Ummi Mardliyyah Khasyyatullah dalam Al Quran

KHASYYATULLÂH DALAM AL-QUR ’AN

Tesis

Diajukan kepada Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta Untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Magister Dalam bidang Kajian Islam

Konsentrasi Tafsir Hadits

Oleh: Ummi Mardliyyah NIM : 03. 2. 00. 1. 05. 01. 02

SEKOLAH PASCASARJANA UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

KHASYYATULLÂH DALAM AL-QUR ’AN

Tesis

Diajukan kepada Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta Untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Magister Dalam bidang Kajian Islam

Konsentrasi Tafsir Hadits

Oleh: Ummi Mardliyyah NIM : 03. 2. 00. 1. 05. 01. 02

Dosen Pembimbing: Dr. Yusuf Rahman, MA

SEKOLAH PASCASARJANA UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

LEMBAR PERNYATAAN

Yang bertanda tangan di bawah ini : Nama

: Ummi Mardliyyah

NIM

Program Studi

: Kajian Islam

Konsentrasi

: Tafsir Hadits

Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menyatakan bahwa tesis dengan judul "Khasyyatullâh dalam al-Qur'an" ini adalah karya asli penulis dan bukan hasil jiplakan. Jika di kemudian hari didapati kesalahan dalam tesis ini, maka penulis akan mempertanggungjawabkan konsekuensinya.

Demikian pernyataan ini dibuat dengan sebenarnya.

Tertanda,

Ummi Mardliyyah

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING

Tesis dengan judul "Khasyyatullâh dalam al-Qur'an" yang ditulis oleh Nama

: Ummi Mardliyyah

NIM

: 03.2.00.1.05.01.0022

Program Studi

: Kajian Islam

Konsentrasi

: Tafsir Hadits

Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta telah disetujui untuk dibawa ke sidang ujian tesis.

Pembimbing

Tanggal Dr. Yusuf Rahman, MA

Tanda tangan

LEMBAR PENGESAHAN

Tesis dengan judul "Khasyyatullâh dalam al-Qur'an" yang ditulis oleh : Nama

: Ummi Mardliyyah

NIM

Program Studi

: Kajian Islam

Konsentrasi

: Tafsir Hadits

Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta telah diujikan pada sidang ujian tesis yang dilaksanakan pada hari Selasa, tanggal 22 januari 2008. Tesis tersebut

telah diperbaiki sesuai dengan masukan dan arahan dari tim penguji serta diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister dalam bidang Kajian Islam Konsentrasi Tafsir Hadits.

Jakarta, 22 Februari 2008 Tim Penguji Sidang Ujian Tesis

Tanda tangan Tanggal

1. Dr. Yusuf Rahman, MA (Pembimbing / Penguji)

2. Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, MA. (Penguji I)

3. Prof. Dr. H.D. Hidayat, MA. (Penguji II)

4. Prof. Dr. Suwito, MA. (Ketua sidang merangkap penguji)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillâh wa al-syukru lillâh , segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, Tuhan seluruh alam. Atas pertolongan-Nyalah tesis ini dapat terselesaikan. Segala usaha dan jerih payah penulis dalam proses penulisan tesis ini, Dialah yang menentukan hasil akhirnya. Shalawat salam tercurah ke pangkuan Nabi tercinta, Muhammad SAW, para sahabat dan pengikut-pengikutnya yang setia mengamalkan sunnahnya.

Tesis dengan judul "Khasyyatullâh dalam al-Qur'an" ini dapat terselesaikan dengan dukungan dan bantuan banyak pihak. Oleh karena itu, penulis menghaturkan

penghargaan yang setinggi-tingginya dan terima kasih yang sebanyak-banyaknya kepada semua pihak yang turut berperan dalam proses penulisan tesis ini, di

antaranya :

1. Prof. Dr. Komarudin Hidayat selaku Rektor dan Prof. Dr. Azyumardi Azra selaku Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. Yusuf Rahman, MA., selaku dosen pembimbing sekaligus penguji, yang dengan penuh kesabaran dan ketelitian memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis hingga jangka waktu yang cukup lama. Semoga Allah SWT membalasnya dengan sebaik-baik balasan.

3. Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, MA., selaku penguji I, Prof. Dr. H.D.Hidayat, MA., selaku penguji II, dan Prof. Dr. Suwito, MA., selaku ketua sidang merangkap penguji, yang telah memberikan arahan dan masukan berharga untuk perbaikan tesis ini. Semoga Allah senantiasa berkenan melimpahkan rahmat-Nya.

4. Segenap dosen dan staf pengajar Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta yang telah mengalirkan ilmu dan membuka cakrawala berpikir penulis selama masa perkuliahan. Semoga Allah SWT mencatatnya sebagai bagian dari ilmu yang bermanfaat di dunia hingga akhirat.

5. Segenap staf karyawan di lingkungan sekretariat dan perpustakaan Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta, perpustakaan utama UIN Jakarta, perpustakaan Ma'had al-Hikmah Mampang dan perpustakaan Iman Jama' Lebak Bulus yang

6. Segenap asâtîdz di lingkungan Yayasan Perguruan Islam Darul Hikmah Bekasi, terutama Ustadz Dr. Ahzami, Ustadz Qusyairi, MA., Ustadz Muhammadun, MA., Ustadz Adib, MA. yang telah memperkenankan penulis memanfaatkan buku-buku koleksi perpustakaan pribadinya. Semoga Allah SWT membalas kemurahan hati itu dengan anugerah berlimpah dari-Nya.

7. Kedua orang tua penulis, H.Ahmad Suyuthi dan Hj.Muslikah yang tak pernah lelah mencurahkan cintanya pada penulis. Juga H.Siman dan Hj.Djazilah yang sudah penulis anggap sebagai orang tua sendiri. Semoga Allah SWT mengkaruniakan keberkahan di dunia dan keselamatan di akhirat.

8. Saudara-saudara penulis : mbak Is, mas Anis, lek Luthfi, mbak Us, dan lek Ratna yang turut membantu dan memotivasi penulis agar segera

menyelesaikan kuliah.

9. Abi al-mahbûb, Muhammad Yulianto yang dengan sabar membantu dan senantiasa memotivasi penulis, serta menjadi good partner dalam menjaga

buah hati, Fawwaz dan Qonita yang selalu meramaikan suasana. Semoga Allah SWT menyatukan hati kita dalam bingkai asmara, al-sakinah mawaddah dan rahmah.

10. Teman-teman di UIN Jakarta, di lingkungan pengajian Jatiluhur dan Jatiasih, serta segenap pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu. Penulis tidak dapat membalas segala bantuan yang telah diberikan, kecuali

dengan doa, semoga Allah SWT memberikan balasan yang jauh lebih baik dan mengkaruniakan kekuatan iman dan keluasan pengetahuan yang mampu menjadi penghantar menuju amal pengagungan Allah al-Rahmân.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan tesis ini masih terdapat banyak kekurangan, sehingga penulis mengharapkan saran dan masukan demi perbaikan tulisan ini.

Makin sering kita berinteraksi dengan al-Qur'an, kita akan makin tersadar bahwa hidup membutuhkan tuntunan dari-Nya. Dan sebaik-baik orang yang tersadar adalah orang yang mau berjalan mengikuti tuntunan itu.

Allahummaj'alnâ wa ahlanâ min ahl al-Qur'an.

