya, mereka berlalu. Anna duduk di

belakang, memandang Ali Topan. Sepanjang jalan ia memprotes ayahnya. Tapi si ayah tak menggubris protes itu. Ia langsung menancap pedal gas Mercy, menuju rumah.

Ali Topan menjetik-jentikkan tanah yang mengotori pakaiannya. Orang-orang masih berkerumun meman- dangnya.

“Ada apa sih?” satu orang bertanya. Ali Topan melirik orang itu. “Ada tawon!” sahutnya, asal nyeplos. Orang-orang ketawa. Tapi Ali Topan tidak. Ia segera

men uju motornya, lantas ming gat dari hadapan penonton-penonton gratisan itu.