SEMBILAN BELAS
SEMBILAN BELAS
epok adalah sebuah kota kecil yang terletak di antara Jakarta dan Bogor. Kota ini terkenal dengan
D “Belanda” Depoknya, yakni satu macam masya-
rakat pribumi yang “di-belanda-kan” oleh orang-orang Belanda pada zaman penjajahan dulu. Menurut ceritanya, beberapa keluarga pribumi Depok diberi nama famili Belanda, diajar berbicara Belanda dan apapun yang berbau penjajah gila tersebut.
Setelah Indonesia merdeka dan Belanda pergi dari Depok, kelompok masyarakat binaan penjajah itu berkembang tanpa majikan. Kultur yang ke-belanda- belandaa-an terbentur lagi pada kultur pribumi asli. Tapi sampai sekarang, sisa-sisa budaya “binaan” ”tu masih membekas pada kelompok masyarakat Depok.
Maka, orang luar Depok akan heran, kalau menjumpai orang Depok yang kerjanya jadi tukang gali sumur, kulit tubuhnya putih karena panu yang merata di sekujur tubuhnya, bisa bicara Belanda. Rudy dan Riem De Wolf dari grup The Blue Diamond yang beken itu, juga kelahiran Depok.
Ika dan suaminya menempati sebuah rumah kecil di dekat rumah kelahiran Rudy dan Riem. Rumah mereka kecil tapi asyik, merupakan hadiah perkawinan dari ayah Iqbal. Ika yang mendesak untuk tinggal di Depok, karena merasa tidak betah hidup di Jakarta, berdekatan dengan orangtua yang membencinya.
Iqbal punya beberapa truk yang disewakan, di samping itu, ia menjadi leveransir pasir untuk proyek-proyek Iqbal punya beberapa truk yang disewakan, di samping itu, ia menjadi leveransir pasir untuk proyek-proyek
“Aku khawatir, Papa dan Mama menuduh kita mendalangi pelarian Anna dan pacarnya itu. Kita makin dibenci saja nantinya,” kata Ika pada suaminya. Mereka duduk di ruang kerja Iqbal di bagian depan rumah. Ali Topan dan Anna sudah dua hari di rumah mereka.
“Kamu merasa mendalangi apa tidak?” tanya Iqbal. “Tidak.” “Ya sudah.” Ika memandang suaminya. Matanya memang meman-
carkan kekhawatiran yang besar. Ia khawatir, kasusnya akan terulang pada adiknya. Ia takut Anna hamil, seperti peristiwanya sendiri. Sebagai kakak—ia ingin Anna pada saatnya—menikah dengan cara baik-baik.
“Kenapa bengong?” tanya suaminya. “Kuatir.” “Anna bunting?” Ika mengangguk. “Nggak usah kuatir. Mereka anak baik. Nggak seperti
kita,” kata suaminya, sambil tersenyum. Ika pun terse- nyum.
Jam berdentang, pukul sembilan. Sepasang kupu-kupu terbang dekat mereka. Bagus
warna bulunya. “Bakal ada tamu gede nih,” kata Iqbal. “Moga-moga bawa rejeki,” sahut istrinya, sambil
memandang kupu-kupu yang terbang kian ke mari.
Jam setengah satu, Anna dan Ali Topan datang dari tempat main mereka, persawahan di bagian Timur Depok. Mereka pacaran di sawah-sawah.
Iqbal dan Ika tersenyum menyambut mereka. “Sudah capek?” tanya Ika. “Capek apa? Nggak capek, cuma laper,” sahut Anna. “Kalau lagi pacaran memang rasanya nggak capek-
capek ya,” goda Ika sambil bermain mata dengan suaminya.
“Idih! Bisa aja, Mbak Ika,” sahut Anna. Wajahnya bersemu dadu, malu. Ali Topan tersenyum simpul saja. “Nggak usah malu, kita udah paham. Kan kita juga pernah pacaran, ya Pa,” Ika masih menggoda. “Mana Saibun?” Anna mencoba mengalihkan pembi- caraannya. Ia merasa malu digoda secara terbuka oleh kakaknya.
“Sedang main ke rumah tetangga. Belajar cari makan sendiri,” kata Iqbal. Bicaranya pelahan, tapi bikin ketawa semua orang.
Saat mereka sedang ketawa-tawa, datanglah kejutan. Terdengar dua buah kendaraan berhenti di depan rumah mereka. Satu Jip Willys berisi empat orang polisi, satu lagi Mercedes Benz disopiri Boy, mengangkut Tuan dan Nyonya Surya.
Pucat wajah Anna melihat ayah-ibunya datang bersama alat negara. Ika juga agak gemetar. Ali Topan dan Iqbal tetap tenang.
Tuan dan Ny Surya tampak ragu-ragu turun dari mobil. Masih ada rasa angkuh. Jangankan menginjak rumah anak mantu, sedangkan si anak mantu datang ke ruamh minta berkah saja, mereka usir.
Para polisi bersiap. Dua orang polisi dari Komwilko
74, Jakarta Selatan, dua orang lagi polisi Depok sebagai 74, Jakarta Selatan, dua orang lagi polisi Depok sebagai
Iqbal membukakan pintu. Ika muncul di belakangnya, berlari menyambut orang-
tuanya. “Mamaaa! Papaaaa!” seru Ika. Ia membuka tangannya, hendak memeluk ayah dan ibunya. Tapi wajah orangtua- nya tegang. Jangankan menyambut dengan pelukan, tersenyum pun tidak! Apalagi ketika Tuan Surya melihat
Iqbal, rasa bencinya kambuh dengan hebat.
“Mana Anna? Suruh keluar dia!” hardik Pak Surya. “Silakan masuk Papa. Silakan Mama...,” Ika memohon
pada papa dan mamanya. Airmatanya berlinang-linang. “Tak perlu! Tak perlu masuk!” kata Pak Surya. Suasana tegang. Ketegangan yang mengharukan. “Anna di sini, Ika?” suar a lembut memecah
ketegangan. Suara Nyonya Surya. Ibu ini akhirnya tak mampu menahan keharuan hatinya. Terlalu lama ia memendam kerinduan. Terlalu lama ia mencoba
mengalahkan kerinduan dengan keangkuhan. Ika melihat ibunya. Airmatanya bercucuran. Bahagia sekali mendengar namanya dipanggil oleh sang Ibu yang dirindukannya. Tak sanggup berkata-kata, Ika mengham- bur ke pelukan ibunya. Ny Surya mendekap anaknya. Mereka bertangisan.
Saat itulah Anna Karenina muncul bersama Ali Topan! Anna berdiri di depan pintu. Tangannya mencekal lengan Ali Topan.
“Anna! Ke mari kau!” Pak Surya berteriak. Nadanya masih kerras dan kaku. Ia seperti tak terpengaruh oleh keharuan yang hadir dari pelukan Ika dan istrinya.
Anna tak beranjak dari tempatnya. “Anna!” Anna tetap diam. Hatinya diliputi rasa haru melihat
kakak dan ibunya bertangisan melepas kerinduan. Sekuat tenaga dicobanya menahan keharuan itu. Anna berpikir, orangtuanya membawa-bawa polisi untuk menangkap Ali Topan. Maka itu ia bertahan. Ia tak mau meninggalkan Ali Topan.
Merah padam wajah Pak Surya karena Anna tak mematuhi instruksinya. Ia berpaling pada alat-alat negara yang dibawanya, lalu menuding Ali Topan. “Itu dia yang membawa lari anak saya! Tangkap dia, Pak!” Dua polisi Komwilko 74 bergerak ke arah Ali Topan. Mereka menampilkan gaya David Toma yang suka mereka tonton di layar tivi.
“Papa! Apa-apaan sih! Suruh pergi orang-orang ini!” teriak Anna Karenina. Ia makin menguatkan cekalannya, memeluk Ali Topan. Ali Topan berdiri tegak, matanya tak gentar menatap agen-agen polisi yang mendekatinya.
“Bapak-bapak mau nangkep saya, apa ada surat perin- tahnya?” tanya Ali Topan. Agen-agen polisi itu tersenyum. Salah seorang di antara mereka mengeluarkan surat perintah penangkapan dari kantong celananya dan menunjukkannya pada Ali Topan.
“Lebih baik adik ikut kami secara baik-baik. Jangan kami dipaksa mengambil jalan kekerasan,” kata polisi itu sambil tangan kanannya mengusap-usap gagang pistol yang mencuat dari sarungnya.
“Dia nggak boleh ditangkap! Dia nggak bersalah! Saya yang mau lari ke sini!” Anna membentak polisi itu.
“Anna! Tutup mulut kamu!” hardik Pak Surya. Ia makin tak sabar melihat kelakuan anaknya. Anna menatap ayahnya. Wajahnya menegang. Tiba-tiba ia berteriak, sangat keras” “Kamu jahat, Papa!”
Bagaikan geledek cacian itu menyambar telinga Pak Surya. Mulutnya sampai terbuka, tak bisa omong apa- apa, bahna kaget dan gusarnya. Dan, tidak cuma dia. Semua yang hadir tak pernah menyangka, Anna memaki ayahnya secara terbuka.
“Sayaaaang… tidak boleh gitu…,” suara lirih Ali Topan terdengar, mengkontra ketegangan situasi. Suara itu lembut, menyelusup sampai ke hati Anna Karenina. Pelan, namun penuh wibawa. Anna sampai mendongak, merasa tak percaya bahwa kata-kata itu keluar dari mulut Ali Topan.
Ali Topan tersenyum padanya. Senyuman yang mengandung kesedihan. Anna menangkap sinar sedih di mata Ali Topan.
“Kau pergilah ke ayah dan ibumu… Kau dengar?” bisik Ali Topan. Anna tak sanggup mendengarkan bisikan itu. Kata-kata yang sedih. Kata-kata seorang jantan yang kehilangan kasih-sayang. Sedih, namun tetap bersikap gagah.
“Kamu…. Kamu ke mana?” bisik Anna. “Kamu dengar perkataan saya?” Ali Topan balas
berbisik. Anna mengangguk. “Kamu mau menurutinya?” Anna memandang Ali Topan. Perasaannya mengata-
kan, Ali Topan tengah bertempur dengan hatinya sendiri. Ali Topan sayang padanya, tapi tak mau menghancurkan hubungan antara orangtua dan anaknya. Ali Topan tahu, ia sejak mula tak disukai oleh orangtua Anna Karenina.
Puncak ketidaksukaan mereka terbukti dengan hadirnya alat-alat negara yang hendak menangkapnya.
Ia tidak takut. Ia hanya merasa sedih. Jika orangtua Anna tidak menyukainya, kenapa harus dimasukkan? Semua orang menyaksikan adegan itu. Ali Topan membelai rambut, mengusap dagu Anna, dengan lembut. Kemudian ia membimbing Anna, dibawanya ke tempat Tuan Surya.
Baru beberapa langkah, Anna berhenti. Ia tahu maksud Ali Topan sangat mulia. Ali Topan mengalahkan kepen- tingan dirinya, demi utuhnya sebuah keluarga.
“Topan...,” bisik Anna. Pandangan mereka bertemu. “Kamu dengar Anna. Ada saatnya kita bertemu, ada
saatnya kita berpisah. Awan tak pernah abadi menahan sinar matahari. Kau mengerti?” bisik Ali Topan.
Anna tak mengerti. Ia menggeleng-gelengkan kepala- nya. Ali Topan tertawa kecil. “Nah, lain hari kau akan mengerti...” Ia membimbing Anna, menyerahkannya pada Pak
Surya. “Oom, saya sayang pada Anna, dan Anna pun sayang pada saya. Jika Oom dan Tante tidak suka pada saya, sayapun tidak bisa memaksa. Saya cuma berharap, Oom jangan menyakiti Anna. Dia tidak bersalah..,” kata Ali Topan dengan gagah.
Tuan Surya mendengus seperti babi. Ia tak mau banyak bicara lagi. Digamitnya Anna, dibawanya ke mobil. Boy segera menyusul. Lelaki itu dengan sigap duduk di belakang stir mobil.
