DELAPAN BELAS

DELAPAN BELAS

S rumahnya sendiri. Ke mana-mana dikuntit t’ruus.

ejak peristiwa makdikipa di depan rumah Panbers, Anna Karenina berstatus orang tahanan di

Perkara dimarahi, cuma caci maki dalam bahasa Arab saja yang belum diterimanya. Bahasa Belanda, bahasa Indonesia, bahasa Inggris dan bahasa daerah, sudah.

Larangan ke luar rumah berlaku 24 jam, kecuali pergi dengan ibunya dan Boy. Lebih sial lagi, diam-diam ayahnya menghubungi Tekhab, polisi Team Khusus Anti Bandit, untuk keamanan dan ketertiban Anna.

Sudah jelas Anna kesal dan bosen memperoleh perlakuan kurang ajar itu. Tapi ia masih belum bisa bergerak. Pesawat telepon pun tidak boleh disentuhnya. Komunikasi diblokir sama sekali.

Ia ingin minggat. Itu keputusan hatinya. Keinginan itupun datanglah pada suatu malam. Ayah

dan ibunya sedang menemui tetamu di ruang depan. Boy sedang disuruh beli rokok dan “seafood” untuk menjamu tetamu. Para pelayan sedang repot di dapur.

Anna bersiap-siap. Untuk men-check situasi, ia pura-pura pergi ke dapur. “Beliin kue pukis, Dah!” kata Anna pada Saodah, pela-

yan khususnya. Diberikannya uang Rp.500 pada Saodah. “Cepetan ya,” Anna lagi. Meyakinkan. “Iya, Non,” sahut Saodah. Begitu Saodah pergi, Anna Karenina segera beraksi. Ia masuk ke kamar mandi, dan mengunci pintunya dari

dalam. Dari balik tumpukan pakaian kotor di kamar man- dalam. Dari balik tumpukan pakaian kotor di kamar man-

Kamar mandi itu berjendela kaca yang cuma digerendel saja. Di luarnya, terdapat taman bunga anggrek milik Nyonya Surya, di samping kiri rumah.

Anna membuka gerendel jendela dengan hati-hati. Kemudian, ia molos dari jendela itu. Tidak seorangpun tahu.

Sampai di luar, ia memasang kupingnya. Terdengar tawa ria para tamu dan orangtuanya dari kamar tamu, dan dengan dentingan cangkir-cangkir dari arah dapur.

Setelah melongok-longok ke kanan kiri, Anna berlari, mengendap-endap di antara pohon-pohon anggrek. Untuk mencapai jalan raya, ia harus melewati pintu bambu. Dari pintu itu, ia masih harus melewati halaman depan rumahnya yang terbuka. Jika ayah atau ibunya melihat ke arah halaman, sudah pasti ia ketahuan. Anna tak mau gegabah. Ia mengatur langkah selanjutnya, sambil tetap merunduk di antara pohon-pohon anggrek.

Saat repot mencari akal, mobil Mercy masuk ke halaman. Anna kaget. Dan nyalinya menciut. Jika Boy sampai tahu, gagallah rencananya.

Bor memarkir Mercedes di depan pintu, hingga agak menutupi pandangan dari dalam ke luar. Anna mendengar pintu mobil di tutp dan langkah kaki Boy menuju rumah. Dengan menguatkan hati, ia bergerak sebat ke pintu bambu. Dibukanya pintu itu perlahan- lahan. Kemudian melongok ke luar. Hatinya lega tatkala melihat situasi membantu rencananya. Mobil Mercedes menghalangi pandangan langsung ayah dan ibunya. Ia bisa berjalan jongkok, atau merangkak, jika Tuhan mengizinkan, dalam beberapa detik ia sudah bisa mencapai jalan raya. Setelah itu, urusan bisa lebih sip.

