Penjelasan Al-Qur ’ân Terhadap Hukum

B. Penjelasan Al-Qur ’ân Terhadap Hukum

Sebagai kitab yang menjadi pilar utama bangunan hukum, menurut keyakinan umat Islam, Al-Qur’ân merupakan kitab suci unversal, berlaku sepanjang zaman, yang dianugerahkan Allah swt. kepada seluruh umat manusia. Universalitas Al- Qur’ân ini, terletak pada cakupan pesannya yang menjangkau ke seluruh lapisan

masyarakat, kapan dan di mana mereka berada. 20 Hal ini sebagaimana ditunjukkan oleh salah satu penggalan firman Allah yang menjelaskan bahwa ia tidak pernah

mengalpakan segala sesuatu di dalam al-kitâb (QS. Al-An`âm (6) : 38).

Para ulama berbeda pendapat dalam menafsirkan kata al-kitâb pada ayat di tersebut. Menurut sebagian ulama, kata al-kitâb merupakan al-Lauh al-Mahfûzh. Term ini menurut para ulama dapat berarti sesuatu yang menghimpun apa yang telah, sedang dan akan terjadi sejak awal hingga akhir masa, atau merupakan lambang

pengetahuan Allah yang mencakup segala sesuatu. 21 Sementara para ulama lainnya – dan ini yang memicu perdebatan panjang- memahami kata al-kitâb tersebut sebagai

Al-Qur’ân sehingga berujung pada kesimpulan bahwa segala sesuatu telah tercantum dalam Al-Qur’ân. 22

Muhammad bin Ahmad bin Abdul Azîz, Syarh al-Kaukab al-Munîr, (Riyâdl: Maktabah al-`Abikan, 1997), Jilid 1, hal. 333

20 Umar Shihab, Kontekstualitas Al-Qur ’ ân , hal. 4 21 Di antara para pakar yang mendukung argumen bahwa arti dari kata al-Kitâb tersebut

adalah al-lauh al-mahfûzh adalah para pakar tafsir kenamaan seperti Jalâl al-Dîn al-Mahallî, dan al- Qurthubî. Lihat , Muhammad bin Ahmad al-Mahallî dan Jalâl al-Dîn al-Suyûthî, Tafsîr al-Jalâlain, (al-Qâhirah: Dâr al-Hadîts, t.th.), Juz 1, hal. 168, Muhammad bin Ahmad al-Anshâri al-Qurthubî, al- Jâmi ’ li Ahkâm Al-Qur ’ ân, (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, t.th.), Jilid 5, hal. 271

22 Menurut al-Sarakhsî, ayat ini dijadikan argumentasi oleh kalangan ulama yang berpegang teguh pada makna lahiriah teks (ahlu al-zhâhir), untuk menolak qiyâs dan menyatakan seluruh

persoalan telah dirangkum dalam Al-Qur’ân dan Hadis, baik secara isyârah, iqtidlâ’ dan dalâlah. Kalangan ini dimotori oleh Ibrahim al-Nazhzhâm, kemudian dilanjutkan oleh Daud al-Ashbihânî. Pendapat ini hampir mirip dengan pernyataan al-Syaukânî yang menegaskan bahwa dalam keumuman Al-Qur’ân dan hadits dan kekhususan teksnya merangkum segala persoalan yang terjadi. Pendapat ini juga didukung oleh ayat-ayat Al-Qur’ân lainnya seperti QS. al-Nahl (16):89. Lihat Muhammad bin Ahmad al-Sarakhsî, Ushûl al-Sarakhsî, (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), Cet. ke-1, Juz 2, hal. 120, Muhammad bin Alî bin Muhammad al-Syaukânî, Irsyâd al-Fuhûl Ilâ Tahqîq `ilm al-Ushûl, (Makkah: Maktabah al-Tijâriyyah, 1993), Cet. ke-1, hal. 346

