Analisis Metodologis

A. Analisis Metodologis

Sebagai firman suci Tuhan yang transenden dan paripurna, Al-Qur’ân ketika memasuki wilayah historis dengan menjelma ke dalam bahasa manusia berimplikasi untuk turut serta terkena batasan-batasan yang terdapat dalam dunia historis. Pada

saat itu, di satu sisi, Al-Qur’ân dapat dinyatakan sebagai produk budaya karena telah memilih bahasa tertentu yakni bahasa Arab sebagai locus penubuhannya, namun di sisi lain, Al-Qur’ân juga merupakan produsen budaya karena terbukti dapat merubah

dan memproduksi budaya baru. 1 Secara historis, Al-Qur’ân berjalin-berkelindan dengan budaya syair bangsa Arab yang merupakan piranti penting untuk menelusuri

makna Al-Qur’ân. Para generasi awal Islam (sahabat), seringkali menemukan kesulitan dalam menafsirkan pelbagai kata dalam Al-Qur’ân dan harus mencari solusinya dengan menyelami tradisi syair yang berkembang dalam bangsa Arab

badui. 2 Fenomena ini, secara implisit menegaskan historisitas Al-Qur’ân, di mana

lahirnya Al-Qur’ân tidak terlepas dari konteks sosio-historis yang melatarinya. Masyarakat Arab, yang menjadi locus lahirnya Al-Qur’ân merupakan konteks yang bertali-temali dengan produktifitas Al-Qur’ân. Dalam persoalan hukum, sebelum Islam datang, masyarakat Arab Hijaz telah memiliki pelbagai konstruk hukum yang

1 Istilah bahwa teks merupakan produk budaya (muntaj tsaqâfî) dan produsen budaya (muntij li al-tsaqâfah) diambil dari pernyataan Nashr Hâmid Abû Zaid dalam karyanya Mafhûm al-Nashsh.

Lihat Nashr Hâmid Abû Zaid, Mafhûm al-Nashsh: Dirâsah fî `Ulûm Al-Qur ’ ân, (Beirut: al-Markaz al- Tsaqâfî al-Arabî, 1998), Cet. Ke-4, hal. 24

2 Di antara para sahabat yang memakai tradisi syair jahiliyyah untuk menafsirkan Al-Qur’ân adalah Ibnu Abbas. Para sahabat lainnya juga mengikuti metode yang sama dalam memahami kata

asing dalam Al-Qur’ân. Namun, Ibnu Abbas merupakan sahabat yang paling populer dalam menerapkan cara ini. Setiap ditanya mengenai penafsiran Al-Qur’ân, ia seringkali menjawabnya dengan mendendangkan syair badui. Lihat Muhammad Husain al-Zahabî, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, (al-Qâhirah: Maktabah Wahbah, 2000), Cet. ke-7, hal. 57 asing dalam Al-Qur’ân. Namun, Ibnu Abbas merupakan sahabat yang paling populer dalam menerapkan cara ini. Setiap ditanya mengenai penafsiran Al-Qur’ân, ia seringkali menjawabnya dengan mendendangkan syair badui. Lihat Muhammad Husain al-Zahabî, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, (al-Qâhirah: Maktabah Wahbah, 2000), Cet. ke-7, hal. 57

Para hakim tersebut tidak memiliki hukum yang terkodifikasi dan kaidah- kaidah populer. Mereka bersandar pada tradisi dan kepercayaannya serta hukum- hukum yang bersumber dari agama monotheis sebelum Islam, khususnya agama Yahudi. Namun, hukum-hukum tersebut tidak memiliki otoritas untuk memaksa masyarakat harus tunduk padanya. Mereka bebas untuk mematuhinya atau mengabaikannya. Para pembangkang hukum, maksimal hanya mendapatkan

kemarahan dari para anggota kabilah lainnya. 3 Meskipun demikian, Makkah, sebelum Islam datang, memiliki produk hukum

yang cukup maju. Demikian halnya di Madinah, karena di kota terakhir ini orang Arab bergaul dengan kaum Yahudi yang bersandar pada pelbagai hukum yang terdapat dalam kitab Taurat dan penjelasannya. Umat Islam di Madinah, sebelum adanya penjelasan dari hukum Islam, mengikuti tradisi-tradisi yang telah mengakar waktu itu untuk menuntaskan segala persoalan. Menghadapi tradisi masyarakat Arab ini, Islam mengambil sikap yang beragam; mengingkari, mengakomodir secara penuh

atau memodifikasinya dengan disesuaikan pada nilai-nilai Islam. 4 Al-Qur’ân yang merupakan sumber hukum primer, turun secara gradual

kurang lebih selama 23 tahun. Dalam rentang waktu tersebut, Al-Qur’ân lahir dalam

3 Ahmad Amîn, Fajr al-Islâm, (t.t.p: Syirkah al-Thabâ`ah al-Muttahidah, 1975), Cet. ke-11, hal. 226

4 Khalil Abdul Karim menuturkan daftar pelbagai tradisi Arab yang diadopsi, baik secara penuh maupun setelah dimodifikasi, dan ditolak oleh Islam. Lihat Khalil Abdul Karim, Syari ’ ah:

Sejarah Perkelahian Pemaknaan. Pent. Kamran As ’ ad, (Yogyakarta: LKiS, 2003) Sejarah Perkelahian Pemaknaan. Pent. Kamran As ’ ad, (Yogyakarta: LKiS, 2003)

Dalam wacana ulûm Al-Qur’ân, pengakuan terhadap otoritas tradisi Arab serta peran konteks sosio-historis dalam produktifitas hukum Al-Qur’ân ini, terekam dalam konsep asbâb al-nuzûl dan nasakh. Kedua konsep ini penting untuk diurai lebih lanjut karena berkaitan dengan pelbagai wacana ulûm Al-Qur’ân lainnya yang mendukung argumentasi historisitas hukum Al-Qur’ân.

