Prinsip-Prinsip Hukum Al-Qur ’ân

D. Prinsip-Prinsip Hukum Al-Qur ’ân

Allah melegislasikan hukum-hukum-Nya melalui Al-Qur’ân untuk mewujudkan kemashlahatan manusia, baik secara langsung maupun gradual.

50 Quraish Shihab, “Membumikan ” Al-Qur ’ ân, (Bandung: Mizan, 1999), Cet. Ke-17, hal. 137. Al-Suyûthî mengutip pernyataan Muqâtil bin Sulaiman yang meriwayatkan hadis secara marfu’

tentang tidak diakuinya seseorang untuk disebut sebagai ahli fiqh jika tidak mampu memahami Al- Qur’ân dari pelbagai sisinya. Hadis tersebut adalah:

Menurut al-Suyûthi hadits ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Sa’ad dan lainnya dari Abu Dardâ’ secara mauqûf dengan lafazh ﻪﻘﻔﻟا ﻞﻛ ﻞﺟﺮﻟا ﻪﻘﻔﯾ ﻻ . Lihat Jalâl al-Dîn al-Suyûthî, al-Itqân fî `Ulûm Al- Qur ’ ân, juz 1, hal. 142. Hadis ini juga dikutip oleh Abdullah bin Muhammad bin Abî Syaibah dari

riwayat Abû Dardâ’. Lihat Abdullah bin Muhammad bin Abî Syaibah, al-Mushannaf fî al-Ahâdîts wa al- Â tsâr, (Riyâdl: Maktabah al-Rusyd, 1409), Cet. ke-1, Juz 6 hal. 142. Menurut Abû Umar yang dikutip oleh Imam ‘Ainî, teks ini bukan hadis, namun pernyataan Abu Dardâ’. Jika teks ini diriwayatkan sebagai hadits marfû`, kualitasnya lemah. Lihat Mahmûd bin Ahmad al-`Ainî, `Umdah al-Qârî, (t.tp.: Dâr al-Fikr, t.th.), Juz 2, hal. 55

51 Hakikat adalah setiap lafazh yang digunakan untuk menunjukkan makna asal bagi sesuatu yang dikenal. Sedangkan majâz adalah lafazh yang meminjam makna kata lainnya untuk menunjukkan

suatu hal karena ada korelasi antara keduanya. Lihat Wahbah al-Zuhailî, Ushûl al-Fiqh al-Islâmî, Juz 1, hal. 292 dan 296

52 Al-Suyûthî dalam al-Itqân membuat bahasan tersendiri mengenai pelbagai lafazh dalam bahasa Arab yang memiliki multi arti yang tergantung pada peran subyektifitas penafsir dalam

menginterpretasikannya. Lihat Jalâl al-Dîn al-Suyûthî, al-Itqân, juz 1, hal. 143.

Kemashlahatan ini ada yang terformat dalam pemberian manfaat atau penghapusan kerusakan, yang diperoleh dari ketetapan dan penelitian prinsip-prinsip hukum Al- Qur’ân. Konsep adanya tujuan luhur Allah swt. di balik pelbagai hukum-Nya ini, menelurkan wacana kausalitas hukum Al-Qur’ân, bahwa di dalam seluruh tindakan dan hukum Tuhan terkandung pelbagai alasan, gagasan dan tujuan mulia. Allah tidak mungkin memberikan hukum tanpa maksud dan tujuan karena dapat mengurangi integritas-Nya. Manusia dituntut menelusuri pesan-pesan Tuhan tersebut, baik yang tersurat maupun tersirat, untuk dijadikan sarana memecahkan pelbagai problema

kontemporer saat ini. 53

Jika ditelusuri dalam varian-varian Al-Qur’ân terdapat beberapa prinsip legislasi yang dapat dijumpai, di antaranya adalah: 54

1. Ketiadaan Kesulitan (`Adam al-Haraj) Kesulitan merupakan lawan dari kemudahan. Beraneka ragam hukum yang ada dalam Al-Qur’ân merupakan hasil respon terhadap persoalan yang terjadi dalam lingkungan masyarakat Arab waktu itu. Hal ini tidak berarti bahwa seluruh hukum Al-Qur’ân tidak memiliki sisi kesulitan. Oleh karena itu, para ulama membagi masyaqqah (kesulitan) pada dua bagian:

53 Para ulama terbagi pada dua kelompok dalam menyikapi wacana kausalitas hukum Al- Qur’ân ini. Pertama, aliran yang menolak adanya penyebab atau alasan di balik tindakan Tuhan. Bagi

mereka, Tuhan bebas berkehendak tanpa diharuskan memiliki alasan di dalamnya. Mereka beranggapan Tuhan boleh melakukan sesuatu yang tidak ada kemashlahatan atau terdapat kesulitan di dalamnya. Kelompok ini didukung oleh mayoritas ulama Hanbali, sebagian aliran madzhab Mâlikiyyah, Syâfi’iyyah, Zhâhiriyyah, Jahmiyyah dan Asy’ariyyah. Lihat Mahmûd bin Ahmad al- Zanjânî, Takhrîj al-Furû` `alâ al-Ushûl, (Beirut: Muassasah al-Risâlah, 1984), Cet. ke-5, hal. 38. Sementara aliran kedua yang didukung oleh imam al-Thûfî, Syaikh Taqî al-Dîn, Ibn al-Qayyim, Ibnu al-Qâdlî al-Jabal, kelompok Syi`ah dan Mu`tazilah menyatakan Al-Qur’ân turun dilatari oleh motif untuk mewujudkan kemashlahatan bagi manusia. Bahkan Mu`tazilah menambahkan Tuhan wajib berbuat baik terhadap hambanya. Lihat Muhammad bin Ahmad bin Abdul Azîz, Syarh al-Kaukab al- Munîr, (Riyâdl: Maktabah al-`Abîkan, 1997), Jilid 1, hal. 313. Perbedaan antara kedua kelompok tersebut, tak pelak melahirkan sikap yang berbeda dalam berinteraksi dengan Al-Qur’ân. Bagi kelompok pertama, Al-Qur’ân ditempatkan sebagai sesuatu yang transenden, tidak terkait dengan ruang dan waktu sehingga tidak perlu dikontekstualisasikan. Sementara kelompok terakhir lebih familier dalam bergaul dengan Al-Qur’ân, dengan menempatkan manusia sebagai obyek utama dan partner dialog yang aktif untuk memecahkan pelbagai persoalan yang dihadapinya.

54 Al-Subkî, et.al, Târîkh al-Tasyrî` al-Islâmî,(Damasyq: Dar al-Ashma’, 2001), hal. 68. Muhammad Khudlarî Bik, Târîkh al-Tasyrî` al-Islâmî, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1968), Cet. ke-2, hal. 15 54 Al-Subkî, et.al, Târîkh al-Tasyrî` al-Islâmî,(Damasyq: Dar al-Ashma’, 2001), hal. 68. Muhammad Khudlarî Bik, Târîkh al-Tasyrî` al-Islâmî, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1968), Cet. ke-2, hal. 15

b. Masyaqqah tambahan yang sulit untuk dilakukan atau agar dapat dikerjakan, seseorang harus mengerahkan kemampuan maksimal yang dapat berakibat ia cidera, baik badan maupun hartanya, atau berkonskwensi pelbagai perbuatan lain yang bermanfaat, terabaikan. Ragam masyaqqah inilah yang boleh

untuk ditinggalkan. 56

2. Peminiman Tuntutan (Taqlîl al-Takâlif) Syari`at Islam memiliki ciri khas yang berbeda dari syari`at umat sebelumnya yaitu dengan minoritas taklîf di dalamnya. Dalam pelegislasian hukumnya, Al-Qur’ân mayoritas menggunakan petunjuk global, tidak dengan ayat-ayat yang terperinci supaya mudah diketahui dan diamalkan. Bahkan dalam ayat 101 surah Al-Mâidah (5) dijelaskan Allah swt. melarang manusia untuk mempertanyakan hal-hal yang tidak dijelaskan dalam Al-Qur’ân. Manusia hendaknya mencukupkan diri dengan perintah atau larangan yang termuat di dalam Al-Qur’ân.