PEDOMAN TRANSLITERASI

A. Berikut adalah daftar aksara Arab dan padanan dalam aksara latin :

Arab

Latin

Arab

Latin

a ﻁ th

zh

ﻉ ' (koma atas)

ts

ﻍ gh

kh

dz

ـﻫ h ش

sy

ﺀ ` (apostrof)

sh

dh h/t ﺓ

B. Vokal Vokal Pendek

Vokal panjang

C. Diftong

D. Kata Sandang Kata sandang yang dalam aksara Arab dilambangkan dengan huruf "لا", dalam aksara latin ditulis dengan huruf "al", baik diikuti huruf syamsiyah maupun huruf qamariyah. Contoh : al-khauf dan al-nabi. Khusus lafal ﷲا dalam aksara latin langsung ditulis Allah. Jika tersambung dengan kata lain, maka tulisannya langsung disambungkan, misalnya ﷲا ﺔﯿﺸﺧ menjadi khasyyatullâh.

E. Singkatan Singkatan

Keterangan

SWT

Subhânahu wa ta'âlâ

SAW

Shallallâhu 'alaihi wa sallam

AS

‘Alaih al-salâm

ra

radhiyallâh 'anhu

QS.

Qur'an Surat

HR

Hadits Riwayat

Cet

cetakan

h. halaman

j.

jilid / juz

t.p

tanpa penerbit

ttmp.

tanpa tempat penerbit tt. tanpa tahun

ABSTRAK KHASYYATULLÂH DALAM AL-QUR'AN

Dalam QS.Fathir : 28, al-Qur'an mensinyalir bahwa orang yang takut kepada Allah SWT hanyalah ulama (orang yang mempunyai pengetahuan). Pada ayat tersebut, kata yang digunakan untuk mengungkapkan "takut" itu adalah "yakhsyâ", bentuk fi'il mudhâri' dari mashdar "khasyyah". Sementara dalam QS.Ali Imran : 175, Allah SWT memberi perintah untuk takut kepada-Nya, jika seseorang mengaku

dirinya sebagai orang yang beriman. Pada ayat tersebut, kata yang digunakan untuk mengungkapkan "takut" itu adalah "khâfû", bentuk fi'il amr dari mashdar "khauf". Dari sini timbul pertanyaan : apa makna "al-khasyyah" dan "khasyyatullâh" serta "al- khauf" dan "al-khauf min Allah" dalam al-Qur'an?; apa kaitan rasa takut itu dengan adanya pengetahuan dan keimanan?; bagaimana al-Qur'an memposisikan rasa takut itu?; dan apa implikasinya dalam kehidupan?

Masalah inilah yang dibahas dalam tesis yang berjudul "Khasyyatullâh dalam al-Qur'an" ini. Dengan membahas tema khasyyatullâh dan "takut pada Allah SWT" yang diungkapkan dengan kata-kata sepadannya, maka pembahasan masalah dalam tesis ini menggunakan metode tafsir maudhu'i dengan analisis deskriptif, komparatif dan linguistik.

Setelah mengkajinya, penulis berkesimpulan bahwa ada tiga hal mendasar yang berkaitan dengan khasyyatullâh, yaitu keimanan, pengetahuan dan pengagungan. Dua poin terakhir ini sekaligus yang membedakan antara "al- khasyyah " dan "al-khauf" secara kebahasaan, sehingga "al-khasyyah" mempunyai arti lebih dibanding "al-khauf". Meskipun demikian, jika objek rasa takut itu adalah Allah SWT, maka ungkapan "al-khauf min Allah" memiliki arti yang tak jauh beda dengan ungkapan "khasyyatullâh". Kata-kata sepadan lain dari al-khasyyah dan al-khauf, yaitu al-rahbah, al-wajal dan al-isyfâq merupakan dampak lanjutan dari keduanya. Al-Qur'an memotivasi agar setiap mukmin mempunyai rasa itu. Rasa takut kepada

KHASYYATULLÂH IN THE HOLY QUR'AN

In sura Fathir : 28, the Qur'an has given the signal that the ones who have fear in Allah Ta'ala are "ulama" (a people who have knowledge). In this verse, the word which is being used to express the fear is "yakhsyâ", fi'il mudhâri' (the verb of present /future tense) from mashdar "khasyyah" (type of gerund). Meanwhile, in sura ali- Imran : 175, Allah Ta'ala said to be afraid to Him if some one admits as the faithfull person. In this verse, the word which is being used to express the fears is "khâfû", the

type of fi'il amr (command) from mashdar "khauf"(type of gerund). From this, there are some questions : What is the meaning of al-khasyyah and khasyyatullâh and also al-khauf and al-khauf min Allah in the Qur'an? what is the relation of the fears to the knowledge and the faith?

The above cases will be explored in this thesis with the title of "khasyyatullâh in the holy Qur'an". This research uses the method of tafsir maudhu'i with descriptive analysis, comparative and linguistics.

After doing this research, the author got the conclusion that there are three basic points which have the relationship with khasyyatullâh, there are the faith, knowledge and honoring God. Linguistically, the last point directly differ between al- khasyyah from al-khauf, so al-khasyyah has higher level meaning that al-khauf. In spite of that, if the object of fear is Allah Ta'ala, al-khauf min Allah has close meaning with khasyyatullâh. There are also some words that have close meaning with al-khasyyah and al-khauf, like al-rahbah, al-wajal and al-isyfâq which are the impact of al-khasyyah and al-khauf.

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Beragam kajian tentang Al-Qur`an dan mushthalahâtnya sudah banyak dilakukan oleh para ilmuwan dan mufasir. Namun keberagaman kajian tersebut seakan tidak pernah usang dan tidak ada hentinya. Al-Qur`an laksana samudera luas membentang yang tak akan pernah habis dikuras isinya oleh siapapun. Segala kandungannya senantiasa bermanfaat bagi kehidupan manusia.

Dalam upaya turut serta mengkaji kandungan Al-Qur`an, maka penulis memilih untuk mengangkat salah satu mushthalahât qur ’âniyah sebagai bahan penelitian, yaitu kata al-khasyyah. Suatu kata yang banyak terdapat dalam ayat-ayat Al-Qur`an, dan seringkali dikaitkan dengan nama-nama Allah, baik dalam redaksi lafazh jalâlah (Allah) atau menggunakan nama Allah yang lain, yaitu al-Rahmân dan juga Rabb.