1. Asbâb al-Nuzûl Asbâb al-nuzûl merupakan piranti interpretasi yang menegaskan Al-Qur’ân hadir dalam bilik kehidupan manusia untuk merespon problematika sosial yang terjadi waktu itu. Wacana ini bertali temali dengan konsep ulûm Al-Qur’ân lainnya, yaitu ‘âmm dan khâshsh yang menegaskan bahwa lafazh memiliki dua dimensi

makna; umum dan khusus. 5 Keterkaitan antar konsep ulûm Al-Qur’ân ini terjadi, karena di dalam pelbagai konsep tersebut menyiratkan bahwa untuk memahami Al-

Qur’ân secara benar harus didukung pengetahuan terhadap latar historis yang melahirkan hukum. Fenomena ini diperkukuh dengan adanya beberapa kaidah penafsiran yang mencerminkan eksistensi konsep-konsep ulûm Al-Qur’an ini. Pertama, kaidah al-`Ibrah bi khushûsh al-sabab lâ bi `umûm al-lafzh. Pemaknaan teks berhubungan dengan sebab khusus yang melatarinya bukan pada keumuman

5 ‘Â mm secara etimologi adalah mencakupnya suatu perkara, lafazh atau lainnya, pada hal yang beragam. Sedangkan secara terminologi ‘ âmm adalah lafazh yang mencakup pada seluruh bagian

makna yang dimilikinya. Sementara khâshsh adalah lafazh yang diletakkan untuk menunjukkan satu makna secara terpisah. Adakalanya ia diletakkan untuk person tertentu seperti nama-nama benda, atau untuk makna macam seperti kata ‘rajul’ (laki-laki) dan ‘faras’ (kuda), atau untuk menjelaskan makna banyak yang terbatas, seperti nama-nama bilangan; dua, tiga dan seterusnya atau untuk menunjukkan makna jenis seperti kata `insân’ (manusia) makna yang dimilikinya. Sementara khâshsh adalah lafazh yang diletakkan untuk menunjukkan satu makna secara terpisah. Adakalanya ia diletakkan untuk person tertentu seperti nama-nama benda, atau untuk makna macam seperti kata ‘rajul’ (laki-laki) dan ‘faras’ (kuda), atau untuk menjelaskan makna banyak yang terbatas, seperti nama-nama bilangan; dua, tiga dan seterusnya atau untuk menunjukkan makna jenis seperti kata `insân’ (manusia)

pemakaian yang menjadi tradisi Arab saat lahirnya hukum Al-Qur’ân. 7 Dalam anggitan tafsir klasik, meskipun terdapat legitimasi secara penuh pada

konsep asbâb al-nuzûl sebagai sarana untuk menafsirkan Al-Qur’ân, namun hal ini tidak lantas melegalkan perubahan hukum-hukum Al-Qur’ân seiring dengan perubahan konteks sosio-historisnya. Dalam bahasa Arkoun, Al-Qur’ân saat ini telah resmi menjadi korpus tertutup sehingga seluruh ajarannya merupakan sesuatu yang

final, tidak dapat berubah, meskipun konteks yang dihadapinya saat ini berbeda dengan konteks masyarakat ketika ia diturunkan. 8 Para ulama tafsir klasik membatasi

6 Sejatinya, dalam persoalan pemaknaan teks, para ahli ushûl berbeda pendapat apakah yang diperhitungkan keumuman lafazh (al `ibrah bi `umûm al-lafzh) atau peristiwa khusus yang

melahirkannya (al-`ibrah bi khushûsh al-sabab). Para ulama dari kalangan Syâfi`iyyah sepakat dengan teori pertama bahwa yang diperhitungkan adalah keumuman teks. Argumentasinya adalah bahwa banyak ayat yang dilatari oleh sebab-sebab tertentu, namun para ulama sepakat bahwa kandungan ayat tersebut berlaku pula pada orang lainnya yang mengalami persoalan yang sama. Misalnya ayat zhihâr yang turun terhadap Salmah bin Shakhr, ayat li`ân yang turun pada Hilâl bin Umayyah dan sangsi qadzf yang turun bagi para penuduh siti Aisyah ra. Meskipun ayat-ayat ini turun dilatari oleh kasus- kasus yang menimpa mereka, namun hukum tersebut berlaku pada orang lainnya yang melakukan perbuatan sama. Sementara menurut al-Balkhî dari kalangan Hanafiyyah, al-Jubâ’î dari kalangan Mu’tazilah lebih memilih teori kedua (al-`ibrah bi khushûsh al-sabab). Mereka menyatakan, kasus- kasus yang menimpa orang lainnya tidak ditunjukkan oleh ayat-ayat yang turun lantaran kasus yang menimpa mereka, namun oleh dalil lain karena ayat tersebut terbatas hanya untuk menjelaskan peristiwa yang menimpa orang-orang tertentu. Mereka berusaha mengarahkan shighat umum pada sebagian makna yang ditunjukkan oleh teks tersebut, seperti satu bagi bilangan jenis dan tiga untuk jama ’ dan pemvakuman makna pada selain keduanya. Mazhab ini dikenal dengan mazhab arbâb al- khushûsh. Lihat Muhammad Adîb Shâlih, Tafsîr al-Nushûsh, (t.tp: al-Maktab al-Islâmî, t.th.), Cet. ke-

3, hal. 20, Abdurrahman ibn Abî Bakr al-Suyûthî (selanjutnya disebut al-Suyûthî), al-Itqân fî `Ulûm Al-Qur ’ ân, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th. ), Juz 1, hal. 30

7 Kaidah ini ditegaskan oleh Wahbah al-Zuhailî sebagai bagian dari sederet kaidah-kaidah ushûl untuk menafsirkan Al-Qur’ân. Pengetahuan terhadap kaidah ini sangat urgen, karena pelbagai

hukum Al-Qur’ân berjalin berkelindan dengan seluruh sisi yang menjadi tradisi Arab. Ia dapat menjadi penjelas terhadap hukum Al-Qur’ân yang samar. Misalnya ayat tentang perintah menyempurnakan haji dan umrah. (QS. al-Baqarah (2): 196). Ayat ini memerintahkan untuk melakukan penyempurnaan, bukan perintah tentang dasar haji, karena bangsa Arab sebelum Islam telah melaksanakan haji, lalu Islam mengakui sebagian tempat-tempat suci yang menjadi area pelaksanaan haji seperti wuquf di Arafah dan mengubah sebagiannya. Lihat Wahbah al-Zuhailî, Ushûl al-Fiqh al-Islâmî, hal. 445-448