Demikian halnya dengan petunjuk yang terdapat dalam sunnah nabi saw. yang melarang seseorang untuk mempertanyakan hal-hal yang dicukupkan penjelasannya

55 Ragam kesulitan ini, meskipun tidak dapat ditolerir, dapat berubah seiring dengan perubahan situasi dan kondisi. Dalam puasa misalnya, meski memiliki masyaqqah, namun tidak sampai pada tingkat kesulitan yang akut sehingga tetap harus dikerjakan Kewajiban puasa ini dapat beralih pada ragam hukum lainnya ketika ada masyaqqah lain yang menyebabkan seseorang untuk tidak berpuasa. Seperti perjalanan, sakit, hamil dan menyusui. Lihat Al-Subkî, et.al, Târîkh al-Tasyrî` al-Islâmî, hal. 69

56 Hal ini sebagaimana ditunjukkan oleh beberapa dalil, di antaranya adalah QS. al-Baqarah (2): 185, serta hadits rasulullah saw yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhârî:

( يرﺎﺨﺒﻟا هاور ) ﺎﻤﺛا ﻦﻜﯾ ﻢﻟﺎﻣ ﺎﻤﻫﺮﺴﯾأ ﺬﺧأ ﻻا ﻦﯾﺮﻣأ ﻦﯿﺑ ﺮﯿﺧ ﺎﻣ ﺖﻟﺎﻗ ﺎﻬﻧأ ﺎﻬﻨﻋ ﷲا ﻲﺿر ﺔﺸﺋﺎﻋ ﻦﻋ Muhammad bin Ismâ’îl al-Bukhârî, Shahîh al-Bukhârî, (Beirut: Dâr Ibn Katsîr, 1987), Cet. Ke-3, juz 5, hal. 2269 ( يرﺎﺨﺒﻟا هاور ) ﺎﻤﺛا ﻦﻜﯾ ﻢﻟﺎﻣ ﺎﻤﻫﺮﺴﯾأ ﺬﺧأ ﻻا ﻦﯾﺮﻣأ ﻦﯿﺑ ﺮﯿﺧ ﺎﻣ ﺖﻟﺎﻗ ﺎﻬﻧأ ﺎﻬﻨﻋ ﷲا ﻲﺿر ﺔﺸﺋﺎﻋ ﻦﻋ Muhammad bin Ismâ’îl al-Bukhârî, Shahîh al-Bukhârî, (Beirut: Dâr Ibn Katsîr, 1987), Cet. Ke-3, juz 5, hal. 2269

Fenomena ini, menyebabkan kalangan zhâhiriyyah, salah satu aliran mazhab hukum Islam, mendasarkan pemikirannya pada makna lahiriah teks tanpa menganalisis secara cermat terhadap pelbagai kemungkinan maknanya. Mereka tidak

mengakui qiyas sebagai salah satu sumber hukum Islam. 58

3. Penahapan dalam Pelegislasian Hukum (al-Tadrîj fî al-Tasyrî`) Al-Qur’ân tidak turun ke bumi dalam ruang hampa sejarah. Sebelum Al- Qur’ân eksis, masyarakat Arab telah memiliki pelbagai tradisi dan praktek ritual yang berakar kuat di kalangan mereka. Tradisi tersebut ada yang layak untuk dilegalkan karena tidak membahayakan masa depan umat Islam serta ada yang harus langsung

dimentahkan karena bertentangan dengan prinsip dasar Islam. 59 Sesuai dengan prinsip dasar sosial, bahwa tidak mungkin untuk mengaplikasikan hukum secara sekaligus

karena dapat menyulitkan para audiensnya sehingga mereka enggan menerimanya. Sebagai solusinya, Al-Qur’ân, tidak memilih langkah revolusioner, namun menggunakan pola pendekatan persuasif yang efektif untuk mengubah tradisi masyarakat yang telah berakar kuat. Al-Qur’ân melakukan reformasi hukum-hukum yang telah lama eksis dalam masyarakat Arab secara gradual. Hukum-hukum tersebut

