Petunjuk Al-Qur ’ân Terhadap Hukum

C. Petunjuk Al-Qur ’ân Terhadap Hukum

Dalam kajian para pakar ushûl, Al-Qur’ân ditelusuri dari dua variabel. Dari sisi al-tsubût (keotentikan sumber), dan sisi al-dalâlah (petunjuk hukum). Para ulama sepakat, Al-Qur’ân yang ditransmisikan secara mutawâtir, pasti bersumber dari Allah dan harus diyakini kebenarannya. Ajaran-ajaran yang terkandung di dalamnya wajib diamalkan oleh umat Islam. Sedangkan Al-Qur’ân yang diriwayatkan secara âhâd,

seperti qirâ’ah Ibnu Mas’ûd dan lainnya, 43 para ulama berbeda pendapat mengenai eksistensinya apakah diklasifikasikan sebagai Al-Qur’ân. Mayoritas ulama sepakat

bahwa qirâ’ah-qirâ’ah tersebut bukan bagian dari Al-Qur’ân. 44

hal-hal ghaib, lebih utama waqf pada lafazh Allah, sedangkan jika memperbincangkan persoalan lainnya, wâwu sebaiknya dijadikan huruf `athaf saja, karena secara lahiriah, Allah tidak mungkin berbicara pada audiensnya dengan sesuatu yang tidak difahami olehnya. Al-Ghazâlî, al-Mustashfâ, Juz

1, hal. 106 42 Al-Ghazâlî menambahkan bahwa huruf-huruf tersebut berguna untuk menarik orang Arab

dan menyadarkannya serta berpaling dari lainnya untuk mendengarkan Al-Qur’ân, sebab kata-kata ini berbeda dengan tradisi lisan masyarakat Arab secara umum. Al-Ghazâlî, al-Mustashfâ, Juz 1, hal. 106

43 Qirâ ’ ah Ahâd adalah qira’ah yang sanadnya sah, namun berbeda dengan rasm ‘ usmânî atau bahasa Arab. Qirâ ’ ah model ini juga terjadi ketika bacaan tersebut tidak populer. Para ulama sepakat

bahwa qirâ ’

ah sab`ah yaitu qirâ ’ ah Abî Amr, Nâfi’, `Âshim, Hamzah, Kisâ’î, Ibnu Katsîr dan Ibnu Âmir. Mayoritas ulama memasukkah tiga qirâ ’ ah lainnya sehingga genap 10, yaitu qirâ ’ ah Ya’qûb, Abî Ja’far dan Khalaf. Sementara selain qirâ ’ ah sepuluh ini para ulama sepakat bahwa hal ini merupakan qirâ ’ ah tidak populer. Jalâl al-Dîn al-Suyûthi, al-Itqân fî `Ulûm Al- Qur ’ ân, juz 1, hal. 79. Muhammad Abdul `Azhîm al-Zarqânî, Manâhil al-`Irfân fî `Ulûm Al-Qur ’ ân, (Beirut: Dar al-Fikr, 1988), Juz 1, hal. 441

ah mutawâtir adalah qirâ ’

44 Di antara para ulama mayoritas tersebut adalah Imam al-Ghazâlî. Lihat bantahan al-Ghazâlî terhadap eksistensi qirâ ’ ah âhâd dalam Al-Ghazâlî, al-Mustashfâ, Juz 1, hal. 102

Menurut kalangan Hanafiyyah dan Hanâbilah, bacaan minoritas dapat dijadikan alat argumentasi yang zhannî karena pasti merupakan hasil pendengaran dari nabi. Setiap hal yang didengar dari nabi, pasti merupakan hujjah. Posisinya seperti al-sunnah yang dapat dijadikan dasar pijakan hukum dan harus diamalkan. Sementara para ulama Syâfi’iyyah dan Mâlikiyyah menyatakan bahwa bacaan minoritas tersebut bukan bagian dari Al-Qur’ân dan tidak dapat dijadikan alat argumentasi. Demikian pula ia bukan al-sunnah karena pada awalnya tidak

diriwayatkan sebagai al-sunnah. 45 Sementara dari sisi penunjukannya terhadap hukum (dalâlah Al-Qur’ân `alâ

al-ahkâm), Al-Qur’ân terbagi ke dalam 2 kelompok: qath`î al-dalâlah dan zhannî al- dalâlah.

Qath`î adalah lafazh yang menunjukkan makna tertentu dan tidak memberikan peluang untuk dita’wîl dan dipahami lainnya, seperti ayat-ayat yang berkaitan dengan bilangan tertentu dalam waris, sangsi, dan nishâb. Sedangkan zhannî adalah lafazh yang menunjukkan makna yang memberikan peluang untuk ditakwil dan dialihkan

pada makna lainnya. 46

45 Wahbah al-Zuhailî, Ushûl al-Fiqh al-Islâmî, hal. 427. Perbedaan antara dua kelompok ini akan tampak jelas ketika membahas persoalan-persoalan hukum. Misalnya tentang kaffârah melanggar

sumpah, yaitu berpuasa selama tiga hari (QS. al-Mâidah (5): 89). Bagi para ulama yang mendukung eksistensi bacaan minoritas, menyatakan puasa harus dilaksanakan tiga hari berturut-turut, karena berargumen dengan riwayat Al-Qur’ân dari Ibnu Mas’ûd yang terdapat tambahan kata تﺎﻌﺑﺎﺘﺘﻣ setelah penggalan ayat tersebut. Tambahan ini berfungsi sebagai takhshîsh. Sedangkan kalangan ulama lainnya yang menolak eksistensi qirâ’ah ahâd menyatakan tambahan yang terdapat di dalam qirâ’ah Ibnu Mas’ûd tersebut tidak dapat berfungsi sebagai pentakshîsh kemutlakan ayat tersebut. Bagi pelanggar sumpah, ia boleh memilih untuk berpuasa selama tiga hari tanpa harus berturut-turut.

46 Abdul Wahhâb Khallâf, Ilmu Ushûl al-Fiqh, hal. 31. Contoh dari qath`î seperti firman

Allah swt:

Para perempuan dan laki-laki yang berzina maka deralah oleh kalian masing-masing dari mereka dengan seratus kali dera Pada ayat tersebut kata mi ’ ah hanya mungkin memiliki satu arti yaitu seratus dan tidak mungkin menunjukkan makna lainnya. Sedangkan contoh dari zhannî seperti firman Allah swt:

“ Orang-orang perempuan yang ditalak hendaknya menunggu masa iddahnya 3 kali suci/haid ” lafazh al-qur ’ dalam bahasa Arab sama-sama memiliki kemungkinan untuk dimaknai suci atau haidl. Oleh karena itu para ulama berbeda pendapat dalam menentukan ukuran iddah wanita yang ditalak.

Menurut al-Syâthibî, tidak atau jarang sekali ada sesuatu yang pasti – sesuai dengan penggunaan istilah qath`î yang populer didefinisikan oleh para ulama- dalam dalil-dalil syara’ yang berdiri sendiri. Ketiadaan hal yang pasti dalam dalil syara’ ini, disebabkan apabila dalil-dalil tersebut berstatus âhâd, maka jelas ia tidak dapat memberikan kepastian. Sedangkan apabila dalil tersebut mutawâtir, maka untuk menarik makna yang pasti dibutuhkan premis-premis (al-muqaddimât) yang harus

bersifat qath`î pula. 47 Padahal premis qath`î tersebut, tidak mudah untuk ditemukan, karena realitas membuktikan bahwa premis-premis tersebut seluruhnya atau

mayoritas berstatus âhâd atau zhannî. Sesuatu yang bersandar terhadap hal yang zhannî tentunya tidak dapat memproduksi hal yang qath`î. Namun, jika dalil-dalil tersebut berbarengan dengan konteks realitas atau riwayat, ia dapat beralih menjadi qath`î 48 . Akan tetapi hal ini jarang terjadi.

Pendapat al-Syâthibî ini, tidak lantas menegasikan sisi kepastian dari petunjuk teks. Sebab ia menegaskan lebih lanjut bahwa kepastian teks dapat lahir dari sekumpulan dalil zhannî yang seluruhnya memuat kemungkinan makna yang sama. Terhimpunnya makna yang sama dari dalil-dalil yang beraneka ragam tersebut memberikan kekuatan tersendiri. Berbeda halnya apabila dalil-dalil tersebut berdiri sendiri. Kekuatan dari himpunan dalil itu menjadikannya tidak berstatus zhannî lagi. Ia meningkat menjadi semacam mutawâtir ma`nawî, dan dengan demikian dapat dikategorikan sebagai al-qath`î al-dalâlah. Misalnya mengenai kewajiban shalat. Untuk memperoleh kesimpulan kewajiban shalat, tidak cukup dengan hanya bersandar pada satu dalil yang menerangkan hal tersebut (QS. Al-Baqarah (2): 110).

47 Muqaddimât (premis-premis) tersebut, menurut al-Syâthibî, adalah riwayat-riwayat kebahasaan, riwayat-riwayat yang berkaitan dengan gramatika (nahwu), riwayat-riwayat tentang

perubahan kata (sharraf), redaksi yang tidak memiliki multi makna (musytarak), redaksi tersebut bukan kata metaforis (majaz), tidak mengandung peralihan makna secara syar`î atau tradisi, sisipan, takhsish terhadap lafazh umum, pembatasan lafazh muthlaq, pembatalan hukum, pendahuluan dan pengakhiran, dan tidak mengandung penolakan yang logis (al-mu`âridl li al- ‘ aqlî). Ibrâhîm bin Mûsâ al-Syâthibî, al- Muwâfaqât, (Beirut: Dâr al-Ma’rifah, t.th.), Juz 1, hal. 24.