8 Arkoun menyatakan wilayah berfikir dalam Islam terbagi pada dua bagian, yang tak terpikir dan terpikir. Mushhaf `usmânî merupakan bagian dari korpus tertutup yang berada dalam ruang tak

terfikir sehingga tak dapat digugat otentisitasnya. Arkoun berusaha membuka kembali wilayah tak terfikir ini agar Al-Qur’ân yang ada sekarang dapat dikritisi untuk dapat melahirkan penafsiran yang relevan sesuai dengan konteks kekinian. Lihat Muhammad Arkoun, Rethingking Islam, dalam Charlez terfikir sehingga tak dapat digugat otentisitasnya. Arkoun berusaha membuka kembali wilayah tak terfikir ini agar Al-Qur’ân yang ada sekarang dapat dikritisi untuk dapat melahirkan penafsiran yang relevan sesuai dengan konteks kekinian. Lihat Muhammad Arkoun, Rethingking Islam, dalam Charlez

dikategorikan sebagai instrumen tafsir. 9 Pembatasan ruang asbâb al-nuzûl ini, patut mendapat apresiasi serius karena

dapat membuat jurang pemisah antara Al-Qur’ân dengan audiensnya yang berujung lahirnya pelbagai problem ketika akan didialogkan dengan realitas kontemporer. Para

pemirsa Al-Qur’ân saat ini yang berada jauh dari zaman ketika Al-Qur’ân diturunkan, akan sulit menangkap pesan-pesan yang dituju Al-Qur’ân, jika konteks sosio-historis yang melatarinya tidak dapat dilacak. Sebagai implikasinya, banyak ajaran Al-Qur’ân ditafsirkan secara literal, ad hoc, dengan mengabaikan eksistensi audiensnya saat ini yang mungkin situasi dan kondisinya berbeda jauh dengan konteks sosio-historis saat ajaran tersebut lahir. Berangkat dari fenomena ini, Fazlur Rahman, salah seorang cendekiawan muslim kontemporer, berusaha memperluas konsep asbâb al-nuzûl yang dibakukan oleh para ulama klasik. Ia menyatakan sebelum menafsirkan ayat- ayat Al-Qur’ân secara spesifik, seseorang harus mengkaji situasi makro dan mikro dalam batasan-batasan masyarakat, agama, adat-istiadat, lembaga-lembaga, bahkan kehidupan secara menyeluruh di Arabia pada saat kehadiran Islam dan khususnya di

sekitar Makkah. 10

Kurzman, Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-Isu Global, pent. Bahrul Ulum et.al, (Jakarta: Paramadina, 2003), Cet. ke-2, hal. 352

9 Dalam konsep asbâb al-nuzûl, ayat dan surat Al-Qur’ân dibedakan pada dua kategori. Pertama, mâ nazala ibtidâ ’ an. Ayat dan surat yang diturunkan tanpa diawali dengan suatu peristiwa

atau pertanyaan. Kedua, mâ nazala `aqiba waqî ’ atin au su ’ âlin. Ayat dan surat Al-Qur’ân yang diturunkan dengan diawali oleh suatu peristiwa atau pertanyaan. Kategori kedua inilah yang banyak diapresiasi oleh para pakar Al-Qur’ân, yang direpresentasi oleh karya-karya `Ali bin al-Madînî (w. 234/849), al-Wâhidî (w. 427/1035), al-Ja’barî (w. 732/1331), dan al-Suyûthî (w. 911/1505), sementara kategori yang pertama agak terabaikan. Mengenai pembagian asbâb al-nuzûl ini, lihat al-Suyûthî, al- Itqân fî Ulûm Al-Qur ’ ân, juz 1, hal. 29

10 Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: The University of Chichago Press, 1984), hal. 5

2. Nasakh Nasakh secara etimologi berarti pembatalan atau penghilangan. Sementara secara terminologi nasakh adalah penghapusan hukum syar`î dengan jalan syar’î yang datang lebih akhir. 11 Konsep nasakh ini secara implisit menyatakan adanya

perubahan hukum Al-Qur’ân karena dilatari oleh situasi dan kondisi yang berubah. Konsep ini berjalin-berkelindan dengan wacana ulûm Al-Qur’ân lainnya, makkiyyah dan madaniyyah yang menegaskan perbedaan karakteristik ungkapan Al-Qur’ân

dalam merespon prilaku komunitas audiensnya yang berbeda. 12 Dalam konteks ayat makkiyyah , Al-Qur’ân hanya menyinggung dasar-dasar agama dan ajakan untuk

mematuhinya seperti iman pada Allah swt., rasul dan hari akhir, serta perintah pada akhlak yang baik seperti adil dan berbuat baik. Dalam persoalan hukum, ayat-ayat makkiyyah banyak menyinggung pelbagai persoalan secara global. Fenomena ini sangat bertolak belakang dengan eksistensi ayat madaniyyah, yang menyinggung pelbagai problematika secara gamblang dan terperinci. Sebagai konsekuensinya, penghapusan hukum banyak terjadi dalam ayat-ayat madaniyyah, sementara dalam ayat-ayat makkiyyah sangat sedikit terdapat nasakh karena sangat tidak logis untuk menggagalkan pelbagai ayat yang menjadi akidah dan nilai-nilai agama yang

fundamental. 13 Konsep nasakh ini, jika ditilik sekilas, hampir mirip dengan takhshîsh yang

beroperasi untuk mengkhususkan kata-kata yang umum. Keduanya memang memiliki

11 Definisi ini diungkapkan oleh al-Qâdlî Abî Bakr al-Baqillânî dan dipilih oleh Imam al- Subkî. Lihat Tâj al-Dîn al-Subkî, Matn al-Jam` al-Jawâmi`, (Beirut: Dâr al-Fikr, t.th.), Juz 2, hal. 73

12 Secara umum, para ulama terbagi pada tiga golongan dalam mengidentifikasi makkiyyah dan madaniyyah ini. Pertama, makkiyyah merupakan ayat yang turun sebelum hijrah dan madaniyyah

adalah ayat yang turun setelah hijrah, baik yang turun di Makkah atau Madinah atau tempat-tempat lainnya. Kedua, makkiyyah merupakan ayat yang turun di Makkah, walau setelah hijrah sedangkan madaniyyah ialah ayat yang turun di Madinah. Ketiga, makkiyyah adalah ayat yang ditujukan pada komunitas Makkah sementara madaniyyah merupakan ayat yang ditujukan pada komunitas Madinah. Pembahasan secara mendetail mengenai pembedaan makkiyyah dan madaniyyah ini dapat dilihat dalam al-Suyûthî, al-Itqân fî Ulûm Al-Qur ’ ân, juz 1, hal. 9

