Proses Berdiri Dan Perkembangan Ahmadiyah

B. Proses Berdiri Dan Perkembangan Ahmadiyah

1. Latar Belakang Kehidupan Mirza Ghulam Ahmad Sejarah berdirinya Ahmadiyah tidak terlepas dari sejarah Mirza Ghulam Ahmad sebagai pendiri gerakan ini. Namanya yang asli hanyalah Ghulam Ahmad. Mirza melambangkan keturunan Mughal. Mirza Ghulam Ahmad lahir pada tanggal 13 Februari 1835 sesuai dengan 14 Syawal 1250 H waktu shalat shubuh di desa Qadian, Punjab, India. Terlahir sebagai kembar tetapi saudara kembarnya meninggal beberapa hari kemudian. Ayahnya bernama Mirza Ghulam Murtaza seorang kepala wilayah dan tuan tanah desa Qadian. Ibunya bernama Charagh Bibi yang berasal dari Keluarga Aima dari Hoshiapur yang masih kerabat kerajaan Mughal. (Abdullah Hasan Alhadar, 1980: 47)

Keluarga Mirza Ghulam Murtaza merupakan keturunan Haji Barlas, Raja kawasan Qesh yang merupakan paman Amir Tughlak Temur. Tatkala Amir Temur menyerang Qesh, Haji Barlas sekeluarga terpaksa melarikan diri ke

Haji Barlas yang bernama Mirza Hadi Beg, seorang kepala suku Asia Tengah keturunan Persia, pindah dari Samarkand bersama seluruh keluarga dan pengikutnya memasuki Punjab dan menetap di distrik Gurdaspur sekitar kawasan sungai Bias, yang terletak 70 mil sebelah timur Lahore. Mirza Hadi Beg mendirikan sebuah desa yang diberi nama Islampur. Mirza Hadi Beg yang masih termasuk keturunan bangsawan kerajaan Mughal, dihadiahi wilayah yang terdiri dari beberapa ratus desa oleh Raja Mughal dan diangkat sebagai Hakim atau Qazi yang membawahi wilayah sekelilingnya. Desa yang ia didirikan dikenal dengan nama Islampur Qazi. Dalam perjalanan waktu, kata Islampur tidak pernah terdengar lagi, dan desa itu disebut Qazi saja dan lama-kelamaan menjadi Qadian. (Iskandar Zulkarnaen, 2005:59)

Selama kerajaan Mughal berkuasa, keluarga ini dari waktu kewaktu senantiasa memperoleh kedudukan penting, mulia dan terpandang dalam pemerintahan kerajaan. Mirza Faiz Muhammad, pemimpin keluarga ini, berhasil mengatasi kerusuhan yang terjadi di Punjab. Maharaja Farukhsiyar kemudian menganugrahi Mirza Faiz Muhammad dengan gelar Haft Hazari di tahun 1716 M. Gelar ini hanya dianugrahkan hanya kepada anggota keluarga kerajaan. Dengan gelar ini, Mirza Faiz Muhammad memperoleh kekuasaan untuk mengendalikan 7000 prajurit Mughal. (Iain Adamson, 2010: 47)

Sepeninggal Mirza Faiz Muhammad, anaknya, Mirza Gul Muhammad, harus berjuang keras mengatasi kekacauan dan pemberontakan di Punjab. Masa kekacauan ini berlanjut sepanjang pemerintahan Muhammad Shah, Shah Alam dan Alamgir III. Mirza Gul Muhammad, menguasai wilayah yang terdiri atas delapan puluh lima desa dan menjadi tuan tanah di wilayah itu. Karena Punjab yang saat itu sedang dilanda persaingan antar kepala suku yang menantang otoritas kerajaan, maka, kekuasaan keluarga ini semakin terdesak oleh kekuatan lain di sekelilingnya, terutama oleh kaum Sikh.

Pengganti Mirza Gul Muhammad, Mirza Ata Muhammad, mendapat tekanan yang semakin kuat dari kaum Sikh dan kehilangan kendali atas wilayah yang mengelilingi desanya. Kekuasaannya menyempit hanya tinggal desa Qadian

Daerah-daerah lain telah jatuh ke tangan musuh. Sekitar tahun 1802 M orang- orang Sikh dari Ramgarh berhasil memasuki Qadian, Mirza Ata Muhammad dan semua anggota keluarganya dipenjara. Segala miliknya dirampas, mesjid dan bangunan lain diruntuhkan, dan salah satu dari mesjid diubah menjadi kuil Sikh, dan bertahan sampai hari ini. (Muhammad Zafrulla Khan, 1979: 2)

Pada masa kekuasaan Sikh inilah keluarga Mirza Ghulam Ahmad menjadi miskin dan menderita, sehingga keluarga ini terpaksa harus meninggalkan Qadian. mereka pindah menyeberangi sungai Beas ke Begowal di mana Sardar Fateh Singh Ahluvalia, nenek moyang Maharaja Kapurthala, memperlakukan mereka dengan baik. Keluarga ini tinggal disana untuk sekitar lima belas tahun . Baru pada tahun 1818 M setelah kekuasaan Maharaja Ranjit Singh berhasil menguasai

semua raja kecil, keluarga Mirza diizinkan kembali ke Qadian. Keluarga Mirza

Ghulam Murtaza bergabung dengan angkatan perang Maharaja Ranjit Singh, bertempur dalam banyak peperangan, dan pada tahun 1834 M, sebagai hadiah atas jasa-jasanya, sebagian harta benda dan lima desa dari tanah milik leluhur yang semula meliputi delapan puluh lima desa diserahkan kembali kepada keluarga Mirza Ghulam Murtaza. (Iskandar Zulkarnaen, 2005: 60)

Pada pemerintahan Sikh sesudah Ranjit Singh yakni pada zaman Nao Nihal Singh, waktu pusat kerajaan berada di Lahore, Mirza Ghulam Murtaza, ayah Mirza Ghulam Ahmad, memegang jabatan dalam ketentaraan Raja Nihal Singh tersebut. Dalam tahun 1841 M, Mirza Ghulam Murtaza dikirim ke daerah Mandi dan Kulu beserta jendral Ventura, seorang jenderal berkebangsaan Perancis yang bersama pasukannya disewa oleh Ranjit Singh maupun raja Sikh sesudahnya. Pada tahun 1842 M Ghulam Murtaza, memimpin tentara yang dikirim ke Peshwar, dan dalam kerusuhan di Hezarah ia berjasa besar.

Dalam pemberontakan tahun 1848 M Ghulam Murtaza, tetap setia pada pemerintah dan beserta saudaranya Ghulam Muhyiddin ikut membantu pemerintah. Tatkala Bhai Maharaj Singh sedang membawa pasukannya ke Multan untuk menolong Diwan Mul Raj, Ghulam Muhyiddin beserta kepala suku lainnya, Langer Khan Sahiwal, Sahib Khan Tiwana, dan tentara Misra Sahib Dayal Dalam pemberontakan tahun 1848 M Ghulam Murtaza, tetap setia pada pemerintah dan beserta saudaranya Ghulam Muhyiddin ikut membantu pemerintah. Tatkala Bhai Maharaj Singh sedang membawa pasukannya ke Multan untuk menolong Diwan Mul Raj, Ghulam Muhyiddin beserta kepala suku lainnya, Langer Khan Sahiwal, Sahib Khan Tiwana, dan tentara Misra Sahib Dayal

Dalam tahun 1839 M Maharaja Ranjit Singh wafat, kerajaan Sikh mulai berpecah belah dan tidak lama kemudian Inggris meluaskan kekuasaanya ke wilayah Punjab. Ketika Inggris menguasai wilayah Punjab dan mengalahkan pemerintahan Sikh, harta benda dan tanah milik keluarga ini kembali dirampas. Inggris menetapkan kepemilikan Mirza Ghulam Murtaza atas desa Qadian dan beberapa dusun kecil yang berdekatan, tetapi menolak kepemilikan atas lim a desa yang telah dikembalikan kepada keluarga Mirza oleh Maharaja Ranjit Singh. Sebaliknya pemerintah memberikan sewa seumur hidup kepada kelurga Mirza sebesar 700 rupee setiap tahun. (Iain Adamson, 2010: 49)

Mirza Ghulam Murtaza melayani pemerintahan Inggris dengan setia seperti ketika melayani pemerintahan Sikh sebelumnya. Dalam pemberontakan 1857 M keluarga ini berperan penting. Mirza Ghulam Murtaza membantu pemerintah Inggris dengan memasukkan banyak orang menjadi tentara, termasuk anaknya sendiri yang bernama Mirza Ghulam Qadir, kakak Mirza Ghulam Ahmad. Atas biaya sendiri Mirza Ghulam Murtaza mengirimkan 50 pasukan berkuda. Bergabung dalam tentara Jenderal Nicholson di Trimughat ketika menghancurkan para pemberontak 46 Native Infantry yang melarikan diri dari Sialkot. Atas dasar itu, Jenderal Nicholson memberikan surat penghargaan kepada Mirza Ghulam Qadir yang menyatakan bahwa pada tahun 1857 M keluarganya di distrik Gurdaspur betul-betul telah membantu dan setia kepada pemerintah Inggris melebihi keluarga lainnya di wilayah itu. Mirza Ghulam Murtaza dan saudara- saudaranya memperoleh hak pensiun sebesar 700 rupee, dan hak milik atas Qadian dan beberapa kampung sekitar Qadian kemudian memperoleh hak menarik pajak sebesar 5% atas daerah-daerah itu (Abullah Hasan Alhadar, 1980: 185)

Dengan demikian keluarga Mirza ini pernah menjadi pembantu setia pemerintah Inggris di India. Jauh sebelum pemerintah kolonial Inggris pun

Sikh, terutama pada masa kekuasaan Maharaja Ranjit Singh. Dengan demikian tidak aneh lagi jika gerakan Ahmadiyah bersikap kooperatif kepada pemerintah Inggris. (Iskandar Zulkarnaen, 2005: 61)

Semenjak kecil Mirza Ghulam Ahmad tidak pernah belajar di sekolah/madrasah ataupun suatu institusi pendidikan formal. Pada usia sekitar 7 tahun ( Tahun 1841 M) ayahnya memanggil seorang guru privat yang bernama Maulvi Fazal Ilahi Sahib, seorang penduduk Qadian dan penganut mazhab Hanafi

berbahasa Parsi. Setelah berumur

10 tahun yakni tahun 1845 M, dipanggil lagi seorang guru bernama Maulvi Fazal Ahmad Sahib dari Feroze-wala, Gujran-wala, dari kelompok Ahli-Hadis, untuk mengajar nahwu sarf. Pada umur 17 tahun Mirza Ghulam Ahmad dididik oleh seorang guru Syiah, yaitu Maulvi Gul Ali Shah Sahib dari Batala, untuk mengajar

kitab Nahwu dan Mantiq/logika. Selain itu Mirza Ghulam Ahmad mempelajari medis dari ayahnya, seorang dokter yang berpengalaman. (Sayid Ali Nadwi, 2005: 12) Pada masa ini Mirza Ghulam Ahmad mulai tertarik pada studi religius, terutama studi yang menyangkut Al Quran. Kitab kitab utama dipelajari adalah Al Quran dan Hadist Bukhari disamping kitab lain seperti Dala-i-lulkhairat dan Masnawi Karya Maulana Jalaludin Rumi, Tazkiratul Aulia, Futhoohul Ghaib dan Safarus-saa-aadat. Mirza Ghulam Ahmad tidak membatasi dirinya kepada studi tentang Islam saja, tetapi juga mulai untuk tertarik pada studi tentang agama Kristen dan Hindu. Mirza Ghulam Ahmad mempelajari Bibel dan kitab kitab Veda serta komentar pengarang-pengarang Kristen, yang pada saat itu berpolemik dengan kaum Muslim dengan menyerang pemahaman Islam dan Nabi Muhammad. (Iaian Adamson, 2010: 55)

Perkawinan Mirza Ghulam Ahmad yang pertama terjadi ketika berusia enam belas tahun dengan salah seorang familinya yang bernama Hurmat Bibi. Dengan istri pertama, Mirza Ghulam Ahmad mendapatkan dua anak laki-laki Mirza Sultan Ahmad dan Mirza Fazal Ahmad, yang lahir 1853 dan 1855 M. Kemudian mereka dipisahkan dan tinggal terpisah untuk waktu yang lama, dua

Qadir yang tidak berputra. Pada 1884 M ia menikah lagi dengan Nusrat Jehan Begum putri dari Nawab Nasir Delhi. Dari istri keduanya Mirza Ghulam Ahmad sepuluh anak, lima anak meninggal saat masih bayi. Dan lima anak yang hidup lebih lama adalah: Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad (kelak menjadi Khalifatul Masih II), Mirza Bashir Ahmad, Mirza Sharif Ahmad, Nawab Mubarika Begum, dan Nawab Sahiba Amtul Hafeez Begum. (Muhammad Zafrulla Khan, 1979: 8)

Sampai tahun 1864 M ketika berusia 29 tahun, Mirza Ghulam Ahmad bekerja pada wakil komisaris di Sialkot dengan gaji kecil. Mirza bertahan dalam pekerjaannya itu selama empat tahun antara 1864 sampai 1868 M. di Sialkot ia berteman dengan seorang pengacara Hindu, Lala Bhim Sen, seorang guru Maulvi Syed Mir Hassan Sahib, dan seorang dokter Mir Husamuniddin Sahib. (Sayid Ali Nadwi, 2005: 12) Selama di Sialkot pula, Mirza Ghulam Ahmad terlibat diskusi dengan orang-orang Hindu dan kaum misionaris Kristen yang pada waktu itu banyak berkhotbah di tempat-tempat umum dan banyak mencela agama Islam. Mirza Ghulam Ahmad terlibat dalam diskusi dengan beberapa orang misionaris. Salah satunya dengan pendeta Butler dari Church Missionary Society yang kemudian menjadi teman dekat. Pada 1868 M setelah empat tahun tinggal di Sialkot Mirza Ghulam Ahmad kembali ke Qadian. (Iaian Adamson, 2010: 63)

Keputusan kembali ke Qadian ini berkaitan dengan keinginan ayahnya agar Mirza turut membantu keluarga dalam upaya memperoleh kembali tanah- tanah milik keluarga di pengadilan. Namun Mirza Ghulam Ahmad tidak memiliki ketertarikan menjalankan tugas ini. Mirza Ghulam Ahmad lebih tertarik mempelajari buku-buku agama (A Yogaswara, 2008: 41). Sebagian besar waktunya buku-buku Hindu dan Nasrani mengingat pada waktu itu berbagai diskusi dan debat ideologi antara ulama Islam dengan pemuka agama nasrani dan Hindu di India marak terjadi. Masa itu dikenal dengan polemik keagamaan. Orang-orang berpendidikan menyukai kontroversi dan debat keagamaan. Para misionaris Kristen gigih menyebarkan misi mereka dan menyebarkan keraguan terhadap Islam. Pemerintah Inggris, yang secara resmi merupakan pembela iman kristiani, Keputusan kembali ke Qadian ini berkaitan dengan keinginan ayahnya agar Mirza turut membantu keluarga dalam upaya memperoleh kembali tanah- tanah milik keluarga di pengadilan. Namun Mirza Ghulam Ahmad tidak memiliki ketertarikan menjalankan tugas ini. Mirza Ghulam Ahmad lebih tertarik mempelajari buku-buku agama (A Yogaswara, 2008: 41). Sebagian besar waktunya buku-buku Hindu dan Nasrani mengingat pada waktu itu berbagai diskusi dan debat ideologi antara ulama Islam dengan pemuka agama nasrani dan Hindu di India marak terjadi. Masa itu dikenal dengan polemik keagamaan. Orang-orang berpendidikan menyukai kontroversi dan debat keagamaan. Para misionaris Kristen gigih menyebarkan misi mereka dan menyebarkan keraguan terhadap Islam. Pemerintah Inggris, yang secara resmi merupakan pembela iman kristiani,

Mirza Ghulam Ahmad mulai tertarik pada pergerakan kaum Hindu Arya Samaj yang merupakan tantangan baginya serta mendorongnya untuk menulis beberapa artikel keagamaan untuk menentang kepercayaan Hindu dan Kristen.

(Ihsan Ilahi Dhohir 2005: 136) Mulai tahun 1872. Mirza Ghulam Ahmad giat

membalas serangan-serangan dari kelompok Kristen dan kelompok Hindu khususnya Arya Samaj dan Brahma Samaj. Mirza Ghulam Ahmad banyak menulis artikel-artikel berkenaan dengan itu di berbagai media massa. Antara lain jurnal Manshur Muhammadi yang terbit dari Bangalore, Mysore, India Selatan, yang terbit setiap 10 hari sekali. Kemudian pada beberapa surat-kabar yang terbit dari Amritsar antara lain: Wakil; Safir Hind; Widya Prakash; dan Riaz Hind. Demikian pula pada Brother Hind (Lahore), Aftab Punjab (Lahore), Wazir Hind (Sialkot), Nur Afshan (Ludhiana) dan Isyaatus-Sunnah (Batala). Begitu juga pada Akhbar-e-Aam (Lahore). (Muhammad Zafrullah Khan, 1979: 16)

Setelah ayahnya meninggal pada 1875, ketika berumur sekitar 40 tahun Mirza Ghulam Ahmad menerima ilham Ilahi. Atas dasar keyakinannya setelah menerima wahyu, Mirza Ghulam Ahmad menyusun sebuah buku untuk menunjukkan kebenaran Islam, otentisitas al Quran sebagai wahyu Tuhan, kerasulan Muhammad sebagai utusan Allah dengan argumen rasional, dan pada sisi lain, menyangkal ajaran Kristen, Sanatan Dharma, Arya Samaj dan Brahma Samaj, buku itu adalah

-e-

wannabuwatil Mohammadiyya (bukti kebenaran kitab Al-Qur'an, dan kenabian Muhammad) atau yang lebih dikenal dengan nama Barahin Ahmadiyah. Buku itu terdiri dari empat bagian. Bagian pertama dan kedua diterbitkan pada tahun 1880 M, bagian ketiga tahun 1882, dan bagian keempat tahun 1884 M. (Iskandar Zulkarnaen, 2005: 63)

Pada jilid pertama Barahin Ahmadiyah Mirza Ghulam Ahmad lebih memfokuskan pada balasan serangan terhadap ajaran Arya Samaj yang menghina Rasulullah saw., Nabi Isa as., dan Nabi Musa as. serta yang menuduh kitab-kitab Pada jilid pertama Barahin Ahmadiyah Mirza Ghulam Ahmad lebih memfokuskan pada balasan serangan terhadap ajaran Arya Samaj yang menghina Rasulullah saw., Nabi Isa as., dan Nabi Musa as. serta yang menuduh kitab-kitab

pertama ini pula Mirza Ghulam Ahmad mengaku memperoleh perintah dari

Tuhan bahwasanya Mirza Ghulam Ahmad dijadikan Ma'mur Minallah (Utusan Allah). Dari itu juga Mirza Ghulam Ahmad menyatakan diri sebagai Mujaddid.

Jilid kedua masih berkenaan dengan akidah-akidah Arya Samaj. Kemudian mengenai kedudukan dan perlunya wahyu. Mengenai keunggulan Kitab Suci Al-Quran atas kitab-kitab agama lainnya. Mirza juga menekankan kaidah dasar pembuktian kebenaran suatu agama yang harus berdasarkan pada kitab suci yang diakui oleh agama itu sendiri. Pada jilid ketiga merinci keindahan dan kemuliaan Al-Quran. Menjawab serangan-serangan yang ditujukan kepada Al-Quran. Dan menyatakan bahwa Mirza Ghulam Ahmad menerima wahyu- wahyu dari Allah Ta'ala dan Mirza Ghulam Ahmad bersedia untuk membuktikan kebenarannya.

Pada jilid keempat membahas tentang bentuk asli bahasa umat manusia, tentang kedudukan mukjizat dan pentingnya nubuatan-nubuatan/ khabar-ghaib seorang nabi berkenaan masa mendatang. Mirza Ghulam Ahmad memaparkan konsep-konsep agama Budha, Kristen dan Hindu Arya Samaj tentang Tuhan, dan

membuktikan keunggulan ajaran Islam. Dan kitab-kitab Yahudi pun dipaparkan

sebagai perbandingan dengan Al-Quran. (http//:www.aliislam.org / Indonesia /latar.html#top)

Buku Barahin Ahmadiyah mendapat sambutan hangat dalam lingkungan akademis dan keagamaan di India. Sambutan atas buku itu berdasar pada realita bahwa Barahin Ahmadiyah menantang agama-agama lain dengan sikap ofensif. Diantara mereka yang menghargai dan sangat mendukung Barahin Ahmadiyah adalah Maulana Muhammad Hussain Batalwi. Dalam jurnalnya Ishaat al-Sunnah ia menulis ulasan dengan panjang lebar memuji karya Mirza dalam enam edisi jurnalnya. Dalam ulasan itu, Barahin Ahmadiyah mendapat sambutan yang luar biasa serta dianggap sebagai sebuah karya akademis yang hebat pada zamannya, sebuah karya besar dalam riset dan penulisan. Walaupun pada akhirnya Maulana Buku Barahin Ahmadiyah mendapat sambutan hangat dalam lingkungan akademis dan keagamaan di India. Sambutan atas buku itu berdasar pada realita bahwa Barahin Ahmadiyah menantang agama-agama lain dengan sikap ofensif. Diantara mereka yang menghargai dan sangat mendukung Barahin Ahmadiyah adalah Maulana Muhammad Hussain Batalwi. Dalam jurnalnya Ishaat al-Sunnah ia menulis ulasan dengan panjang lebar memuji karya Mirza dalam enam edisi jurnalnya. Dalam ulasan itu, Barahin Ahmadiyah mendapat sambutan yang luar biasa serta dianggap sebagai sebuah karya akademis yang hebat pada zamannya, sebuah karya besar dalam riset dan penulisan. Walaupun pada akhirnya Maulana

Selain Barahin Ahmadiyah Mirza Ghulam Ahmad juga menulis buku- buku lain antara lain Surma Chasma Arya (cela bagi kaum Arya) 1886 M, Shahna-I-Haq (Batalion Kebenaran) 1887 M, Sabz Ishtihar (selebaran hijau) ditulis 1888 M. dan Sitara-e-Qaisharah (Bintang Sang Ratu) ditulis 1989 M. Tahun 1891 M menulis buku Fath Islam (Kemenangan Islam), buku Tauzih-e- maram (Penjelasan maksud), buku Izalah Auham (Memperbaiki beberapa kesalahanpahaman), buku Mubahisa Ludhiana (Debat Ludhiana) dan Mubahisa Delhi (Debat Delhi). (Asep Burhanudin, 2005: 39)

