Situasi Masyarakat Arab Menjelang Turunnya Al-Qur ’ân
B. Situasi Masyarakat Arab Menjelang Turunnya Al-Qur ’ân
1. Situasi Sosial dan Budaya Berdasarkan karakteristik iklimnya, tradisi klasik bangsa Arab membagi jazirah Arab, pada dua bagian utama, masyarakat pedesaan di utara dan penduduk kota di selatan. Menurut Ahmad Amîn yang mengutip pendapat para ahli nasab,
11 Bernard Lewis, The Arabs in History, (New York: Harper&Row, t.th.), hal. 23. Sementara tentang asal semit, menurut Hitti, semit berasal dari kata syem yang tertera dalam perjanjian lama
(kitab kejadian, 10:1). Pendapat tradisional yang menyatakan rumpun bangsa semit adalah keturunan anak Nuh yang tertua, menurut Hitti tidak dapat lagi diterima. Para ahli berbeda pendapat mengenai asal-usul bangsa semit ini. Menurut Hitti, pada dasarnya semit merupakan rumpun bangsa yang merupakan asal dari pelbagai bangsa: Babilonia, Assyiria, Kaldea, Ameria, Aramia, Phoenisia, Ibrani, Arab dan Abissinia. Kesimpulan ini dihasilkan dari penelitian yang dilakukan oleh para ahli yang menyatakan bahwa dari sisi bahasa dan karakteristik orang-orangnya, bangsa-bangsa tersebut memiliki banyak kemiripan, sehingga dimungkinkan asal-usul dari pelbagai bangsa tersebut merupakan satu bangsa yang hidup dalam daerah tertentu.. Daerah ini, menurutnya dengan berdasarkan teori yang lebih valid adalah semenanjung Arab. Lihat Philip K. Hitti, History of The Arabs, Terj. R. Cecep Lukman Yasin, (Jakarta: Serambi: 2005), Cet ke-1, hal. 10-16
12 Bulan sabit subur adalah wilayah timur tengah yang terbentang dari Israel hingga teluk Persia, termasuk di dalamnya Sungai Tigris dan Efrat di Irak sekarang.
13 Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender; Perspektif Al-Qur ’ ân, (Jakarta: Paramadina, 2001), Cet ke-2, hal. 93 13 Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender; Perspektif Al-Qur ’ ân, (Jakarta: Paramadina, 2001), Cet ke-2, hal. 93
negeri Arab. 14 Perbedaan yang jelas antara bangsa Arab selatan dan utara ini, dapat ditelusuri
dari tiga hal. Pertama, bahasa masyarakat Arab selatan berbeda dengan bahasa yang digunakan masyarakat Arab utara. Orang Arab selatan menggunakan bahasa semit kuno, bahasa Ethiopia dan Akkadia, yang berkembang di Abissinia dan kolonis- kolonis dari Arab selatan yang berhasil membangun sentral peradaban pertama di Ethiopia. Sementara orang Arab utara mayoritas berkaitan dengan bahasa Yahudi dan Nabatea yang menjadi miniatur bahasa Al-Qur’ân. Kedua, penduduk bangsa Arab selatan mayoritas merupakan orang perkotaan, yang menetap di Yaman dan Hadramaut sementara masyarakat Arab utara merupakan orang-orang nomad yang tinggal di rumah-rumah sederhana di Hijaz dan Najd. Ketiga, mereka berbeda dalam tingkat peradaban pemikiran sebagai konsekuensi dari perbedaan cara hidup, bahasa
dan pergaulan dengan bangsa-bangsa lain. 15 Masyarakat Arab selatan merupakan komunitas pertama yang berhasil
mengembangkan dan mencapai kemajuan peradaban mereka sendiri. Kemajuan peradaban mereka, salah satunya disebabkan oleh perdagangan dan sistem irigasi yang canggih. Musnahnya sistem irigasi ini, sering disebut sebagai jebolnya bendungan Ma’rib dalam QS. 34:16. Fenomena ini, sangat kontras ketika dikaitkan dengan term jahiliyyah untuk menggambarkan kondisi masyarakat Arab menjelang kelahiran Islam. Istilah jahiliyyah yang sering diartikan dengan masa kebodohan atau
14 Ahmad Amîn, Fajr al-Islâm, (t.t.p: Syirkah al-Thabâ`ah al-Muttahidah, 1975), Cet. ke-11, hal. 5.
15 Ahmad Amîn, Fajr al-Islâm, hal. 5. Bandingkan dengan pernyataan Jurjî Zaidân yang menjelaskan bahwa Arab utara mencakup daerah antara Syam hingga batas Najd dan Hijaz, sementara
Arab selatan, mencakup seluruh Jazirah Arab, termasuk Hijaz, Najd, Yaman dan lainnya. Jurjî Zaidân, al-`Arab Qabla al-Islâm, hal. 36 Arab selatan, mencakup seluruh Jazirah Arab, termasuk Hijaz, Najd, Yaman dan lainnya. Jurjî Zaidân, al-`Arab Qabla al-Islâm, hal. 36
sebagai masyarakat bodoh dan barbar. 16
Berbeda dengan orang-orang Arab selatan, masyarakat Arab utara, kurang dikenal dalam percaturan dunia Internasional, hingga lahirnya Islam. Salah satu ciri mencolok para penduduk Arab di daerah ini dan ikut mewarnai dalam lahirnya konstruksi hukum Islam adalah kesukuan badui. Suku, atau sub kelasnya (banû), bagi
orang-orang Arab, tidak hanya merupakan satu-satunya unit atau basis kehidupan sosial, tetapi lebih jauh juga mencerminkan prinsip prilaku tertinggi. Solidaritas kesukuan merupakan basis keseluruhan gagasan moral paling mendasar yang di atasnya masyarakat Arab dibangun. Menjunjung tinggi ikatan kekeluargaan berdasarkan pertalian darah melebihi segalanya di dunia ini, dan melakukan segala sesuatu yang bisa mengangkat kehormatan serta keharuman nama suku, merupakan
tugas suci yang dibebankan kepada setiap individu anggota suatu suku. 17 Eksistensi kehidupan suku selain tergantung pada kreatifitas kelompok dan
penggembalaan binatang ternak, juga pada hasil penyerbuan ke negeri-negeri tetangga atau sejumlah kafilah yang masih berani mengadu nasib memotong padang pasir Arabia yang gersang dan tandus serta perompakan pada perkemahan suku lainnya. Fenomena razia dan perompakan ini dibentuk berdasarkan kondisi sosial- ekonomi gurun sehingga menjadi semacam institusi sosial. Fenomena ini merupakan bagian dari fondasi struktur ekonomi dari masyarakat badui penggembala. Di kawasan gurun pasir yang merupakan arena terbaik untuk unjuk kemampuan adu taktik dan otot, semangat peperangan dianggap sebagai kondisi mental kronis dan serangan kilat merupakan salah satu dari beberapa pekerjaan laki-laki. Pola
penyerbuan ini, dalam tradisi Arab diistilahkan dengan al-ghazw (serbuan kilat). 18
16 Philip K. Hitti, History of The Arabs, hal. 108 17 Bernand Lewis, The Arabs in History, hal. 29 18 Philip K. Hitti, History of The Arabs, hal. 30
Ghazw bagi orang Arab badui merupakan sejenis kegiatan yang menasional dengan cara-cara yang kasar dalam pembagian tanah yang tidak cukup untuk semua orang. Kelompok-kelompok penyerbu akan menyerang kafilah atau rombongan suku musuh dan merampas bahan makanan. Meskipun demikian, mereka berusaha menghindari pertumpahan darah kecuali dalam keadaan sangat mendesak karena
dapat berakibat timbulnya aksi balas dendam. 19 Di satu sisi, tradisi ini melahirkan nilai positif yaitu berhasil mengendalikan volume orang-orang yang perlu diberi
makan, meskipun tidak dapat meningkatkan ketersediaan cadangan makanan. Gagasan tentang ghazw beserta terminologinya, turut diadopsi oleh orang-orang muslim untuk melangsungkan penaklukkan Islam. Melalui mata rantai penyerbuan massif inilah, barang-barang dari daerah yang telah dihuni oleh para penduduk, masuk lewat suku-suku terdekat menuju ke suku-suku di daerah pinggiran pedalaman.
