Gaya Bahasa al-Qur’an

4. Gaya Bahasa al-Qur’an

Gaya bahasa al-Qur’an yang dimaksud di sini adalah variasi yang digunakan oleh al-Qur’an dalam mengungkapkan maksud yang dikehendakinya. Dalam hal ini ada beberapa variasi yang digunakan al-Qur’an, seperti uslûb al-jadal (gaya perdebatan), amtsâl (gaya bahasa perumpamaan), al-qasam (gaya sumpah), al-qashash (gaya berkisah), yang semuanya ini terangkum dalam apa yang disebut oleh al-Qur’an sendiri dengan ayat Muhkamât dan Mutasyâbihât.

4.1. Muhkamât

Tentang Muhkamât, menurut al-Amidi (w. 631 H), pendapat yang paling sahih ada dua:

1. Muhkam adalah ayat yang maknanya tampak, dan maknanya benar-benar tersingkap dengan jelas sehingga bisa menghilangkan ambiguitas ( isykâl), dan melenyapkan spekulasi ( ihtimâl).

2. Muhkam adalah ayat yang tersusun dan melahirkan bentuk yang mempunyai makna tanpa harus ditakwilkan, atau jika ditakwilkan tanpa menyisakan kotradiksi dan perselisihan. 10 Maka, definisi yang paling sahih mengenai muhkam,

sebagaimana yang dikemukakan oleh Waliyu-Llâh ad-Dahlawi, adalah sesuatu yang hanya difahami oleh ahli bahasa dengan makna. Sementara ahli bahasa yang dimaksud di sini adalah orang Arab pertama, bukan ahli bahasa dari kalangan filsuf Arab. 11 Misalnya, firman Allah SWT:

Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba..

(Q.s. al-Baqarah: 275)

Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa

lagi Maha Bijaksana. (Q.s. al-Mâidah: 38)

4.2. Mutasyâbihât

10 Al­Amidi, al­Ih kâm fi Ushûl al­Ahkâm, al­Maktab al­Islâmi, Beirut, cet. II, 1402 H, juz I, hal. 165­166.

11 Ad­Dahlawi, al­Fawz al­Kabîr fi Ushûl at­Tafsîr, Dâr al­Basyâ’ir al­ Islâmiyyah, Beirut, cet. II, 1987, hal. 82; lihat juga, an­Nabhâni, as­

Syakhshiyyah al­Islâmiyyah, Mansyûrât Hizb at­Tahrîr, Beirut, cet. I, 1953, juz III, hal. .

Mutasyâbih merupakan kebalikan muhkam, yaitu ayat yang berpotensi untuk dispekulasikan, atau mempunyai lebih dari satu makna. 12 Menurut al-Amidi, ada dua bentuk spekulasi:

1. Spekulasi yang setara ( jihat at-tasâwi), seperti lafadz-lafadz Mujmal yang telah dijelaskan di atas. Misalnya, firman Allah:

Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga

kali quru.. (Q.s. al-Baqarah: 228)

Kecuali jika isteri-isterimu itu mema’afkan atau dima’afkan oleh

orang yang memegang ikatan nikah (Q.s. al-Baqarah: 237)

2. Spekulasi yang tidak setara ( lâ ‘alâ jihat at-tasâwî), seperti kata kiasan dan kata yang secara eksplisit bisa diilusikan sebagai bentuk personifikasi terhadap Allah, sehingga perlu ditakwilkan. Misalnya, firman Allah:

Dan tetap kekal Wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan

kemuliaan. (Q.s. ar-Rahmân: 27)

Atau firman Allah:

12 Al­Amidi, Ibid, juz I, hal. 165; ‘Ali al­Hasan, Op. Cit., hal. 193; ad­ Dahlawi, ibid, hal. 82.

Alif Laam Miim. Kitab (Al Qur'an) ini tidak ada keraguan

padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa. (Q.s. al-Baqarah: 1-2)

Contoh ayat yang terakhir, disebut muqaththa’ah (potongan- potongan huruf), yaitu alif, lam dan mim, yang dianggap oleh para ulama’ sebagai ayat mutasyâbihât. Meski ada yang berpendapat, bahwa maknanya hanya diketahui oleh Allah. Namun, pendapat ini disangkal oleh al-Amidi, dan pendapat yang terakhir inilah yang paling kuat. Beliau ---dan juga an- Nabhâni--- menyatakan, bahwa potongan-potongan huruf tersebut mempunyai makna, yang bisa difahami oleh manusia, yaitu nama surat. 13 Adapun faktor yang menyebabkan terjadinya mutasyâbih,

menurut ad-Dahlawi, bisa dikembalikan kepada:

1. spekulasi kembalinya kata ganti pada dua marja’ (tempat kembali), seperti firman Allah:

Kecuali jika isteri-isterimu itu mema’afkan atau dima’afkan oleh

orang yang memegang ikatan nikah (Q.s. al-Baqarah: 237)

Di sini, kata ganti orang ketiga lelaki tunggal ( dhamîr mudzakkar ghâ’ib), yaitu h[i] pada frasa: biyadih[i], yang mempunyai kemungkinan kembali kepada suami atau wali pihak perempuan.

2. kesamaan dua makna pada satu kata, seperti dalam kasus quru’ dalam surat al-Baqarah: 228 di atas, yang bisa berarti haid dan suci.

3. spekulasi ‘athaf kepada yang dekat atau jauh, seperti lafadz: arjulakum (kaki kalian) dalam firman Allah:

13 Al­Amidi, Op. Cit., juz I, hal. 167; an­Nabhâni, as­Syakhshiyyah, juz

III, hal. .

{ ِﻦْﻴَﺒْﻌَﻜْﻟﺍ ﻰَﻟِﺇ ْﻢُﻜَﻠُﺟْﺭَﺃ َﻭ ْﻢُﻜِﺳﻭُءُﺮِﺑ ﺍﻮُﺤَﺴْﻣﺍَﻭ }

Dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua

mata kaki (Q.s. al-Mâidah: 6)

Jika lafadz: arjulakum di-‘athaf-kan kepada ru’ûsikum (kepala kalian), berarti kaki cukup diusap, namun jika di- ‘athaf-kan kepada wujûhakum (wajah kalian), berarti kaki tersebut harus dibasuh, dan tidak cukup diusap.

4. spekulasi berhenti dan mulai, seperti dalam kasus mujmal yang telah dijelaskan di atas.