Metode Baku Tafsir al-Qur’an

4. Metode Baku Tafsir al-Qur’an

Dengan melihat gaya penafsiran dan model tafsir di atas tampak bahwa ada ragam tafsir dengan gaya dan bentuknya. Namun, harus difahami bahwa semuanya tadi berkaitan dengan uslûb tafsîr, yang dikembangkan oleh masing-masing ahli tafsir. Adapun berkaitan dengan metode yang seharusnya ditempuh oleh ahli tafsir, sehingga mendapatkan tafsir ideal sebagaimana yang berkembang pada zaman Rasul dan para sahabat, bisa dirumuskan sebagai berikut:

4.1. Dari Aspek Kebahasaan

Sebagaimana yang telah dinyatakan sebelumnya, bahwa al- Qur’an telah diturunkan dalam bahasa Arab yang jelas dan terang, sehingga tidak ada satu kata atau lafadz pun dalam al-Qur’an yang merupakan kata atau lafadz non-Arab. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa kata atau lafadz Arab itu ada yang digunakan sebagaimana konotasi dasarnya, yang dikenal dengan istilah haqîqah, baik lughawiyyah, ‘urfiyyah maupun syar’iyyah. Ada yang digunakan keluar dari konotasi dasarnya karena adanya indikasi dan hubungan tertentu, yang dikenal dengan istilah majâz dan kinâyah. Ada yang digunakan berdasarkan prinsip derivatif, yang dikenal dengan istilah isytiqâq. Ada juga yang digunakan dengan konotasi yang sama dengan asalnya, namun dimodifikasi sebagai istilah Arab, setelah mengalami pengaraban, yang dikenal dengan istilah ta’rîb.

Sebagai contoh, ketika al-Qur’an menyatakan:

Maka sekarang campurilah mereka (Q.s. al-Baqarah: 187). Konotasi frase: Bâsyirûhunna (campurilah mereka) tidak bisa difahami dengan konotasi mubâsyarah secara mutlak, yaitu menyentuh isteri. Sebab, konteks seruan mubâsyarah ini berkaitan dengan larangan melakukannya di waktu puasa, bukan di malam harinya, dimana Maka sekarang campurilah mereka (Q.s. al-Baqarah: 187). Konotasi frase: Bâsyirûhunna (campurilah mereka) tidak bisa difahami dengan konotasi mubâsyarah secara mutlak, yaitu menyentuh isteri. Sebab, konteks seruan mubâsyarah ini berkaitan dengan larangan melakukannya di waktu puasa, bukan di malam harinya, dimana

Pendek kata, dari aspek kebahasaan ini, al-Qur’an harus ditafsirkan sesuai dengan apa yang dituntut oleh bahasa Arab yang digunakan oleh orang Arab, yang diambil dari keempat sumber --- haqîqah, majâz, isytiqâq dan ta’rîb--- di atas.

4.2. Dari Aspek Rasionalitas

Aspek rasionalitas di sini adalah sudut pandang yang didasarkan pada batasan akal. Akal itu sendiri tidak bisa berfungsi kecuali jika ada empat komponen:

1. realitas yang terindera

2. otak yang sehat (waras)

3. panca indera dan penginderaan

4. informasi awal Jika keempat komponen akal tersebut terpenuhi, maka fungsi akal dalam konteks idrâk itu pasti akan berjalan. Namun jika tidak, misalnya realitasnya tidak terindera, sehingga panca indera dan penginderaan manusia tidak bisa menjankaunya, maka fungsi akal dalam konteks idrâk tersebut tidak bisa berjalan. Meski demikian, akal tetap berfungsi untuk memahami makna teks atau informasi, sehingga fungsi akal hanya memahami apa yang disampaikan, tidak lebih.

Sebagai contoh, ketika Allah berfirman:

Katakanlah (Muhammad): Allah itu adalah Maha Esa. (Q.s. al-

Ikhlâs: 1).