Di sisi lain, sebagian bangsa Arab nomad juga mengembangkan usaha di bidang pertanian. Selain di Yaman, di berbagai oase lainnya juga menjadi ladang pertanian bagi kalangan Arab. Daerah yang terpenting adalah Madinah, yang produk komoditi utamanya adalah kurma. Menariknya adalah yang menguasai bidang pertanian di Madinah dan oase-oase lainnya seperti Fadak, Tayma, Wadi al-Qura dan Khaibar adalah bangsa Yahudi, yang notabene merupakan profesi yang tidak wajar dilakukan mereka, apabila dilihat dari perkembangan kaum Yahudi dewasa ini yang aktif mendanai pelbagai kegiatan di berbagai belahan dunia lain sejak abad pertengahan hingga kini. Namun, monopoli di bidang pertanian ini, tidak diikuti dengan situasi mereka dalam ranah politik dan kekuasaan. Posisi mereka masih jauh
berada di bawah bangsa Arab, meskipun kelompok terakhir ini datang belakangan. 20 Sebagai salah satu usaha memelihara kerukunan hidup antar kelompok atau
klan, tradisi bangsa Arab tidak melegalkan kepemilikan secara pribadi atas sebidang
19 Karen Amstrong, Islam: A Short History, (New York: Modern Library, 2002), hal. 19 20 W. Montgomery Watt, Bell ’ s Introduction To The Qur ’ an, (Edinburgh: Edinburg
University Press, 1994), Cet. ke-5, hal. 11 University Press, 1994), Cet. ke-5, hal. 11
pribadi. 21 Organisasi politik bangsa ini dipimpin oleh seorang kepala suku yang disebut
syaikh, seorang pemimpin yang dipilih dari suku yang lebih senior dan berpengaruh, biasanya dari anggota yang memiliki hubungan famili, atau anggota keluarga besar
syaikh yang dikenal dengan ahl al-bait. Syaikh haruslah orang kaya dan suka berderma pada fakir miskin dan kepada pendukungnya. Ia harus seorang yang adil dan bijak, sabar, pemaaf serta rajin bekerja keras sehingga layak menjadi panutan lainnya. Dalam menjalankan tugas, syaikh memperoleh nasehat dari dewan (konsul) yang kedudukannya lebih tinggi yang disebut sebagai dewan majelis. Anggota majelis terdiri dari kepala-kepala keluarga dan wakil-wakil klan yang ada dalam suku. Majelis berfungsi sebagai penyambung lidah rakyat. Syaikh bertugas untuk menyelesaikan perselisihan internal sesuai dengan tradisi kelompok, namun ia tidak
berhak mengatur dan memerintah. 22 Kehidupan suku diatur oleh adat yang disebut dengan sunnah, yaitu praktek
yang sudah biasa dilakukan oleh nenek moyang. 23 Adat memiliki kekuatan memaksa yang merupakan preseden yang dihormati oleh masyarakat umum, dan bentuk sangsi
kepada pelanggarnya hanya dilakukan menurut pendapat umum saja. Majelis ini merupakan badan perwakilan dan instrumen satu-satunya untuk bertindak keluar. Puncak hukuman sosial untuk mengatasi anarki dan mengeliminir kekerasan antar suku adalah adat hutang darah (lex talionis), yaitu nyawa dibalas nyawa, mata dengan
21 Bernand Lewis, The Arabs in History, hal. 29 22 Ira M. Lapidus, A History of Islamic Societies, (Cambridge: Cambridge University Press,
2002), hal. 12 23 Dalam literatur Arab, sunnah dinyatakan sebagai sejarah atau jalan, baik yang bagus
maupun jelek. Sebagai bangsa yang sangat menghormati tradisi, bangsa Arab sulit melepaskan diri dari tradisi meskipun tradisi tersebut tidak logis dan bertentangan dengan agama. Lihat Ibnu Manzhûr, Lisân al-`Arab, (Mesir: al-Dâr al-Mishriyyah, t.th.), Juz 17, hal. 89 maupun jelek. Sebagai bangsa yang sangat menghormati tradisi, bangsa Arab sulit melepaskan diri dari tradisi meskipun tradisi tersebut tidak logis dan bertentangan dengan agama. Lihat Ibnu Manzhûr, Lisân al-`Arab, (Mesir: al-Dâr al-Mishriyyah, t.th.), Juz 17, hal. 89
disebut dengan diat (tebusan), yaitu penebusan harta atau materi, misalnya satu jiwa ditebus dengan sejumlah unta yang disepakati. 24
Pelbagai hal yang bertali-temali dengan identitas bangsa Arab ini, memiliki kedudukan penting sebagai latar historis untuk memahami berbagai gagasan yang terkandung di dalam Al-Qur’ân. Nilai-nilai kesukuan yang terkandung di dalam tradisi bangsa Arab, sebagiannya secara radikal ditolak tegas oleh Al-Qur’ân, dan sebagiannya lagi diterima dengan dimodifikasi dan dikembangkan sesuai dengan ajaran Islam.