13 Para ulama membagi hukum Al-Qur’ân pada dua bagian; yang dapat dihapus dan tidak dapat dihapus. Hukum yang tidak terkena penghapusan adalah hukum-hukum taklîf parsial, sementara

hukum yang tidak dapat digagalkan adalah hukum-hukum mengenai iman, sifat atau perbuatan baik dan tercela yang lazim diketahui oleh semua orang, seperti adil, berbohong, korupsi dan sebagainya. Lihat Ali Hasbullah, Ushûl al-Tasyrî` al-Islâmî, (al-Qâhirah: Dâr al-Ma’ârif, t.th.), hal. 357 hukum yang tidak dapat digagalkan adalah hukum-hukum mengenai iman, sifat atau perbuatan baik dan tercela yang lazim diketahui oleh semua orang, seperti adil, berbohong, korupsi dan sebagainya. Lihat Ali Hasbullah, Ushûl al-Tasyrî` al-Islâmî, (al-Qâhirah: Dâr al-Ma’ârif, t.th.), hal. 357

dalil lainnya. 14 Eksistensi konsep nasakh dalam wacana ulûm Al-Qur’ân ini tak pelak

melahirkan pertanyaan apakah konsep ini dapat dijadikan acuan untuk tidak mengamalkan pelbagai hukum-hukum Al-Qur’ân saat ini karena dianggap sudah out of date dan tidak relevan dengan realitas kontemporer. Berangkat dari kegelisahan ini dan didukung oleh spirit agar pelbagai ajaran Al-Qur’ân relevan sepanjang zaman, Mahmoud Taha misalnya menggulirkan isu evolusi dalam merespon dualitas realitas yang dihadapi Al-Qur’ân, periode Makkah dan Madinah. Menurutnya syari`at yang turun di Makkah harus menjadi fokus perhatian daripada hukum yang diturunkan dalam periode Madinah karena lebih memberikan kesan universalitas Al-Qur’ân, sementara ayat-ayat madaniyyah turun pada masa transisi yang dipengaruhi oleh situasi sosio-historis umat Islam yang berusaha mempertahankan eksistensinya dari

gangguan bangsa lain. 15 Wacana ini diperkuat oleh al-Na’im, salah seorang penerjemah ide-ide Taha, dengan mencetuskan konsep nâsikh mansûkh radikal, di

mana ia membalik pola konsep nasakh dengan menyatakan bahwa ayat-ayat makkiyyah 16 memiliki peran sebagai penghapus terhadap ayat-ayat madaniyyah.

Fenomena asbâb al-nuzûl dan nasakh serta pelbagai piranti interpretasi yang berkaitan dengannya tersebut, secara implisit menyatakan bahwa konteks sosio- historis masyarakat Arab, baik secara langsung atau tidak, ikut mempengaruhi produktifitas hukum Al-Qur’ân. Realitas ini menimbulkan pertanyaan serius apakah

14 Wahbah al-Zuhailî, Ushûl al-Fiqh al-Islâmî, (Suriah: Dâr al-Fikr, 1986), Cet. ke-1, hal. 942 15 Mahmoud Mohamed Taha, The Second Message of Islam, Pent. Abdullahi Ahmed an- Na’im, (New York: Syracuse University Press, 1966), hal. 37

16 Abdullahi Ahmed an-Na’im, Dekonstruksi Syari`ah, (Yogyakarta: LkiS, 2004), Cet. Ke-4, hal. 90 16 Abdullahi Ahmed an-Na’im, Dekonstruksi Syari`ah, (Yogyakarta: LkiS, 2004), Cet. Ke-4, hal. 90

ta`abbud). 17 Kedua, konsep yang menyinggung kemungkinan terjadinya pertentangan

antara teks dan mashlahah (al-ta`ârudl baina al-nushûsh wa al-mashlahah)

Menanggapi persoalan terkahir ini, menurut kalangan ulama Syâfi’iyyah dan Hanâbilah, teks tidak mungkin bertentangan dengan mashlahah karena hukum selalu berpedoman pada nash, ijma’ dan qiyâs. Ketika terjadi kontradiksi antara teks dan

mashlahah, otomatis yang diunggulkan adalah teks. 18 Sementara menurut al-Ghazâlî dan al-Âmidî menyatakan mashlahah dapat diunggulkan atas teks dengan syarat

mashlahah tersebut dharûrî atau hâjiyyât, pasti dan universal. 19 Sedangkan para ulama dari kalangan Mâlikiyyah dan Hanafiyyah secara umum lebih mengunggulkan

mashlahah ketika terjadi kontradiksi dengan teks. Mereka mengkhususkan teks zhannî dengan mashlahah qath’î atau pelbagai mashlahah yang diakui oleh hukum. Menurut mereka, khususnya kalangan Hanafiyyah, mashlahah lebih diunggulkan daripada khabar ahâd yang posisinya hanya zhannî. Dalam kaidah ushul, apabila terjadi kontradiksi antara dalil qath’î dan zhannî, yang diunggulkan adalah dalil

17 Dalam menanggapi wacana ini, para ulama terbagi pada dua kelompok. Pertama, menurut kalangan tekstualis (ahli zhâhir), pada asalnya tidak ada penyebab yang melatari teks, karena yang

menunjukkan hukum adalah bentuknya, bukan illatnya. Menurut mereka `illat-`illat versi syar`î tersebut tidak ditunjukkan oleh nash. Kedua, kelompok ulama yang menyatakan bahwa dalam setiap teks terdapat illat kecuali apabila ada dalil yang mencegahnya. Lihat Muhammad bin Abi Sahl al- Sarakhsî, Ushûl al-Sarakhsî, Juz 2, hal. 144

18 Wahbah al-Zuhailî, Ushûl al-Fiqh al-Islâmî, Juz 2, hal. 801 19 Mengenai konsep mashlahah menurut al-Ghazâli dan al-Âmidî lihat dalam Muhammad bin

Muhammad al-Ghazâlî, al-Mustashfâ, (Beirut: Dar al-fikr, t.th), Juz 1, hal. 141, `Ali bin `Ali bin Muhammad al-Âmidî, al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm, (Beirut: Dâr al-Kutub al-`Ilmiyyah, tth), Juz 3, hal. 138 Muhammad al-Ghazâlî, al-Mustashfâ, (Beirut: Dar al-fikr, t.th), Juz 1, hal. 141, `Ali bin `Ali bin Muhammad al-Âmidî, al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm, (Beirut: Dâr al-Kutub al-`Ilmiyyah, tth), Juz 3, hal. 138

kesan, ia lebih mengutamakan mashlahah daripada mengamalkan petunjuk lahiriah teks. Dalam kasus zakat misalnya, ia pernah menggugurkan kelompok muallafah qulûbuhum dari golongan-golongan yang berhak menerima zakat, karena pada saat itu Islam dianggap sudah sangat kuat. Sebagai konsekuensinya, pendistribusian zakat pada kelompok ini, ia anggap tidak butuh lagi. Demikian pula Umar ra. menjatuhkan talak tiga dengan satu kalimat talak karena melihat masyarakat pada saat itu mudah

mengucapkan kata talak, padahal pada masa rasul saw. praktek talak demikian hanya dihitung satu. 21

