Reaksi Muslim Terhadap Ahmadiyah

D. Reaksi Muslim Terhadap Ahmadiyah

Banyak kalangan yang sudah merasa khawatir bahkan sejak diterbitkannya jilid pertama Barahin Ahmadiyah bahwa penulisnya Mirza Ghulam Ahmad, telah berdiri di atas jalan yang akan menggiringnya dalam waktu dekat ke sebuah klaim kenabian. Diantara mereka yang menentang adalah dua putra Maulana Abdul Qadir Ludhianawi, yaitu Maulana Muhammad, dan Maulana Abdul Aziz. Para ulama dari Amritsar dan sejumlah ulama dari keluarga Ghaznawi menentang Mirza Ghulam Ahmad dari awal munculnya gerakan Ahmadiyah serta mengecam wahyu versi Mirza sebagai sebuah fantasi. (Sayid Ali Nadwi, 2005: 44)

Maulvi Muhammad, Maulvi Abdullah, dan Maulvi Abdul Aziz yang semuanya berasal dari Ludhiana, mengeluarkan fatwa pada tahun 1301 H atau 1885 M sebagai berikut:

Mirza berada di luar Islam. Dia dan para pengikutnya tidak menjadi bagian dunia Islam, dan kami masih menganggap bahwa orang ini dan siapa pun

-tulisan kami yang lama maupun baru (mengenai subjek ini) adalah bahwa orang ini murtad, dan sebagaimana tertulis dalam

dan kitabkitab Hukum Islam lainnya (Fiqh), adalah haram dan terlarang bagi orang Islam untuk berbicara atau berhubungan dengan orang seperti itu. Siapa pun yang percaya kepadanya juga menjadi kafir

M.A. Suryaman, 2005: 127)

Awal timbulnya reaksi umat Islam khususnya dan umat Hindu dan Kristen pada umumnya adalah sewaktu Mirza Ghulam Ahmad mendakwahkan diri secara terang-terangan mengenai ide pembaruan nya yang menurutnya atas wahyu Ilahi. Ide pembaruannya yang dimaksud adalah kedudukannya sebagai al-Masih dan al- Mahdi yang dijanjikan. Para ulama yang sebelumnya simpatik terhadap Mirza Ghulam Ahmad akhirnya berubah menentang dakwahannya itu. Diantara mereka yang menentang adalah Muhammad Husain dari Batala, Abdul Haq Ghaznawi dari Amritsar, Nazir Husain dari Delhi, yang memberikan reaksi adalah Maulana Muhammad Husein Batalwi seorang ahli hadis dari Batala, yang dahulu dalam majalahnya Isyaatus Sunnah sangat memuji Mirza Ghulam Ahmad. kini menentang Mirza Ghulam Ahmad.

Pada bulan Juli 1891 dilaksanakan perdebatan antara Mirza Ghulam Ahmad (didampingi Nuruddin) dengan Muhammad Husain Batalwi di Ludhiana. Materi yang diperdebatkan sekitar masalah kematian nabi Isa as. Perdebatan tersebut merupakan perebatan yang pertama kali dilakukan. Tiga bulan setelah perdebatan pertama, tepatnya pada bulan oktober 1891 dilakukan perdebatan kedua dengan Maulvi Nazir Hussein dan Abu Muhammad Abdul Haq., tokoh Ahli-Hadis , di Masjid Jami Delhi yang materinya juga masih berkisar tentang kematian nabi Isa as. Kemudian pada kesempatan lain, masyarakat Delhi memanggil Maulvi Muhammad Bashir dari Bhopal untuk mengadakan perdebatan dengan Mirza Ghulam Ahmad. Setelah beberapa bulan kemudian di Lahore di adakan suatu perdebatan dengan Maulvi Abdul Hakim Kalanauri. (Iskandar Zulkarnaen, 2005: 79-80)

M.A. Suryaman, (2005: 128). Mengungkapkan beberapa fatwa dari ulama- ulama Hindustan terhadap Ahmadiyah sbb: M.A. Suryaman, (2005: 128). Mengungkapkan beberapa fatwa dari ulama- ulama Hindustan terhadap Ahmadiyah sbb:

seorang kafir. Kami mencari perlindungan Allah dari rencana-rencana

Masood Dehlwi, Sajjadah Nasheen Rathar-Chhattar, pada tahun 1892 mengeluarkan fatwa:

seorang atheis. Ia adalah orang yang telah dinubuatkansebagai anti-Kristus (Dajjal) dan para pengikutnya adalah sesat- Maulvi Muhammad Kifayatullah Syahjahan Puri juga mengeluarkan

fatwa: kafir, bai'at mereka

adalah haram, dan benar-benar tidak sah menjadikan mereka memimpin shalat Pada tahun 1892, Maulvi Nadzir Hussein dari Delhi telah mengeluarkan

fatwa mengenai Pendiri Jemaat Ahmadiyah sebagai berikut: shalat dengan bermakmum Maulvi Muhammad Hussein dari Batala mengeluarkan fatwa:

a saat yang sama menjadi imam bagi orang-orang Islam adalah dua hal yang saling bertentangan. Keduanya

Maulvi Rasyid Ahmad Ganggohi memberikan fatwa:

imam Anda, adalah haram Maulvi Sanaullah dari Amritsar mengeluarkan fatwa:

shalat adalah tidak sah

Shalat bermakmum di belakang seorang Mirzai adalah benar benar tidak sah. Shalat di belakang orang-orang Mirzai tidak ada bedanya dengan shalat di belakang orang-orang Hindu, Yahudi atau Kristen. Warga Ahlus Sunnah wal Jamaa'ah dan orang-orang Islam lainnya jangan sekali-kali membiarkan orang-orang Mirzai masuk ke dalam mesjid-mesjid kita, baik

Maulvi Abdurrahman Bihari mengeluarkan fatwa: Shalat yang dilakukan di belakang dia atau di belakang pengikutnya adalah batal dan tidak diterima, dan layak untukditolak...berimam kepada

Mufti Muhammad Abdullah Thungki mengeluarkan fatwa: shalat di

Maulvi Abdul Jabar Umar Puri memberikan fatwa:

untuk memimpin shalat Maulvi Aziz-ur-Rahman, Mufti golongan Deoband,memberikan fatwa:

aqidah Qadiani, menjadikannya sebagai imam shalat adalah haram Musytaq Ahmad Dhelwi memberikan fatwa:

keimanannya [kepadanya], [maka] dirinya sendiri terlepas dari tubuh Islam, dan tidak sah untuk menjadikannya sebagai imam shalat

Maulvi Ahmad Reza Khan Brelwi mengeluarkan fatwa: shalat di belakangnya adalah sama seperti sanksi [yang diberlakukan] bagi orang- Maulvi Muhammad Kifayatullah Syahjahan Puri mengeluarkan fatwa:

kafir, bai'at mereka adalah haram, dan benar-benar tidak sah menjadikan mereka memimpin shalat Mirza Ghulam Ahmad mengeluarkan tantangan untuk melakukan mubahalah

kepada para penentangnya salah satunya adalah Maulana Sanaullah Amritsari, editor majalah Ahlul Hadist. Pada 5 april 1907 Mirza Ghulam Ahmad mengeluarkan pernyataan yang ditujukan kepada Maulana Sanaullah : kepada para penentangnya salah satunya adalah Maulana Sanaullah Amritsari, editor majalah Ahlul Hadist. Pada 5 april 1907 Mirza Ghulam Ahmad mengeluarkan pernyataan yang ditujukan kepada Maulana Sanaullah :

Ghulam Ahmad jatuh sakit dan terkena penyakit kolera di Lahore. Pada hari berikutnya, tanggal 26 Mei Mirza Ghulam Ahmad meninggal dunia. (Sayid Ali Nadwi, 2005: 17)

Tahun 1933 terjadi gelombang protes besar-besaran terhadap Ahmadiyah di Lahore. Sepuluh ribu massa yang terdiri dari para ulama dan golongan muslim yang dikenal dengan sebutan Golongan Ahrar berunjuk rasa menuntut agar pemerintah status non Islam pada Ahmadiyah atau yang mereka sebut dengan aliran Qadiani . Mereka juga minta agar Sir Muhammad Zafrullah Khan, seorang tokoh dari kelompok Ahmadiyah, dipecat dari kabinet India. Demonstrasi ini berhasil menurunkan Menteri Luar Negeri Sir Zafrullah Khan, salah satu tokoh

Ahmadiyah dari jabatannya. Zafrullah Khan di samping seorang negarawan

terkenal, juga seorang diantara tokoh-tokoh Ahmadiyah yang giat menyusun kekuatan di atas terutama mempengaruhi kalangan pemerintahan maupun militer. (A. Yogaswara, 2008:56)

Tahun 1935 M ulama-ulama dari berbagai mahzab Hanafi, Ahli Hadist dan Syiah, mengeluarkan keputusan tentang Ahmadi dan menuntut Ahmadiyah dikeluarkan dari Islam. Hakim pengadilan Bahawalpur pada 7 Februari 1935 mengeluarkan vonis bahwa goloongan Ahmadi adalah kelompok di luar Islam. Keputusan serupa dikeluarkan pengadilan Rawalpindi pada 3 Juni 1955. 13 Juli 1955 Hakim Samarojim Abad dari pengadilan Mirpurkhas memutuskan gugatan Tahun 1935 M ulama-ulama dari berbagai mahzab Hanafi, Ahli Hadist dan Syiah, mengeluarkan keputusan tentang Ahmadi dan menuntut Ahmadiyah dikeluarkan dari Islam. Hakim pengadilan Bahawalpur pada 7 Februari 1935 mengeluarkan vonis bahwa goloongan Ahmadi adalah kelompok di luar Islam. Keputusan serupa dikeluarkan pengadilan Rawalpindi pada 3 Juni 1955. 13 Juli 1955 Hakim Samarojim Abad dari pengadilan Mirpurkhas memutuskan gugatan

Muhammad Iqbal menyatakan; Islam pada dasarnya adalah sebuah agama yang telah memberikan batasan-batasan, yaitu, beriman kepada keesaan Allah, dan percaya kepada para nabi dan berakhirnya masa kenabian dengan diutusnya nabi Muhammad. Meyakini akidah yang disebut terakhir ini pada dasarnya, adalah ciri yang membedakan seorang Muslim dengan lainnya dan merupakan sebuah faktor penentu apakah seseorang bisa disebut bagian dari komunitas Muslim atau tidak (Sayid Ali Nadwi, 2005: 142).

Lebih lanjut lagi Sir Muhammad Iqbal dalam bukunya, Islam dan Ahmadiyah menuliskan bahwa gagasan utama dari Khatamul anbiya adalah tidak adanya penyerahan diri secara spiritual kepada siapa pun setelah Muhammad karena secara teologis ajaran yang disebut Islam telah sem purna dan abadi. Tidak ada wahyu apa pun yang melakukan pengingkaran terhadapnya mengakibatkan penyimpangan atau bidah sesudah Muhammad. Sementara orang yang mengakui mendapatkan wahyu seperti itu adalah orang yang tidak patuh terhadap Islam. (Armansyah, 2007: 30)

Pernyataan-pernyataan Iqbal mengenai Ahmadiyah disanggah oleh Jawaharlal Nehru, Nehru menulis beberapa artikel tandingan sebagai bentuk dukungan untuk Ahmadiyah. Iqbal kemudian mengirim surat pada Pandit Jarwaharlal Nehru, dimana Mohammad Iqbal mengutarakan pendiriannya terhadap Ahmadiyah. (Ihsan Ilahi Dhohir, 2008: 18)

Isi dari surat Mohammad Iqbal tersebut yang bertanggal 21 Juni I936, berbunyi: Sahabatku Pandit Jawahar Lal,

Terima-kasih atas surat anda yang telah kami terima kemarin Pada saat saya menulis jawaban atas artikel-artikel anda, saya merasa yakin bahwa anda tidak menaruh minat apapun terhadap sepak- terjang orang-orang Ahmadiyah itu. Kendatipun demikian adanya saya menulis juga jawaban tersebut, ialah semata-mata didorong untuk membuktikan, terutama pada anda, bagaimana sikap loyalitas kaum Muslimin di satu pihak, dan bagaimana sebenarnya tingkah laku yang ditontonkan oleh gerakan Ahmadiyah itu. Setelah diterbitkan risalah kami, saya mengetahui benar-benar bahwa tidak