2. Perkembangan Ahmadiyah 1889-1914 M

Pada tahun 1886 diadakan diskusi dan perdebatan antara Arya Samaj dengan Mirza Ghulam Ahmad tentang kebenaran Islam dan dalam diskusi tersebut pihak Arya Samaj meminta tanda untuk membuktikan bahwa Islam itu agama yang benar. Untuk menjawab hal ini atas ilham Ilahi, Mirza Ghulam Ahmad bepergian ke Hoshiarpur. Di sini Mirza Ghulam Ahmad menghabiskan 40 hari dalam pengasingan, sebuah praktek yang dikenal sebagai chilla-nashini. Di Hoshiapur Mirza Ghulam Ahmad mendiami rumah Sheikh Mehr Ali Sahib salah seorang pengikutnya, dan hanya meninggalkan rumah pada hari Jumat untuk

rza Ghulam Ahmad menyatakan bahwa

Allah telah menurunkan wahyu kepadanya. (Iaian Adamson, 2010: 104)

Wahyu di Hoshiapur baru diumumkan pada bulan Desember 1888, Mirza Ghulam Ahmad secara terang-terangan menyatakan diri menyatakan diri Wahyu di Hoshiapur baru diumumkan pada bulan Desember 1888, Mirza Ghulam Ahmad secara terang-terangan menyatakan diri menyatakan diri

barang siapa suka naik bahtera itu akan selamtlah ia dari mati tenggelam adapun yang menolak kematian akan menimpanya (Fathi Islam) (Ahmadi Djajasugita, 2007: 68) Perintah Tuhan dalam Wahyu tersebut menuntut Mirza Ghulam Ahmad

melakukan dua hal, pertama, menerima baiat dari pendukungnya, kedua, membuat bahtera, yakni membuat wadah untuk menopang misi dan cita-cita kemahdiannya guna menyerukan Islam ke seluruh penjuru dunia. Perintah Tuhan

perintah Tuhan untuk membuat bahtera yakni membuat wadah (organisasi) menurut Ahmadiyah Lahore telah dilakukan oleh Mirza Ghulam Ahmad. Oleh karena itu pada tahun 1888 oleh Ahmadiyah Lahore dianggap sebagai berdirinya Ahmadiyah. (Iskandar Zulkarnen, 2005: 64)

Pada tanggal 12 Januari 1889 Mirza Ghulam Ahmad mengumumkan sepuluh syarat Baiat bagi terbentuknya Jamaah Ahmadiyah yaitu sbb:

a. Di masa yang akan datang hingga masuk ke dalam kubur senantiasa akan menjauhi syirik.

b. Akan senantiasa menghindarkan diri dari segala corak bohong, zina, pandangan birahi terhadap bukan muhrim , perbuatan fasiq, kejahatan, aniaya, khianat, mengadakan huru-hara, dan memberontak serta tidak akan dikalahkan oleh hawa nafsunya meskipun bagaimana juga dorongan terhadapnya.

c. Akan senantiasa mendirikan shalat lima waktu semata-mata karena mengikuti per

-Nya, dan dengan sekuat tenaga akan senantiasa mendirikan shalat Tahajud, dan mengirim salawat kepada Junjungannya Yang Mulia Rasulullah s.a.w dan memohon ampun dari kesalahan dan mohon perlindungan dari dosa; akan ingat setiap saat kepada nikmat-nikmat Allah, lalu mensyukurinya dengan hati tulus, serta memuji dan menjunjung-Nya dengan hati yang penuh kecintaan.

tempatnya terhadap makhluk Allah umumnya dan kaum Muslimin khususnya karena dorongan hawa nafsunya, biar dengan lisan atau dengan tangan atau dengan cara apa pun juga.

e. susah ataupun senang, dalam duka atau suka, nikmat atau musibah; pendeknya, akan r bersedia menerima segala kehinaan dan kesusahan di jalan Allah.

suatu musibah, bahkan akan terus melangkah ke muka.

f. Akan berhenti dari adat yang buruk dan dari menuruti hawa nafsu, dan benar-benar akan menjunjung tinggi perintah Al- dirinya. Firman Allah dan sabda Rasul-Nya itu akan menjadi pedoman baginya dalam tiap langkahnya.

g. Meninggalkan takabur, sombong; akan hidup dengan merendahkan diri, beradat lemah-lembut, berbudi pekerti yang halus, dan sopan- santun.

h. Akan menghargai agama, kehormatan agama dan mencintai Islam lebih dari pada jiwanya, hatanya, anak-ananknya, dan dari segala yang dicintainya.

i. Akan selamanya menaruh belas kasih terhadap makhluk Allah umumnya, dan akan sejauh mungkin mendatangkan faedah kepada umat manusia dengan kekuatan dan nikmat yang dianugerahkan Allah

j. Akan mengikat tali persaudaraan dengan hamba ini "Imam Mahdi dan

Al-Masih Al-

-mata karena Allah dengan pengakuan taat dalam hal makruf (segala hal yang baik) dan akan berdiri di atas perjanjian ini hingga mautnya, dan menjunjung tinggi ikatan perjanjian ini melebihi ikatan duniawi, baik ikatan keluarga, ikatan persahabatan ataupun ikatan kerja. (Iaian Adamson, 2010: 107-108)

rumah Mia Ahmad Jaan. Orang yang melakukan baiat pertama kali adalah Maulana Nuruddin Sahib yang sekaligus menyatakan bahwa Mirza Ghulam Ahmad sebagai pendiri paham ini. Setelah itu diikuti oleh sekelompok kecil antara lain Mir Abbas Ali, Mian Muhammad Husain Moradabadi, dan M Abdullah Sanauri. Pelaksanaan pembaiatan tidak dilakukan di kota Qadian tempat kelahiran Mirza Ghulam Ahmad, tetapi di kota Ludhiana wilayah Punjab. Ludhiana merupakan sebuah kota yang jauh lebih penting dibanding Qadian karena merupakan pusat aktivitas misionaris Kristen dan merupakan tempat penerbitan jurnal Kristen Noor Asfahan (pertama kali terbit pada bulan Maret 1873 M). Di samping itu Ludhiana merupakan salah sekolah bagi misionaris (Mission High School ) tertua di India dan tempat para tokoh Islam seperti Maulana Abdul Qadir, Abdul Aziz dan Muhammad yang aktif berperan dalam pemberontakan melawan Inggris. (Iskandar Zulkarnen, 2005: 64)

Pada akhir 1890 M, Mirza Ghulam Ahmad menerima wahyu berbahasa Urdu. Wahyu tersebut menegaskan bahwa Nabi Isa a.s telah wafat dan Mirza Ghulam Ahmad adalah al-Masih yang dijanjikan. Wahyu yang diterima berbunyi:

Masih Ibnu Maryam Rasulullah faot hocuka he, aor uske rangg me ho kar wa'dah ke muwafiq tu aya he . Al Masih, putra Maryam, Utusan Tuhan, telah meninggal. Engkau inilah yang bangkit dalam spiritnya, sesuai dengan janji. Dan janji Tuhan selalu terjadi (Iskandar Zulkarnen, 2005: 65)

Sejak menerima wahyu Mirza Ghulam Ahmad meyatakan dirinya sebgai al Masih yang dijanjikan sekaligus sebagai al Mahdi. Hal itu baru diumumkan pada awal tahun 1891 melalui sebuah selebaran. Mengenai pendakwahan Mirza Ghulam Ahmad sebagai Masih dan Mahdi dijelaskan dalam tiga buku, Fateh Islam , Tauzih Maram. dan Auham Izalah. Menurut Qadian setelah diadakan pembaiatan tahun 1889 M Mirza Ghulam Ahmad mengorganisasikan para pengikutnya menjadi suatu paham baru yang merupakan bagian dari gerakan baru dalam Islam dengan nama gerakan Ahmadiyah. Tahun itu oleh Qadian dinyatakan sebagai tahun berdirinya Ahmadiyah. Dengan demikian terdapat perbedaan tahun berdirinya Ahmadiyah antara Lahore dan Qadian. Ahmadiyah Lahore meyakini

Ahmadiyah Qadian berpendapat didasarkan pada pembaiatannya tahun 1889. (Iskandar Zulkarnen, 2005: 65)