Pelbagai konsep yang digagas oleh para ulama klasik ini, tak pelak menjadi salah satu potret bahwa sejatinya di antara mereka ada usaha untuk mendialogkan teks dan realitas. Dalam konsep ta`lîl al-nushûsh misalnya, terdapat spirit untuk menelusuri alasan dari setiap teks, baik yang tersurat atau tersirat. Hal ini didukung oleh pernyataan mayoritas ulama yang sepakat bahwa pelbagai hukum harus dikaitkan dengan kemashlahatan hamba. Sementara dalam persoalan kedua, terdapat gambaran bahwa para ulama sangat memperhatikan faktor realitas sebagai partner dialog dengan teks untuk menemukan solusi dari pelbagai problem yang dihadapi oleh manusia.

20 Wahbah al-Zuhailî, Ushûl al-Fiqh al-Islâmî, Juz 2, hal. 801. Sejatinya kelompok ini terpecah pada dua bagian. Pertama, kalangan Hanâfiyyah dan Malikiyyah sebagaimana diungkapkan di

tubuh tulisan ini. Kedua, merupakan kelompok yang dipelopori oleh Sulaiman bin Abdul Qâwî atau yang lebih dikenal dengan Najm al-Dîn al-Thûfî. Sebagaimana dikutip oleh Wahbah, ia lebih mengunggulkan mashlahah daripada teks dan Ijma’ yang qath`î dalam hal mu’amalah, dengan cara mentakhshish dan menjelaskan keduanya, bukan dengan cara mengabaikannya. Mengenai argumentasi Thûfî dan sanggahan para ulama terhadapnya, lihat al-Zuhailî, Ushûl al-Fiqh al-Islâmî, Juz 2, hal. 803- 807.

21 Dalam hadis yang mengisahkan tentang kasus perceraian pada masa umar ra ini, misalnya sebagaimana diriwayatkan Muslim dan Imam Ahmad yang redaksinya sebagai berikut:

Muslim bin Hajjâj, Shahîh Muslim, (Beirut: Dâr Ihyâ’ al-Turâts al-Arabî, t.th.), Juz 2, hal. 1099, Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, (al-Qâhirah: Muassasah Qurthubah, t.th.), Juz 1, hal. 314

Pada masa kontemporer, spirit yang terdapat dalam pelbagai teori klasik untuk membangun dialog antara teks dan realitas ini, mengilhami pelbagai tokoh muslim kontemporer untuk melakukan hal yang serupa. Mereka mengkritisi pelbagai metodologi tafsir klasik yang dianggap terlalu sentralistik pada teks, tidak memberikan ruang dialog pada manusia atau realitas. Teks diposisikan sebagai subyek, sementara manusia cenderung sebagai obyek. Para tokoh muslim tersebut meminjam metode hermeneutika sebagai sarana menafsirkan teks. Mereka mencoba merekonstruksi pelbagai penafsiran Al-Qur’ân melalui kajian kritis terhadap bahasa

Al-Qur’ân. Para cendekiawan tersebut di antaranya adalah Muhammad Arkoun, Hassan Hanafi, Nashr Hâmid Abu Zaid, Muhammad Syahrûr, Farid Esack. Di Indonesia, para akademisi yang seringkali menyuarakan pendekatan hermeneutik ini di antaranya adalah Komaruddin Hidayat, Amin Abdullah, Yusuf Rahman, Syahiron Syamsuddin, Hilman Latif dan pelbagai jenius lainnya.

Secara etimologis, kata hermeneutik berasal dari bahasa Yunani hermeneuein yang berarti menafsirkan. Dengan demikian kata benda hermeneia secara harfiah berarti penafsiran atau interpretasi. Hermeneutik secara terminologis merupakan ilmu yang mempelajari bagaimana menafsirkan secara baik. Hermeneutik seringkali diartikan sebagai proses mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi mengerti. Batasan umum ini selalu dianggap benar, baik hermeneutik dalam

pandangan klasik maupun modern. 22 Menurut Palmer, meski istilah hermeneutika baru dikenal sejak abad ketujuh

belas, kerja penafsiran tekstual dan teori-teori interpretasi agama, susastera, hukum sudah ada sejak dahulu kala. 23 Menurut Esack, yang menyimpulkan pembagian

hermeneutik versi Palmer, ada dua arus utama yang mesti dibedakan dalam pencarian definisi hermeneutika. Arus pertama memandang hermeneutika sebagai prinsip- prinsip metodologis utama yang mendasari usaha interpretasi. Sementara arus kedua melihatnya sebagai eksplorasi filosofis tentang karakter dan kondisi yang diperlukan

22 Richard E. Palmer, Hermeneutics, (Evanston: Northwestern University Press, 1969), hal. 3 23 Palmer, Hermeneutics, hal. 35 22 Richard E. Palmer, Hermeneutics, (Evanston: Northwestern University Press, 1969), hal. 3 23 Palmer, Hermeneutics, hal. 35

menggambarkan bagaimana sebuah kata atau satu kejadian dalam waktu dan budaya lampau dapat dimengerti dan menjadi bermakna secara eksistensial dalam situasi kita

sekarang. 25 Dalam bidang hukum, interpretasi dengan menggunakan pendekatan

hermeneutik selalu berhubungan dengan materi teks. Setiap hukum dianggap mempunyai dua segi yaitu yang tersurat dan tersirat atau bunyi hukum dan semangat

hukum. Dua hal ini, selalu menjadi arena perdebatan para ahli hukum. Dengan demikian peran bahasa menjadi penting. Subtilitas Intelligendi (ketetapan pemahaman) dan subtilitas Explicandi (ketepatan penjabarannya) adalah sangat relevan bagi hukum. Atas dasar ini, Hermeneutik sangat dibutuhkan untuk

menerangkan dokumen hukum. 26

24 Farid Esack, Qur ’ an Liberation & Pluralism, (Oxford: Oneworld Publication, 1997), hal. 50. Palmer membagi hermeneutik pada enam definsi modern. Pertama, teori penafsiran bible (kitab