Anna mengatur nafasnya. Disebutnya nama Tuhan. Lalu ia beraksi. Digigitnya

tas plastik berisi pakaian dan dompet uangnya, kemudian ia merangkak cepat. Jarak yang cuma beberapa meter saja terasa panjang baginya. Hampir-hampir ia tersungkur karena kepalanya terasa pening tiba-tiba. Maklum, ia belum pernah merangkak lagi semenjak bayi dulu. Matanya berkunang-kunang, tapi ditahannya sekuat tenaga. Jika kali ini gagal, tak ada kesempatan lagi, demikian kata hatinya. Semangatnya untuk bebas tergug ah lagi, bernyala-nyala. Diteruskannya merangkak. Terus. Terus. Terus. Akhirnya sampai juga.

Anna ternegah-engah di depan pintu halaman rumah- nya. Kaki dan tangannya terasa pegal. Telapak tangannya perih. Tapi hatinya tetap kuat.

Ia berjalan ke pohon mahoni di tepi jalan di depan rumahnya. Dari situ ia menoleh, memandang ke arah rumah. Cahaya lampu menerangi halaman. Genting- genting hitam. Hatinya tercekat, dilanda kesedihan, ketika melihat rumahnya. Ingin ia tetap tinggal. Tapi perasaannya tak sanggup menahan tekanan yang dilancarkan oleh orangtuanya. Apalagi ada Boy, manusia yang tak disukainya.

Suara tawa ayahnya memenuhi udara. Terbahak- bahak. Anna menggigit bibirnya. Ia muak pada suara itu. Suara tawa orang yang egois dan kejam.

Tanpa buang tempo lagi, Anna berlari menyeberangi jalan. Sebuah taksi kebetulan lewat. Distopnya. “Ke mana?” tanya sopir taksi, setelah Anna masuk ke dalam taksinya. “Ke rumah Maya!” sahut Anna, tanpa sadar. “Ke rumah Maya? Di mana?” tanya sopir taksi. Anna menyebutkan alamat Maya. Pak sopir taksi Tanpa buang tempo lagi, Anna berlari menyeberangi jalan. Sebuah taksi kebetulan lewat. Distopnya. “Ke mana?” tanya sopir taksi, setelah Anna masuk ke dalam taksinya. “Ke rumah Maya!” sahut Anna, tanpa sadar. “Ke rumah Maya? Di mana?” tanya sopir taksi. Anna menyebutkan alamat Maya. Pak sopir taksi

Sesudah taksi menghilang di tikungan, Anna masuk ke rumah Maya.

Pembantu rumah membukakan pintu untuknya. “Lho, Neng Anna? Sama siapa malem-malem ke sini?

Neng Maya lagi nonton pilem sama bapak dan ibu,” bisik Bik Isah, pembantu rumah Maya.

“Pergi?” Bik Isah mengangguk. “Ada perlu penting?” Anna berpikir sebentar. “Boleh pinjem telepon, Bik?” “Boleh, boleh. Silakan.” Anna diantarkan ke tempat telepon. Bik Isah memper-

hatikannya dengan heran. “Rupanya seperti sedang bingung, Neng?” “Ah, nggak ada apa-apa, Bik!” kata Anna sambil

memutar nomer tilpon.

Ali Topan sedang mengambil apel dari lemari es, ketika tilpon berdering. Mula-mula dibiarkannya deringan itu. Lama-lama ia merasa risi.

Ia pergi ke tempat tele pon, dan mengangka t gagangnya. Lantas ia terkejut ketika mendengar suara Anna.

“Halo! Anna! Apa kabar?” Secara singkat Anna membeberkan kisahnya. “Okey! Okey! Aku da tang!” kata Ali Topan.

Kemudian, tanpa membuang tempo lagi, ia bergegas ke kamarnya, mengambil jaket, lalu keluar mengambil motornya.

Kurang dari lima menit, Ali Topan sudah sampai di rumah Maya. Dijumpainya Anna yang menunggu di kamar tamu.

“Haiii…” “Hai…..” Keduanya berhai-hai dan tertawa riang. “Kangen deh.” “Aku juga kangen.” Mereka tertawa lagi. Lalu saling berpegangan tangan.

Saling memandang. Keduanya tak mampu berkata-kata lagi. Sorot mata penuh kerinduan telah berarti sangat banyak.