Seiring dengan perpindahan masyarakat nomaden untuk mencari tempat tinggal, di setiap tempat yang disinggahinya, didirikan kota-kota yang mencerminkan tingkatan masyarakat lebih maju. Kota yang terpenting dari kota-kota ini adalah Makkah, yang terletak di Hijaz. Makkah merupakan satu di antara beberapa tempat di Arabia yang memiliki posisi sentral, yang menjadi tempat transit warga inidividual yang terusir dari kesukuan, sejumlah pengungsi dan pedagang asing. Di kota tersebut masing-masing klan memiliki majelis dan batu pujaan tersendiri, dan persatuan klan- klan yang telah membentuk kota itu dilukiskan dengan koleksi batu-batuan yang diletakkan dalam satu pusat tempat suci di bawah satu panji-panji. Bangunan yang terbentuk kubah dan populer dengan sebutan Ka’bah, merupakan simbol perserikatan kota Makkah, di mana konsulat yang disebut Mala (kaum bangsawan), terdiri dari
24 W. Montgomery Watt, Islamic Political Thought, (Edinburg: Edinburg University Press, 1968), hal. 6 24 W. Montgomery Watt, Islamic Political Thought, (Edinburg: Edinburg University Press, 1968), hal. 6
kemerdekaan bertindak. 25 Sejarah awal kota Makkah tidak dapat diketahui secara pasti. Latar historis
penemuannya kemungkinan besar berawal dengan ditemukannya Macoraba oleh orang-orang Yunani di bawah Ptolemius sebagai ahli bumi. Makkah diambil dari bahasa Saba, Makuraba, yang berarti tempat suci. Menurut Lewis, Tempat ini pada awalnya ditemukan sebagai sebuah hutan, yang terletak di pinggir jalan perdagangan
rempah-rempah Arab selatan menuju utara. Makkah terletak di titik yang berada di persimpangan garis komunikasi membujur ke selatan menuju Yaman, ke utara menuju laut tengah, ke timur menuju teluk Persi, ke barat menuju pelabuhan Jeddah
di laut merah, dan jalan laut menuju Afrika. 26 Sementara dalam literatur kesarjanaan Islam, disebutkan bahwa Makkah
merupakan suatu tempat yang pertama kali ditemukan oleh nabi Ibrahim yang mengembara bersama Hajar dan puteranya Isma’il. Nabi Ibrahim lalu meninggalkan
anak dan isterinya tersebut di tempat itu. 27 Sebagaimana diberitakan Al-Qur’ân (14:37) bahwa tempat itu merupakan lembah yang tandus, tidak mempunyai tanam-
tanaman. Bahkan, dalam literatur lainnya, walaupun hal ini diragukan validitasnya, jauh sebelum nabi Ibrahim, Makkah, telah ditemukan oleh Adam as. Ketika diturunkan dari Surga di wilayah India, Adam diperintahkan untuk membangun tempat ibadah, lalu ia sampai ke Makkah setelah melalui perjalanan selama 40 tahun
dan di sana ia membangun Ka’bah dengan meniru bentuk aslinya di surga. 28 Setelah banjir besar, Ka’bah dibangun kembali oleh Ibrahim dan Isma’il. Setelah masa
keduanya, pemeliharaan Ka’bah tetap berada pada keturunan Isma’il hingga akhirnya
25 Ira Lapidus, A History of Islamic Societies, hal. 17 26 Bernand Lewis, The Arabs in History, hal. 34 27 Muhammad bin Jarîr al-Thabarî, Tafsîr Jâmi` al-Bayân fî Ta ’ wîl Al-Qur ’ ân, (Beirut: Dâr
al-Kutub al-Ilmiyyah, 1999), Cet. ke-3, juz 7, hal. 461 28 Muhammad bin Ishâq, Sîrah al-Nabî, (Al-Qahirah: Maktabah al-Madanî, 1963), Juz 1, hal.
72, lihat juga Muhammad bin Abdullah al-Azraqî, Akhbâr Makkah, (Makkah: Maktabah al-Tsaqâfah, 1988), Cet ke-5, Juz 1, hal. 46 72, lihat juga Muhammad bin Abdullah al-Azraqî, Akhbâr Makkah, (Makkah: Maktabah al-Tsaqâfah, 1988), Cet ke-5, Juz 1, hal. 46
Ketika Makkah dikuasai oleh suku Quraisy, yang dalam waktu singkat berkembang menjadi saudagar-saudagar sukses, mereka membuka jalur perdagangan melalui perjanjian yang dibuat dengan penguasa-penguasa Byzantium, Abissinia dan
negeri-negeri perbatasan Persia. Selama dua kali dalam setahun, mereka mengirimkan kafilah-kafilah dagang. Pada musim dingin, mereka pergi ke Yaman, sementara pada
musim panas mereka pergi ke Syam. 29 Sebagai sarana memacu perkembangan roda perekonomian, di daerah-daerah
tetangga Makkah didirikan sejumlah fair (pasar besar musiman). Fair-fair tersebut merupakan pusat kegiatan ekonomi yang diakui secara sah oleh Makkah dan ikut membantu memperluas pengaruh serta meningkatkan prestise kota Makkah di tengah- tengah kalangan masyarakat nomaden. Fair paling penting adalah yang berlokasi di Ukaz, suatu tempat di antara Nakhlah dan Thaif di daerah Hijaz, yang dirayakan pada
bulan dzulka’dah. 30 Pasar ini bukan hanya sebagai tempat perdagangan saja namun juga sebagai ajang berkumpulnya para penyair-pahlawan untuk mempertontonkan
keahlian dan memperebutkan posisi utama. Menurut legenda, setiap puisi yang mendapat posisi terbaik dalam arena ini, kemudian ditulis dengan tinta emas dan digantungkan di dinding ka’bah. Beberapa karya puisi yang populer di dunia sebagai warisan penting dari budaya Arab pra Islam adalah yang populer dengan julukan
“tujuh mu’allaqat”. 31
29 Mahmûd bin Umar al-Zamakhsyarî, Tafsîr al-Kasyyâf, (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995), Cet. ke-1, Juz 4, hal. 795
30 Ahmad bin Ishâq al-Ya’qûbî, Târîkh al-Ya ’ qûbî, (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, t.th.) Juz 1, hal. 231
