Manfaat Sebab Turunnya Ayat

4.4. Manfaat Sebab Turunnya Ayat

Ibn Taymiyyah mengatakan, bahwa pengetahuan akan sebab (turunnya ayat) akan melahirkan pengetahuan akan

44 Lihat, ‘Ali al­Hasan, Op. Cit., hal. 131. 45 ‘Ali al­Hasan, ibid, hal. 131.

46 akibatnya. Ibn Daqîq al-’Id juga berkata, bahwa penjelasan mengenai sebab turunnya ayat merupakan metode paling akurat

untuk memahami makna-makna al-Qur’an. 47 Karena itu, pengetahuan mengenai sebab turunnya ayat ini menjadi sangat

penting. Antara lain, bermanfaat untuk:

1. mengkhususkan hukum dengan sebab turunnya ayat hukum tersebut, khususnya bagi pihak yang berpendapat, bahwa konotasi ayat dibangun berdasarkan sebabnya yang spesifik, bukan keumuman lafadz. Misalnya:

Sesungguhnya Shafaa dan Marwah adalah sebahagian dari syi`ar Allah. Maka barangsiapa yang beribadah haji ke Baitullah atau ber- ‘umrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa`i antara

keduanya. (Q.s. al-Baqarah: 158)

‘Urwan bin Zubayr berpendapat, sebagaimana zahirnya ayat ini, bahwa sa’i antara Shafa dan Marwa itu tidak wajib, sehingga menurutnya, boleh orang meninggalkannya. Pandangan ini dinyatakan kepada ‘Aisyah, bibinya, dan dijawab oleh beliau: Seburuk-buruk pandangan adalah apa yang kamu katakan, wahai keponakanku. Andaikan masalahnya seperti yang kamu sebutnya, tentu Allah telah berfirman: Falâ Junâha ‘Alayhi Allâ Yathûfa Bihimâ (Maka, tidak ada dosa baginya untuk tidak mengelilinginya). Beliau kemudian menceritakan, bahwa pada zaman Jahiliyah orang-orang telah mengelilingi Shawa dan Marwa untuk dua berhala; di Shafa bernama Isâf, dan di Marwa bernama Nâ’il. Ketika mereka telah memeluk Islam, mereka keberatan untuk melakukan sa’i ke sana, karena khawatir terkontaminasi dengan tradisi Jahiliyah, lalu turunlah ayat ini, yang menghapus dosa dan keberatan hati

46 Ibn Taymiyyah, Op. Cit., hal. 47. 47 ‘Ali al­Hasan, Op. Cit., hal. 123.

mereka, serta mewajibkan sa’i mereka hanya untuk Allah semata, bukan untuk berhala. 48

2. menghilangkan kaburnya hashr (pembatasan) atas apa yang zahirnya mengindikasikan hashr (pembatasan). Misalnya:

Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi --karena sesungguhnya semua itu kotor--

atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. (Q.s. al- An’âm: 145)

Az-Zarkasyi menyatakan, bahwa hashr (pembatasan) dalam konteks ayat ini bukanlah maksud yang dikehendaki. Alasannya, karena ketika orang Kafir telah mengharamkan apa yang dihalalkan oleh Allah dan mengharamkan apa yang telah dihalalkan oleh-Nya, mereka itu selalu berperilaku sebaliknya. Ayat ini, secara eksplisit memang menunjukkan adanya hashr (pembatasan), sebagai tantangan dan serangan dari Allah dan Rasul-Nya, bukan dimaksud sebagai hashr (pembatasan) yang sesungguhnya. 49

3. mengetahui

yang menyebabkan disyariatkannya hukum. Misalnya:

bentuk

hikmah

48 As­Shâbûni, Op. Cit., hal. 22. 49 Az­Zarkasyi, Op. Cit., juz I, hal. 31­32.

Janganlah sekali-kali kamu menyangka bahwa orang-orang yang gembira dengan apa yang telah mereka kerjakan dan mereka suka supaya dipuji terhadap perbuatan yang belum mereka kerjakan janganlah kamu menyangka bahwa mereka terlepas dari siksa, dan

bagi mereka siksa yang pedih. (Q.s. Ali ‘Imrân: 188)

Marwân al-Hakam berkata kepada pembantunya, agar bertanya kepada Ibn ‘Abbâs: Jika tiap orang yang bangga terhadap apa yang telah diberikan kepadanya, dan suka dipuji atas apa yang belum dikerjakannya akan diazab, niscaya kita semua akan terkena azab. Maka, Ibn ‘Abbas menjelaskan, bahwa ayat tersebut diturunkan kepada Ahli Kitab, Yahudi, ketika Nabi saw. bertanya kepada mereka mengenai suatu perkara, kemudian

menyembunyikannya, lalu memberitahukan apa yang lain, yang dengannya mereka berharap mendapat pujian, maka turunlah ayat ini. 50

mereka

4. mengetahui hukum ayat. Sebab, hukum ayat tersebut tidak akan terlepas dari sebab diturunkannya ayat itu.

50 As­Shâbûni, Op. Cit., hal. 21.