Nama Ahmadiyah, menurut Ahmadiyah Lahore, berasal dari kata Ahmad yaitu satu diantara nama-nama nabi Muhammad. Nabi mempunyai dua nama yang termasyur yaitu Ahmad dan Muhammad. Ahmad artinya banyak memuji sedang Muhammad artinya sangat terpuji. Nama Muhammad menunjukkan sifat kebesaran dan kemenangan yang lazim disebut dengan sifat jalali, sedangkan nama Ahmad menunjukkan sifat keindahan, keelokan dan kehalusan budi, yang sering disebut sifat Jamali. Mirza Ghulam Ahmad memilih nama Ahmadiyah sebagai nama gerakan ini dimaksudkan agar setiap orang yang mendengar nama ini tergerak hatinya bahwa gerakan ini menghayati aktivitasnya dengan sifat jamali, yaitu memperbanyak takwa pada Allah, berdakwah Islam dengan keindahan, keelokan dan kehalusan budi. (Muhdi Jauhar, 1972: 60)

Nanang Iskandar (2005: 8), mengutip perkataan Mirza Ghulam Ahmad yaitu sbb: Nama yang tepat untuk golongan ini adalah Muslimin golongan

Ahmadiyah. Nama ini diberikan kepada golongan ini karena nabi suci kita mempunyai dua nama, yang satu Muhammad, dan yang satu lagi Ahmad. Nama Muhammad menunjukkan sikap jalalnya, yaitu keagungan dan kemuliannya, yaitu ramalan (phropercy), bahwa nabi suci akan membinasakan dengan pedang barang siapa yang mempergunakan pedang untuk membunuh beratus ratus muslimin. Sedangkan Ahmad menunjukkan jamalnya (keindahannya) yang berarti nabi suci akan menyiarkan damai dan keselarasan didunia. Begitulah maka Allah yang Maha Kuasa membagi nama ini dalam zaman kehidupan beliau, yakni zaman kehidupan belaiau di Mekah yakni terbabarnya nama Ahmad, yang dikatakan Muslimin menderita berbagai macam tindasan dan peganiayaan. Sedang kehidupannya di Madinah terbabarlah arti Muhammad, tatkala menundukkan para penentang dan tuntutan keadilan dianggap perlu oleh Kebijaksanaan Ilahi. Tetapi diramalkan bahwa akhir zaman nanti nama Ahmad akan terbabar sekali lagi jadi oleh karena itu tepatlah bahwa golongan ini dinamakan golongan Ahmadiyah

Ahmadiyah Qadian berpendapat bahwa nama Ahmadiyah berdasarkan al-

-Shaf ayat 6 bahwa Ahmad yang disebutkan adalah Mirza

Ghulam Ahmad, Ahmadiyah Qadian menjelaskan seperti di bawah ini: Ghulam Ahmad, Ahmadiyah Qadian menjelaskan seperti di bawah ini:

b. Yuriduna li yuthfiu nurullahi bi afwahihim: mereka itu (seluruh ummat manusia di dunia sekarang ini) ingin benar memadamkan

Muhammad saw. yang memusuhi Agama Allah (Islam) menghunus pedang, tetapi pada akhir zaman ini, yang melawan dan menghantam

dengan alat-alat modern, radio dan tulisan-tulisan.

c. dini kullihi: Dia, Tuhan itulah yang mengirim Rasulnya dengan petunjuk, agar dapat ia (Ahmad) memenangkan agama Allah atas segala agama-agama. Ahmadiyah mengartikan ayat tersebut ialah bahwa Dia Tuhan itulah yang mengirim Rasul-Nya dengan petunjuk, agar dapat ia (Ahmad) memenangkan agama Allah atas segala agama-agama. Dengan kata lain, Ahmadiyah meyakinkan bahwa Mirza Ghulam Ahmadlah pendiri Ahmadiyah itu, yang akan memenangkan Islam diatas segala Agama. (Abdullah Hasan Alhadar, 1980: 54-57)

Tujuh tahun setelah pembaiatan yang pertama di Ludhiana, daftar nama- nama pengikutnya berjumlah 313. Itu berarti bahwa Ahmadiyah hanya memperoleh tambahan 273 pengikut dalam jangka tujuh tahun atau 40 pengikut baru setiap tahun. Masa ini adalah masa prihatin bagi komunitas Ahmadiyah. Pada masa itu jamaah dihadapkan kepada perlawanan sengit dari segala arah, kemajuannya sedemikian lambat. (Iaian Adamson, 2010: 179) Para penentangnya melawan dengan berbagai cara baik dengan cara berpolemik di media massa maupun dengan debat terbuka. Penentangannya semakin menjadi setelah adanya pendakwaan diri Ghulam Ahmad sebagai seorang nabi dzilli dan ummati (nabi bayangan dan nabi umat Muhammad) pada tahun 1901 M. (Asep Burhanudin, 2005: 42)

1891 di Mesjid Aqsa, Qadian. Jumlah orang yang menghadiri antara 75-80 orang, Pertemuan itu berjalan dengan baik hingga pada hari terakhir Mirza Ghulam Ahmad memutuskan untuk tahun-tahun ke depan akan diselenggarakan pertemuan. Pada Jalsah Salanah kedua yang diadakan tahun 1892 M jumlah yang hadir meningkat sampai 500 orang. Lebih dari 300 orang datang langsung dari luar Punjab. Untuk menampung para tamu sejumlah gedung segera dibangun, dan dari tahun ke tahun bertambah luas. Sejumlah keputusan dibuat dalam konferensi ini, yang lebih modern dibandingkan gerakan keagamaan lain pada masa itu.

Gerakan memutuskan tiga dasar-dasar gerakan Ahmadiyah, yang pertama dengan jalan misi-misi dakwah, yang kedua dengan mendirikan percetakan di Qadian. Yang ketiga dengan jalan pendidikan. Ketiga keputusan ini adalah batu tonggak keberhasilan Gerakan Ahmadiyah. Jumlah orang-orang yang mendatangi Qadian meningkat. Pada tahun 1900 M ada 70, 80 dan kadang-kadang lebih dari seratus pengunjung setiap harinya. Jumlah pengikutnya mulai meningkat. Mirza Ghulam Ahmad menyatakan jumlah itu mencapai 30.000 orang dengan 500 orang setiap hari yang menyatakan b

Dari tahun 1892-1895 M. Ghulam Ahmad menulis beberapa buku, diantaranya asmani faisla (keputusan langit), aina kamalat-e-islam (cermin kesempurnaan Islam), Nishan-e-asmani shahadatul Mulhimin (tanda-tanda langit, kesaksian penerima ilham), sachai ka izhar (pernyataan kebenaran), jang-e- muqadas (peperangan suci), syahadat al quran (kesaksian quran), karamat as shadiqin (mukjizat-mukjizat orang benar), tohfai Baghdad (hadiah untuk Baghdad), hamamah al bushra (merpati kabar baik), nur al haqq (cahaya kebenaran), itmam al hujah (menyempurnakan dalil-dalil), sir al khilafah (rahasia khilafah), anwar al islam (cahaya islam), minan arrahman (hadiah-hadiah Allah yang maha pengasih), zia al haq (cahaya kebenaran), nur al quran (cahaya al quran), arya dharm (agama arya), dan sut bachan (perkataan yang benar). Tahun 1896 M Ghulam Ahmad menulis buku Anjam e atham (akhir riwayat atham), masih Hindustan mein (al masih di Hindustan), dan mengajukan libur umum pada hari jumat kepada pemerintah.

dalam sebuah konferensi agama agama yang ada di India. Konferensi agama- agama ini diselenggarakan oleh seorang pemimpin Kaisth Hindu, Swami Sadhu Shugan Chandra dengan cara mengundang tokoh-tokoh agama untuk berkumpul dalam satu tempat, untuk menguraikan keindahan agamanya masing-masing berdasarkan topik yang telah ditentukan di Lahore 26-29 Desember 1896 M. wakil-wakil agama yang hadir dalam konferensi ini adalah Sanatan Dharma, hindu, Arya Samaj, Free Tinker, Brahma Samaj, Theosofical Society, Religion of Harmony, Sikh, Islam serta dihadiri oleh enam ribu orang.