Pendapat terakhir ini, akan sangat kontradiktif ketika dihadapkan pada realitas bahwa Al-Qur’ân hanya sedikit menyajikan persoalan hukum sehingga sangat naif untuk menyatakan bahwa setiap persoalan telah terpecahkan dalam Al-Qur’ân, sementara persoalan yang dihadapi manusia terus berkembang seiring dengan

bergulirnya waktu. 23 Argumentasi universalitas Al-Qur’ân ini dapat dibenarkan apabila diiringi dengan kesadaran bahwa Al-Qur’ân dalam merespon pelbagai

problem, hanya menyajikan kaidah-kaidah universal yang harus terus diaktualisasikan oleh para pembacanya sepanjang zaman. 24

Hikmah yang terkandung di balik respon Al-Qur’ân secara global ini adalah keistimewaan syari’at Islam yang fleksibel dan mencakup terhadap seluruh lapisan masyarakat yang melintasi setiap generasi sesuai dengan tingkat kebutuhan, kapasitas intelektual serta momentum psikologis yang dihadapi manusia. Selain itu, hal ini dimaksudkan untuk memuliakan peran akal manusia agar tidak stagnan dan selalu aktif untuk merenungkan segala persoalan yang menimpa masyarakatnya. Oleh sebab itu, pemahaman atasnya haruslah sesuai dengan prinsip-prinsip, metode-metode, dan

penetapan hukum dalam masyarakat. 25

Secara makro, ada beberapa cara yang ditempuh Al-Qur’ân untuk menjelaskan hukum, yaitu:

1. Secara juz’î (terperinci). Maksudnya, Al-Qur’ân menjelaskan hukum- hukum secara rinci, seperti hukum-hukum yang berkaitan dengan masalah akidah,

23 Menurut Ibnu al-Qayyim, Al-Qur’ân hanya memuat 150 ayat hukum. Sedangkan menurut Wahhâb Khallâf ada 368 ayat hukum dalam Al-Qur’ân, dengan klasifikasi: 40 ayat ibadah, 70 ayat

ahwâl al-syakhsyiyyah; kawin, talak, warits dan wasiat, 70 ayat mu’amalah, 30 ayat kriminal (jinâyah), 13 ayat peradilan, 10 ayat hubungan antara orang kaya dan miskin, 10 ayat tentang kenegaraan dan 25 ayat tentang relasi dengan non muslim. Sementara menurut Ibnu Arabi yang mengutip pendapat sebagian gurunya, bahwa di dalam surah al-Baqarah saja terdapat seribu perintah, larangan, hukum dan berita. Untuk pendapat Ibnu al-Qayyim dan Ibnu Arabî lihat Muhammad bin Hasan al-Hajwî, al-Fikr al-Sâmî fî Târîkh al-Fiqh al-Islâmî , (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, t.th.), Juz 1, hal. 84. Sementara untuk pendapat Wahhâb Khallâf, lihat Abdul Wahhâb Khallâf, Ilmu Ushûl al-Fiqh, hal. 29

24 Pendapat ini sebagaimana disinyalir oleh al-Syâthibî bahwa maksud ayat yang menyatakan Al-Qur’ân menjelaskan segala sesuatu, adalah hanya kaidah-kaidah kulliyyah nya saja, bukan masalah-

masalah parsial, karena terbukti banyak kasus-kasus parsial yang muncul tanpa ada penjelasan dari Al- Qur’ân. Lihat Ibrahim bin Mûsa al-Syâthibî, al-Muwâfaqât, (Beirut: Dâr al-Ma’rifah, t.th.), Juz 1, hal. 22

25 Umar Shihab, Kontekstualitas Al-Qur ’ ân, hal. 206 25 Umar Shihab, Kontekstualitas Al-Qur ’ ân, hal. 206

kepada manusia sehingga berlaku sepanjang zaman. 26

2. Penjelasan hukum secara global, umum, dan mutlak, sehingga masih memerlukan penjelasan lebih lanjut dalam tahap aplikasinya. Yang paling memiliki otoritas untuk menjelaskan maksud ayat model ini adalah sunnah rasul. Seperti dalam masalah shalat yang jumlahnya tidak dirinci berapa kali sehari, berapa raka’at untuk sekali shalat, dan bagaimana rukun dan syaratnya. Untuk hukum-hukum yang bersifat

global, umum dan mutlak ini, sunnah rasul berfungsi menjelaskan, mengkhususkan dan membatasinya. 27

Namun, penjelasan yang bersumber dari nabi ini adakalanya berbentuk pasti, tidak memberikan peluang adanya kemungkinan interpretasi lainnya, serta kadang memakai petunjuk samar yang memberikan kebebasan pada manusia untuk menafsirkannya. Di sinilah peran mujtahid untuk merenungkan hukum-hukum tersebut untuk disesuaikan dengan konteks sosial yang dihadapinya.

