POTRET BUDAYA INOVASI DI INDONESIA
6.1 POTRET BUDAYA INOVASI DI INDONESIA
Pada era kontemporer saat ini budaya inovasi belum terbangun di Indonesia (meski jejak i o asi uka ya tidak ada dari masa lalu, yang terungkap lewat peninggalan artifak- artifak i o atif . Pa eo kalau bisa membeli, kenapa harus membuat asih e deka
di benak sebagian besar masyarakat. Pandangan ini diteguhkan laporan Global Consumer Report AC Nielsen yang menobatkan Indonesia sebagai negara paling konsumtif terbesar ke-
2 di dunia setelah Singapura. Salah satu indikator adalah nilai transaksi kartu kredit di negeri ini yang mencapai Rp 250 triliun setahun, atau seperlima angka APBN.Survei global lain dari World Intellectual Property Organization (WIPO) memasukkan Indonesia sebagai negara paling malas mencipta (inventing).Ini tercermin dari kecilnya angka registrasi paten. Pada 2009 temuan made in Indonesia yang dipatenkan hanya berjumlah enam buah, atau tertinggal beribu-ribu kali lipat dibanding Jepang (224.795 paten) dan AS (135.193 paten), menempatkan ranking paten Indonesia yang terendah di antara negara-negara G-20.
Ketersediaan sumber daya alam (SDA) yang melimpah, pada kadar tertentu, merupakan salah satu faktor yang membuat manusia Indonesia lebih suka menjual apa yang dimiliki (alias menjadi pedagang) ketimbang mencipta apa yang tidak dimiliki (menjadi inventor). Keunggulan komparatif SDA yang tidak ditangani secara visioner ini telah menumbuhkan me talitas pe ari re te rent-seeking), sebagai cara mudah mengantungi keuntungan, dimana ini juga diperburuk oleh sikap nrimo —kebalikan dari semangat self- improvement-nya bangsa AS —yang benihnya telah ada di masyarakat.
Kondisi-kondisi ini kemudian beresonansi dengan rezim otoritarian-paternalistik yang berkuasa selama tiga Dekade, dimana kreatifitas dipasung, yang pada gilirannya berkontribusi terhadap lemahnya inisiatif untuk berimprovisasi dan berinovasi. Jika pun ada, inovasi di Indonesia, berseberangan dengan kasus klaster biotek San Diego, lebih berorientasi pada inovasi yang dikawal pemerintah (government-led innovation) ketimbang tumbuh dari bawah (bottom-up).
Sikap anti- peru aha , tertutup, da ke e deru ga u tuk er ai a a ya g telah terlembagakan berpuluh-puluh tahun ini berkontribusi terhadap turunnya semangat Sikap anti- peru aha , tertutup, da ke e deru ga u tuk er ai a a ya g telah terlembagakan berpuluh-puluh tahun ini berkontribusi terhadap turunnya semangat
Sementara di Indonesia, atmosfer yang dikembangkan selama beberapa dekade (terutama di sektor pendidikan dan parenting) justru kurang mendorong semangat bereksperimen dan sikap tidak takut salah. Ini misalnya tampak dari kecenderungan pengusahaIndonesia untuk membeli teknologi lisensi asing dalam proses produksi ketimbang repot-repotberinvestasi —mengambil risiko—di litbang teknologi guna menciptakan terobosan.
Kesadaran mengenai peran penting inovasi dan sistem inovasi yang produktif untuk percepatan pertumbuhan ekonomi, belakangan kian mengkristal di tingkat pemerintah pusat.Didirikannya Komite Inovasi Nasional (KIN) pada 2010 oleh Presiden RI merupakan sinyal positif munculnya mindset inovasi di tingkat elite. Namun menjadi pertanyaan: apakah mindset ini merupakan sebuah konsensus nasional yang takkan lekang oleh waktu alias menjadi visi pembangunan jangka panjang negeri ini, atau sekadar gagasan periodikal yang tumbuh dan layu seiring dengan pergantian pemerintahan? Katakanlah bahwa inovasi telah menjadi mindset di tingkat elite, tetapi menjadi pertanyaan pula: apakah masyarakat memiliki mindset yang sama, sehingga ketika inisiatif top-down dijalankan pemerintah, masyarakat akan merespons dengan baik —tidak bertepuk sebelah tangan?
Sebagaimana dijelaskan di muka, budaya berinovasi belum terbangun mapan di negeri ini. Karena itulah secara bersamaan, seiring dengan upaya top-down pemerintah, perlu dilakukan upaya membangun mindset inovasi di tengah-tengah masyarakat, sehingga mindset ini akan selalu ada dan tidak terpengaruh oleh pergantian pemerintahan. Upaya ini dapat dilakukan dengan melakukan penguatan inovasi terhadap simpul-simpul strategis pada elemen-elemen civil society. Simpul-simpul ini adalah bagian dari masyarakat yang Sebagaimana dijelaskan di muka, budaya berinovasi belum terbangun mapan di negeri ini. Karena itulah secara bersamaan, seiring dengan upaya top-down pemerintah, perlu dilakukan upaya membangun mindset inovasi di tengah-tengah masyarakat, sehingga mindset ini akan selalu ada dan tidak terpengaruh oleh pergantian pemerintahan. Upaya ini dapat dilakukan dengan melakukan penguatan inovasi terhadap simpul-simpul strategis pada elemen-elemen civil society. Simpul-simpul ini adalah bagian dari masyarakat yang