asal-usul maupun perkembangan ajaran-ajaran Ahmadiyah. Selanjutnya perihal artikel-artikel yang anda tulis itu, bahwasanya bukan saja penasihat-penasihat Muslim anda yang berada di Punjab yang merasa cemas, bahkan hampir di seantero negeri mereka semua cemas. Hal ini lebih membuat mereka gelisah, bila memperhatikan bagaimana orang-orang Ahmadiyah bersorak-sorai karena artikel anda itu. Tentu saja dalam hal ini surat kabar Ahmadiyah banyak membantu sepenuhnya timbulnya prasangka dan kecemasan- kecemasan itu. Namun demikian, pada akhirnya saya sungguh bergembira bahwasanya anda tidak sebagaimana yang kami cemaskan itu. Selanjutnya perlu saya utarakan di sini bahwa perhatian saya terhadap ilmu ke-Tuhan-an, kurang. Akan tetapi saya mulai gandrung padanya, ketika saya harus mengenal Ahmadiyah dari asal-usulnya. Ingin saya meyakinkan anda di sini, bahwa risalah yang saya tulis itu adalah semata-mata untuk kepentingan Islam dan India. Kemudian saya tidak pernah ragu untuk menyatakan disini, bahwasanya orang-orang Ahmadiyah itu, adalah pengkhianat- pengkhianat terhadap Islam dan India. Saya menyesal sekali tidak mendapat kesempatan menemui anda di Lahore. Saya jatuh sakit pada hari-hari itu dan tidak keluar dari bilik. Bahkan hampir selama dua tahun terakhir ini saya berada dalam keletihan dikarenakan sering jatuh sakit. Harap anda kapan saja bila anda datang lagi ke Punjab. Kemudian apakah anda telah menerima surat saya yang berkenaan dengan usul anda mengenai penyatuan hak-hak kemerdekaan kaum sipil. Ketika anda tidak menyinggung lagi hal tersebut dalam surat anda, saya merasa kuatir bahwa anda tidak pernah menerimanya. Menyikapi reaksi keras penentangan kaum Muslimin terhadap aliran

Ahmadiyah ini, Muhammad Iqbal memberi saran kepada pemerintah India untuk mengambil sikap tegas. Menurut Iqbal jalan keluar terbaik yang sebaiknya ditempuh pemerintah India adalah mendeklarasikan Ahmadiyah sebagai komunitas terpisah dari Islam, sehingga kaum Muslimin bisa mentoleransi keberadaan mereka sebagaimana kaum Muslimin mentoleransi agama lain. (Republika, 10 Agustus 2005)

dianggap telah menyerang keras aliran Qadiani (Ahmadiyah) dan bersama-sama kaum Muslimin menuntut agar pengikut-pengikut Ahmadiyah dinyatakan sebagai golongan non-muslim, oleh pengadilan militer di Lahore, Syed Abul

dan seorang Ulama bernama Maulana Niazi, dijatuhi hukuman dan seorang Ulama bernama Maulana Niazi, dijatuhi hukuman

sehingga hukumannya akan diringankan. Permintaan pemerintah itu ditolak al Maududi, Melihat pendirian Syed Maududi, dan sikap dari kaum Muslimin Pakistan, India, dan seluruh dunia Islam dalam suasana prihatin, akhirnya pemerintah menempuh jalan lain dan mengubah hukuman mati atas diri Syed Maududi menjadi hukuman penjara selama 20 tahun. Namun tidak lama kemudian jumlah 20 tahun itu berubah lagi, sehingga sampai pada hukuman penjara dua tahun. (A. Yogaswara, 2008:56)

Para ulama dari berbagai negeri Islam lain yang terdiri dari 144 organisasi Islam dan tergabung dalam organisasi Rabithah Alam Islami dalam keputusannya di Mekkah al-Mukarromah pada tahun 1973 secara bulat (

juga menfatwakan Ahmadiyah kelompok yang kafir, keluar dari Islam. Bahkan dalam Konferensi Organisasi-Organisasi Islam se-dunia pada tanggal 6-10 April 1974, dibawah anjuran Rabitha

lain :

(1) Setiap lembaga Islam harus melokalisir kegiatan Ahmadiyah dalam tempat ibadah, sekolah, panti dan semua tempat kegiatan mereka yang destruktif; (2) Menyatakan Ahmadiyah sebagai kafir dan keluar dari Islam; (3) Memutuskan segala hubungan bisnis dengan mereka; (4) Mendesak pemerintah-pemerintah Islam untuk melarang setiap kegiatan pengikut Mirza Ghulam Ahmad dan menganggap mereka sebagai minoritas non-Islam.