Dalam al-Qur`an, menurut Muhammad Fu’ad al-Baqi dalam al-Mu ’jam al- Mufahras li alfâzh al-Qur'ân 1 , ada 40 ayat al-Quran yang mencantumkan kata al-

Khasyyah dalam berbagai shîghatnya. Setelah mengamatinya, penulis menemukan 48 term al-khasyyah dan isytiqâqnya yang masing-masing disebut dalam bentuk fi ’il mâdhi (khasyiya) sebanyak 6 kali, fi ’il mudhâri’ baik mufrad (yakhsya) maupun jama ’ (yakhsyauna, takhsyauna) 25 kali, fi’il mudhâri’ yang disertai lâm amr (walyakhsya) satu kali, fi ’il mudhâri’ yang disertai lâ nahy (lâ takhsya) 3 kali, fi’il

amr (wakhsyawn) 2 5 kali, dan isim mashdar (khasyyah)

9 kali. Ada beberapa ayat yang mengandung lebih dari satu bentuk kata al-khasyyah. Seperti Q.S. al-Maidah

1 Muhammad Fu’âd Abdul Bâqî, Al-Mu ’ jam al-Mufahras li Alfâzh al-Qur`an al-Karîm, (Kairo : Dâr al-Hadîts, 2001), h. 286-287. 2 Selain bentuk khasyyah, bentuk masdar lainnya adalah khasyyan, khusyâtan, khasyyânan, makhsyiyyah dan makhsyâh. Lihat Louis Ma’luf, al-Munjid fî al-Lughah, (Beirut : Dâr al-Masyriq, 1 Muhammad Fu’âd Abdul Bâqî, Al-Mu ’ jam al-Mufahras li Alfâzh al-Qur`an al-Karîm, (Kairo : Dâr al-Hadîts, 2001), h. 286-287. 2 Selain bentuk khasyyah, bentuk masdar lainnya adalah khasyyan, khusyâtan, khasyyânan, makhsyiyyah dan makhsyâh. Lihat Louis Ma’luf, al-Munjid fî al-Lughah, (Beirut : Dâr al-Masyriq,

Khasyyah adalah shîghat mashdar yang berasal dari kata “khasyiya –

yakhsy â”, semakna dengan kata “khâfa ( ﻑﺎﺧ ) dan ittaqâ ( ﻰﻘﺗﺍ ) ”, yang menunjukkan arti takut, khawatir dan panik (yadullu 3 ‘alâ khauf wa dzu’r). Kata al-

khasyyah 4 dalam bahasa Indonesia sering diterjemahkan dengan kata “takut”. Dan jika ditelusuri dalam kehidupan manusia, maka kebanyakan orang merasakan takut

jika berhadapan atau membayangkan akan ada hal-hal yang merugikan, membahayakan atau mencelakai dirinya di masa datang, baik dari sisi jasmani, jiwa

atau hartanya. Seperti takutnya orang miskin yang karena khawatir tidak mampu membiayai kebutuhan hidup diri dan anak-anaknya, maka ia nekat menggugurkan anak yang dikandungnya. Atau seperti seorang murid yang tidak siap menghadapi ujian, biasanya ia akan takut melihat hasil ujian tersebut. Ini bisa dianalogikan dengan seseorang yang merasa belum banyak amal shalehnya, akan takut membayangkan kejadian di akhirat ketika ia harus menerima ‘raport’ amalnya, dengan tangan kanan ataukah tangan kiri.

Sementara kata “takut” jika dipadankan dengan bahasa Arab, maka akan didapati sejumlah kosakata selain al-khasyyah. Sebagaimana yang disebutkan Ibn Qayyim al-jawziyyah dalam Madârij al-Sâlikîn, bahwa ada beberapa kata yang maknanya tak jauh beda dengan kata yang berarti “takut” (al- khasyyah), yaitu kata

3 Muhammad bin Makram Ibn Manzhûr al-Mishrî, Lisân al- ‘ Arab , (Beirut: Dâr Shâdir, tth.), jilid 14, h. 228; Murtadla al-Husainî al-Zubaidî, Tâj al-'arûs min Jawâhir al-Qâmûs, (Beirut: Dâr al-

Fikr, 1994), jilid 19, h. 375; Ibn Fâris, Mu ’ jam al-Maqâyîs fî al-Lughah , (Beirut: Dâr al-Fikr, 1994), cet. I, h. 317; Majduddin Muhammad bin Ya'qûb al-Fairûz Âbâdî, al-Qâmûs al-Muhîth, (Kairo: Syirkah Maktabah wa mathba’ah musthafâ al-Bâbî al-Halabî, 1952), cet. Ke-2, jilid 4, h. 326. Masing- masing kamus di atas menyebutkan bahwa kata “Khasyiya – Yakhsyâ” mempunyai 7 bentuk mashdar, yaitu: Khasyyan, Khisyyan, Khasyyâh, Makhsyâh, Makhsyiyah dan Khasyyân, kecuali Tâj al- 'Arûs yang mengganti Khisyyan dengan Khisyyân.

4 Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia al- ‘ Ashri , 4 Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia al- ‘ Ashri ,

beberapa kata yang maknanya berdekatan 6 dengan arti takut (khasyyah), yaitu : al- khauf, al-rahbah, al-wajal 7 dan al-haibah.

Dari sekian kosakata yang mempunyai arti takut tersebut, penulis lebih tertarik untuk menitikberatkan penelitian ini dengan memilih judul besarnya dari kata khasyyah , meski hal ini tidak berarti bahwa penelitian ini hanya mengambil dalil dan menganalisa ayat-ayat al-Qur`an yang mengandung kosakata khasyyah, melainkan

juga ayat-ayat lain yang mengacu pada arti khasyyatullâh. Ini berawal dari adanya pengistimewaan khasyyah dari kosakata-kosakata lain yang mengandung arti sama, yaitu 'takut' dalam Q.S. Fathir : 28, di mana Allah SWT berfirman :

Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang- binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya).

Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah

ulama. Sesungguhnya Allah Maha perkasa lagi Maha Pengampun. Ayat tersebut secara jelas memperlihatkan bahwa orang yang mempunyai khasyyah 8 (takut) kepada Allah SWT hanyalah 'ulama' . Rasa takut yang dimiliki oleh

'ulama', dalam ayat tersebut diredaksikan dengan khasyyah, bukan dengan kata lain yang sepadan. Mengapa hanya 'ulama' yang dikhususkan oleh Allah SWT dengan khasyyah ? 'Ulama' yang bagaimanakah yang mempunyai khasyyah kepada-Nya?

5 Ibn Qayyim al-Jawziyyah, Madârij al-Sâlikîn Manâzil Iyyâka Na ’ budu wa Iyyâka Nasta ’ în, (tahqîq Muhammad Hamid al-Fiqi), (Beirut : Dar al-Fikr),t.th., juz I, h. 512.

6 Dalam hal ini, al-Syirbâshî menggunakan redaksi alfâzh al-mutaqâribah in lam takun mutajânisah . Lihat Ahmad al-Syirbâshi, Mausû ’ ah Akhlâq al-Qur'ân , (Beirut : Dâr al-Raid al-‘Arabî,

1981, cet I, jilid 3, h. 41. 7 Ahmad al-Syirbâshi, Mausû ’ ah Akhlâq al-Qur'ân , hal.41.

Sementara di lain sisi, jika diperhatikan fenomena masyarakat muslim Indonesia sekarang, banyak di antara mereka yang rajin menghadiri majelis dzikir 9 ,

mendengar ceramah-ceramah agama Islam, mengikuti kajian ilmu-ilmu keIslaman, mengikuti istighotsah, atau menyaksikan acara dan tayangan yang bermuatan (atau sekedar ‘berbau’) religi di berbagai stasiun radio dan televisi. Apakah hal ini bisa dikatakan bahwa keikutsertaan dalam kegiatan keagamaan dan pengetahuan keagamaan yang didapatnya itu ada korelasinya dengan timbulnya rasa takut kepada Allah SWT? Dengan kata lain, apakah setiap orang yang berilmu (terlebih lagi ilmu

agama) akan punya rasa takut kepada Allah SWT? Kata lain yang sering digunakan untuk mengungkapkan takut kepada Allah SWT adalah khauf. Hal ini sebagaimana tercantum dalam QS.Ali Imran : 175 :

            Sesungguhnya mereka itu tidak lain hanyalah syaitan yang menakut-nakuti

(kamu) dengan kawan-kawannya (orang-orang musyrik Quraisy), Karena itu janganlah kamu takut kepada mereka, tetetapi takutlah kepadaku, jika kamu benar- benar orang yang beriman.