31 Mu’allaqât merupakan istilah sastera yang diucapkan bagi himpunan puisi yang dikarang oleh para penyair Arab jahiliyyah yang berbeda dari syair lainnya dengan ketinggian maknanya,
keindahan tata bahasanya serta panjang syairnya. Para pujangga tersebut adalah Imru’ al-Qais bin
Pada abad ke-6 Masehi, hanya Makkah yang teguh menentang trend perpecahan politik dan sosial yang terjadi antara dua imperium besar yang berkuasa waktu itu, Imperium Byzantium dan Sassania. Masyarakat Makkah memfokuskan perhatian pada persoalan-persoalan sosial dan ekonomi dengan tetap memelihara relasi dengan daerah-daerah yang berada di bawah kekuasaan kedua imperium tersebut. Ka’bah, yang merupakan salah satu tempat suci keagamaan terbesar di kawasan jazirah Arab, memikat para peziarah dari pelbagai penjuru Arabia dan menjadi pusat penyimpanan berbagai macam berhala serta dewa-dewa kesukuan serta
menjadi tujuan peziarahan (haji) tahunan. Periode pelaksanaan peziarahan ini disepakati sebagai bulan-bulan gencatan senjata (asyhur al-hurum), yang mana periode tersebut tidak hanya diperuntukkan untuk melakukan kegiatan ritual, melainkan juga untuk mendamaikan perselisihan, dan sudah barang tentu sebagai kesempatan berdagang. “Gencatan senjata di bulan suci” mencakup bulan dzulqa’dah, dzulhijjah, muharram serta bulan rajab. Tiga bulan pertama dikhususkan untuk pelaksanaan ritual agama, dan bulan ke empat (rajab) untuk melakukan aktivitas
dagang. 32 Posisi Makkah yang strategis dan relasi aktif dengan negeri-negeri tetangga
ini, meniscayakan masuknya pelbagai budaya dan kepercayaan asing yang disebarkan oleh para pedagang baik yang datang melalui kerajaan Ghassan, Lakhmi dan Yaman. Meski demikian, tidak dapat disimpulkan bahwa Hijaz mengalami kontak budaya
Hajar, al-Nâbighah al-Dzibyânî, Zuhair bin Abi Salmî, Tharafah bin `Abd bin Sufyân, `Antarah bin Syaddâd, Alqamah bin `Abdah bin Nu’mân, al-Ashma`î dan lainnya. Lihat Abdul Azîz bin Ahmad al- Faishal, al-Mu`allaqât al-`Asyr, (Riyadh: Fihrisah Maktabah al-Mulk Fahd, 2002), Juz 1, hal. 2, Muhammad bin Umar bin Katsîr, al-Bidâyah wa al-Nihâyah, (Beirut: Maktabah al-Ma’ârif, t.th.), Juz
2, hal. 220 32 Ira Lapidus, A History of Islamic Societies, hal. 14, Philip K. Hitti, History of The Arabs,
hal. 128. Mengenai penentuan bulan-bulan yang dimulyakan ini, lihat Ibnu Hisyâm, al-Sîrah Nabawiyyah, (Beirut : Dâr Ihya’ al-Turâts al-Arabî, t.th.), Juz 1, hal. 161, Ibnu Katsîr, al-Bidâyah wa al-Nihâyah, Juz 2, hal. 204, Abdurrahman bin Abi Bakr al-Suyûthî, Târîkh al-Khulafâ ’ , (Mesir: al- Mathba’ah al-Sa`âdah, 1952), Juz 1, hal. 201. Selain itu, hal ini didukung oleh hadits shahîh yang menyatakan bahwa bulan-bulan mulia tersebut adalah muharram, rajab, dzulhijjah dan dzulka`dah. Lihat Muhammad bin Ismâ’îl, Shahîh al-Bukhârî, (Beirut: Dâr Ibni Katsîr, 1987), Juz 4, hal. 1712, Muslim bin Hajjâj, Shahîh Muslim, (Beirut: Dâr Ihyâ’ al-Turâts al-Arabî, t.th.), Juz 3, hal. 1305, Sulaiman bin al-Asy’ats, Sunan Abî Dâud, (Beirut: Dâr al-Fikr, t.th.), Juz 1, hal. 599, Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad, (Kairo: Muassasah al-Qurthubah, t.th.), Juz 5, hal. 37 dan 72 hal. 128. Mengenai penentuan bulan-bulan yang dimulyakan ini, lihat Ibnu Hisyâm, al-Sîrah Nabawiyyah, (Beirut : Dâr Ihya’ al-Turâts al-Arabî, t.th.), Juz 1, hal. 161, Ibnu Katsîr, al-Bidâyah wa al-Nihâyah, Juz 2, hal. 204, Abdurrahman bin Abi Bakr al-Suyûthî, Târîkh al-Khulafâ ’ , (Mesir: al- Mathba’ah al-Sa`âdah, 1952), Juz 1, hal. 201. Selain itu, hal ini didukung oleh hadits shahîh yang menyatakan bahwa bulan-bulan mulia tersebut adalah muharram, rajab, dzulhijjah dan dzulka`dah. Lihat Muhammad bin Ismâ’îl, Shahîh al-Bukhârî, (Beirut: Dâr Ibni Katsîr, 1987), Juz 4, hal. 1712, Muslim bin Hajjâj, Shahîh Muslim, (Beirut: Dâr Ihyâ’ al-Turâts al-Arabî, t.th.), Juz 3, hal. 1305, Sulaiman bin al-Asy’ats, Sunan Abî Dâud, (Beirut: Dâr al-Fikr, t.th.), Juz 1, hal. 599, Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad, (Kairo: Muassasah al-Qurthubah, t.th.), Juz 5, hal. 37 dan 72
kelompok ini. Sementara menurut al-Ya’qûbî, Waraqah merupakan pemeluk agama Kristen. 33
2. Situasi Keagamaan Tradisi keagamaan jazirah Arab, tidak dapat dilepaskan dari tradisi Mesopotamia yang dibentuk di Mesopotamia oleh para imigran dari jazirah Arab. Tradisi ini kemudian menjadi sasaran gagasan reformatif dari Isma’il as dalam menyebarkan gagasan keagamaan di Arabia. Gagasan ini kemudian bertemu dengan tradisi Yahudi dan Kristen yang masuk ke Arabia melalui para Imigran yang melarikan diri dari kejaran para penguasa yang anti terhadap mereka. Penganiayaan yang diterima oleh Orang Ibrani, mendorong mereka untuk lari ke Arabia barat laut. Sekelompok dari mereka berhasil masuk Yaman di mana mereka menarik raja masuk agama mereka dan mengendalikan negara. Demikian pula, Kristen yang masuk ke Arabia merupakan orang-orang pelarian dari kerajaan Byzantium yang berusaha memaksakan faham yang menjadi mazhab resmi Romawi. Oleh karena itu, orang Kristen di sabit subur barat dan Jazirah menganut tradisi mereka sendiri, yang