“Hem! Hem!” Bik Isah berdehem dari pintu. Ali Topan dan Anna baru tersedar bahwa mereka sedang berada di rumah orang.

“Yuk, kita pergi,” kata Ali Topan. “Yuk,” kata Anna. Mereka pamit pada Bik Isah. “Lho, nggak nunggu?” Bik Isah nyeletuk. “Nunggu siapa?” tanya Ali Topan. “Nunggu diusir.” “Sialan lu, Bik! Becanda kaya anak-anak sekolahan

aje,” kata Ali Topan. Tapi ia tidak marah. Annapun tersenyum. Rasanya, keindahan pertemuan mereka mampu mengusap dan mendinginkan rasa marah yang bagaimanapun besarnya.

Di luar hawa dingin. Ali Topan mencopot jaketnya, dikenakannya pada Anna. “Kamu aja yang pakai. Dingin,” kata Anna. “Biarin. Kamu aja yang pakai.” Ali Topan memaksa.

Akhirnya Anna mau juga. “Ke mana kita?” “Ke rumah Mbak Ika, di Depok.” Ali Topan menghidupkan motornya. Anna

membonceng di belakangnya. “Pegangan baik-baik, An.” Anna menurut. Dirapatkannya badannya ke punggung

Ali Topan dan dipeluknya tubuh gacoannya dengan erat dan wah. Lantas sepasang remaja yang sedang dibadai cinta itu, berlalu, menyatu dengan malam, menuju Depok yang terletak di luar kota.

Di rumah Anna sedang ada acara makan malam. Pak Surya dan istrinya ramah sekali menjamu tetamunya. Di mata para relasi, keluarga Surya memang dikenal ramah- tamah dan baik budi bahasanya.

“Mana anakmu, Sur?” tanya Pak Karno, tetamunya. “Dia sedang ngadat, mengeram di kamarnya,” kata Pak

Surya. “Lho, kenapa ngadat? Suruh keluar dong.” “Tidak mau dia. Biarlah.” Pak Karno memanggil Saodah yang mengantarkan

tusukan gigi. “He, bik, panggilkan nonamu. Bilang, mau dikasih duit sama Pak Karno, gitu,” kata Pak Karno. Bik Saodah melihat ke arah majikannya, menunggu persetujuan.

“Tak usah, tak usah bilang mau dikasih duit. Bilang saja, Pak Karno ingin ketemu. Sana, cepat,” kata Pak Surya.

Saodahpun pergilah ke kamar nonanya. Ia memutar pegangan pintu. Terkunci. Ia mengetuk lebih keras dan memamnggil lebih gencar,

tetap tak ada jawaban. Akhirnya ia kembali lagi ke ruang makan, melaporkan tetap tak ada jawaban. Akhirnya ia kembali lagi ke ruang makan, melaporkan

tidur. Tadi saya disuruh beli kue pukis, tapi sewaktu saya antarkan, pintu kamarnya dikunci.”

“Lho, kok bisa begitu?” tanya Pak Surya. “Apa makan pil tidur? Atau narkotik?” tanya Pak

Karno. Orang ini memang sedikit bego. Profesinya pelukis ekspresif, jadi kalau ngoceh juga ekspresif betul.

“Hus!” istrinya yang pendiam, meng-hus-nya. Pak Karno tertawa terkekeh-kekeh. “Aku cuma berkelakar saja,” katanya. Tapi kelakarnya kali ini tak masuk di otak Pak Surya yang sedang diganggu oleh pikiran curiga.

“Coba aku lihat dia!” kata Pak Surya, lantas segera bangkit dari kursinya dan berjalan menuju kamar Anna. “Anna! An! Annaaaa! Buka pintuu!” seru Pak Surya. Berulang-ulang ia memanggil nama anaknya, berkali- kali ia menggedor pintu kamar itu, tapi bunyi kentutpun tak terdengar dari dalam.

Akhirnya beliau penasaran seperti Oma Irama. Dan bermaksud membongkar pintu. “Bongkar saja pintunya, Pap!” seru istrinya, memberi semangat. Sang istri merasa malu pada tetamunya, karena anaknya bandel, tak mau mendengar panggilan orangtua.