Konferensi ini meminta para agamawan untuk menyampaikan pandangan agamanya masing-masing mengenai lima hal, yaitu: keadaan alami, Akhlak, dan ruhani manusia, keadaan manusia sesudah mati, tujuan hidup manusia di dunia dan cara untuk mencapainya, dampak amal perbuatan manusia di dunia dan cara untuk mencapainya, dampak amal perbuatan manusia di dunia dan di akhirat, dan jalan untuk memperoleh ilmu makrifat Ilahi. Dalam kesempatan itu Mirza Ghulam Ahmad menyampaikan lima permasalahan secara keseluruhan berdasarkan ajrana Al Quran yang disusun dalam sebuah makalah yang diberi judul Islami Ushul Ki Falasati. (Asep Burhanudin, 2005: 43)

Pada tanggal 5 Juli 1903 Mirza Ghulam Ahmad menghimbau perlunya chandah . Chandah adalah sumbangan dari setiap Ahmadi kepada Jamaah Ahmadiyah Qadian, sesuai dengan prinsip-prinsip yang ditetapkan oleh Mirza Ghulam Ahmad dan para penerusnya,. Beberapa Chandah bersifat wajib, sementara yang lain bersifat sukarela. Chandah wajib, memiliki jumlah tetap dan harus dibayar setiap tahun. Namun, para anggota yang menghadapi kesulitan keuangan, dapat mengurangi kewajiban membayar Chandah itupun hanya setelah mendapat izin dari Khalifatul Masih. Mirza Ghulam Ahmad memberikan landasan bahwa dengan memberikan chandah, iman akan bertambah kuat karena ini adalah urusan kecintaan dan keikhlasan. (M. M. Ahmad, 1999: 392)

Pada tanggal 20 Desember 1905 Mirza Ghulam Ahmad mencanangkan gerakan al-Washiyyat. Yakni suatu gerakan pengorbanan harta dalam bentuk wasiyat, untuk memajukan dan menyebar-luaskan Islam ke seluruh dunia. Mirza

Yaitu yang akan mengelola segala permasalahan missi tersebut. Intinya siapa pun

yang tergabung menjadi anggota jemaat ini wajib mewasiatkan 1/10 sampai 1/3 dari harta kekayaan dan pendapatan bulanannya, di samping bertakwa, meninggalkan hal-hal yang haram, dan tidak berbuat syirik. Mereka yang menjadi anggota gerakan al washiyyat kelak jika meninggal jenazahnya akan dikuburkan di makam bahesti makbarah (taman bunga) di Qadian. Penyisihan harta kekayaan dan pendapatan bulanan sesuai dengan janji yang dibuat dalam candah washiyyat. (Iskandar Zulkarnaen, 2005: 67)

Dalam perkembangannya, mengingat peserta gerakan al washiyat terbatas karena persyaratan yang tinggi maka pada masa khalifah II Mirza Basyirudin Mahmud Ahmad diterapkan

(umum).

ini

adalah sumbangan yang wajib dibayar oleh setiap anggota, baik laki-laki atau perempuan, sesuai dengan prinsip-prinsip ditetapkan oleh Mirza Ghulam Ahmad atau penerusnya. Besarnya chandah 1/16 dari penghasilan. Namun, besarnya

dapat dikurangi dengan persetujuan dari Khalifatul Masih dalam keadaan tertentu. (M. M. Ahmad, 1999: 396) Selain chandah-chandah itu masih ada yang lain, seperti chandah jalsah salanah, Chandah Tahriq Jadid dan chandah waqf jaded yang juga diberlakukan kepada anggota dengan ketentuan-ketentuan yang berbeda. Chandah Jalsah Salanah adalah sumbangan wajib untuk membiayai kegiatan Pertemuan Tahunan di Pusat besarnya chandah sekitar 1/10 dari pendapatan bulanan atau 1/20 dari pendapatan tahunan. Chandah Tahriq Jadid adalah sumbangan untuk kegiatan penyebaran Islam ke seluruh dunia besarnya chandah 1/5 pendapatan bulanan sekali setahun. Dan Chandah Waqf Jadid adalah chandah yang tidak ditentukan besarnya. Para anggota biasanya menjanjikan sejumlah uang untuk dibayarkan selama tahun yang bersangkutan minimum 1 pounsterling atau sebanding dapat diharapkan dari setiap anggota yang berpenghasilan. Selain chandah wajib juga terdapat Chandah sukarela seperti Chandas Sadqa, Masjid Fund, Satelit fund, Afrika-India Fund: Darul Yatama fund, Centenary Jubilee fund, Other fund , dan Maryam Marriage fund. (M. M. Ahmad, 1999: 413)

Ahmadiyah Qadian. Ahmadiyah Lahore tidak menggunakan istilah chandah, melainkan menggunakan istilah nafaqah. Para anggotannya diwajibkan membayar nafaqah sebesar 2,5 % dari pengahsilan per bulan. Kegiatan-kegiatan khusus yang memerlukan dana tidak sedikit, seperti muktamar dan pertemuan tahunan, tidak diatur secara jelas dalam Anggaran Rumah Tangga.

Menindaklanjuti Gerakan Al Wasiyat pada Desember 1906 telah didirikan sebuah lembaga dengan nama Sadr Anjuman Ahmadiyah yang berpusat di Qadian. Lembaga tersebut bertugas mengurus sekolah sekolah, majalah review of religion , bahesyti maqbarah atau badan urusan wasiat dan urusan-urusan lainnya. Lembaga tersebut beranggotakan 15 orang. Empat belas orang diantarannya langsung ditunjuk oleh Mirza Ghulam Ahmad dan satu orang oleh Khalifah I. mereka yang ditunjuk Mirza Ghulam Ahmad adalah Mirza Basyirudin Mahmud Ahmad Sahib, Nawab Muhammad Ali Khan Sahib, Mir Muhammad Ismail Sahib, Seth Abdur Rahman Sahib Madrasi, Mirza Basyir Ahmad, Maulvi Muhammad Ali Sahib, Sayyid Muhammad Husen Shah Sahib, Syekh Rahmatullah Sahib, Maulvi Ghulam Hasssan Sahib Peshawri, dan Mir Hamid Shah Sahib Sialkoti. Sementara yang ditunjuk oleh Khalifah I adalah Maulvi Sher Ali Shahib. Kwadja Kamaludin yang bertugas di Eropa, menurut ketetapan Sadr Anjuman Ahmadiyah, digantikan oeh Maulvi Sadrudin Sahib untuk sementara. (Iskandar Zulkarnaen, 2005: 70)

Setelah wafatnya Mirza pada 26 Mei 1908, Maulana Hakim Nurudin diangkat menjadi khalifah pertama. Hakim Nurudin menduduki posisi yang penting dalam jamaah, Nurudin merupakan orang kedua setelah Mirza Ghulam Ahmad. Hakim Nuruddin dilahirkan 1842 di Bhaira daerah Sarghoda Punjab yang sekarang sebagai bagian dari Pakistan. Ayahnya, Hafiz Ghulam Rasul adalah seorang imam di masjid Bhaira, ibunya bernama Nur Bakht. Pendidikan pertamanya ditempuh di kampung halamannya. Nuruddin belajar kitab fiqih dalam bahasa Punjabi. Kemudian berangkat ke Lahore untuk belajar bahasa Persia dan seni kaligrafi. Nuruddin pernah juga belajar ke Mekkah dan madinah. Petemuan Nurudin dan Mirza Ghulam Ahmad terjadi di Qadian pada tahun 1885.