sebagian besar bertentangan dengan doktrin Romawi. 34 Namun, pengaruh yang muncul dari agama Yahudi dan Kristen anti mazhab
Romawi ini tidak dapat dijadikan batu pijakan untuk menyimpulkan bahwa kedua agama tersebut telah menyebarkan gagasan keagamaan mereka secara massif di
33 Ahmad bin Ishâq al-Ya’qûbî, Târîkh al-Ya ’ qûbî, Juz 1, hal. 220 34 Ismâ`îl R. al-Farûqi & Louis Lamyâ’ al-Farûqi, The Cultural Atlas of Islam, hal. 61 33 Ahmad bin Ishâq al-Ya’qûbî, Târîkh al-Ya ’ qûbî, Juz 1, hal. 220 34 Ismâ`îl R. al-Farûqi & Louis Lamyâ’ al-Farûqi, The Cultural Atlas of Islam, hal. 61
dengan salah satu dari kedua agama monotheis tersebut. 35 Secara umum, agama atau kepercayaan mayoritas bangsa Arab nomad pada
dasarnya adalah animisme dan polytheisme. Menurut Watt, ada empat kepercayaan bangsa Arab yang disinggung dalam Al-Qur’ân. Pertama, paganisme, kedua, keyakinan bahwa Allah sebagai Tuhan tertinggi, ketiga, fatalisme dan keempat
monotheisme. 36
Mengenai animisme (sebuah kepercayaan bahwa alam ini atau semua benda memiliki roh atau jiwa), wujud yang disembah pada asalnya merupakan penghuni dan pelindung tempat-tempat tertentu. Perbedaan yang tegas antara oasis dan gurun memberi mereka konsep penting paling awal tentang dewa yang memiliki peran penentu. Roh pemilik tanah yang subur kemudian dipandang sebagai dewa yang memberi karunia; sementara roh pemilik tanah gersang dipuja sebagai dewa jahat yang harus ditakuti. Bahkan setelah konsep dewa terbentuk, benda-benda alam seperti pohon, sumur, gua, batu, tetap dipandang sebagai obyek sakral, karena dapat
dijadikan media untuk berhubungan dengan dewa. 37 Selain pemujaan terhadap hal tersebut, di tengah masyarakat perkotaan Hijaz,
yang jumlahnya hanya sekitar 17 persen dari masyarakat Hijaz, berkembang pula tradisi pemujaan terhadap benda-benda langit, simbol dari polytheisme. Tiga dewi paling penting yang menjadi pusat sesembahan masyarakat Hijaz adalah al-Lât, `Uzzâ, dan Manâh yang berada di daerah-daerah tetangga Makkah, Tha’if, Nakhla dan Qudaid. Sementara 5 dewa lainnya Wadd, Suwa’, Yaghûts, Ya’ûq, Nasr, yang
35 Di antara kosa kata Arab kuno tersebut yang diadopsi dari bahasa Aramaik di antaranya adalah kanîsah dan bî ’ ah (gereja), qindîl (lampu, berasal dari bahasa latin candela), nîr (kendali),
shadâqah (santunan) dan lainnya. 36 Montgomery Watt, Muhammad ’ s Mecca, (Edinburgh: University Press, 1988), hal. 26
37 Hitti, History of The Arabs, hal. 124 37 Hitti, History of The Arabs, hal. 124
Dalam beberapa literatur klasik disebutkan ketika masih lemah, Muhammad tergoda untuk mengakui al-Lât, `Uzzâ, dan Manâh untuk berkompromi dan menghargai kaum Quraisy yang menyembah berhala-berhala tersebut, namun tidak lama kemudian, Allah menginformasikan bahwa tindakannya tersebut tidak benar dan merupakan hasil dari godaan setan setelah melihat keinginan-keinginan beliau untuk
mempersatukan umat Islam dan kaum Quraisy. 39 Agama atau kepercayaan bangsa Arab ini menurut Hitti, merepresentasikan
bentuk keyakinan bangsa semit primitif paling awal. Pelbagai kultus orang Arab selatan terhadap benda-benda langit, kuil dan pengorbanan yang rumit menggambarkan sebuah tahap perkembangan yang lebih tinggi dan lebih maju yang telah dicapai oleh masyarakat perkotaan. Tradisi penyembahan terhadap benda-benda
38 Montgomery Watt, Muhammad ’ s Mecca, hal. 29. Dewa lainnya, yang dianggap sebagai dewa tertinggi di Ka’bah adalah Hubal (dari bahasa Aramaik, yang berarti roh). Ia direpresentasikan
dalam bentuk manusia. Pada asalnya tangan kanannya terpotong, lalu oleh suku Quraisy ia diberi tangan yang terbuat dari emas. Terdapat beberapa riwayat yang menyatakan Hubal dibawa oleh `Amr bin Luhay dari Irak, tempat Hît, ke Makkah lalu disimpan di sumur Akhsyâf yang berada di dalam Ka’bah. Lalu patung tersebut disembah oleh masyarakat Makkah. Setiap orang yang datang ke Makkah, selalu melakukan tawaf dan mencukur rambut di sana. Di samping itu, Hubal berfungsi sebagai tempat untuk mengundi nasib dari pelbagai persoalan penting seperti jodoh, penggalian sumur dan lainnya. Ia memiliki sesembahan 100 ekor unta. Al-Azraqî, Akhbâr Makkah, hal. 118, Yâqût bin Abdullah al-Hamawî, Mu ’ jam al-Buldân, (Beirut: Dâr Yamâmah, t.th.), Juz 5, hal. 391
39 Di dalam beberapa kitab tafsir kasus pengakuan nabi Muhammad terhadap para Tuhan Arab ini dijelaskan dalam hadits yang populer dengan sebutan hadits gharânîq, yang menyebutkan