Ny Surya menyusul kemudian, diantar oleh Ika. “Ika boleh ke rumah, Papa?” tanya Ika. Pak Surya mengangguk-angguk. ”Datanglah, datang- Ny Surya menyusul kemudian, diantar oleh Ika. “Ika boleh ke rumah, Papa?” tanya Ika. Pak Surya mengangguk-angguk. ”Datanglah, datang-
Iqbal datang mendekati. Pak Surya menoleh padanya. “Kau bawa anak-istrimu ke rumah malam ini ya…,”
katanya. “Terima kasih, Pak,” kata Iqbal. “Nah. Kami pergi dulu. Urusan sudah selesai…,” kata
Pak Surya. Nyonya Surya duduk di belakang, menghibur hati Anna. Boy menghidupkan mesin mobil. Kemudian mereka berlalu, meninggalkan para polisi,
suami istri Iqbal dan Ali Topan, dengan perasaan dan pikiran yang berlainan.
Agen polisi Kebayoran menepuk pundak Ali Topan dari belakang. “Jiwa Anda besar, Dik,” katanya. Ika, Iqbal dan tiga polisi yang lain serentak mengangguk, mengiya- kan.
Ali Topan menggeraikan rambutnya. “Kasih sayang yang besar membuat jiwa manusia
besar, Pak. Sayang, tak setiap orang memilikinya...,” sahut Ali Topan.
Agen polisi itu tersenyum. “Tapi urusan dinas saya masih harus dijalankan. Adik
turut ke Komwilko 74, untuk menjelaskan persoalannya. Okey?” kata polisi itu dengan nada ramah.
“Saya mah okey sajaa…,” kata Ali Topan, lalu sembari memandang Ika ia pun menyambung, ”Jangankan ke Komwilko, ke kantor Presiden sekalipun, saya akan “Saya mah okey sajaa…,” kata Ali Topan, lalu sembari memandang Ika ia pun menyambung, ”Jangankan ke Komwilko, ke kantor Presiden sekalipun, saya akan
Langit putih. Matahari mencorong di atas Depok. Angin bertiup dari Selatan, Debu debu cokelat
beterbangan, mengusap wajah Ali Topan yang sedang memacu sepeda motornya. Keempat polisi di dalam jip Willys mengikutinya dari belakang. Mereka kembali Jakarta.
“Anak yang gagah itu mau kita apakan?” kata seorang polisi, pada temannya yang menyopir jip. “Kita bikin jadi Tekhab saja, rasanya pas betul.” “Dia bisa jadi agen yang paling keren nantinya. Moga
moga saja dia mau.” Ali Topan tak mendengar dialog itu. Ia sedang mela- mun. Panasnya sinar mentari, keringnya debu-debu jalan- an Depok, tak mampu mengusir bayangan wajah Anna Karenina dari dalam hatinya. Ia sedih benar, namun bukan kesedihan yang cengeng. Ia tak menangis, namun hatinya merintih-rintih. Kasih sayang telah hilang. Tak seorangpun yang menjadi miliknya kini. Ia sendirian lagi.
“Annaaa, Annaaa, Annaaa,” bisiknya. Hanya suara angin yang menjawab bisikannya. “Hampaaa, hampaaa, hampaaa,” keluhnya lagi. “Jangaaan, jangaaan, jangan menghampaa,” angin
serasa menjawab keluhannya. Angin itu berhembus dari dalam jiwanya sendiri.
Ali Topan tersadar. Ia menggertak gigi. “Selaksa kesedihan, sejuta kekecewaan, tak boleh
membuatku mati,” bisiknya. “Tuhan, berikan cintamu padaku.” “Tuhan, berikan cintamu padaku.”
“Tuhan, berikan cintamu padaku.” Berkali-kali Ali Topan memanggil Tuhannya, untuk
mengusir kesedihan. Sampai akhirnya, semangatnya membadai lagi. Bayangan Anna Karenina yang tadinya bersatu dengan kesedihan, terasa melangit. Dalam khayalnya, ia memandang kepergian bayangan yang makin lama makin jauuuh. Cekaman suasana yang tak terlukiskan itu tanpa sadar mendorongnya untuk bernyanyi. Maka iapun bernyanyilah di atas motornya yang berjalan pelahan- lahan.
Pagi yang indah sekali Membawa hati bernyanyi Walau gadisku t’lah pergi Dan tak kan mungkin kembali Hm yaaa…………..
selesai