menulis sebuah buku yang mendukungnya. Rasa kagumnya semakin bertambah sehingga Nurudin menyatakan sumpah setia terhadapnya dan menerima Mirza Ghulam Ahmad sebagai pemimpin dan pembimbing spiritualnya. (Sayid Ali Nadwi, 2005: 26)

Pada masa Maulwi Nuruddin, Ahmadiyah sebagai gerakan Mahdi telah mencapai kemajuan pesat dan mulai dikenal di kalangan umat Islam secara luas. Maulvi Nuruddin mendirikan berbagai lembaga, termasuk sekolah dan publikasi. Beberapa peristiwa penting dari itu adalah sebagai berikut: 30 Mei 1908 Baitul Mal didirikan. 1 Maret 1909 mendirikan Madrasah Ahmadiyah, Hadhrat Syed Muhammad Sarwar Shah ditunjuk sebagai kepala madrasah yang pertama. Dengan semakin berkembang pesatnya penganut Ahmadi, sebuah lingkungan baru dengan nama Darul-Ulum dibangun di Qadian. Banyak bangunan baru didirikan seperti Masjid Noor (1910), Talim al-Islam High School (1912), Rumah Sakit. dan Masjid Aqsa yang selesai dibangun pada bulan Januari 1910. (M. M. Ahmad, 1999: 305)

Menerbitkan terjemahan Quran dalam bahasa Inggris, ditugaskan kepada Sekretaris, Sadr Anjuman Ahmadiyah, Maulvi Muhammad Ali. Menerbitkan Majalah dan Koran seperti: Ahmadi, Ahmadi Khatoon, Noor, Akhbar al-Haq, Sulah Payghame, dan Al-Fazl . Pada tahun 1913 Maulvi Nuruddin mengeluarkan petunjuk pada pertemuan Jalsa Salana yang berlangsung selama tiga hari yaitu tanggal 26 Desember 27, & 28. Salah satunya adalah pembentukan misi Ahmadiyah pertama di Inggris pada tahun 1914 M. Mubaligh Ahmadiyah pertama yang dikirim ke London untuk penyebaran Islam adalah Fateh Muhammad Chaudhry Sial. Nuruddin memangku jabatan Khalifah gerakan Ahmadiyah selama enam tahun. Pada 1913 Nuruddin terjatuh dari kuda dan meninggal pada 13 Maret 1914. Beberapa hari sebelum kematiannya. Nuruddin menunjuk Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad anak tertua dari Mirza Ghulam Ahmad, sebagai penggantinya sebagai Khalifah Ahmadiyah. (Sayid Ali Nadwi, 2005: 26)

Saat Mirza Ghulam Ahmad masih hidup, keutuhan dan kesatuan pengikut ahmadiyah sangat dirasakan. Suasana seperti itu berjalan sampai masa menjelang meninggalnya Khalifah I. Sebab perpecahan Ahmadiyah menurut kalangan Ahmadiyah Lahore karena perbedaan tentang ketokohan Mirza Ghulam Ahmad. Dalam pandangan kelompok Lahore, Mirza Ghulam Ahmad adalah Mujadid (Pembaharu) dan bukan nabi sebagaimana kepercayaan aliran Qadian. Enam tahun sejak wafatnya Mirza Ghulam Ahmad tahun 1914 M terbit pernyataan dari Mirza Basyirudin Mahmud Ahmad bahwa:

a. Hazrat Mirza Ghulam Ahmad itu seorang nabi yang sesunguh- sungguhnya.

b. Mirza Ghulam Ahmad yang sudah diramalkan oleh Isa AS tertulis dalam al Quran asshaf 6

c. dianggap kafir dan telah keluar dari Islam meskipun di negeri manapun hidupnya dan biarpun mereka itu tidak pernah mendengar nama Masih yang dijanjikan. (Soedewo 1937: 78)

Maulana Muhammad Ali menentang pandangan Basyirudin Mahmud Ahmad tersebut. Maulana Muhammad Ali menuduh Mirza Basyirudin Mahmud Ahmad berambisi mendirikan sistem kekhalifahan dalam Islam dan menjadikan dirinya sebagai khalifah hal ini hanya dimungkinkan bila sang pendiri gerakan, Mirza Ghulam Ahmad adalah seorang nabi, sebab pengganti seorang nabi adalah Khalifah, seperti nabi Muhammad yang mempunyai Khalifah Rasyidin. Dari ambisi inilah maka Mirza Basyirudin Mahmud Ahmad menabikan Mirza Ghulam Ahmad. Konsekuensinya bila Mirza Ghulam Ahmad adalah nabi, maka seluruh umat Islam yang ada di muka bumi ini tidak layak disebut muslim dengan kata lain seluruh muslim yang tidak percaya kenabian Mirza Ghulam Ahmad telah kafir dan keluar dari Islam.

Maulana Muhammad Ali menolak pendapat Mirza Basyirudin Ahmad dan berkeyakinan sesuai keyakinan Mirza Ghulam Ahmad bahwa:

a. Mirza Ghulam Ahmad bukan nabi dan tidak pernah mengaku nabi a. Mirza Ghulam Ahmad bukan nabi dan tidak pernah mengaku nabi

c. Siapapun yang telah bersyahadat adalah Islam dan tidak ada satupun yang berhak mengeluarkan dia dari Islam, umat Islam tidak akan pernah menjadi kafir dan diluar Islam hanya karena tidak mempercayai dakwah Mirza Ghulam Ahmad

d. Nama Ahmad dalam al Quran 61;6 ditujukan kepada nabi Muhamad saw yang memamng mempunyai dua nama yakni Ahmad dan Muhammad (Ahmadi Djajasugita, 2007: v)

Sementara kalangan Ahmadiyah Qadian berpendapat bahwa perpecahan jemaah Ahmadiyah karena ketidaksetujuan sejumlah tokoh Ahmadiyah terhadap pengangkatan khalifah II, yaitu Mirza Basyirudin Mahmud Ahmad. Di antaranya Maulana Muhammad Ali dan Khawja Kamaludin. Mereka menghendaki Muhammad Ali menjadi Khalifah Masih II. Namun dalam pemilihan khalifah tersebut mereka hanya memperoleh dukungan suara minoritas. Karena kekalahan itu, mereka memisahkan diri dan pindah ke Lahore dengan membentuk gerakan di bawah Maulana Muhammad Ali, yang di bernama Anjuman Ishaat Islam. Namun demikian dapat dikatakan bahwa sebelum 1914 M keyakinan Muhammad Ali dan Kwaja Kamaludin sama dengan orang-orang Ahmadiyah lain tentang kenabian dan kerasulan Mirza Ghulam Ahmad. (Amin Jamaludin, 2005: 197)

Masalah khalifah sangat erat hubungannya dengan masalah manajemen pengorganisasian Ahmadiyah sebagai gerakan Mahdi. Ada dua pendapat tentang masalah ini. Pertama, mengakui dan mendukung keberadaan organisasi khilafat dengan alasan untuk menuruti ajaran Islam dan wasiat Mirza Ghulam Ahmad, dalam jemaat harus ada khilafat sebagaimana khalifah pertama ditaati oleh jemaat. Begitu pula khalifah yang akan datang juga harus ditaati. Pendapat kedua mengatakan bahwa organisasi khilafat tidak perlu, cukup dengan organisasi Anjuman saja. Untuk menghormati wasiat khilafah I bolehlah ditetapkan seseorang sebagai Amir, akan tetapi Amir ini tidak wajib ditaati oleh jemaat atau Sadr Anjuman Ahmadiyah. Bahkan jabatan Amir pun waktunya terbatas dan bersyarat.

Pendapat pertama mengatakan bahwa iman kepada Mirza Ghulam Ahmad merupakan suatu kewajiban, artinya orang yang tidak percaya kepada Mirza Ghulam Ahmad tergolong keluar dari Islam. Pendapat kedua memandang bahwa iman terhadap Mirza Ghualam Ahmad mememang suatu hal yang baik dan perlu untuk kemajuan rohani, namun bukan untuk kebebasan di akhirat nanti. Artinya, tidak beriman kepada Mirza Ghulam Ahmad pun orang akan mendapatkan kebebasan juga.