Ulama negara-negara Organisasi Konferensi Islam (OKI) Juga mengeluarkan fatwa mengenai Ahmadiyah, yaitu dalam fatwa

-Fiqh

al-Islami OKI, melalui keputusannya No 4 (4/2) dalam Muktamar kedua di Jeddah Arab Saudi pada tanggal 10-16

-Tsani 1406 H./22-28 Desember 1985. Dalam fatwa tersebut dinyatakan : Sesungguhnya apa yang diklaim Mirza Ghulam Ahmad tentang kenabian

dirinya, tentang risalah yang diembannya dan tentang turunnya wahyu kepada dirinya adalah sebuah pengingkaran yang tegas terhadap ajaran agama yang sudah diketahui kebenarannya se meyakinkan dalam ajaran Islam, yaitu bahwa Muhammad Rasulullah adalah Nabi dan Rasul terakhir dan tidak akan ada lagi wahyu yang akan dirinya, tentang risalah yang diembannya dan tentang turunnya wahyu kepada dirinya adalah sebuah pengingkaran yang tegas terhadap ajaran agama yang sudah diketahui kebenarannya se meyakinkan dalam ajaran Islam, yaitu bahwa Muhammad Rasulullah adalah Nabi dan Rasul terakhir dan tidak akan ada lagi wahyu yang akan

di berbagai negara Islam. Di Mesir, misalnya, al-Buhuts juga telah menetapkan fatwa kafir terhadap Ahmadiyah. Pada tanggal 26 April 1984 pemerintah Pakistan menetapkan ketentuan

bahwa pengikut Mirza Ghulam Ahmad aliran Qodiyan maupun Lahore merupakan non-muslim dan melarang mereka menggunakan istilah dan simbol- simbol Islam untuk menyesatkan kaum muslim, seperti masjid, azan, ummahatul

, khulafa rasyidun, dan shahabat. Menanggapi peraturan ini, pengikut Ahmadiyah mengajukan banding kepada tanggal 15 Juli 1984, pengadilan pengikut Ahmadiyah dan menguatkan keputusan pemerintah. Selanjutnya pengikut Ahmadiyah mengajukan banding ke pengadilan yang lebih tinggi. Pada tanggal 3 Juli 1993, setelah melalui proses peradilan dari tahun 1988 -1993 Mahkamah Agung (supreme court) Pakistan memutuskan bahwa Aliran Ahmadiyah bukan merupakan bagian dari agama Islam, pengikutnya digolongkan sebagai non muslim, dan menetapkan Aliran Ahmadiyah sebagai agama minoritas seperti Kristen dan Hindu. (Team MUI, 2005: 116-117)

memutuskan bahwa

Ahmadiah Qadian dianggap keluar dari Islam karena memiliki ciri-ciri ajaran yang menyalahi ajaran Islam. Ahmadiah Qadian bercirikan: (1). Menganggap Mirza Ghulam Ahmad sebagai penerima wahyu. Ini diungkapkan oleh Mirza sendiri pada tahun 1901. (2). Menganggap Mirza Ghulam Ahmad sebagai Imam Mahdi. Selepas mengaku sebagai Mujadid pada tahun 1885, Mirza mengaku pula sebagai Imam Mahdi yang ditunggu-tunggu pada tahun 1891. (3). Menganggap Mirza Ghulam Ahmad sebagai Isa al-Masih. Pengakuan Mirza akan hal ini dilakukan pada tahun 1891 atas desakan kawannya Nuruddin. Pengakuan ini terkandung dalam bukunya: Fath al-Islâm, Tawdhîh al-Marâm, dan Izâlah al-

Mengaku bahwa para Nabi menyaksikan dirinya. Dalam buku: Maktûb Ahmad,

Allah Saleh telah menyaksikan kebenaran saya

sebelum saya melahirkan seruan saya. Saya adalah Isa al-Masih yang akan datang. Beliau menyebut malaikat sebagai pancaindera Allah. Dalam buku Hamuh al-Busyrâ, hal 98. Mirza

-malaikat itu bagaimana Allah menjadikan Qadian, India. (8).

Menafikan jihad. Mirza Ghulam Ahmad adalah seorang anti Jihad dan menjunjung tinggi penjajah Inggris. (9) Mengubah ayat-ayat al-Quran. Pemerintah Malaysia secara tegas melarang ajaran Ahmadiyah di seluruh Malaysia sejak 18 Juni 1975. Akibat larangan itu, perkembangan mereka semakin lemah. Kini hanya satu pusat Ahmadiah Qadian, yaitu di Jalan Nakhoda Kanan No. 11A, Kampung Nakhoda, Batu Cave Selangor. Kegiatan mereka hanya seputar salat Jumat, pertemuan, dan penerbitan. (Muhyar Fanani, Teologia, Volume 19, Nomor 2, Juli 2008, hal: 280)

Sejalan dengan Negara-negara Islam di dunia Departemen Agama RI. Pada tahun 1984 No. D/BA 01/309/1984 tertanggal 20 September 1984, mengeluarkan Surat Edaran kepada seluruh kantor wilayah seluruh Indonesia yang berisi upaya penanganan Ahmadiyah, antara lain:

1. Ahmadiyah dianggap menyimpang dari Islam karena mempercayai Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi sesudah nabi terakhir Muhammad SAW

2. Kegiatan Jemaat Ahmadiyah Indonesia dijaga untuk tidak menyebarluaskan fahamnya di luar pengikutnya agar tidak menimbulkan keresahan masyarakat dan tidak menganggu kerukunan hidup beragama. (Akbarizan, Hukum Islam. Vol 12 No. 10. September 2005, hal: 116) Di Indonesia semenjak kemunculannya Ahmadiyah telah memunculkan

kontroversi. Kali pertama Ahmadiyah diperkenalkan di Sumatra, banyak tokoh yang menentang Ahmadiyah, di antaranya adalah Abdullah Ahmad dan Abdul Karim Amrullah. Keduanya menolak secara tegas misi yang dibawa oleh Ahmadiyah dan memposisikan pengikut Ahmadiyah berada di luar Islam.

nabi setelah nabi Muhammad SAW. Haji Abdul Karim Amrullah pada tahun 1926 menyusun buku yang berjudul al qaul ash shahih untuk menolak paham ini agar tidak berkembang di bumi Indonesia.

Pada tahun 1928, Muhammadiyah yang tadinya dekat dengan Ahmadiyah kemudian berbalik menyatakan bahwa Ahmadiyah adalah aliran sesat. Pernyataan ini dikeluarkan pada muktamar ke 18 di Solo Jawa Tengah melalui maklumat yang dikeluarkan Pengurus Besar Muhammadiyah nomor 294, tanggal 5 Juli 1928 M. Maklumat tersebut dikirimkan ke seluruh cabang Muhammadiyah yang isinya melarang mengajarkan ilmu dan paham Ahmadiyah di lingkungan Muhammadiyah. Beberapa anggota Muhammadiyah yang pro terhadap Ahmadiyah seperti Djojosugito dan Muhammad Husni kemudian memilih keluar dan mendirikan Gerakan Ahmadiyah Indonesia (Ahmadiyah Lahore). (Iskandar Zulkarnaen, 2005: 202)

Pada bulan September 1933 M tokoh Persatuan Islam Ahmad Hassan pernah dua kali melakukan debat terbuka dengan ahli dakwah Ahmadiyah, Abubakar Ayyub. Debat dihadiri oleh lebih kurang 2.000 orang. Wakil pers yang datang antara lain Keng Po, Sin Po, Pemandangan, BintangTimur, Sikap Adil. Sumangat, Senjata Pemuda Jawa Barat, Ceto Welo-Welo. Wakil-wakil perkumpulan yang datang antara lain dari Persatuan Islam, Pendidikan Islam, AnNadil Islamie, Persatuan Islam Garut, MAS Garut, Persatuan Islam Leles, Islamiyah Jatinegara, Perukun Kebon Sirih, Salamatul- Insan, Al Irsyad, PBO.

Majelis Ulama Indonesia pada Munas MUI II tahun 1980 M mengeluarkan fatwa melalui Surat Keputusan No,05/Kep/Munas/MUI/1980 yang menetapkan bahwa Ahmadiyah adalah aliran sesat. Fatwa ini kemudian dipertegas lagi melalui Musyawarah Nasional MUI VII, pada tanggal 19-22 Jumadil Akhir 1426 H atau 27-29 Juli 2005 M yang dituangkan dalam Surat Keputusan MUI Nomor: 11/Munas VII/15/2005 menyatakan aliran Ahmadiyah berada diluar Islam, sesat dan menyesatkan, serta orang Islam yang mengikutinya adalah keluar dari Islam. (A.Yogaswara, 2008: 58)