3. Secara isyârah. Al-Qur’ân di samping menyajikan penjelasan hukum melalui petunjuk langsung teks, juga memberikan penjelasan hukum melalui petunjuk-petunjuk yang terdapat di balik teks. Para ulama ushûl terbagi pada dua golongan dalam mengistilahkan penelusuran makna kata di balik teks ini. Ulama mayoritas (Mutakallimîn) menganalisis kandungan makna teks ini melalui metode

26 Pendapat ini seringkali mendapat kritik keras dari sebagian ulama kontemporer. Mereka berargumen dengan prilaku Umar ra. yang seringkali memutuskan beberapa persoalan hukum dengan

mengabaikan petunjuk lahiriah teks karena pertimbangan kemashlahatan Misalnya hukum tentang pembagian harta ghanîmah, dan potong tangan bagi pencuri. Namun, menurut sebagian ulama, ijtihad Umar tersebut, meskipun secara lahiriah bertentangan dengan petunjuk nash, pada dasarnya tidak terjadi kontradiksi. Hal tersebut merupakan salah satu bentuk takhshîsh dari hukum yang disajikan Al- Qur’ân. Lihat Yûsuf Mûsâ, Muhâdlarât fî Târîkh al-Fiqh al-Islâmî, (Kairo: Dar al-Kitâb al-`Arabî, 1954), Juz 1, hal. 61

27 hal ini sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’ân surah al-Nahl (16): 44 yang menyatakan bahwa nabi Muhammad saw. bertugas untuk menerangkan ajaran-ajaran yang telah diberikan pada

manusia.

28 manthûq 29 dan mafhûm. Sementara kalangan Hanafiyyah menggunaan metode isyârah al-nashsh, 30 dalâlah al-nashsh 31 dan iqtidlâ’ al-nashsh. 32

Contoh petunjuk teks terhadap makna isyarahnya adalah:

Dan kewajiban ayah memberikan makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma`ruf.

Ayat ini mengandung pengertian kewajiban suami untuk memberikan nafkah, sandang dan pangan, terhadap isterinya yang sedang menyusui. Di samping itu, melalui petunjuk isyârahnya, tertangkap maksud bahwa anak ikut pada ayahnya dan penamaannya disandarkan pada sang ayah. Hukum lainnya adalah bahwa ayah memiliki hak istimewa terhadap anaknya serta harta anak yang ada pada sang ayah, didalamnya terdapat kesamaran pemilikan, sehingga jika sang ayah mengambil harta

tersebut, ia tidak dianggap sebagai pencuri. 33

28 Manthûq adalah makna yang ditunjukkan oleh kata pada tempat pembicaraan 29 Mafhûm adalah makna yang ditunjukkan oleh kata bukan pada tempat pembicaraan

30 Isyârah al-nashsh adalah petunjuk ucapan terhadap makna lazim dari adanya ucapan tersebut, bukan terhadap makna asli atau tambahannya.

31 Dalâlah al-nashsh Petunjuk teks terhadap makna tersirat berdasarkan petunjuk makna tersurat karena ada kesamaan illat antara keduanya yang dapat difahami melalui analisis semantik.