48 Al-Syâthibî, al-Muwâfaqât, Juz 1, hal. 24

Pada dasarnya petunjuk kewajiban shalat, dapat diambil dari redaksi perintah yang dipakai dalam ayat tersebut, namun seringkali dijumpai bahwa banyak ayat yang menggunakan bentuk perintah, namun tidak menunjukkan wajib. Oleh sebab itu, kepastian hukum wajibnya shalat datang dari nash-nash lain yang meskipun dengan redaksi dan konteks yang berbeda-beda, disepakati bahwa semuanya mengandung

makna yang sama, yaitu mengarah pada kewajiban shalat. 49 Di samping itu, sebuah ayat atau hadis mutawatir dapat berdimensi qath`î dan

zhannî pada saat yang sama. Misalnya firman Allah mengenai kewajiban mengusap kepala ketika berwudlu’ (QS. al-Mâ’idah (5): 6), adalah qath`î al-dalâlah. Selain itu, ia juga zhannî al-dalâlah mengenai batas-batas kepala yang harus dibasuh. Para ulama berbeda pendapat tentang arti dan kedudukan ba’ pada lafazh bi ru’ûsikum. Dengan demikian, kedudukan ayat tersebut menjadi qath`î apabila dipandang dari satu sisi, sementara zhannî apabila diteropong dari sisi lainnya.

Dualitas teks yang berdimensi qath`î dan zhannî ini, dapat dijadikan pintu masuk oleh para pengkaji Al-Qur’ân untuk menelusuri teks-teks Al-Qur’ân yang secara lahiriah bertentangan dengan konteks kekinian. Banyak teks Al-Qur’ân jika mengikuti petunjuk lahiriahnya, kurang diamalkan oleh beberapa komunitas muslim saat ini, misalnya ayat yang menerangkan tentang hukuman potong tangan bagi pencuri, perbudakan dan sebagainya. Realitas ini, membuat para pemikir muslim harus mengkaji ulang teks yang telah terbakukan penafsirannya pada masa klasik dan mengurung dirinya melalui perisai term qath`î untuk direinterpretasikan seiring dengan perkembangan zaman saat ini. Terlebih lagi, term qath`î dan zhannî sebenarnya hanya dikenal di dalam kalangan ulama ushûl yang lebih familier dengan hal yang rigid dan pasti. Sementara term ini tidak populer dalam kalangan ahli ilmu

49 Pada kasus shalat ini, terdapat banyak ayat Al-Qur’ân atau al-hadîs yang menggiring terhadap makna kewajiban shalat. Pertama, pujian kepada orang-orang yang shalat. Kedua, celaan atau

ancaman bagi yang meremehkan atau yang meninggalkannya. Ketiga, perintah kepada mukallaf untuk melaksanakannya dalam keadaan sehat atau sakit, dalam keadaan berdiri, duduk atau berbaring. Keempat, memerangi orang yang meninggalkan dan menentangnya. Pelbagai teks yang memberikan makna-makna ini, yang kemudian disepakati oleh para ulama, melahirkan kesimpulan bahwa shalat wajib dikerjakan oleh seluruh umat Islam. Al-Syâthibî, al-Muwâfaqât, Juz 1, hal. 25

Al-Qur’ân yang dapat dibuktikan dari ketiadaannya dalam kitab-kitab ulûm Al- Qur’ân. Hal ini terjadi karena dalam kajian Al-Qur’ân, para mufassir lebih mendahulukan porsi kebebasan penafsir untuk melakukan interpretasi sesuai dengan kaidah-kaidah tafsir. Menurut keyakinan ahli tafsir, seorang sarjana, tidak akan diakui integritas keilmuannya apabila tidak mampu memaknai Al-Qur’ân dari pelbagai

sisinya. 50 Makna teks yang disepakati berstatus qath`î pada masa lampau, memiliki kemungkinan untuk mengalami perkembangan atau perubahan status seiring dengan

perkembangan zaman. Banyak celah yang dapat dimasuki oleh para penafsir untuk menganalisis kembali teks Al-Qur’ân. Misalnya melalui term hakikat dan majâz. 51

Suatu lafazh yang seharusnya dimaknai secara lahiriah, dapat berubah menjadi makna majâz seiring dengan perubahan konteks yang menghendakinya. Hal ini didukung oleh gagasan bahwa dalam wacana ulum Al-Qur’ân, banyak kata yang memiliki

kemungkinan multi makna, tergantung pada peran subyektifitas penafsir dalam menginterpretasikannya. 52