bahwa nabi ketika itu sedang berbincang-bincang dengan kaum Quraisy dan mereka meminta agar nabi lebih bersikap lunak kepada para Tuhan mereka. Mendengar permintaan tersebut, terbetik dalam diri nabi saw. untuk mengapresiasi keinginan kaumnya tersebut, lalu turun surah al-Najm ayat 1-2 hingga ayat 19-20. Ketika membaca 2 ayat terakhir ini, beliau digoda setan sehingga dari ucapannya keluar pernyataan yang mengakui eksistensi Tuhan-Tuhan Arab tersebut, al-Lât, al-Uzzâ dan Manâh dan mereka diharapkan pertolongannya. Ketika sampai di akhir surah, beliau sujud tilâwah dan kaum Quraisy yang mendengar pernyataan nabi saw. tersebut, merasa gembira dan ikut sujud bersamanya karena menganggap sikap nabi saw. mulai melunak dengan mengakui para Tuhan mereka. Tidak lama kemudian, Jibril datang pada nabi saw. dan menginformasikan padanya bahwa ia telah terkena tipu- daya setan hingga akhirnya turun surah al-Hajj (22): 52-53 yang membenarkan bahwa nabi telah digoda setan dan Allah mengampuninya. Hadits ini dikritisi oleh para ulama’ sebagai hadits mursal, tidak shahîh, dan hanya melalui jalur al-Bazzâr, hadits ini diriwayatkan secara bersambung. Lihat Muhammad bin Jarîr al-Thabarî, Tafsir Jâmi` al-Bayân, Juz 9, hal. 175, Ismâ’îl bin Katsîr, Tafsîr Al- Qur ’ ân al-`Azhîm, (t.tp. : Dâr Mishr, t.th.), Juz 3, hal. 236 bahwa nabi ketika itu sedang berbincang-bincang dengan kaum Quraisy dan mereka meminta agar nabi lebih bersikap lunak kepada para Tuhan mereka. Mendengar permintaan tersebut, terbetik dalam diri nabi saw. untuk mengapresiasi keinginan kaumnya tersebut, lalu turun surah al-Najm ayat 1-2 hingga ayat 19-20. Ketika membaca 2 ayat terakhir ini, beliau digoda setan sehingga dari ucapannya keluar pernyataan yang mengakui eksistensi Tuhan-Tuhan Arab tersebut, al-Lât, al-Uzzâ dan Manâh dan mereka diharapkan pertolongannya. Ketika sampai di akhir surah, beliau sujud tilâwah dan kaum Quraisy yang mendengar pernyataan nabi saw. tersebut, merasa gembira dan ikut sujud bersamanya karena menganggap sikap nabi saw. mulai melunak dengan mengakui para Tuhan mereka. Tidak lama kemudian, Jibril datang pada nabi saw. dan menginformasikan padanya bahwa ia telah terkena tipu- daya setan hingga akhirnya turun surah al-Hajj (22): 52-53 yang membenarkan bahwa nabi telah digoda setan dan Allah mengampuninya. Hadits ini dikritisi oleh para ulama’ sebagai hadits mursal, tidak shahîh, dan hanya melalui jalur al-Bazzâr, hadits ini diriwayatkan secara bersambung. Lihat Muhammad bin Jarîr al-Thabarî, Tafsir Jâmi` al-Bayân, Juz 9, hal. 175, Ismâ’îl bin Katsîr, Tafsîr Al- Qur ’ ân al-`Azhîm, (t.tp. : Dâr Mishr, t.th.), Juz 3, hal. 236
mayur. 40 Selain konsep kepercayaan terhadap dewa yang merupakan representasi dari
benda-benda langit tersebut, salah satu konsep keagamaan paling penting yang dikenal di daratan Hijaz adalah konsep tentang Allah. Bagi masyarakat Hijaz, Allah merupakan Tuhan yang paling utama, meskipun bukan satu-satunya. Nama tersebut, Allah atau al-Ilâh, berasal dari bahasa kuno yang muncul dalam tulisan-tulisan Arab Selatan, tulisan orang Minea dan Saba, tetapi nama itu mulai terbentuk dengan urutan huruf HLH dalam tulisan Lihyan pada abad ke-5 SM. Lihyan yang mengimpor dewanya dari Suriah, merupakan pusat penyembahan dewa ini di Arab. Ayah Muhammad bernama Abdullah (Abdullah berarti budak atau penyembah Allah). Besarnya penghormatan orang Makkah pra-Islam kepada Allah sebagai pencipta dan pemberi nikmat, dan wujud yang diseru saat tertimpa musibah digambarkan dalam beberapa ayat berikut, misalnya QS. 31: 25, 32; 6: 136, 109; 10: 22. Menurut Helmut Gätje, pada dasarnya, Allah, yang dikenal saat itu adalah dewa salah satu suku
Arab. 41 Sementara dalam literatur muslim, Allah merupakan nama yang digunakan
khusus untuk menunjukkan dzat tertentu, tidak dimiliki oleh benda lainnya. Menurut al-Râzî, sebagaimana dikutip oleh Jawâd Ali, kata Allah berasal dari bahasa Ibrani atau Suryani. Sedangkan menurut pendapat ulama Kufah ia berasal dari dua kata
40 Hitti, History of The Arabs, hal. 121 41 Helmut Gätje, The Qur ’ an and Its Exegesis: Selected Texts With Classical and Muslim Interpretations, (Oxford: One World Oxford, 1996), hal. 3. Allah yang disembah orang Arab ini, mirip dengan Tuhan yang diyakini Musa as, yaitu Yehwah, Jehovah yang merupakan representasi dari Tuhan suku Madyan atau penduduk Arab Utara.
yaitu al sebagai piranti ta’rif dan ilâh. Kata Allah ini memiliki aneka ragam pendapat secara bahasa. Bentuk muannatsnya adalah al-Lât, yang merupakan salah satu nama
berhala Quraisy. 42 Selain aneka ragam kepercayaan di atas, salah satu konsep penting yang
dimiliki oleh masyarakat Arab yang menurut Watt merupakan bagian dari keyakinan masyarakat Arab adalah fatalisme. Fatalisme merupakan ajaran atau faham bahwa
manusia dikuasai nasib, sehingga usaha-usaha manusia tidak dapat mengubahnya. 43 Bagi masyarakat Arab pra Islam, yang menentukan terjadinya setiap peristiwa hidup
adalah waktu. Dalam literatur puisi pra Islam, segala bentuk ketidakberuntungan dikaitkan dengan kata dahr, zaman, yaum dan lailah. Namun tidak ada bukti sedikitpun yang menyatakan bahwa mereka menyembah pada waktu atau takdir yang
dapat menyebabkan pada kematian dan kerugian. 44 Keyakinan masyarakat Arab pada peran waktu ini, antara lain terekam dalam Al-Qur’ân surah al-Jâtsiyah (45) ayat 24.