Mengenai kenabian Mirza Ghulam Ahmad, juga ada dua pendapat. Pendapat pertama berkeyakinan bahwa kenabian tetap terbuka sesudah Rasulullah saw. Sementara itu, pendapat kedua berkeyakinan bahwa sesudah Nabi Muhammad pintu nubuwwat sama sekali tertutup dan mengakui bahwa Mirza Ghulam Ahmad tidak mendakwahkan diri sebagai nabi. Pendapat kedua diperjelas dalam Qanun Asasi Ahmadiyah Lahore bahwa Nabi Muhammad saw adalah nabi terakhir dan sesudah beliau tidak akan datang nabi lagi, nabi lama maupun nabi baru. Siapa saja yang mengucapkan dua kalimat syahadat maka ia Islam. (Iskandar Zulkarnaen, 2005: 71)

Perbedaan pendapat ini mendatangkan akibat perpecahan dalam pergerakan Ahmadiyah Pendapat pertama didukung oleh Mirza Basyirudin Mahmud Ahmad, Nawab Muhammad Ali Khan Sahib, Mir Muhammad Ismail Sahib, Kalifah Rashidudin Sahib, Sert Abdurrahman Madrasi, Mauvi Sher Ali Sahib, dan Mirza Bashir Ahmad. Kelompok ini berpusat di Qadian diketuai Mirza Basyirudin Mahmud Ahmad dengan mempergunakan gelar Amirul Mukminin dan Khalifatul Masih ke II. Pendapat kedua di dukung oleh Maulvi Muhammad Ali Sahib, Kwaja Kamaluddin Sahib, Mirza Yakup Beg Shahib, Sayyid Muhammad Husen Shah Sahib, Syaikh Ramatullah Sahib, Maulvi Ghulam Hasan Shah Sahib, Dr. Basyarat Ahmad dan Maulana Sadrudin. Aliran kedua berada di Lahore diketuai Maulana Muhammad Ali dengan predikat presiden. (Soedewo, 1937: 80)

Meskipun perpecahan dalam Ahmadiyah selalu dijelaskan sebagai perbedaan doktrinal, bentrokan kepribadian mungkin juga berperan. Masuk akal untuk mengasumsikan bahwa Muhammad Ali yang memiliki gelar MA dari Meskipun perpecahan dalam Ahmadiyah selalu dijelaskan sebagai perbedaan doktrinal, bentrokan kepribadian mungkin juga berperan. Masuk akal untuk mengasumsikan bahwa Muhammad Ali yang memiliki gelar MA dari

Setelah perpecahan, Ahmadiyah yang berpusat di Qadian dipimpin oleh Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad putra Mirza Ghulam Ahmad. Perkembangan kegiatan dakwah Ahmadiyah di bawah kepemimpinan Mirza Basyirudin Mahmud Ahmad sangat pesat, dari tingkat madrasah sampai ke tingkat universitas, Mirza Basyirudin Mahmud Ahmad mencanangkan sebuah gerakan yang disebut Tahrij Jadid yang intinya:

a. Penyebaran Islam ke seluruh dunia,

b. Himbauan untuk mewakafkan diri sebagai mubaligh,

c. Himbauan kepada seluruh jamaat untuk hidup sederhana dan menyisihkan penghasilannnya secara sukarela untuk gerakan Tahrij Jadid. Penyisihan penghasilan untuk kepentingan gerakan ini dikenal dengan Chandah Tahrij Jadid.

Selama masa jabatannya, ia mendirikan 46 perwakilan luar negeri Mengirimkan misi-misi asing termasuk Mauritius (1915), AS (1920), Ghana (1921), Mesir (1922), Bokhara (1923), Iran (1924), Palestina dan Suriah (1925), Jawa dan Colombo (1931) Burma dan Jepang (1935), Argentina dan Albania (1936), Yugoslavia dan Sierra Leone (1937), Spanyol (1946) dan Lebanon (1949). Mahmud Ahmad juga membangun masjid di sebagian besar tempat di mana misi berada. Penerbitan majalah secara berkala juga dimulai dalam berbagai bahasa. Dia juga mulai penerbitan Al-Qur'an ke dalam bahasa Inggris untuk negara- negara Eropa (Iskandar Zulkarnaen, 2005: 67)

Pada tahun 1919 Mahmud Ahmad juga mereformasi Sadr Anjuman Ahmadiyah (Pimpinan Pusat Direktorat). Dia memulai sistem departemen yang terpisah dalam Anjuman seperti pendidikan, keuangan, sastra, dan urusan umum. Setiap departemen dipimpin oleh seorang sekretaris (Nazir) termasuk departemen Pada tahun 1919 Mahmud Ahmad juga mereformasi Sadr Anjuman Ahmadiyah (Pimpinan Pusat Direktorat). Dia memulai sistem departemen yang terpisah dalam Anjuman seperti pendidikan, keuangan, sastra, dan urusan umum. Setiap departemen dipimpin oleh seorang sekretaris (Nazir) termasuk departemen

Dalam rangka konsolidasi antara pusat dan daerah, berbagai Nazarat dibentuk di bawah naungan Sadr Anjuman Ahmadiyah Qadian.

a. Nazarat Dawato Tabligh

b. Nazarat Taleem

c. Nazarat Umoor-e-Aamma

d. Nazarat Bait-ul-Mal dan

e. Nazarat Ulia untuk mengawasi, membimbing dan mengarahkan Jamaat.

Dibentuk pula beberapa organisasi berdasarkan tingkat umur dan jender yaitu:

a. Ansaarullah untuk pria di atas 40 tahun.

b. Khuddam-ul-Ahmadiyah untuk pemuda di bawah 40.

c. Atfal-ul-Ahmadiyah untuk anak laki-laki di bawah 15 tahun.

d. Lajna Imaullah bagi perempuan.

e. Nasiratul Ahmadiyah untuk anak perempuan. Pada tahun 1940 di bawah arahan dan pengawasan Basyirudin Mahmud Ahmad, setelah penelitian dan perhitungan, diperkenalkan kalender baru, Hijriah/Shamsi untuk jamaah Ahmadiyah. Sulh (damai) Januari, Tabligh (khotbah) Februari, Aman (perlindungan) Maret, Shahadat (mati syahid) April, Hijrat (Migrasi) Mei, Ihsan (kebajikan) Juni, Wafa (kesetiaan) Juli, Zahoor (penampilan) Agustus, Ikha (persaudaraan) September, Tabook (pertempuran Tabuk): Oktober, Nabuwat (kenabian) November, Fatah (kemenangan): Desember (M. M. Ahmad, 1999: 490)

Beberapa publikasi telah dimulai di bawah kepemimpinannya dan Basyirudin Mahmud Ahmad sendiri menulis banyak buku. Karya terbesarnya adalah menulis tafsir al Qur'an sebanyak 10 volume dalam bahasa Urdu, yang Beberapa publikasi telah dimulai di bawah kepemimpinannya dan Basyirudin Mahmud Ahmad sendiri menulis banyak buku. Karya terbesarnya adalah menulis tafsir al Qur'an sebanyak 10 volume dalam bahasa Urdu, yang

Pada tahun 1947, ketika pembagian anak benua India menjadi India dan Pakistan, bersama dengan muslim lain, jutaan anggota Jemaat Ahmadiyah harus bermigrasi dari India ke Pakistan. Dalam rangka untuk menjamin persatuan mereka, integritas dan keutuhan, Khalifatul Masih II mendirikan Pusat baru di Rabwah, dekat Sungai Chenab di Distrik Jhang, dimana, kantor, sekolah, universitas dan berbagai departemen yang didirikan kembali. (M. M. Ahmad, 1999: 309)