Lafadz: Ahad adalah lafadz yang secara kebahasaan bisa difahami dengan makna apa adanya, yaitu Maha Esa, yang juga berarti satu. Konotasi kebahasaan ini sudah jelas. Mengenai substansi satu, tidak perlu dijelaskan. Misalnya, apakah satunya Allah itu merupakan angka, yang berkonotasi aksidental, ataukah bukan, sebagaimana yang dikembangkan oleh Plato? Sebab, pembahasan mengenai substansi satunya Allah ini tidak bisa dijangkau oleh akal. Karena itu, penjelasan terhadap lafadz: Ahad tersebut harus tetap kembali kepada batasan akal yang terbatas, sehingga harus tunduk pada konotasi kebahasaan yang ditunjukkan oleh kata atau lafadz Arabnya saja.

4.3. Aspek Muhkam dan Mustâsyabih

Jika ada nas yang menjelaskan satu konteks makna, yang satu muhkam dan yang lain mutasyâbih, maka yang muhkam harus menjadi pemutus bagi yang mutasyâbih. Misalnya, firman Allah:

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki. (Q.s. al-Mâidah: 6).

Lafadz: Arjulakum (kaki kalian) ada yang membaca dengan bacaan mutawatir, dengan me- nashab-kan lafadz tersebut karena faktor ‘athaf pada lafadz: wujûhakum (wajah kalian), yang menjadi obyek (maf’ûl bih) kata: faqghsilû (basuhlah). Ada juga bacaan mutawatir dengan: Arjulikum yang di-‘athaf-kan pada lafadz: ru’ûsikum (kepala kalian). Karena itu, lafadz Arjulakum ini mutasyâbih, yang mempunyai dua makna:

1. kaki mengikuti hukum wajah dan tangan, sehingga hukumnya harus dibasuh.

2. kaki mengikuti hukum kepala, sehingga hukumnya cukup dengan diusap. Maka, jika mengikuti bacaan yang pertama, hukumnya cuma

satu, yaitu harus membasuh kaki. Maka, yang pertama disebut muhkam. Namun, jika mengikuti bacaan kedua, bisa dua hukum; Pertama, membasuh kaki, dengan alasan bahwa status arjul tersebut memang majrûr, namun bisa dihukumi manshûb. Kedua, mengusap kaki, dengan alasan statusnya majrûr. Maka, yang kedua disebut mutasyâbih. Dalam konteks seperti ini, yang pertama lebih dikuatkan, ketimbang yang kedua. Inilah yang dimaksud, bahwa muhkam harus menjadi pemutus yang mutasyâbih.

4.4. Aspek Korelasi Ayat Dalam Surat Dengan Integralitasnya

Istilah sûrat sebagai istilah dengan konotasi kumpulan ayat adalah istilah yang digunakan oleh Allah dalam al-Qur’an, seperti yang dinyatakan dalam surat an-Nûr: 1 atau al-Baqarah: 23. Jika melihat realitas ayat dan sistematikanya dalam surat bersifat tawqîfi, maka realitas ini membuktikan, bahwa ayat-ayat dalam surat tersebut merupakan satu kesatuan integral. Di sinilah korelasi satu ayat dengan ayat lain dalam satu surat itu menemukan bentuknya. Atau, yang oleh ahli tafsir disebut Munasâbât Ayât wa Ukhrâ (korelasi ayat satu dengan yang lain). Maka, untuk menafsirkan ayat al-Qur’an, harus tetap memperhatikan korelasinya dengan ayat sebelum dan setelahnya.

4.5. Aspek Multiriwayat atau Dalâlah

Jika ada banyak riwayat atau dalâlah yang ditunjukkan oleh nas al-Qur’an, maka diperlukan tarjîh. Dalam hal ini, tarjîh atas berbagai riwayat atau dalâlah tersebut menjadi salah satu penentu.

Inilah metode baku yang harus dijadikan pedoman dalam menafsirkan al-Qur’an. Wallâh[u] a’lam bi as-shawâb.

Ulumul Quran Praktis

(Pengantar untuk Memahami al­Quran) Karya Drs. Hafidz Abdurrahman, MA Editor: Yogi Yogaswara Setting/Layout: Ahmad H. Desain Cover: Tito F. Hidayat Diterbitkan oleh:

CV IDeA Pustaka Utama Jl. Raya Semplak No. 221 Bogor 16311 Telepon/Faksimil: 0251­511180 email: idea­pustaka@indo.net.id

Cetakan 1, Rajab 1424 H/September 2003 M