Berkaitan dengan keyakinan religius ini, berkembang kepercayaan bahwa setiap peristiwa sudah ditetapkan sebelumnya. Bagi mereka, ada dua hal yang tidak dapat ditentukan oleh manusia. Pertama, ajal, dan kedua, rizki. Keduanya ini berjalin berkelindan dengan situasi dan kondisi padang pasir yang sulit untuk dikontrol. Kematian dapat datang secara tiba-tiba melalui pertempuran atau serangan suku lain sementara curahan hujan yang dianggap sebagai manifestasi dari rizki dapat berubah drastis menjadi kerugian besar apabila turun secara terus-menerus sehingga menyebabkan terjadinya banjir. Dalam Al-Qur’ân keyakinan masyarakat Arab terhadap peran besar waktu ini dimodifikasi sesuai dengan nilai-nilai Islam, yaitu digantikan dengan Tuhan. Setiap peristiwa yang menentukan bukan waktu, melainkan Tuhan. Misalnya untuk menjawab pernyataan kaum pagan Makkah bahwa yang menghancurkan mereka adalah waktu sebagaimana dalam ayat di atas, nabi
42 Jawâd Alî, Târîkh al-Arab Qabla al-Islâm, (t.tp: al-Majma’ al-‘Ilmi al-Irâqî, 1955), Juz 5, hal. 24
43 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Nasional, Kamus Besar Pusat Bahasa Indonesia, hal. 240
44 Montgomery Watt, Muhammad ’ s Mecca, hal. 26
Muhammad diperintahkan untuk menjawab seperti tertera dalam ayat 26 surah al- Jâtsiyah bahwa hanya Allah yang menghidupkan dan mematikan manusia lalu mengumpulkan mereka pada hari kiamat. Konsep pagan tentang ajal ini, di dalam Islam tidak hanya dipergunakan untuk wacana religius saja, namun juga dipergunakan untuk hal-hal duniawi, seperti kontrak bisnis (misalnya untuk membayar hutang (QS. 28:28)), dan penjelasan masa embrio dalam kandungan (QS.
22:5). 45 Sementara itu, monotheisme yang berkembang di Arabia pada dasarnya tidak
sepenuhnya berasal dari agama Kristen. Sebelum Kristen menyentuh wilayah ini, berbagai koloni Yahudi telah lebih dulu menetap di Madinah dan daerah-daerah oasis di sebelah utara Hijaz. Pusat penyebaran Yahudi berada di Yaman, bahkan di bawah komando Dzû Nuwâs (raja Yaman terakhir, seorang keturunan Tubba’ As’ad Kamil), agama Yahudi menjadi agama resmi negara. Selain itu, setelah keluar dari Yaman, suku Aus dan Khazraj juga masuk Yahudi karena mereka bertetangga dengan kaum Yahudi Khaibar, Quraizhah dan Nadlîr. Suku Hârits bin Ka`ab, dan segolongan dari
suku Ghassan dan Judzâm juga masuk Yahudi. 46
45 Montgomery Watt, Muhammad ’ s Mecca, hal. 28 46 Al-Ya’qûbî, Târîkh al-Ya ’ qûbî, Juz 1, hal. 220. Selain itu, dalam kitabnya, al-Jumahî
menyebutkan satu bab khusus mengenai para penyair Yahudi yang eksis di beberapa negeri Arab, khususnya Yatsrib (Madinah), jauh sebelum Islam masuk ke kawasan ini. Para penyair Yahudi tersebut di antaranya adalah Samaw’al bin `Adiyâ’ dari Ablaq dekat Tayma’. Hal ini mengindikasikan fenomena kaum Yahudi betul-betul telah eksis di Arabia sejak lama. Muhammad bin Salam al-Jumahî, Thabaqât al-Syu ’ arâ ’ , (Beirut: Dâr al-Kutub Ilmiyyah, 1982), Cet ke-1, hal. 106. Keberadaan pemeluk agama Yahudi di pelbagai tempat di Arabia, khususnya Madinah, mungkin dapat ditelusuri mulai abad pertama Masehi. Penaklukan Yerusalem oleh Kaisar Titus (sekitar 70 M) serta penumpasan pemberontakan Bar Kochba (sekitar 135 M) membuat orang Yahudi berbondong-bondong meninggalkan kota tersebut untuk mengembara mencari tempat yang lebih aman hingga menemukan Arabia. Kota Makkah tidak dimasuki karena merupakan pusat penyembahan berhala. Meskipun demikian, orang Quraisy mengenal baik agama Yahudi, karena kota itu berada di jalur perdagangan antara Yaman dan Syiria. Berdasarkan nama-nama yang ada, kebanyakan orang Yahudi Arab merupakan orang Aramaik dan orang Arab yang masuk agama Yahudi, bukan langsung keturunan Ibrahim. Lihat Helmut Gätje, The Qur ’ an and Its Exegesis, hal. 4. Khusus mengenai prilaku kaisar Titus, menurut para sejarawan ia berprilaku kejam pada bani Israil dengan memerangi dan membunuh mereka, menghancurkan Baitul Maqdis dan membakar Kitab Taurat. Bani Israil diperlakukan seperti ini karena mereka dituduh membunuh Yahya bin Zakarya. Lihat Muhammad bin Muhammad bin al- Atsîr, al-Kâmil fî al-Târîkh, (Beirut: Dâr al-Fikr, t.th.), Jilid 1, hal. 295.
Sedangkan kaum Kristen di Arabia memiliki oposisi yang tidak begitu baik ditinjau dari sisi difusi dan kohesinya. Para pemeluknya tidak terkonsenterasi di pelbagai tempat. Meskipun demikian, agama Kristen memiliki sejumlah penganut dari kalangan orang badui yang tinggal di dekat perbatasan Syiria dan Yaman dan di Hira. Di Syiria dan Yaman, pemeluk Kristennya mengikuti sekte Monofisit,
sementara pemeluk Kristen Hira mengikuti sekte Nestorian. 47 Di Makkah sendiri, agama Kristen memiliki sejumlah penganut dari sekelompok kaum Quraisy, bani
Asad bin Abdul Uzza, antara lain Usman bin Huwairits, Waraqah bin Naufal, Imri al- Qais dan lainnya. 48
Berdasarkan realitas historis ini, beberapa penulis Barat modern mencoba mengajukan sejumlah tesis sehubungan dengan situasi keagamaan di Arabia dalam kaitannya dengan gagasan Yudeo-Kristiani. Menurut mereka bahwa sebelum kedatangan Islam, barisan intelektual Arabia telah dipengaruhi oleh gagasan Yudeo- Kristiani. Sementara penulis-penulis Barat lainnya memberi tekanan pada salah satu dari kedua tradisi keagamaan tersebut yang mempengaruhi jagad pemikiran Arab. Richard Bell misalnya menyatakan bahwa sebelum Islam hadir di Arabia, agama
Kristen telah mempengaruhi masyarakat Arab. 49 Sementara C. C. Torrey sebagaimana dikutip Rahman menandaskan bahwa yudaisme merupakan antesenden
historis yang terpenting dari Al-Qur’ân. 50 Aneka ragam pendapat ini, jika ditelusuri melalui Al-Qur’ân, bahwa tradisi
Yudeo-Kristiani telah dikenal oleh orang Arab merupakan realitas yang tidak dapat
47 Sekte Monofisit merupakan sekte yang melihat jasad dan roh sebagai satu kesatuan yang utuh. Jasad memiliki kedudukan yang sama pentingnya dengan roh. Dalam tradisi mesir kuno, banyak
ditemukan jasad yang diawetkan, disimpan di tempat-tempat yang aman seperti di Piramid. Keberadaan Yesus disamping sebagai Tuhan, juga sebagai manusia. Di dalam dirinya terdiri dua substansi, substansi Tuhan dan substansi manusia. Meskipun demikian ia memiliki satu esensi. Sementara itu sekte Nestorian, merupakan sekte yang menekankan aspek kemanusiaan Yesus kristus. Hanya dengan menekankan aspek kemanusiaannya, ia dapat mengalahkan setan, yaitu dengan cara merendahkan diri sambil melakukan berbagai peribadatan.