Secara bahasa, khauf berarti faza', 10 yang dalam bahasa Indonesia juga diartikan dengan "takut". 11 Jika takut kepada Allah SWT dalam QS. Fathir :28 seperti

tersebut di atas yang diredaksikan dengan khasyyah dikaitkan dengan pengetahuan – dengan dikhususkannya ulama-, maka dalam ayat ke-175 surat Ali Imran ini, takut kepada Allah SWT yang diredaksikan dengan khauf dikaitkan dengan syarat keimanan, seperti tampak pada akhir ayatnya : "jika kamu beriman".

9 Salah satu di antaranya yang cukup fenomenal adalah majelis dzikir “Adzdzikro” yang dipimpin oleh K.H.Arifin Ilham. Di setiap acara dzikir akbar, ratusan bahkan ribuan kaum muslimin

turut menghadirinya dengan sebagian besar di antara mereka mengenakan pakaian yang serba putih.

10 Muhammad bin Makram Ibn Manzhûr al-Mishrî, Lisân al- ‘ Arab , j. 9, h. 99.

11 Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia al- ‘ Ashri ,

Dikaitkannya "takut pada Allah SWT" yang diredaksikan dengan khauf, sebagaimana terdapat pada ayat di atas, dengan syarat keimanan, juga terdapat pada ayat yang menggunakan redaksi khasyyah. Hal ini terdapat pada QS. al-Taubah : 13 :

Mengapakah kamu tidak memerangi orang-orang yang merusak sumpah (janjinya), padahal mereka Telah keras kemauannya untuk mengusir Rasul dan merekalah yang pertama mulai memerangi kamu?. mengapakah kamu takut kepada

mereka padahal Allah-lah yang berhak untuk kamu takuti, jika kamu benar-benar orang yang beriman .

Dari sini timbul kesimpulan awal bahwa meskipun dalam bahasa Indonesia khasyyah dan khauf seringkali diartikan sama, yaitu "takut", namun khasyyah mempunyai sedikit 'kelebihan', karena jika khauf dikaitkan dengan keimanan, maka khasyyah dikaitkan dengan keimanan dan juga dengan pengetahuan.

Hal yang menjadi perhatian penulis disini adalah : apa arti al-khasyyah yang dimaksud dalam ayat-ayat al-Qur`an? Samakah pengertiannya dengan kata-kata lain yang mempunyai arti sama dalam bahasa Indonesia? Jika berbeda, di mana letak perbedaannya?.

Sedemikian kuat makna al-Khasyyah sehingga banyak dikaitkan dengan nama Allah (Khasyyatullâh), lalu bagaimana al-Qur`an memposisikan rasa “takut” itu? Apakah ia melarangnya? Atau justru memerintahkannya? Dalam hal-hal apa saja yang diisyaratkan al-Qur`an dengan kata al-Khasyyah?

Jika al-Qur`an memandang rasa takut (al-Khasyyah) sebagai hal yang harus diperhatikan oleh umat Islam, dengan banyaknya ayat yang menyebutnya dan bahkan dikaitkan dengan nama Allah SWT, maka bagaimana al-Qur`an memberi motivasi dan mencontohkan profil-profil orang yang punya rasa al-khasyyah? Kemudian yang lebih harus diperhatikan lagi adalah tentang pengaruh dan implikasi al-khasyyah dalam kehidupan manusia. Seberapa besar pengaruhnya ?

Terkait dengan ulasan tersebut di atas, penulis berfikir untuk mencari tahu hakikat takut dan hormat kepada Allah SWT dari ayat-ayat al-Qur`an, hal apa yang selayaknya dilakukan orang yang mengaku takut kepada Allah SWT, dan pengaruh apa yang dapat ditimbulkan jika seseorang mempunyai khasyyatullâh. Persoalan inilah yang penulis uraikan dalam kajian ini. Dalam hal ini, penulis kemudian memberikan judul : KHASYYATULLÂH DALAM AL-QUR`AN

B. Permasalahan

B.1. Identifikasi Masalah.

Dari judul di atas, ada beberapa permasalahan yang mungkin dapat ditimbulkan, antara lain :

a. Apa yang dimaksud dengan al-khasyyah dan khasyyatullâh?

b. Ada berapakah ayat al-Qur`an yang menyebutkan hal itu?

c. Apakah dalam ayat-ayat tersebut, khasyyatullâh diredaksikan dengan menggunakan kata khasyyah saja, atau ada juga dengan kata lain?

d. Apa ciri-ciri orang yang mempunyai khasyyatullâh?

e. Apa saja faktor-faktor yang dapat menimbulkan khasyyatullâh? f.Adakah al-Qur`an memberikan contoh kisah orang yang mempunyai

khasyyatullâh dan yang tidak memilikinya? g.Seperti apa profil orang yang memiliki khasyyatullâh pada masa sekarang?

h. Apakah Allah memerintahkan setiap muslim untuk memiliki khasyyatullâh?

B.2. Batasan dan Rumusan Masalah

Berdasarkan pemikiran-pemikiran yang menjadi latar belakang masalah dan sederet pertanyaan seperti yang tersebut di atas, serta supaya pembahasan tidak terlalu melebar sehingga tidak fokus, maka penulis akan membatasi masalah dengan membuat rumusan dalam beberapa point pertanyaan sebagai berikut:

1. Apa arti al-khasyyah dan Khasyyatullâh serta al-khauf dan al-khauf min Allah sebagaimana yang terkandung dalam al-Qur`an?

2. Di mana letak perbedaan antara keduanya?

3. Bagaimana cara al-Qur`an memotivasi manusia supaya mempunyai rasa khasyyatullâh ?

4. Apa implikasi khasyyatullâh dalam kehidupan manusia ?

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Mengungkap kandungan makna khasyyatullâh dalam ayat-ayat al-Qur`an.

2. Menganalisa tentang bagaimana cara al-Qur`an memotivasi manusia supaya mempunyai khasyyatullâh.

3. Menganalisa implikasi khasyyatullâh dalam kehidupan manusia. Sedangkan kegunaan penelitian, diharapkan pembahasan tentang

khasyyatullâh ini akan berguna untuk :

1. Menambah pemahaman umat Islam, khususnya penulis sendiri, tentang kandungan al-Qur`an mengenai khasyyatullâh.

2. Turut mengisi khazanah keilmuan tentang pemahaman al-Qur`an mengenai khasyyatullâh .

3. Menjadi sarana untuk mentadabburi ayat-ayat Allah yang tersurat dalam al- Quran, khususnya tentang khasyyatullâh.

4. Menjadi motivator bagi setiap orang supaya giat menanamkan khasyyatullâh.

D. Tinjauan Pustaka

Dalam masa penelusuran penulis selama ini tentang karya tulis ilmiah, penulis tidak menemukan karya tulis yang secara langsung mencerminkan pembahasan khasyyatullâh . Kata “secara langsung” yang penulis maksudkan di sini adalah buku atau karya tulis yang mencantumkan kata khasyyatullâh sebagai judulnya.

Dalam perjalanan selanjutnya, penulis menemukan buku yang mencantumkan kata al-khasyyah dalam sub bab bagian pembahasannya, dan beberapa karya tulis yang penulis baca dari internet, yang sedikit menyinggung tentang khasyyah atau kata

padanannya. Buku pertama berjudul Mawsû ’ah akhlâq al-Qur`an karya Ahmad al- Syirbâshî. Dalam buku tersebut, al-Syirbâshî- sebagaimana yang tercantum dalam judul buku – mengkategorikan al-khasyyah sebagai salah satu dari akhlak al-Qur`an. Hal ini tidak membahas tentang bagaimana akhlak yang dimiliki al-Qur`an, melainkan akhlak yang termuat dalam ayat-ayat al-Qur`an.

Seperti dalam tiap sub bab pembahasan akhlak-akhlak al-Qur`an, dalam membahas al-khasyyah inipun al-Syirbâshî memulainya dengan memaparkan arti kata yang dimaksud, menunjukkan kata-kata padanannya, lalu membahas ayat-ayat

yang memuat term al-khasyyah. 12 Dengan pola pembahasan seperti ini, ada sedikit persamaan antara isi tulisan al-Syirbâshî dengan bagian awal kajian penulis. Karena

pada bab kedua, penulis akan mengemukakan arti kata al-khasyyah dan khasyyatullâh secara khusus, serta kata-kata yang semakna dengannya berikut persamaan dan perbedaannya. Namun dalam bab ini, penulis juga akan mencantumkan pendapat para ulama–selain ahli bahasa- tentang arti kata al-khasyyah dan khasyyatullâh secara khusus.

Jika tulisan al-Syirbâshî terbatas pada hal-hal yang sudah penulis singgung di atas, maka terdapat perbedaan dengan kajian yang penulis lakukan. Karena pada bab- bab selanjutnya, penulis menggali tafsir al-Qur`an tentang uslûb al-Quran ketika Jika tulisan al-Syirbâshî terbatas pada hal-hal yang sudah penulis singgung di atas, maka terdapat perbedaan dengan kajian yang penulis lakukan. Karena pada bab- bab selanjutnya, penulis menggali tafsir al-Qur`an tentang uslûb al-Quran ketika

Tulisan kedua berjudul Khauf and Khashya (Fear and Reverence), karya Fathullah Gulen. 13 Di awal tulisannya, Gulen menjelaskan tentang pengertian “takut”

di kalangan sufi. Di sini, ia mengutip pendapat al-Qusyairy bahwa rasa takut bisa membuat seseorang menahan diri dari sesuatu yang tidak disukai Allah SWT. Pembahasan yang menyinggung tentang khasyyah baru ia kemukakan di pertengahan

tulisannya. Ia menulis, bahwa di kalangan sufi ada yang membedakan rasa takut menjadi dua, yaitu rasa takut yang didasari kekaguman (awe), dan rasa takut yang didasari penghormatan (reverence / khashya). Khasyyah yang sempurna adalah salah satu karakteristik para nabi. Hal ini dikarenakan khasyyah adalah rasa takut yang didasari adanya pengetahuan, sementara para nabi adalah orang-orang yang paling banyak pengetahuannya tentang Allah SWT. Dalam tulisan ini, ia mengutip pula ucapan para ulama’ seperti Abu Sulaymân Darani dan Shuhaib.

Tulisan selanjutnya berjudul Fear in the Islamic Tradition karya Akbar Muhammad. 14 Sebuah tulisan yang dikeluarkan oleh The Yale Journal for Humanities

in Medicine yang dipublikasikan tanggal 17 September 2004. Karena ini adalah jurnal tentang kesehatan, maka tulisan Akbar juga berisi tentang rasa takut dalam tradisi

keIslaman yang dikaitkan dengan kesehatan. Di awal tulisannya Akbar memberi pengantar bahwa dalam tradisi keyakinan umat Islam, Allah SWT adalah al-Syâfî, the Curer / Healer (Yang Maha Menyembuhkan). Allah tidak hanya pencipta manusia, namun Ia adalah pencipta segalanya, termasuk di dalamnya sebagai sumber kehidupan dan juga secara tidak langsung adanya sakit itu berasal dari-Nya. Sehingga

13 http://fethullahgulen.org/a.page/books/key.concepts.in.the.practice.of.sufism/a869.html Muhammad Fathullah Gulen, nama lengkapnya, adalah seorang ilmuwan kelahiran Erzurum

Turki Timur. Tulisan ini berasal dari sebuah buku yang ia tulis, yang berjudul Key Concepts in the Practice of sufism.

hal ini menjadikan seorang muslim harus benar-benar tunduk kepada Allah SWT dan percaya bahwa Ialah yang juga menyembuhkan sakit.

Salah satu cara yang ditempuh oleh seorang muslim untuk meminta kesembuhan itu adalah dengan cara shalat dan berdo’a. Di sini, akan didapati rasa takut yang ada pada diri setiap muslim, sehingga ia akan sungguh-sungguh patuh melaksanakan segala perintah Allah SWT. Akbar juga menyebut beberapa kosakata yang berkaitan dengan “takut”, yaitu huzn (sedih dan cemas), faza ’ (rasa sangat takut); dan hamm (cemas, khawatir, gelisah). Berkaitan dengan pengobatan terhadap

rasa takut dan sakit, umat Islam punya kepercayaan untuk menghafal beberapa ayat al-Quran dan hadits. Akbar menyebutkan tentang ‘formula’ ruqyah 15 yang banyak

diyakini umat Islam bisa menjadi sarana memohon kesembuhan pada Allah SWT. Selain dua judul tulisan di atas, ada beberapa tulisan lagi yang membahas tentang rasa takut, namun dibahas dari kacamata tasawuf, dan sebagian besar hanya dikaitkan dengan kata khauf, bukan khasyyah. Dari pemaparan di atas, dapat dilihat bahwa ada perbedaan-perbedaan yang mendasar dalam tulisan-tulisan tersebut dengan penelitian yang penulis lakukan.

E. Metodologi Penelitian.

Dengan mengambil suatu kata dari musthalahât qur ’âniyyah, maka kajian ini menggunakan metode tafsir maudhû'i (kajian tafsir tematik) dengan analisa deskriptif, komparatif dan linguistik. Langkah yang ditempuh adalah dengan mengkaji ayat-ayat Al-Qur`an yang secara redaksional mencantumkan kata al-

15 Ruqyah pada hakikatnya adalah doa dan permohonan perlindungan kepada Allah SWT agar Ia menghilangkan penderitaan dan menghilangkan penyakit. Ruqyah telah menjadi tradisi pada bangsa

Arab sejak jaman jahiliyah, namun ketika itu banyak mengandung kemusyrikan seperti meminta perlindungan kepada jin dan setan (animisme), dan mengandung perkataan (mantra) yang tidak dapat dimengerti maknanya. Rasulullah SAW kemudian meluruskannya dengan mengganti mantra-mantra tersebut dengan ayat-ayat al-Qur`an (seperti surat al-Fatihah dan ayat kursi), serta doa-doa permohonan kepada Allah SWT. Lihat Yusuf Qardhawi, Mawqif al-Islâm min al-Ilhâm wa al-kasyf wa al-Ru'â wa min al-Tamâim wa al-Kahânah wa al-Ruqâ (Pengobatan Spiritual dalam Tinjauan Islam,

khasyyah dan atau isytiqâqnya serta kata lain jika berobyek Allah SWT. Jika merujuk pada teori yang dikemukakan oleh al-Farmawî dalam al-Bidâyah fi al-tafsîr al-

maudhû 16 ’i , sebagaimana yang dianut juga oleh M. Quraish Shihab 17 , maka kajian ini termasuk jenis tafsir yang kedua, yaitu al-tafsîr al-maudhû ’i min khilâl al-Qur’ân.

Jenis yang pertama adalah al-tafsîr al-maudhû ’i min khilâl al-sûrah, yaitu kajian tafsir yang menyangkut tema pokok satu surat saja.

Kemudian jika merujuk pada pembagian jenis metode tafsir maudhu'i menurut al-Khâlidi dalam bukunya al-Tafsîr al-maudhû ’i baina al-nazhariyyah wa al-tathbîq, maka kajian yang penulis lakukan termasuk dalam jenis yang pertama yaitu al-tafsîr al maudhû ’i li al-musthalah al-Qurâni. Adapun jenis keduanya adalah al-tafsîr al- maudhû ’i li al-maudhû’ al-qur’ânî, dan jenis ketiganya adalah al-Tafsîr al-maudhû’i

li al-sûrah al-Qur 18 ’âniyyah. Dari dua macam pembagian jenis metode tafsir maudhu'i ini, penulis tidak

melihat adanya perbedaan yang tajam, karena sebenarnya al-Khâlidî juga membedakan objek kajian tafsir maudhu'i menjadi dua bagian sebagaimana al- Farmawî, yaitu ayat-ayat al-Qur`an dalam satu surat saja, dan ayat-ayat al-Qur`an secara menyeluruh. Hanya saja al-Khâlidî membuat bagian lebih detail dari jenis tafsir maudhû'i min khilâl al-qur ’ân, yaitu dengan membedakan antara tafsir maudhu'i yang mengangkat bagian dari redaksi ayat (musthalah qur ’âni) dan yang mengangkat obyek pembahasan tanpa menekankan pada aspek musthalahnya. Oleh karena itu, tidak menutup kemungkinan jika kajian yang penulis lakukan adalah

16 Al-Farmawî, al-Bidâyah fi al-tafsîr al-Maudhû ’ i, Metode Tafsir Maudhu'i : Suatu Pengantar (terj. Suryan A.Jamroh), (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1996), h. 35-36. 17 M.Quraish Shihab, Wawasan al-Qur`an, (Bandung : Mizan, 1998), cet.VIII, h. xii-xiii.

I baina al-Nazhariyyah wa al- Tathbîq , (Yordania : Dâr al-Nafâis, 1997), cet. I, h. 52-53. Pembagian jenis metode tafsir maudhu'i ke dalam tiga bagian ini sebagaimana juga diutarakan oleh Fahd al-Rumi. Lihat Fahd bin Abdurrahman bin Sulaiman al-Rumi, Buhûts fî Ushûl al-Tafsîr wa Manâhijuh, (Riyadh : Maktabah al-Taubah, 1420 H), cet. Ke-5, h. 66-69.

18 Shalâh Abdul Fattâh al-Khâlidî, al-Tafsîr al-Mawdhû ’

gabungan dua jenis pertama pembagian jenis metode tafsir maudhu'i versi al-Khâlidî. Hal ini dikarenakan selain mengangkat makna kata al-khasyyah dan isytiqâqnya dalam al-Qur`an, penulis juga membahas tema khasyyatullâh secara lebih luas dalam batasan kandungan makna ayat al-Qur`an.

Karena ini adalah kajian tafsir, maka sumber data diperoleh dari ayat-ayat al- Qur`an itu sendiri sebagai primary referencenya, dengan tambahan data dari kitab- kitab tafsir sebagai secondary referencenya. Di antara kitab tafsir yang akan penulis gunakan sebagai referensi adalah : Tafsîr al-Qur'ân al- ‘Azhîm karya Ibn Katsir dan

al-Durr al-Mantsûr karya al-Suyuthi dari segi tafsîr bi al-ma ’tsûr; Rûh al-Ma’âni karya al-Alusi, Anwâr al-tanzîl wa asrâr al-ta'wîl karya al-Baidhâwi dari segi tafsîr bi al-ra ’yi; serta kitab tafsir lainnya jika diperlukan baik dari segi-segi adab ijtimâ’i, lughawi , atau lainnya, seperti Fî Zhilâl al-Qurân karya Sayyid Quthb; Nazhm al- Durar fi tanâsub al-âyât wa al-suwar karya al-Biqâ’î; Mahâsin al-Ta ’wîl karya al- Qâsimî dan lainnya. Sementara untuk pencarian ayat-ayat al-Qur`an, penulis menggunakan al-Mu ’jam al-Mufahras li alfâzh al-Qur'ân al-Karîm karya Muhammad Fu’âd Abdul Bâqî.

Secara operasional, merujuk pada teori yang dikemukakan oleh al-Farmawî, maka penulis menempuh langkah-langkah sebagai berikut:

1. Menetapkan tema yang dibahas secara maudhu'i, yaitu al-khasyyah dalam al- Qur`an.

2. Melacak dan menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan al-khasyyah.

3. Mencari asbâb al-nuzûl ayat-ayat tersebut, jika ada.

4. Menganalisa munâsabah (korelasi) ayat-ayat tersebut dalam masing-masing surat.

5. Melengkapi pembahasan dan uraian dengan hadits bila dipandang perlu.

6. Mempelajari ayat-ayat tersebut secara sistematis dan menyeluruh.

7. 19 Menarik kesimpulan dari analisis tersebut.

F. Sistematika Penulisan

Pembahasan ini ditulis dalam lima bab. Dengan bab pertama berisi latar belakang masalah yang merupakan alasan penulis memilih judul, rumusan dan batasan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, tinjauan pustaka, metodologi dan sistematika penulisan.

Sebagai dasar pijakan pembahasan bab-bab selanjutnya, pada bab kedua penulis mengulas pengetahuan umum tentang arti kata al-khasyyah sebagaimana yang disebutkan dalam al-Qur`an baik menurut bahasa, maupun arti al-khasyyah menurut

beberapa ulama, serta perbedaan al-khasyyah dengan kata-kata lain yang serupa maknanya, baru setelah itu mengungkap makna khasyyatullâh secara khusus.

Setelah pengertian khasyyah dan khasyyatullâh diperjelas pada bab dua, maka pada bab ketiga penulis memaparkan tentang bagaimana cara al-Qur`an memotivasi umat Islam supaya mempunyai khasyyatullâh. Di sini dijelaskan ayat-ayat yang memerintahkan dan melarang al-khasyyah; dan bagaimana pula pujian dan janji al- Quran kepada orang-orang yang mempunyai khasyyatullâh, maupun celaan dan ancaman bagi yang tidak memilikinya. Dalam bab ini pula, penulis menggambarkan kisah orang-orang yang dicontohkan al-Quran memiliki khasyyatullâh, baik pada umat-umat terdahulu seperti para nabi dan rasul, maupun pada umat Islam seperti Rasulullah SAW dan para sahabatnya. Contoh ini perlu penulis utarakan sebagai gambaran kehidupan orang-orang yang mempunyai khasyyatullâh, sehingga kita dapat melihat pelajaran apa yang dapat dipetik dari kisah-kisah tersebut.

Pada bab keempat penulis menguraikan tentang implikasi al-khasyyah dalam kehidupan, baik secara individual maupun sosial. Pembahasan pada bab empat ini juga sekaligus jawaban tentang manfaat mengapa khasyyatullâh mempunyai pengaruh signifikan dalam kehidupan manusia.

Bab terakhir yaitu penutup pada bab kelima berisi kesimpulan dan saran.

BAB II SEKILAS TENTANG KHASYYATULLÂH

A. Pengertian Khasyyatullâh

Ditinjau dari asal katanya, khasyyatullâh terdiri dari dua kata, yaitu khasyyah dan Allâh, yang berarti bahwa khasyyah berobyek langsung kepada Allah. Khasyyah adalah shîghat mashdar yang berasal dari kata “khasyiya – yakhsyâ”, semakna dengan kata “khâfa ( ﻑﺎﺧ ) dan ittaqâ ( ﻰ ﻘﺗﺍ ) ”, yang menunjukkan arti takut,

khawatir dan panik (yadullu 1 ‘alâ khauf wa dzu’r). Kata al-khassyah juga bisa dipakai untuk arti metafora (ma 2 ĵ âz ), yang berarti rajâ'(mengharap) dan ‘alima (mengetahui).

Sementara jika dikaitkan dengan ayat-ayat al-Qur`an, al-khasyyah berarti rasa takut yang disertai penghormatan atau pengagungan, sebagian besar timbul dari

adanya pengetahuan tentang sesuatu yang ditakuti. 3 Hal ini didasarkan pada firman Allah Q.S. al-Fathir ayat 28 yang berbunyi :

1 Muhammad bin Makram Ibn Manzhûr al-Mishrî, Lisân al- ‘ Arab , (Beirut: Dâr Shâdir, tth.), jilid 14, h. 228; Murtadla al-Husainî al-Zubaidî, Tâj al-'arûs min Jawâhir al-Qâmûs, (Beirut: Dâr al-

Fikr, 1994), jilid 19, h. 375; Ibn Fâris, Mu ’ jam al-Maqâyîs fî al-Lughah , (Beirut: Dâr al-Fikr, 1994), cet. I, h. 317; Majduddin Muhammad bin Ya'qûb al-Fairûz Âbâdî, al-Qâmûs al-Muhîth, (Kairo: Syirkah Maktabah wa mathba’ah musthafâ al-Bâbî al-Halabî, 1952), cet. Ke-2, jilid 4, h. 326. Masing- masing kamus di atas menyebutkan bahwa kata “Khasyiya – Yakhsyâ” mempunyai 7 bentuk mashdar, yaitu: Khasyyan, Khisyyan, Khasyyâh, Makhsyâh, Makhsyiyah dan Khasyyân, kecuali Tâj al- 'Arûs yang mengganti Khisyyan dengan Khisyyân.

2 Ibn Manzhûr, Lisân al- 'A rab , h. 228-229; al-Zubaidî, Tâj al- 'Arûs, h. 376 3 Abu al-Qâsim al-Husain bin Muhammad al-ma'ruf bi Al-Râghib al-Ashfahânî, al-Mufradât

fî Gharîb al-Qur ’ ân , (Beirut: Dâr al-Ma’rifah, tth.), h. 149; Majduddin al-Fairûz Âbâdî, Bashâir Dzawî al-Tamyîz fî Lathâ ’ if al-Kitâb al-'Azîz , (Beirut: al-Maktabah al-‘Ilmiyah, tth.), juz. 2, h. 544; Ahmad

Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang- binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya).

Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah

ulama. Sesungguhnya Allah Maha perkasa lagi Maha Pengampun.

Ayat di atas menjelaskan bahwa orang yang punya rasa takut (khasyyah) kepada Allah hanyalah para ulama (orang-orang yang berpengetahuan). Yaitu orang

yang mengetahui kebesaran dan kekuasaan Allah. 4 Dengan demikian khasyyatullâh berarti rasa takut kepada Allah SWT yang disertai pengagungan kepada-Nya dan

didasari atas pengetahuan tentang-Nya.

Contoh lain penggunaan derivasi lafal khasyyah seperti terdapat dalam Q.S. al-Nisa ayat 25 :

Dan barangsiapa di antara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman, dari budak-budak yang kamu miliki. Allah mengetahui keimananmu; sebahagian kamu adalah dari sebahagian yang lain, karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka dan berilah maskawin mereka menurut yang patut, sedang merekapun wanita-wanita yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya; dan apabila mereka telah menjaga diri dengan kawin, kemudian mereka mengerjakan perbuatan yang keji (zina), maka atas mereka separo hukuman dari hukuman wanita- wanita merdeka yang bersuami. (Kebolehan mengawini budak) itu, adalah bagi

orang-orang yang takut kepada kesulitan menjaga diri (dari perbuatan zina) di

antaramu, dan kesabaran itu lebih baik bagimu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Ayat tersebut menjelaskan bahwa kebolehan menikahi budak-budak wanita hanya diperuntukkan bagi mereka yang selain perbelanjaannya tidak cukup untuk menikahi wanita merdeka, juga punya rasa takut jika tidak dapat menahan dirinya

sehingga terjerumus pada perbuatan zina, serta tidak mampu bersabar. 5 Pada Q.S. al-Nisa : 25 di atas, meski al-khasyyah tidak dikaitkan secara

langsung kepada Allah SWT, namun rasa takut itu bermuara pada Allah SWT. Ungkapan “takut zina” bukan berarti zina adalah sesuatu yang dihormati dan orang yang takut zina merasa bahwa zina lebih kuat daripada dia sehingga layak ditakuti,

tapi lebih berarti “takut kepada Allahlah yang menghalanginya melakukan zina”. Dari uraian di atas dapat penulis simpulkan bahwa rasa takut yang diredaksikan dengan kata al-khasyyah berarti mengandung arti khasyyatullâh (takut karena menghormati dan mengagungkan Allah, serta takut yang dilandasi pengetahuan tentang Allah). Penulis menyimpulkan demikian karena dari 48 kata khasyyah , dalam berbagai shîghatnya, yang terdapat pada 40 ayat, 30 di antaranya berobyek langsung kepada Allah (baik yang diredaksikan dengan Allah, Rahmân, Rabb , atau dhamîr yang merujuk kepada Allah). Sementara 18 lainnya terbagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama adalah kata-kata khasyyah, dalam berbagai shîghatnya, yang tidak berobyek langsung pada Allah, namun jika ditelusuri penjelasannya lebih lanjut, akan didapati bahwa khasyyah tersebut mengandung arti takut pada Allah. Hal ini sebagaimana terlihat pada contoh ayat di atas, yaitu Q.S.al- Nisa : 25. Sedangkan kelompok kedua adalah kata-kata yang mengandung larangan

5 al-Hâfizh 'Imâd al-Dîn Abu al-Fidâ' Ismâ'îl Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur'ân al-'Azhîm, (Beirut : Dâr Ihyâ' al- Turâts al-'Arabî, tth.), jilid I, h. 479. Ibn Katsîr juga menjelaskan alasan mengapa

bersabar untuk tidak menikahi budak wanita adalah lebih baik. Dengan mengutip qaul qadîm Imam Syâfi’î, Ibn Katsîr mengatakan bahwa jika laki-laki merdeka menikahi budak-budak wanita (yang bukan miliknya), maka anak yang dilahirkan oleh budak tersebut akan menjadi budak bagi tuan yang memiliki budak wanita tersebut, kecuali jika laki-laki merdeka tersebut adalah orang asing. Bandingkan dengan keterangan dalam Nashir al-Din Abu al-Khair Abdullah bin Umar al-Syirazi al- Baidhâwi, Anwâr al-tanzîl wa asrâr al-ta'wîl, (Beirut : Dar al-Fikr, 1982), j. 2, h. 174.

untuk takut pada selain Allah. Sebagaimana yang terlihat pada Q.S.al-Taubah : 13 yang berbunyi :

Mengapakah kamu tidak memerangi orang-orang yang merusak sumpah (janjinya)? Padahal mereka telah keras kemauannya untuk mengusir rasul dan merekalah yang pertama kali memerangi kamu. Mengapakah kamu takut kepada mereka? Padahal Allahlah yang berhak kamu takuti, jika kamu benar-benar orang yang beriman.

Ayat 13 pada surat al-Taubah di atas memuat dua bentuk kata khasyyah, yaitu

هﻮﺸﺨﺗ نأ dan ﻢﻬﻧﻮﺸﺨﺗ أ . Pada kata pertama, هﻮﺸﺨﺗ نأ, obyek khasyyah (dhamîr “hu”)

merujuk pada Allah. Sementara pada kata ﻢﻬﻧﻮﺸﺨﺗ أ, obyek khasyyah (dhamîr “hum”), merujuk pada orang-orang musyrik, sebagaimana yang disebutkan pada ayat-ayat sebelum ayat ini. Pada ayat ini Allah bertanya : “Mengapa engkau takut pada mereka (orang-orang musyrik?)” Meski redaksi yang digunakan tidak langsung menggunakan bentuk nahy (larangan), namun pertanyaan ini mengandung arti larangan. Al- Baidhawi mengatakan bahwa pertanyaan ini mengandung arti taubikh (menghinakan / merendahkan), yaitu Allah SWT merendahkan orang-orang yang takut pada orang-

orang musyrik. 6 Pada kelanjutan ayatnya, Allah SWT mencantumkan hal yang seharusnya dilakukan oleh orang beriman dengan ungkapan “Padahal Allahlah yang

berhak kamu takuti, jika kamu orang yang beriman”. Sementara pada ayat ketiga surat al-Maidah juga didapati dua derivasi kata khasyyah dalam bentuk larangan dan perintah, yaitu ﻢﻫﻮﺸﺨﺗ ﻻ dan نﻮﺸﺧا و . Larangan khasyyah tersebut berobyek dhamîr “hum” yang merujuk pada orang-orang kafir. Sedangkan perintah khasyyah berobyek pada dhamîr mutakallim yang merujuk pada Allah.

Al-khasyyah banyak disebutkan dalam ayat-ayat al-Qur`an. Mayoritas ayat yang berbicara tentang al-Khasyyah, menyebutnya dengan dikaitkan pada tiga nama

Allah, yaitu “Allâh, al-Rabb, dan al-Rahmân”. Ahmad Al-Syirbâshî menyimpulkan bahwa al-khasyyah yang dihubungkan dengan nama “Allâh” menyimpan arti “tidak ada yang layak disembah selain Allah dan tidak ada yang memiliki keagungan seperti

yang dimiliki Allah”. 7 Ia memberi contoh ayat al-Qur`an, yaitu : Q.S. al-Taubah ayat 18 :

Hanyalah yang memakmurkan mesjid-mesjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat

dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah, maka merekalah orang- orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk.

Ibn Katsîr menafsirkan lam yakhsya illa Allâh dengan lam ya'bud illa Allâh (tidak menyembah selain Allah). 8 Hal ini dapat dipahami pula bahwa orang yang

memakmurkan masjid hanyalah orang-orang yang menyembah Allah SWT karena takut pada-Nya (berniat untuk beribadah kepada Allah SWT).

Sementara jika al-khasyyah dihubungkan dengan nama “Rabb” , al-Syirbâshî menyatakan, bahwa hal itu mengandung maksud : "Dialah yang telah menciptakan dan mengatur semua makhluk-Nya. Dengan rahmat-Nya, Ia memberi petunjuk, bimbingan dan segala ketentuan (takdir) makhluk-Nya. Ia juga punya kuasa untuk menghilangkan semua karunia itu. Sehingga dengan demikian, layaklah ia untuk

ditakuti dan diagungkan manusia". 9 Al-Syirbâshî menyebut contoh ayat al-Qur`an tentang hal ini, antara lain :

7 al-Syirbâshî, Mausû ’ ah , h. 42.

8 Ibn Katsîr, Tafsîr, jilid 2, h.342. Bandingkan dengan Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Anshari al-Qurthubi, al-Jâmi' li ahkâm al-Qur'ân, (t.tmp. : t.p, tth.), j.2, h.91.

Q.S. al-Ra’ad ayat 21 :

dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan, dan mereka takut kepada Tuhannya dan takut kepada hisab yang buruk.

Ayat ini adalah kelanjutan dari ayat-ayat sebelumnya yang menerangkan tentang sifat-sifat orang yang berakal, yang dapat mengambil pelajaran dari Allah SWT. Orang yang berakal itu adalah orang yang menepati janji, dan juga orang yang mau menghubungkan tali persaudaraan. Dalam ayat inilah ditemui gambaran tentang

adanya bimbingan Allah SWT dalam kehidupan manusia, yaitu dalam hal hubungan kasih sayang (shilat al-rahim) yang seyogyanya dilaksanakan oleh manusia yang

berakal. 10 Selanjutnya al-Syirbâshî juga menyimpulkan bahwa al-khasyyah yang

dihubungkan dengan nama al-Rahmân menyimpan makna bahwa orang yang dihiasi sifat al-khasyyah layak mendapatkan ridho dari Allah. Sementara keridhoan Allah ini diberikan atas kemurahan-Nya sebagai Dzat yang mempunyai rasa kasih sayang (al- Rahm ân), dan Dzat yang memberikan segala kenikmatan (al-Mun ’im). Di antara rahasia lainnya adalah keinginan Allah untuk menyebutkan bahwa orang-orang yang mempunyai sifat al-khasyyah ini tidak pernah punya sifat gelisah dan cemas, karena ia berhubungan dengan Dzat Sang Sumber segala kasih sayang, yaitu al-Rahmân al-

Rahîm 11 . Dalam hal ini al-Syirbâshî mencontohkan Q.S. Yasin ayat 11

10 Lihat al-Qurthubi, al-Jâmi' li ahkâm al-Qur'ân, j.2, h. 112 dan Abdurrahman bin Abu Bakar bin Muhammad bin Sabiq al-din al-Khudhairi al-ma'ruf bi Jalal al-din al-Suyuthi, al-Durr al-

Mantsûr fi al-Tafsîr bi al-Ma'tsûr , (Beirut : Dar al-Fikr, 1990), j.1, h. 280. Al-Suyuthi juga menuliskan riwayat dari Sa'id bin Jubair yang mengartikan "wa yakhsyauna rabbahum" dengan "takut untuk memutuskan hal yang Allah perintahkan untuk disambungkan".