32 Iqtidlâ ’ al-nashsh Petunjuk lafazh terhadap makna tersirat, yang harus diperkirakan karena ketepatan pembicaraan atau keabsahannya secara syar`î, tergantung padanya. Perbedaan metodologi di

antara kalangan Mutakallimîn dan Hanafiyyah ini, jika diterapkan dalam menganalisis persoalan hukum, sebenarnya tidak berujung pangkal pada perbedaan yang sangat substansial. Namun, pada kasus dalâlah al-nashsh, kedua kelompok tersebut berbeda pendapat apakah hukum yang ada di balik petunjuk teks, diperoleh melalui teks itu sendiri atau ijtihâd dan qiyâs. Bagi kalangan Hanafiyyah petunjuk hukum di balik teks ini melalui teks itu sendiri, artinya dapat diketahui melalui analisis semantik. Sementara bagi kalangan Syâfi`iyyah, salah satu pendukung aliran mutakllimîn, petunjuk hukum tersebut merupakan produk dari qiyâs atau ijtihâd. Wahbah al-Zuhailî, Ushûl al-Fiqh al-Islâmî, hal. 352

33 Muhammad Abu Zahrah, Ushûl al-Fiqh, hal. 126

Sedangkan dari sisi kejelasan artinya, ayat-ayat Al-Qur’ân dapat diklasifikasikan pada dua macam, muhkam dan mutasyâbih. 34 Hal ini sebagaimana

diungkapkan dalam Al-Qur’ân surah Ali Imran (3), ayat 7. Menurut al-Ghazâlî, makna muhkam dan mutasyâbih harus dikembalikan pada penjelasan yang relevan dari para pakar tata bahasa dan yang berkaitan dengan kata tersebut dari sisi peletakannya. Menurutnya muhkam dan mutasyâbih dapat bermakna dua hal. Pertama, muhkam adalah ayat-ayat yang maknanya terbuka dan tidak ada keraguan atau kemungkinan makna lainnya. Sementara mutasyâbih adalah

teks yang maknanya mengandung keraguan sehingga memberikan peluang terhadap pluralitas penafsiran. Kedua, muhkam adalah teks yang tersusun dan teratur dengan aturan yang bermanfaat, adakalanya secara jelas atau melalui ta’wîl, selama di dalamnya tidak terdapat pertentangan dan perbedaan, sedangkan mutasyâbih merupakan ungkapan lain dari teks yang memiliki dua arti atau lebih seperti kata al- qur’ atau menunjukkan arti sifat-sifat Allah swt. yang secara lahiriah menunjukkan

makna arah atau penyerupaan dengan makhluk sehingga butuh untuk dita’wîl. 35 Menurut al-Suyûthî kesamaran pelbagai makna kata yang dikategorikan

mutasyâbih,

terbagi pada tiga hal: 36

1. Kata yang digunakan, maknanya tidak mungkin diketahui oleh siapapun seperti waktu kiamat, keluarnya binatang melata dan lain-lainnya.

2. Kata yang digunakan dapat diketahui maknanya seperti kata-kata asing yang diucapkan terhadap seseorang yang tidak mengerti karena kata tersebut jarang dipakai dalam bahasanya. Kata abban dalam QS. `Abasa (80):31, tidak diketahui artinya oleh Umar bin Khattab r.a, sehingga ayat itu pada awalnya baginya adalah mutasyâbih.

34 Para ulama berbeda pendapat mengenai makna muhkam dan mutasyâbih ini. Perdebatan para cerdik cendikia tersebut dapat ditelusuri di dalam Muhammad bin Jarîr al-Thabarî, Tafsîr Jâmi`

al-Bayân, (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, 1999), Cet. ke-3, juz 3, hal. 172, al-Qurthubî, al-Jâmi ’ li Ahkâm Al-Qur ’ ân , Jilid 4, hal. 8

35 Al-Ghazâli, al-Mustashfâ, Juz 1, hal. 106 36 Jalâl al-Dîn al-Suyûthî, al-Itqân fî `Ulûm Al-Qur ’ ân, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), Juz 2, hal.

3. Kata yang digunakan tidak dapat diketahui oleh semua orang, hanya diketahui oleh orang-orang tertentu yang memiliki ilmu tinggi (al-râsikhûn fî al-`ilm). Misalnya kata-kata yang menunjukkan sifat-sifat Allah dengan redaksi yang sama dengan sifat-sifat manusia.

Mengenai persoalan yang terakhir ini, bagi sebagian ulama yang menolak penyamaan Tuhan dengan manusia, berusaha menta`wilkannya dengan mengalihkan artinya pada makna yang lain, seperti kata “wajah Allah” dimaknai dengan “dzat Allah” dan “Allah bersemayam” diartikan dengan “Allah berkuasa”. Selain itu,

menurut mereka, ayat-ayat tersebut merupakan ungkapan sindiran dan pinjaman yang hanya difahami oleh para kaum mu’min Arab untuk menyatakan bahwa Allah berbeda dengan lainnya. Ayat-ayat ini tidak bermaksud untuk menyerupakan Tuhan

dengan makhluk. 37 Sedangkan bagi ulama yang enggan menggunakan ta’wil lebih memilih mauqûf, membiarkan ayat tersebut apa adanya, dengan berargumen bahwa

Allah memiliki wajah, namun wajah-Nya tidak sama dengan wajah makhuk-Nya. 38 Di dalam Al-Qur’ân, Allah swt. tidak mengklasifikasi antara ayat-ayat

muhkam dan mutasyâbih. Sebagai konskwensinya, ada ayat yang oleh sebagian ulama dinilai mutasyâbih namun menurut ulama lainnya dinilai muhkam. Bahkan ada sebagian ulama menyatakan bahwa seluruh firman Allah muhkam dan sebagian

ulama lainnya menyatakan, seluruhnya mutasyâbih. 39 Realitas ini, tak pelak

37 Al-Ghazâlî, al-Mustashfâ, Juz 1, hal. 167 38 Al-Mahallî menyebutkan pendapat ini dikemukakan oleh ulama salaf yang kontradiksi

dengan pendapat ulama khalaf yang berusaha menta’wil pelbagai kata yang digunakan untuk menggambarkan Allah. Lihat Jalâl al-Dîn al-Mahallî, Syarh `alâ Matn al-Jam`i al-Jawâmi ’ , Juz 1, hal. 268

39 Pendapat ulama bahwa seluruh Al-Qur’ân muhkam atau seluruhnya mutasyâbih ini, menurut al-Qurthubî bertentangan dengan petunjuk ayat 7 surah Ali Imrân yang menjelaskan Al-

Qur’ân memiliki 2 sisi. Sedangkan penggalan ayat ﺮﯿﺒﺧ ﻢﯿﻜﺣ ن ﺪﻟ ﻦﻣ ﺖﻠﺼﻓ ﻢﺛ ﻪﺘﯾأ ﺖﻤﻜﺣأ ﺐ ﺘﻛ

( ١:١١ / دﻮﻫ ) yang menjadi dasar argumen ulama yang menyatakan seluruh ayat Al-Qur’ân muhkam,

berarti kejelasan Al-Qur’ân dari sisi susunannya dan ia merupakan dari sisi Allah. Sementara

penggalan ayat ( ٢٣:٣٩ / ﺮﻣﺰﻟا ) ﺎﻬﺒ ﺸﺘﻣ ﺎ ﺒ ﺘﻛ ﺚﯾﺪﺤ ﻟا ﻦﺴﺣأ لﺰﻧ ﷲا yang menjadi argumen bagi para

tokoh yang menyatakan bahwa seluruh ayat Al-Qur’ân mutasyâbih berarti antara lafazh-lafazh Al- Qur’ân, serupa dan mirip antara satu sama lainnya. Kedua ayat tersebut tidak dapat dijadikan argumen bahwa seluruh ayat muhkam atau mutasyâbih. Al-Qurthubî, al-Jâmi ’ li Ahkâm Al-Qur ’ ân , Jilid 5, hal. 8.

mengharuskan para pembaca untuk berhati-hati ketika menafsirkan ayat-ayat al- Qur’an.