48 Al-Ya’qûbî, Târîkh al-Ya ’ qûbî, Juz 1, hal. 220 49 Richard Bell, The Origin of Islam in Its Christian Environment (London: Frank Cass&Company Limited, 1968), hal. 84
50 Fazlur Rahman, Major Themes of The Qur ’ ân, (Kuala Lumpur: Islamic Book Trust, 1999), hal. 150.
dipungkiri. Di dalam surah al-Mu’minûn (23): 82-83 disebutkan: orang-orang kafir itu berkata: "Apakah betul, apabila kami telah mati dan kami telah menjadi tanah dan tulang belulang, apakah sesungguhnya kami benar-benar akan dibangkitkan? sesungguhnya kami dan bapak-bapak kami telah diberi ancaman (dengan) ini dahulu, ini tidak lain hanyalah dongengan orang-orang dahulu kala".
Penggalan ayat Al-Qur’ân ini “sesungguhnya kami dan bapak-bapak kami telah diberi ancaman (dengan) ini dahulu, ini tidak lain hanyalah dongengan orang- orang dahulu kala”, merupakan salah satu ciri khas ajaran agama monotheis, yang
menyiratkan bahwa tradisi keagamaan Yudeo-Kristiani telah dikenal baik oleh masyarakat di Jazirah Arab. Ungkapan ini dapat pula mencerminkan bahwa orang- orang Yahudi dan Kristen pernah melakukan penyebaran agama di daerah tersebut, namun hal ini kurang mendapat simpati dari masyarakat Arab, karena mereka lebih suka mengikuti tradisi yang diwariskan oleh para leluhurnya.
Akan tetapi meskipun agama Yahudi dan Kristiani memang telah akrab dikenal oleh beberapa kalangan masyarakat Arab dan diikuti, namun pengetahuan mereka tentang agama tersebut, sangat kacau dan dalam kasus-kasus tertentu telah diadaptasikan dengan lingkungan kultural mereka. Misalnya terdapat kepercayaan yang berkembang di kalangan Yahudi Arab bahwa Uzair (Ezra) adalah putera Allah (9:30), suatu kepercayaan yang hanya mendapat tempat di kalangan orang-orang Yahudi Arab ketika itu dan tidak terbukti eksis dalam keyakinan orang-orang Yahudi di belahan bumi lainnya. Di sisi lain orang Yahudi berkeyakinan bahwa berbeda dengan manusia umumnya, mereka memiliki hubungan yang akrab secara khusus
dengan Tuhan. 51 Sedangkan mengenai pemeluk agama Kristen, informasi-informasi yang
diberikan Al-Qur’ân menunjukkan bahwa orang Arab Kristen ini bukanlah pengikut aliran ortodoksi mazhab resmi Byzantium. Mereka pada dasarnya mengikuti sekte Monofisit dan Nestorian yang merupakan representasi Gereja Timur. Kalau tidak,
51 Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah Al-Qur ’ ân (Jakarta: Pustaka alVabet, 2005), Cet. ke-1, hal. 27 51 Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah Al-Qur ’ ân (Jakarta: Pustaka alVabet, 2005), Cet. ke-1, hal. 27
Maryam (5:16). 52 Selain pelbagai agama dan kepercayaan tersebut, Al-Qur’ân juga
menyinggung pemeluk agama lainnya yaitu pemeluk agama Shâbi`ûn yang digandeng dengan nama ahli kitab. Menurut Yusuf Ali, berdasarkan penelitian mutakhir, agama ini mirip dengan ritual yang dipraktekkan oleh sebuah komunitas
yang berjumlah kira-kira 2000 orang di bagian bawah Iraq, dekat Basra. Di belahan dunia Arab, mereka disebut Sabbi. Mereka juga disebut Sabians, Nasoreans, Mandeans, Christians of St. Jhon. Kitab suci mereka Ginza dengan bahasa Aramaik. Selain itu, agama ini juga dikaitkan dengan ajaran yang dianut oleh kaum gadungan Sabians dari Harrran yang menarik perhatian khalifah al-Ma’mûn pada 830 M dengan rambut panjang dan pakaiannya. Mereka merupakan orang Syiria penyembah bintang dengan kecendrungan hellenistik. Sabians juga dikaitkan pada kelompok yang disebut Sabeans yang memainkan peranan penting dalam sejarah awal Arabia dan dikenal melalui prasasti mereka di Yaman di Arabia Selatan pada 800-700 SM, meskipun asal mereka sebenarnya dari Arabia Utara. Mereka merupakan penyembah planet dan bintang (bulan, matahari dan venus). Nama Ratu Sheba sering dikaitkan dengan mereka. Selain itu, menurut Yusuf Ali, term ini dapat diperluas melalui analogi untuk memasukkan para pengikut Zoraster, Vedas, Buddha dan Konfusius serta agama-
agama yang memuat hukum moral lainnya. 53 Selain itu, di dalam Al-Qur’ân juga disebutkan pengikut agama Majûsiyah,
yakni orang-orang Majûs (22:17). Ayat ini merupakan satu-satunya rujukan yang menjelaskan tentang orang Majûs. Pengikut agama Majûsiyah merupakan para penyembah api yang dianggap sebagai tanda keberadaan Tuhan. Para pengikut agama ini terdapat di Persia dan dataran tinggi Median dan lembah Mesopotamia. Agama ini
52 Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah Al-Qur ’ ân, hal. 27 53 Abdullah Yusuf Ali, The Holy Qur ’ an (Lahore: Ashraf Printing Press, 1980), hal. 33 52 Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah Al-Qur ’ ân, hal. 27 53 Abdullah Yusuf Ali, The Holy Qur ’ an (Lahore: Ashraf Printing Press, 1980), hal. 33