suci), kedua, metodologi philologi secara umum, ketiga, pengetahuan semua pemahaman linguistik, keempat, dasar metodologis geisteswissenchaften, kelima, fenomenologi keberadaan dan pemahaman eksistensial, keenam, sistem-sistem interpretasi. Palmer, Hermeneutics, hal. 33. Dua pendekatan hermeneutik ini melibatkan sejumlah tokoh penting dalam bidang hermeneutika. Kelompok pertama, yang menyatakan hermeneutika sebagai prinisip metodologis utama, berusaha secara teoritis menjelaskan pelbagai kemungkinan sebuah penafsiran, yaitu menyangkut pelbagai prosedur yang harus dipenuhi untuk menghindari pemahaman yang keliru terhadap teks. Oleh karena itu, hermeneutika dalam pengertian ini mengandaikan adanya kebenaran di balik teks, dan untuk menyingkapnya dibutuhkan metode-metode penafsiran yang mapan. Para pendukungnya aliran ini antara lain Friedrich Ernst Daniel Schleiermacher (1768-1834) dan Wilhelm Dilthey (1833-1911). Mengenai pendapat para tokoh tersebut tentang hermeneutika, dapat dilihat dalam F. D. E. Schleiermacher, Hermeneutics: The Handwritten Manuscripts, Pent. James Duke and Jack Fortsman, (American Academy Religion, 1997), W. Poesporodjo, Hermeneutika, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2004). Sementara kelompok kedua yang melihat hermeneutika sebagai eksplorasi filosofis memperbincangkan hakikat penafsiran; bagaimana sebuah kebenaran dapat lahir sebagai sebuah kebenaran, atau atas dasar apakah suatu penafsiran dapat dikatakan benar. Deretan tokoh dari aliran hermeneutik ini, antara lain Martin Heidegger (1889-1976), Hans Georg Gadamer (lahir 1900) dan Paul Riceour (1913-2005). Mengenai pendapat para tokoh ini tentang hermeneutika, lihat Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, Terj. Joel Weinsheimer dan Donald Marshall (New York: The Continuum International Publishing, 1989), Paul Riceour, Hermeneutic and The Human Sciences, Pent. Jhon B. Thompson, (Cambridge: Cambridge University Press, 2005)

25 Esack, Qur ’ an Liberation & Pluralism, hal. 51 26 E. Sumaryono, Hermeneutik; Sebuah Metode Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 2006), hal.

Penggunaan hermeneutika untuk menginterpretasi Al-Qur’an tersebut, menurut Esack, merupakan perkembangan baru dalam wacana pemikiran muslim kontemporer. Istilah hermeneutik tidak pernah dipakai oleh para pemikir tradisional sehingga ketika digunakan dalam kegiatan menafsirkan Al-Qur’ân, seringkali menimbulkan resistensi dari pelbagai kalangan. Namun, menurutnya, tidak disinggungnya hermeneutika dalam disiplin Islam klasik, dan tidak populernya istilah tersebut secara luas dalam literatur kontemporer Al-Qur’ân, tidak berarti ketiadaan pernyataan dan operasi yang bersifat hermeneutikal dalam studi tradisional Al-Qur’ân

dan disiplin klasik lain, karena menurutnya dalam tradisi Islam ada beberapa fenomena yang menyajikan bahwa istilah tersebut dipakai secara implisit. Pertama, problem hermeneutika selalu dialami dan diselesaikan secara aktif tetapi tidak dihadapi secara tematis. Fenomena ini terbukti dari diskusi-diskusi antara para ulama tentang persoalan asbâb al-nuzûl dan nasakh. Kedua, perbedaan antara tafsiran aktual dengan aturan, metode, atau teori interpretasi yang mengaturnya sudah ada dalam literatur-literatur tafsir awal. Selanjutnya, hal Ini disistematisasikan dalam prinsip- prinsip tafsir. Ketiga, tafsir tradisional selalu menyajikan pandangan yang beragam dalam menafsirkan sebuah teks. Golongan Syi’ah, Mu’tazilah, Asy’ariyah, Syari’at dan sebagainya menunjukkan afiliasi, ideologi, periode dan aspek historis yang mempengaruhi penafsir. Namun, realitas ini tidak didukung dengan tindakan para pengkaji Al-Qur’ân yang hanya sedikit memproduksi karya yang bersifat historis- kritis tentang relasi antara aspek sosial si penafsir dengan produk tafsirnya, juga tentang asumsi-asumsi sosio-politis dan filosofis baik secara eksplisit maupun implisit yang mendasari kecenderungan teologisnya, padahal hal ini merupakan fokus

utama dalam hermeneutika kontemporer. 27 Pendapat Esack tersebut berusaha menegaskan bahwa beberapa varian dalam

teori tafsir klasik dan kontemporer sejatinya mencerminkan pendekatan hermeneutika yang digagas oleh para ilmuan Barat. Namun, karena pelbagai teori tersebut, kurang

27 Farid Esack, Qur ’ an Liberation & Pluralism, hal. 50 27 Farid Esack, Qur ’ an Liberation & Pluralism, hal. 50

Secara umum, hermeneutika mirip dengan prinsip tafsir dan ta’wîl dalam tradisi klasik. Tafsir, secara terminologis, merupakan ilmu turunnya ayat, keadaannya, kisah-kisahnya, sebab-sebab turunnya, urutan periode makkiyyah dan madaniyyah- nya, muhkam dan mutasyâbih-nya, nasakh dan mansukh-nya, khusus dan umumnya, mutlak dan muqayyad-nya, mujmal dan mufassar-nya, halal dan

haramnya, janji dan ancamannya, pelajaran dan perumpamaannya. 28

Sedangkan ta’wil, menurut mayoritas ulama yang merupakan himpunan dari pelbagai ahli fiqh, kalam, hadis dan sufi, ta’wil, merupakan transformasi kata dari maknanya yang unggul pada makna yang lemah karena ada dalil. Jika transformasi ini terjadi karena ada dalil, disebut sebagai ta’wil yang benar (shahih), sementara jika dilakukan karena hanya didasarkan pada dugaan dalam menganggap sesuatu sebagai

dalil, ta’wilnya dinilai salah. 29 Dengan demikian, seorang interpreter dituntut melakukan dua hal. Pertama, menjelaskan kemungkinan untuk memaknai kata

dengan pelbagai makna yang dimilikinya dan menegaskan bahwa salah satu makna kata tersebut merupakan makna yang tepat baginya. Kedua, menjelaskan dalil yang

mendorong kata tersebut untuk dimaknai dengan makna yang lemah. 30 Definisi ta’wil yang ditawarkan oleh mayoritas ulama ini berusaha

menegaskan bahwa ada perbedaan antara tafsir dan ta’wil. Tafsir merupakan interpretasi yang berkaitan dengan riwayat (dalil), sementara ta’wil merupakan

28 Muhammad bin Bahâdur al-Zarkasyî, al-Burhân fî Ulûm Al-Qur ’ ân, (Beirut: Dâr al- Ma’rifah, 1391), Juz 2, hal. 148. Sejatinya, para ulama berbeda pendapat dalam pendefinisian tafsir.

Perdebatan tersebut dapat ditelusuri dalam dua karya besar ulûm Al-Qur’ân, al-Burhân Fî Ulûm al- Qur’ân, hal. 147-152, dan al-Suyûthî, al-Itqân fi Ulûm Al-Qur ’ ân, (Beirut: Dâr al-Fikr, t.th.), Juz 2, hal. 173-174. Menurut Khâlid Utsmân al-Sabt, setelah menelusuri perbedaan pendapat di antara para ulama mengenai definisi tafsir, menyimpulkan bahwa tafsir adalah ilmu yang membahas keadaan Al- Qur’an dari sisi petunjuknya pada maksud Allah sesuai dengan kemampuan manusia. Khalid bin Utsman al-Sabt, Qawâ`id al-Tafsîr, (al-Qâhirah: Dâr Ibn Affân, 1421), hal. 29

29 Muhammad Husain al-Zahabî, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, hal. 15. Definisi ini antara lain diungkapkan oleh Tâj al-Dîn al-Subkî, Matn al-Jam ’ al-Jawâmi ’ , (Beirut: Dâr al-Fikr, 1982), hal. 83

30 Al-Zahabî, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, hal. 15 30 Al-Zahabî, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, hal. 15

dengan didukung dalil. 31 Berdasarkan pembedaan antara tafsir dan ta’wil ini, hermeneutika dalam

pemikiran para ahli kontemporer, sejatinya lebih mirip dengan prinsip ta’wil yang berusaha mengungkapkan pelbagai kemungkinan makna yang dimiliki teks dengan berdasarkan pada dalil, baik dari teks primer (Al-Qur’ân) maupun teks sekunder.

Dalam teori pencarian pelbagai makna teks, para ahli hukum terbagi pada dua golongan. Pertama, kelompok Hanafiyyah dan kedua, kelompok Mutakallimîn. 32

Kelompok Hanafiyyah membaginya pada empat bagian, yaitu `ibârah al-nashsh, isyârah al-nashsh, dalâlah al-nashsh dan iqtidlâ’ al-nashsh. Sedangkan kelompok Mutakallimîn membagi petunjuk teks terhadap maknanya pada dua bagian, manthûq dan mafhûm. Term manthûq mirip dengan teori dalâlah ibârah, isyârah dan iqtidlâ’ dalam persepsi Hanafiyyah. Term mafhûm, khususnya mafhûm muwâfaqah yang disebut dengan fahwâ al-khithâb mirip dengan teori dalâlah al-nashsh dalam persepsi kalangan Hanafiyyah. Melalui teori-teori ini, para ulama seringkali berbeda pendapat untuk menentukan makna kata yang layak disematkan pada teks yang berimplikasi timbulnya pluralitas penafsiran.

Pelbagai teori interpretasi tersebut, mirip dengan unsur-unsur yang terdapat dalam hermeneutik kontemporer, di mana dalam menafsirkan teks, seseorang tidak hanya berdasarkan pada makna literal teks, namun harus menelusuri lebih jauh pelbagai kemungkinan makna yang tepat bagi teks untuk melepaskan keterasingan teks dari audiensnya.

Operasi interpretasi yang bercorak hermeneutikal secara implisit juga terdapat dalam metode penafsiran yang dicetuskan oleh sebagian para tokoh muslim kontemporer. Fazlur Rahman misalnya mencetuskan teori penafsiran yang disebut

31 Al-Suyûthî, al-Itqân fi Ulûm al-Qur ’ ân, Juz 2, hal. 173 32 `Ali Hasbullah, Ushul al-Tasyrî` al-Islâmî, hal. 300 31 Al-Suyûthî, al-Itqân fi Ulûm al-Qur ’ ân, Juz 2, hal. 173 32 `Ali Hasbullah, Ushul al-Tasyrî` al-Islâmî, hal. 300

teks harus dikomunikasikan dengan pelbagai teks lain yang menyinggung wacana yang sama. Teks tidak dapat berdiri secara otonom dalam menafsirkan. Kemudian kesimpulan penafsiran tersebut dibawa pada kondisi saat ini untuk didialogkan dengan problematika kontemporer. Untuk itu, perlu dikaji secara cermat situasi sekarang dan dianalisis unsur-unsurnya sehingga situasi tersebut bisa dinilai dan diubah sejauh yang dibutuhkan serta ditetapkan prioritas-prioritas baru demi

mengimplementasikan nilai-nilai Al-Qur’ân secara baru pula. 33 Teori yang dibangun Rahman ini, dalam prakteknya seringkali melahirkan

tafsir yang kontroversial, berbeda dengan produk penafsiran klasik. Dalam kasus riba misalnya, Rahman menyatakan bahwa Al-Qur’ân hanya melarang riba yang terlalu, sehingga dapat membuat penghutang bangkrut, tidak mampu melunasinya. Demikian pula dalam kasus perbudakan, Ia menyatakan bahwa sejak awal Al-Qur’ân memuat tujuan moral yaitu egalitarianistik, persamaan antara seluruh manusia. Fenomena ini dapat dilihat dari pesan-pesan Al-Qur’ân yang menyarankan dan menggalakkan pembebasan budak-budak (90:13; 5: 89; 58:3), bahkan Al-Qur’ân menyuruh kaum muslimin untuk membolehkan budak-budaknya membeli kebebasan mereka dengan

33 Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: The University of Chichago Press, 1984), hal. 7. Metode hermeneutik yang dicetuskan

Rahman ini juga diikuti oleh Amina Wadud. Dalam salah satu bukunya, Qur ’ an and Woman: Reading the Sacred Text from a Woman ’ s Perspective, yang kemudian diterjemahkan oleh Abdullah Ali menjadi Qur ’ an Menurut Perempuan: Membaca Kembali Kitab Suci Dengan Semangat Keadilan, (Jakarta: Serambi, 2006), Ia menegaskan posisi dirinya dalam mengikuti metode hermeneutik versi Rahman tersebut.