Dalam memaknai ayat-ayat mutasyâbih, para ulama berselisih apakah penafsirannya dapat diketahui oleh manusia atau hanya Allah sendiri saja yang mengetahuinya. Perbedaan ini terjadi karena dipicu oleh pemaknaan ayat yang oleh

sebagian ulama disinyalir menunjukkan keterbatasan pengetahuan manusia. 40

Keragaman pandangan para ulama tersebut, dapat terpecahkan apabila dihadapkan dengan fungsi dan tujuan utama Al-Qur’ân sebagai kitab hidayah, sumber solusi dan penjelas pelbagai persoalan. Dalam menyajikan pesan-pesan yang terkandung dalam Al-Qur’ân, Allah mustahil menyajikannya dengan kata-kata yang hanya dipahami oleh diri-Nya sendiri. Pendapat ulama yang menyatakan kemungkinan Tuhan menyajikan ayat-ayat yang hanya diketahui oleh diri-Nya secara pribadi, mengesankan bahwa Tuhan menurunkan Al-Qur’ân tanpa tujuan dan hanya untuk membuktikan kelemahan manusia dalam menafsirkan Al-Qur’ân. Oleh karena itu, dalam rangka menangkis argumentasi para ulama yang mendukung pendapat ini, Fakhr al-Dîn al-Râzî menyatakan ada tiga poin yang dapat dijadikan bantahan

terhadap mereka. 41 Pertama, jika argumentasinya adalah bahwa di dalam Al-Qur’ân

40 Ayat tersebut adalah:

Para ulama yang mendukung wacana relativitas pengetahuan manusia menyatakan bahwa wâwu pada kalimat “نﻮﺨﺳاﺮﻟاو berfungsi permulaan (isti ’ nâf) dan harus waqf pada kata Jalâlah. Pendapat ini didukung oleh tokoh-tokoh mufassir utama Islam, antara lain Ibnu Umar, Ibnu Abbâs, Aisyah, Urwah bin Zubair, Umar bin Abdul Azîz dan lainnya. Namun, pengelompokan Ibnu Abbas ke dalam kalangan ini patut dipertanyakan karena dalam kesempatan lainnya Ibnu Abbas sebagaimana diikuti oleh Mujâhid juga menyatakan bahwa wâwu pada lafazh tersebut sebagai wâwu `athf dan menyatakan “saya merupakan bagian dari orang yang mengetahui penafsirannya”. Sementara Ibnu Abbas dalam satu riwayat, Mujâhid, Muhammad bin Ja’far bin Zubair menegaskan bahwa Tuhan mustahil untuk memenjarakan kitab-Nya hanya untuk difahami sendiri Mereka menjadikan wâwu tersebut berfungsi ‘athf sehingga berarti bahwa orang-orang yang mendalam ilmunya juga dapat mengetahui makna ayat-ayat mutasyâbih. Lihat al-Qurthubî, al-Jâmi` li Ahkâm Al-Qur ’ ân , Jilid 5, hal. 12

41 Fakhr al-Dîn Muhammad bin Umar bin Husain al-Râzî, al-Mahshûl fî Ilmi Ushûl al-Fiqh, (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1997), Cet. ke-3, hal. 388. Pendapat yang lebih moderat diungkapkan

oleh al-Ghazâlî dengan menyatakan bahwa wâwu dalam lafazh “wa al-râsikhûn” tersebut, sama-sama memiliki kemungkinan untuk bermakna isti ’ nâf dan `athaf. Ketika menjelaskan tentang kiamat dan oleh al-Ghazâlî dengan menyatakan bahwa wâwu dalam lafazh “wa al-râsikhûn” tersebut, sama-sama memiliki kemungkinan untuk bermakna isti ’ nâf dan `athaf. Ketika menjelaskan tentang kiamat dan

Kedua, argumentasi yang menyatakan wâwu pada lafazh al-râsikhûn sebagai wâwu isti’nâf (permulaan) dapat dibantah bahwa kata tersebut termasuk dalam bagian ‘âmm yang sebagiannya ditakhshîsh oleh dalil akal karena tidak mungkin mengembalikan dlamîr pada Allah. Ketiga, pembuktian bahwa Tuhan berfirman kepada orang Persi dengan bahasa Arab padahal mereka tidak memahami maksudnya, dapat dijawab bahwa orang Persi dapat memahami putusan Tuhan tersebut dengan kembali pada

bahasa Arab.