Ditonton oleh tetamunya, Pak Surya memasang kuda- kuda. Tangan kanannya diangkat ke atas, tangan kirinya ditekuk ke bawah puser. Kaki kanannya ditekuk sedikit ke belakang seperti gaya Iswadi menendang bola, sedang kaki kirinya diajukan ke depan seperti gaya tukang nandak di Pasar Senen. Setelah mengempos nafas sesaat, diterjanglah pintu kamar Anna. Gubragh! Jebollah pintu Ditonton oleh tetamunya, Pak Surya memasang kuda- kuda. Tangan kanannya diangkat ke atas, tangan kirinya ditekuk ke bawah puser. Kaki kanannya ditekuk sedikit ke belakang seperti gaya Iswadi menendang bola, sedang kaki kirinya diajukan ke depan seperti gaya tukang nandak di Pasar Senen. Setelah mengempos nafas sesaat, diterjanglah pintu kamar Anna. Gubragh! Jebollah pintu

“Haaah?” ia cuma bisa bengong, karena tak menjumpai Anna di dalam kamar. Pak Karno dan Nnyona Surya yang terbirit-birit ke dalam kamar, menjadi heran pula. “Lho, kosong? Ke mana anakmu?” tanya Pak Karno sambil membantu Pak Surya berdiri. “Kemana dia Mam?” Pak Surya malah balik bertanya pada istrinya. Nyonya Surya cuma menagngkat bahu saja. Boy yang terburu-buru datang, dan para babu yang kaget karena mendengar suara gedubragan, juga menampilkan wajah tak tahu.

“Anakmu minggat, Mam!” kata Pak Surya. “Lho, kok minggat? Gimana to duduk-perkaranya?”

Pak Karno menyela, “apa dia tak betah di rumahnya?” Pak Surya dan istrinya saling berpandangan. “Coba cari dulu di sekeliling rumah, Mam,” kata Pak

Surya. Istrinya menurut. Kemudian, semua orang menca- ri Anna. Pencaharian yang sia-sia.

“Boy, siapkan mobil!” kata Pak Surya, setelah pasti anaknya kabur dari rumah. Kemudian ia menoleh ke Pak Karno. “Wah, maafkan saya, Pak Karno. Saya musti cari anak saya. Teruskan daharnya, biar ditemani istri saya saja.”

“Waa, iyaa, anak hilang musti dicari. Soal makan, tidak usah ditemani juga tidak apa-apa, Pak Surya…,” kata Pak Karno dengan nada polos.

“Terima kasih atas pengertiannya….,” kata Pak Surya. “Mudah-mudahan anakmu cepet ketemu,” balas Pak

Karno. Lalu keduanya saling membungkuk seperti gaya Karno. Lalu keduanya saling membungkuk seperti gaya

ke dalam mobil. “Ke mana?” “Pokoknya jalan saja dulu.” Boy patuh. Mobil dijalankan cepat meninggalkan

rumah, diikuti pandangan mata cemas dari Nyonya Surya dan para pembantu rumahnya.

Jam 02.37 dinihari, Pak Surya dan Boy pulang ke rumah. Tanpa Anna. Ny Surya membukakan pintu untuk mereka. “Bagaimana, Pa?” tegurnya. “Tak ada. Sudah kucari ke mana-mana,” sahut Pak

Surya, lesu. “Jadi, bagaimana dong?” “Esok saja kita cari lagi. Kalau perlu minta bantuan

polisi. Sekarang aku letih, ingin tidur,” kata Pak Surya menggerumel.

Nyonya Surya termangu-mangu mendengar kata-kata suaminya. Per asaannya mela yang ke masa lalu. Kenangannya langsung ke Ika, yang akhirnya kawin tanpa rencana.

“Apa dia tak pergi sama anak bergajul itu, Pa?” tanya Nyonya Surya. Yang dimaksudkannya Ali Topan. “Besok sajalah kita urus lagi. Kepalaku pening, tak bisa mikir apa-apa lagi, Mam...,” kata Pak Surya, lalu masuk ke kamar tidurnya.