harga yang disepakati secara angsuran (24:33). Dengan demikian, jika perbudakan telah dihapuskan saat ini, fenomena tersebut sebenarnya merupakan manifestasi dari landasan etis Al-Qur’ân. Fenomena perbudakan tidak dihapus secara eksplisit dalam Al-Qur’ân, karena konteks sosio-historis saat itu yang tidak memungkinkan untuk

menghilangkannya secara langsung. 34 Pelbagai fenomena ini menyajikan, dalam metodologi interpretasi yang

dicetuskan oleh ulama muslim, baik klasik maupun kontemporer, kaya dengan teori- teori yang sebenarnya tidak berbeda jauh dengan teori hermeneutik yang dicetuskan

para scholar Barat. Akan tetapi, kekayaan dari teori tafsir klasik ini, menurut Farid Esack, tetap saja tidak membuat mayoritas pengkaji Al-Qur’ân menerima hermeneutika sebagai metodologi tafsir, disebabkan tiga hal. Pertama, untuk menemukan kembali makna, hermeneutika memaksakan terlibatnya konteks dan kondisi manusia. Tanpa konteks, teks tidak mungkin berarti apa-apa. Fenomena ini berarti bahwa Al-Qur’ân bukanlah sesuatu yang berada di luar konteks sosio- historisnya, melainkan berprofesi sebagai sebuah teks yang selalu butuh interpretasi. Kedua, hermeneutika menekankan bahwa yang memproduksi makna adalah manusia. Ini bertentangan dengan gagasan bahwa Tuhan dapat memberikan manusia pemahaman yang paling tepat. Ketiga, pemikiran tradisional Islam membuat pembedaan ketat dan seolah tak terjembatani antara pewahyuan di satu sisi, dengan interpretasi dan penerimaannya di sisi lain. Pembedaan ini amat krusial dan berbeda dengan konsep hermeneutika dalam pandangan kontemporer yang menganggap teks bersifat otonom dan tugas seorang penafsir adalah mendialogkannya dengan realitas saat ini. Dari dialog tersebut dimungkinkan menemukan makna baru dari teks,

sehingga penafsir dapat melakukan pemaknaan secara produktif terhadap teks. 35 Dalam penulisan tesis ini, penulis berusaha menelusuri konsep hukum al-

Qur’ân tentang hijâb dan haji yang merupakan persoalan krusial bagi umat Islam

34 Fazlur Rahman, Major Themes of The Qur ’ ân, (Kuala Lumpur: Islamic Book Trust, 1999), hal. 48

35 Farid Esack, Qur ’ an Liberation & Pluralism, hal. 63 35 Farid Esack, Qur ’ an Liberation & Pluralism, hal. 63

Sementara haji merupakan tradisi yang sangat kental dengan nuansa kearaban, karena haji pada asalnya merupakan praktek ziarah masyarakat Arab ke tempat tersuci (baitullah) waktu itu. Tradisi ini kemudian diadopsi Islam menjadi bagian dari haji Islam. Berkaitan dengan hal ini, juga akan ditelusuri konsep Al-Qur’ân tentang haji yang terbatas hanya pada bulan-bulan tertentu saja, kemudian dengan adanya sunnah hal ini dibatasi hanya pada bulan Dzulhijjah saja. Pengkhususan ini, di satu sisi melahirkan dampak positif karena umat Islam dapat merasakan ikatan persatuan serta persaudaraan yang cukup kuat dengan sesama muslim lainnya ketika berkumpul bersama dalam satu waktu. Namun, hal ini dapat berdampak negatif, dengan jatuhnya banyak korban hampir pada setiap perayaan haji belakangan ini, seiring dengan makin membludaknya jamaah haji.

Agar dapat mencapai penelusuran yang maksimal, ada beberapa langkah yang akan ditempuh penulis. Pertama, kajian historis-sosiologis. Pada level ini penulis akan menelusuri situasi bangsa Arab yang melatari lahirnya konsep Al-Qur’ân tentang hijâb dan haji. Untuk dapat memahami kedua konsep tersebut secara utuh, penulis tidak hanya mencukupkan dengan penjelasan dari asbâb al-nuzûl sebagaimana dijelaskan dalam pelbagai kitab tafsir atau hadis, namun juga akan ditelusuri konteks sosio-historis secara universal yang mempengaruhi konsep hijab dan haji menurut Al-Qur’ân. Selain itu, akan ditelusuri bagaimana respon yang beragam dari para cendekiawan muslim terhadap konsep hijâb dan haji. Perbedaan pendapat tersebut, meniscayakan terjadinya dialog intelektual di antara mereka yang Agar dapat mencapai penelusuran yang maksimal, ada beberapa langkah yang akan ditempuh penulis. Pertama, kajian historis-sosiologis. Pada level ini penulis akan menelusuri situasi bangsa Arab yang melatari lahirnya konsep Al-Qur’ân tentang hijâb dan haji. Untuk dapat memahami kedua konsep tersebut secara utuh, penulis tidak hanya mencukupkan dengan penjelasan dari asbâb al-nuzûl sebagaimana dijelaskan dalam pelbagai kitab tafsir atau hadis, namun juga akan ditelusuri konteks sosio-historis secara universal yang mempengaruhi konsep hijab dan haji menurut Al-Qur’ân. Selain itu, akan ditelusuri bagaimana respon yang beragam dari para cendekiawan muslim terhadap konsep hijâb dan haji. Perbedaan pendapat tersebut, meniscayakan terjadinya dialog intelektual di antara mereka yang

Kedua, kajian hermeneutik. Pada level ini, penulis berusaha menelusuri makna-makna yang dimiliki oleh hijâb dan haji serta bagaimana eksistensinya dalam prilaku bangsa Arab pra Islam dan kaum muslim awal. Selanjutnya akan dilacak bagaimana cara menafsirkan kedua konsep tersebut saat ini, di mana situasi dan kondisinya berbeda jauh dengan masa lampau. Pada level ini, penulis meminjam konsep hermeneutik Fazlur Rahman dengan teori double movement-nya. Konsep

hermeneutik versi Fazlur Rahman tersebut, akan didialogkan dengan teori penafsiran dalam tradisi ushul fiqh untuk dapat menawarkan solusi pada problematika yang terjadi di seputar hijâb dan haji.