57 Dalam sebuah hadits mengenai persoalan haji, rasulullah saw. menasehati seorang laki-laki agar tidak mempertanyakan jumlah kewajiban melaksanakan haji, sebab dikhawatirkan akan timbul

hukum yang lebih berat dari yang telah ada, sebagaimana yang terjadi kepada umat sebelumnya yang menjadi rusak karena terlalu banyak bertanya. Teks hadits tersebut adalah: ﻦﻋ دﺎﯾز ﻦﺑ ﺪﻤﺤﻣ ﻦﻋ ﻲﺷﺮﻘﻟا ﻢﻠﺴﻣ ﻦﺑ ﻊﯿﺑﺮﻟا ﺎﻧﺮﺒﺧأ نورﺎﻫ ﻦﺑ ﺪﯾﺰﯾ ﺎﻨﺛﺪﺣ بﺮﺣ ﻦﺑ ﺮﯿﻫز ﻲﻨﺛﺪﺣ

Muslim bin Hajjâj, Shahîh Muslim, (Beirut: Dâr al-Turâts al-Arabî, t.th.), Juz 2, hal. 975. 58 Golongan Zhâhiriyyah merupakan para ulama yang menganut paham interpretasi Al-

Qur’ân sesuai petunjuk tekstualnya. Aliran ini dipimpin oleh Imam Abû Sulaiman Dâud bin Ali bin Khalaf (270 H). ucapannya yang terkenal adalah “sesungguhnya di dalam keumuman al-kitab dan al- sunnah terdapat hukum-hukum yang sempurna. Apabila ada persoalan yang tidak ada hukumnya secara lahiriah, maka Allah memaafkannya”. Muhammad bin Hasan al-Hajwî, al-Fikr al-Sâmî fî Târîkh al-Fiqh al-Islâmî , (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, t.th.), Juz 3, hal. 29

59 Muhammad Khudlarî Bik, Târîkh al-Tasyrî ’ al-Islâmî, hal. 17 59 Muhammad Khudlarî Bik, Târîkh al-Tasyrî ’ al-Islâmî, hal. 17

pezina. Pada awal Islam, ia hanya ditahan di rumah dan dicerca dengan perkataan, 60 kemudian meningkat menjadi rajam sebagai hukuman untuk pezina muhshan dan

dera bagi pezina yang bukan muhshan. 61

Selain itu, salah satu indikasi bahwa Al-Qur’ân menggunakan metode graduasi dalam legislasi hukum, terlihat misalnya dari perbedaan muatan antara ayat- ayat yang turun di Mekkah (makkiyyah) dan Madinah (madaniyyah), di mana ayat-

ayat makkiyyah jarang sekali memuat persoalan hukum kecuali untuk menjaga akidah umat Islam seperti pengharaman hewan sembelihan yang bukan lantaran Allah atau sebelumnya tidak disebutkan nama Allah (QS. al-An’âm (6): 121). Sementara ayat- ayat madaniyyah terlihat lebih berani dan lugas dalam pelegislasian hukum karena persatuan umat Islam sudah terwujud dan cukup untuk membentuk sebuah agama yang memiliki karakter hukum yang berbeda dengan agama-agama sebelumnya.

60 Hukum ini sebagaimana disinggung dalam ayat 15 surah al-Nisâ’ (5):

61 Hukuman rajam ditetapkan melalui al-sunnah yang diriwayatkan oleh Imam Bukhârî yaitu: ﻰﺤﻨﺘﻓ ﻪﻨﻋ ﺽﺮﻋﺄﻓ ﱏﺯ ﺪﻗ ﻪﻧﺇ ﻝﺎﻘﻓ ﺪﺠﺴﳌﺍ ﰲ ﻮﻫﻭ ﻢﻠﺳﻭ ﻪﻴﻠﻋ ﷲﺍ ﻰﻠﺻ ﱯﻨﻟﺍ ﻰﺗﺃ ﻢﻠﺳﺃ ﻦﻣ ﻼﺟﺭ ﻥﺃ ﺮﺑﺎﺟ ﻦﻋ

Al-Bukhârî, Shahîh al-Bukhârî, (Beirut: Dâr Ibn Katsîr, 1987), Cet. ke-3, juz 5, hal. 2020 sedangkan hukuman dera ditetapkan melalui firman Allah swt., yaitu: