Tradisi Masyarakat Arab, Hukum Arab dan Hukum Al-Qur ’ân
C. Tradisi Masyarakat Arab, Hukum Arab dan Hukum Al-Qur ’ân
Sebelum Islam memasuki kawasan Jazirah Arab, bangsa Arab telah memiliki konstruksi hukum tersendiri. Mereka memiliki para ahli hukum populer yang menjadi tempat rujukan dalam menyelesaikan pelbagai persoalan hukum. Para ahli hukum kondang yang dimiliki oleh kaum Quraisy antara lain, Abdul Muthallib, Harb bin Umayyah, Zubair bin Abdul Muthallib, Abdullah bin Jad`ân dan Walîd bin Mughîrah
al-Makhzûmî. 55
Konstruksi hukum yang berkembang dalam masyarakat Arab pada masa Muhammad saw. tidak seluruhnya belum sempurna. Hukum yang dikembangkan bangsa nomad didasarkan pada hukum adat yang sisa-sisanya masih survive pada puisi pra Islam dan masa awal Islam. Mayoritas hukum ini merupakan bangunan hukum yang turut dipengaruhi oleh lingkungan dunia Arab sekitarnya dengan aneka ragam kepercayaan dan kebudayaan, baik dari paganisme yang merupakan agama mayoritas Arab, maupun monotheisme, Yahudi dan Nasrani. Makkah sebagai kota perdagangan memiliki hubungan komersial yang dekat dengan Arabia selatan, Byzantium Syiria, dan Persia, sementara Madinah merupakan sebuah oasis yang didiami oleh pelbagai suku bangsa, baik Arab sendiri, Yahudi dan lainnya. Hal ini memungkinkan bahwa masing-masing kota telah memiliki hukum atau pelbagai hukum yang memuat elemen-elemen asing yang lebih maju dari hukum yang dimiliki
masyarakat nomad. 56
54 Yusuf Ali, The Holy Qur ’ an, hal. 854. Bandingkan dengan pernyataan mufassir klasik Qatâdah sebagaimana dikutip oleh al-Thabarî bahwa kaum majûs merupakan kelompok yang selain
menyembah api, juga menyembah matahari dan bulan. Al-Thabarî, Tafsîr Jâmi` al-Bayân, juz 9, hal. 121
55 Al-Ya’qûbî dalam karya sejarahnya menyebutkan sederet ahli hukum Arab. Lihat Al- Ya’qûbî, Târîkh al-Ya ’ qûbî, Juz 1, hal. 220
56 Joseph Schacht, “Pre-Islamic Background and Early Development of Jurisprudence ” , dalam Issa J. Boullata (ed.), An Anthology of Islamic Studies, (Montreal: McGill Indonesia IAIN
Development, 1992), hal. 29. Schacht lebih lanjut menyatakan bahwa hukum Islam baru terbentuk pada abad ketiga Hijriah, pada masa dinasti bani Umayyah. Ia meragukan adanya pranata hukum Islam
Dengan demikian, Al-Qur’ân yang hadir menyapa audiensnya saat itu, tidak datang dalam ranah kosong, hampa sejarah dan tradisi. Al-Qur’ân menghadapi masyarakat yang sudah memiliki pranata hukum, meskipun dalam konstruk yang sangat sederhana. Menghadapi fenomena ini, Al-Qur’ân merespon secara beragam. Adakalanya Al-Quran mengambil jalur kompromistis dengan menjadikan hukum yang ada dalam tradisi masyarakat Arab sebagai bagian dari hukum Islam, setelah terlebih dahulu dimodifikasi sesuai dengan nilai-nilai keislaman. Tak jarang, Al- Qur’ân juga merevisi hukum-hukum tersebut karena sulit untuk dapat
dikompromikan dengan prinsip-prinsip dasar dalam Islam. Fenomena ini menegaskan bahwa ada beberapa konstruksi hukum Al-Qur’ân yang dipengaruhi oleh budaya Arab. Bangunan hukum tersebut, dapat disaksikan dalam sederet persoalan yang disinggung Al-Qur’ân, misalnya hijâb, haji, qishâsh, riba dan sebagainya.
Fenomena pengaruh tradisi Arab terhadap sebagian konstruksi hukum yang disajikan Al-Qur’ân ini memungkinkan terjadinya perubahan hukum tersebut ketika bersentuhan dengan situasi dan kondisi saat ini yang berbeda jauh dengan tradisi masyarakat Arab waktu itu. Sebab, tak jarang seringkali terjadi kesenjangan antara petunjuk yang diungkapkan teks dengan realitas sosial kontemporer. Jika ditelusuri melalui analisis filsafat hukum dan sosiologi, gejala ini merupakan salah satu konsekuensi dari timbulnya ketidakpuasan terhadap hukum yang berlaku, karena hukum tersebut tidak sesuai dengan masyarakat yang diaturnya sehingga memerlukan penjelasan tentang dasar-dasar hukum. Menurut Montesqieu sebagaimana dikutip
yang dicetuskan oleh nabi saw. dan generasi awal. Ia meragukan otoritas nabi saw. dalam bidang hukum. Nabi hanya berkiprah dalam bidang agama (untuk mengajak orang beriman) dan politik (mengeliminir orang-orang munafik). Pendapat Schacht ini, mendapat sanggahan serius dari para intelektual lainnya. Hallaq misalnya dengan mengkritisi pandangan Schacht, menyatakan bahwa pada masa awal (nabi dan khulafâ’ râsyidîn), hukum Islam sudah terbentuk meskipun belum sempurna. Sementara Azami dengan mengemukakan contoh-contoh hukum dalam Al-Qur’ân dan prilaku hukum nabi saw. serta para tokoh hukum dari kalangan sahabat, mengkritisi pandangan Schacht tersebut. Lihat Wael B. Hallaq, The Origins and Evolution of Islamic Law, (Melbourne: Cambridge University Press, 2005), hal. 2. M. M Azami, Menguji Keaslian Hadis-Hadis Hukum, Pent. Ali Mustafa Yaqub, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004), Cet. ke-1, hal. 18-22 yang dicetuskan oleh nabi saw. dan generasi awal. Ia meragukan otoritas nabi saw. dalam bidang hukum. Nabi hanya berkiprah dalam bidang agama (untuk mengajak orang beriman) dan politik (mengeliminir orang-orang munafik). Pendapat Schacht ini, mendapat sanggahan serius dari para intelektual lainnya. Hallaq misalnya dengan mengkritisi pandangan Schacht, menyatakan bahwa pada masa awal (nabi dan khulafâ’ râsyidîn), hukum Islam sudah terbentuk meskipun belum sempurna. Sementara Azami dengan mengemukakan contoh-contoh hukum dalam Al-Qur’ân dan prilaku hukum nabi saw. serta para tokoh hukum dari kalangan sahabat, mengkritisi pandangan Schacht tersebut. Lihat Wael B. Hallaq, The Origins and Evolution of Islamic Law, (Melbourne: Cambridge University Press, 2005), hal. 2. M. M Azami, Menguji Keaslian Hadis-Hadis Hukum, Pent. Ali Mustafa Yaqub, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004), Cet. ke-1, hal. 18-22
Dalam tesis ini, akan ditelusuri beberapa konstruksi hukum Al-Qur’ân yang merupakan respon Al-Qur’ân terhadap tradisi bangsa Arab. Hukum-hukum tersebut diandaikan sebagai manifestasi dari sebuah perubahan sosial yang terus berkembang. Menurut Soerjono Soekanto, perubahan sosial yang terjadi dalam suatu masyarakat dapat terjadi karena bermacam-macam sebab, yang dapat berasal dari masyarakat itu sendiri atau dari luar. Suatu perubahan sosial lebih mudah terjadi apabila disebabkan
beberapa hal, yaitu apabila suatu masyarakat sering mengadakan kontak dengan masyarakat-masyarakat lain, memiliki sistem pendidikan yang lebih maju, sistem lapisan sosial yang terbuka, penduduk yang heterogen serta masyarakat yang tidak
puas terhadap bidang kehidupan tertentu. 58 Beberapa fenomena hukum Islam yang turut dipengaruhi oleh tradisi Arab, antara lain adalah:
1. Hijâb Hijâb sesuai dengan makna dasarnya yaitu menutup atau sesuatu yang
menghalangi antara satu dan lainnya. 59 Dalam perkembangan selanjutnya perempuan yang menutup seluruh badannya dengan pakaian dinamakan imra’ah mutahajjibah.
Secara historis, pelbagai bentuk pakaian para wanita Arab pra-Islam, sulit untuk dilacak. Di pelbagai surah, kata hijâb disebut 7 kali di dalam Al-Qur’ân. Dari bilangan tersebut, hanya 1 tempat yang biasanya dipakai oleh para ulama untuk menyatakan perintah bagi para wanita muslim menutup seluruh anggota tubuhnya, yaitu pada surah al-Ahzâb (33) ayat 53. Dalam ayat tersebut digambarkan jika para sahabat meminta sesuatu kepada para isteri nabi saw., hendaknya meminta dari belakang hijâb. Kata hijâb di sini di dalam terjemahan departemen Agama diartikan dengan tabir. Meskipun konteks ayat ini mengenai cara berinteraksi dengan para isteri nabi saw., namun mayoritas ulama menegaskan bahwa ayat ini juga berlaku bagi para
57 Alvin S. Jhonson, Sosiologi Hukum, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1994), hal. 78 58 Soerjono Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
2006), Cet. Ke-16, hal 110 59 Ibnu Manzhûr, Lisân al-Arab, Juz 1, hal. 298 2006), Cet. Ke-16, hal 110 59 Ibnu Manzhûr, Lisân al-Arab, Juz 1, hal. 298
tangannya, wajib ditutupi. 60 Secara historis, model pakaian perempuan yang tertutup seluruh badannya (hi
jâb) tidak genuin digunakan dalam masyarakat Arab. Model pakaian ini, lebih dahulu populer dipakai oleh para perempuan di negeri-negeri tetangga Arab yang memiliki
peradaban lebih maju, seperti Byzantyum dan Sassania. Hijâb juga dikenakan oleh para wanita pemeluk agama Yahudi dan Nasrani. Bahkan model pakaian ini, tidak
hanya dipakai oleh kaum hawa saja, namun juga digunakan oleh kaum adam pada masa lampau. 61
Selain itu, model pakaian wanita Arab juga dapat ditelusuri dalam syair-syair klasik yang menggambarkan pakaian yang mereka kenakan waktu itu. Dalam syair- syair tersebut, meskipun hanya sekilas, perempuan digambarkan sebagai sosok yang selalu memancarkan nuansa keindahan. Dengan tubuh aduhai disertai pakaian yang longgar dan aroma semerbak, mereka membuat para lelaki yang melihatnya lupa daratan dan mabuk kepayang. Syair-syair tersebut antara lain adalah: Pertama,
sebagaimana terdapat dalam bait syair Imri’ al-Qais: 62
Aku keluar bersama dia, aku berjalan, dia menyeret di belakang kami pada bekas kainnya yang kepanjangan yang terbuat dari kain halus bergambar
60 Ahmad bin Alî bin al-Râzî al-Jashshâsh, Ahkâm Al-Qur ’ ân, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1993), Juz 3, hal. 546
61 Fadwa El Guindi, Jilbab: Antara Kesalehan, Kesopanan dan Perlawanan, Pent. Mujiburrahman (Jakarta: Serambi, 2003), hal. 39
62 Al-Zaujânî, Syarh al-Mu`allaqât al-Sab ’ , (Beirut: Dâr Shâdir, t.th.), hal. 20, Ahmad bin Amîn al-Syanqîthî, Syarh al-Mu`allaqât al- ’ Asyr wa Akhbâr Syu ’ arâihâ, ( Beirut: Dâr al-Kutub al-
Ilmiyyah, t.th.), hal. 63
Ketika kami keluar dari halaman suku Hayy, dan sampai pada tempat yang tenang yang dikelilingi oleh pasir yang tinggi nan indah Kutarik dua sisi rambutnya (kepangnya), maka dia menyandar padaku dengan pinggangnya yang ramping betisnya yang halus. Pinggangnya yang halus putih tidak gendut, dadanya bersih berkilau seperti cermin.
Syair kedua adalah sebagaimana terdapat dalam salah satu bait syair Tharfah: 63
Rekan minumku yang mulia nan ceria bagai bintang, lalu datang pada kami budak perempuan (penyanyi) dengan pakaian yang disemprot minyak wangi, bajunya kedodoran dengan belahan dada yang lebar, ada yang manis mau saja disentuh tangan para pemabuk, begitu merangsang ketika tidak tertutup.
Syair Imri’ al-Qais tersebut, menggambarkan model pakaian yang dikenakan wanita Arab pada waktu itu, yaitu mereka memakai pakaian terbuka dengan dada dan pinggangnya dapat terlihat. Mereka juga ada yang memakai pakaian yang panjang, terkesan berlebih-lebihan sehingga ketika berjalan, kain itu harus diangkat, dan kakinya kadang-kadang terbuka.
Sementara syair Tharfah menggambarkan wanita yang berada di semacam bar atau tempat hiburan di mana terdapat jamuan minum-minuman keras. Pakaian yang dikenakan oleh perempuan tersebut sangat longgar dengan belahan dada lebar dan terbuka sehingga mengundang syahwat para pria nakal yang sedang mabuk untuk merayu dan menyentuhnya.
Menanggapi budaya Arab tersebut, Al-Qur’ân berusaha melakukan perubahan dengan menerapkan cara berpakaian yang tertutup bagi para wanita muslim. Namun, dalam Al-Qur’ân tidak dijumpai secara jelas mengenai batas-batas anggota tubuh (aurat) yang harus ditutupi oleh mereka, sehingga menimbulkan perbedaan pendapat
63 Al-Zaujânî, Syarh al-Mu`allaqât al-Sab ’ , hal. 58, al-Syanqîthî, Syarh al-Mu`allaqât al- `Asyr, hal. 74 63 Al-Zaujânî, Syarh al-Mu`allaqât al-Sab ’ , hal. 58, al-Syanqîthî, Syarh al-Mu`allaqât al- `Asyr, hal. 74
Menurut para pakar tafsir sebelum ayat ini turun cara berpakaian wanita merdeka dan budak, yang baik-baik atau yang tidak, sama saja. Para laki-laki usil seringkali tergoda untuk mengganggu para wanita, khususnya yang mereka ketahui
sebagai hamba sahaya. Karena pakaian yang dikenakan oleh para wanita tersebut sama, gangguan yang dilancarkan oleh para lelaki usil ini, seringkali mengenai pada wanita mu’min dan merdeka. Untuk menjaga kehormatan para wanita tersebut, lalu
turunlah ayat ini. 64 Dari ayat tersebut para ulama berbeda pendapat mengenai pola pakaian yang
harus dikenakan oleh para perempuan. Sebagian ulama menginterpretasikannya ayat ini sebagai pedoman bagi para perempuan untuk menutup seluruh anggota tubuhnya
tanpa kecuali (wajah dan telapak tangan). 65 Sementara bagi para ulama lainnya karena ayat tersebut hanya berfungsi untuk menegaskan perbedaan antara perempuan
merdeka dan budak atau sopan dengan tidak sopan, berusaha untuk direkonstruksi ketika diajak berdialog dengan kondisi saat ini, di mana para wanita budak sudah tidak ada, sementara identitas para wanita muslim tidak identik dengan pemakaian
jilbab. 66 Mengenai artikulasi kata hijâb dan aspek-aspek yang berkaitan dengannya,
akan dibahas lebih terperinci pada bab IV, dengan berusaha melakukan kajian kritis terhadap konsep hijâb melalui pendekatan sejarah dan hermeneutik dan bagaimana
64 Al-Thabarî, Tafsîr Jâmi ’ al-Bayân, Juz 10, hal. 332 65 Di antara para pakar yang menafsirkan ayat ini sebagai pedoman untuk menutupi seluruh
tubunya tanpa kecuali adalah pakar tafsir al-Jashshâsh. Lihat al-Jashshâsh, Ahkâm Al-Qur ’ ân, Juz 3, hal. 546
66 Di antara para pakar yang berpendapat demikian adalah al-Asymawî, Qasim Amin, Abbâs al-Aqqâd, dan Syahrûr. Mengenai perbedaan para ulama dalam menginterpretasikan hijâb akan lebih
dieksplor pada bab 4.
respon para cendekiawan muslim terhadap konsep hijâb yang berkembang dalam tradisi mayoritas masyarakat Islam.
2. Qishâsh Dalam masyarakat Arab pra Islam, dikenal tradisi hukum yang disebut hukum balas dendam sederajat (lex talionis), misalnya nyawa dibalas dengan nyawa, mata dibalas mata dan hidung dibalas dengan hidung. Pada tahap selanjutnya, tradisi hukum ini mengalami perubahan dengan diperkenankannya untuk diganti dengan uang tebusan (diat). Pada masa Muhammad saw., institusi diat mengalami
perkembangan signifikan yang tentunya tetap memeperhatikan unsur-unsur budaya yang hidup dalam masyarakat Arab. Jika yang terbunuh adalah laki-laki dewasa, maka keluarganya akan menerima 100 ekor unta sebagai tebusan. Sementara jika yang terbunuh perempuan dewasa maka tebusannya 50 ekor unta. Selanjutnya institusi diat, jizyah, kharaj ditetapkan berdasarkan kesepakatan dalam suatu masyarakat. Pada suku Rawala di gurun Syiria, diat bagi pembunuh dewasa 50 ekor unta betina bersama perlengkapan pengendaranya ditambah seekor kuda betina.
Sementara untuk perempuan dewasa ditetapkan 25 ekor unta betina. 67 Tradisi hukum ini sangat efektif untuk meredam keganasan tradisi masyarakat
Arab waktu itu, di mana peperangan merupakan peristiwa lumrah yang dapat terjadi setiap saat. Dalam khazanah klasik, peperangan-peperangan yang terjadi di kalangan masyarakat Arab pra Islam terekam dalam kisah Ayyâm al-`Arab (hari-hari orang Arab). Dalam peperangan tersebut secara umum pemicu utamanya adalah persengketaan hewan ternak, padang rumput dan mata air. Dari peperangan tersebut lahir para sasterawan dan pahlawan suku yang selalu abadi dikenang oleh kelompoknya. Salah satu peperangan populer yang terjadi waktu itu, yaitu tragedi perang bâsûs antara bani Taghlib dan bani Bakr yang berlangsung kurang lebih selama 40 tahun yang muncul akibat unta betina milik seorang perempuan tua suku Bakr yang bernama Bâsûs dilukai oleh pimpinan suku Taghlib. Perang saudara ini
67 W. Montgomery Watt, Islamic Political Thought, (Edinburg: Edinburg University Press, 1990), hal. 10 67 W. Montgomery Watt, Islamic Political Thought, (Edinburg: Edinburg University Press, 1990), hal. 10
Jasis bin Murrah, masih dikenang di negeri-negeri bahasa Arab. 68 Selain itu, untuk menggambarkan kegemaran bangsa Arab ini, terdapat
sejumlah syair yang mengisahkan prilaku bangsa Arab pra Islam tentang fenomena hukum qishâsh dan diat, di antaranya adalah syair yang diungkapkan oleh `Antarah,
salah seorang penyair populer yang syairnya masuk dalam jajaran mu’allaqât, yaitu: 69
Dan jika aku dianiaya, maka pembalasannya sangat membahayakan, pahit rasanya seperti buah.
Syair kedua, adalah syair yang diungkapkan oleh Zuhair bin Salmî: 70
Suatu kaum membayar kepada kaum lainnya sebagai tebusan (bagi nyawa yang terbunuh), mereka belum menumpahkan darah sepenuhnya di antara mereka.
Maka di sana mengalir dalam mereka (para wali korban) dari harta pusaka kalian, beragam onta-onta muda yang diberi tanda.
Menanggapi tradisi bangsa Arab ini, Al-Qur’ân meresponnya dengan memadukan pelbagai tradisi yang ada dengan prinsip-prinsip hukum Islam. Al- Qur’ân melegalkan tradisi hukum lex talionis dan menjadikannya sebagai bagian dari hukum Islam. Bagi Al-Qur’ân, tradisi qishâsh merupakan salah satu bentuk jaminan
keamanan demi keberlangsungan eksistensi hidup. 71 Meskipun demikian, para keluarga korban tidak diperkenankan untuk melakukan pembalasan sendiri, karena
yang memegang otoritas untuk melakukan qishâsh adalah pemerintah atau orang
68 Hitti, History of The Arabs, hal. 111 69 Al-Zaujânî, Syarh al-Mu`allaqât al-Sab ’ , hal. 145, al-Syanqîthi, Syarh al-Mu`allaqât al- `Asyr, hal. 116
70 Al-Zaujânî, Syarh al-Mu`allaqât al-Sab ’ , hal. 80 71 QS. Al-Baqarah (2): 179 70 Al-Zaujânî, Syarh al-Mu`allaqât al-Sab ’ , hal. 80 71 QS. Al-Baqarah (2): 179
Tradisi qishâsh tersebut dalam Al-Qur’ân digambarkan dalam beberapa ayat yang ada di pelbagai surah. Dalam ayat 126 surah al-Nahl misalnya dinyatakan bahwa pembalasan pembunuhan harus setimpal dengan perbuatan pelaku tanpa memandang kapasitas korban, baik dari kalangan terhormat atau budak, atau pembunuhannya dilakukan dengan cara-cara yang keji atau tidak.
Dalam salah satu riwayat, ayat ini turun pasca berkecamuknya perang Uhud yang menewaskan paman nabi saw., Hamzah bin Abdul Muthallib ra, yang mengalami luka mengenaskan dengan anggota tubuh yang terpotong-potong. Melihat hal ini, rasulullah saw. menyatakan bahwa jika terjadi peperangan lagi, beliau akan membalaskan pembunuhan tragis yang menimpa pamannya tersebut dengan nyawa
70 orang dari musuh, lalu turunlah ayat ini. 73 Menurut al-Thabarî ayat ini lebih baik untuk diartikan bahwa kaum muslim
hendaknya membalas setiap pembunuhan setimpal dengan perbuatan pelaku dan menegaskan bahwa sabar merupakan solusi terbaik bagi kaum muslim. Sebagai bukti bahwa sabar merupakan senjata ampuh, pasca perang Uhud, ketika terjadi perang Ahzâb, umat Islam beruntung tidak melakukan perang secara terbuka sehingga kaum musyrik Makkah yang dibantu para sekutunya mengalami kegagalan total. Pasca perang Ahzâb, dalam peristiwa Fath Makkah, umat Islam memperoleh kemenangan praktis tanpa pertumpahan darah. Al-Thabarî membantah pendapat sebagian pakar yang menyatakan bahwa ayat ini telah dihapus dengan ayat jihad sehingga
72 Al-Qurthubî, al-Jâmi ’ li Ahkâm Al-Qur ’ ân, Juz 2, hal. 165, Muhammad Alî al-Shâbûnî, Rawâ ’ i` al-Bayân Tafsîr  yât al-Ahkâm, (Jakarta: Dar al-Kutub al-Islamiyyah, 1999), Cet. ke-1, Juz 1,
hal. 171 73 Jalâl al-Dîn al-Suyûthî, al-Durr al-Mantsûr fî al-Tafsîr al-Ma ’ tsûr, (Beirut: Dâr al-Kutub
al-Ilmiyyah, 2000), Cet. ke-1, juz 4, hal. 255. Menurut Ibnu Katsîr, hadits yang meriwayatkan demikian (yaitu turunnya ayat disebabkan kematian Hamzah), kualitasnya dla’îf atau mursal. Dalam sanad yang diungkapkan oleh al-Bazzâr, terdapat nama Shâlih bin Basyîr bin Murî. Menurut Bukhârî, ia munkar al-hadîts. Sementara hadits yang diungkapkan Muhammad bin Ishâq, haditsnya mursal yang di dalamnya ada nama yang tidak diungkapkan. Ibnu Katsîr, Tafsîr Al-Qur ’ ân al-Azhîm, Juz 2, hal 781 al-Ilmiyyah, 2000), Cet. ke-1, juz 4, hal. 255. Menurut Ibnu Katsîr, hadits yang meriwayatkan demikian (yaitu turunnya ayat disebabkan kematian Hamzah), kualitasnya dla’îf atau mursal. Dalam sanad yang diungkapkan oleh al-Bazzâr, terdapat nama Shâlih bin Basyîr bin Murî. Menurut Bukhârî, ia munkar al-hadîts. Sementara hadits yang diungkapkan Muhammad bin Ishâq, haditsnya mursal yang di dalamnya ada nama yang tidak diungkapkan. Ibnu Katsîr, Tafsîr Al-Qur ’ ân al-Azhîm, Juz 2, hal 781
Penjelasan ayat ini didukung pula oleh ayat lainnya (QS. 2:178) yang menerangkan kewajiban qishâsh dan kebolehan menggantinya dengan diat serta keharusan melakukan pembalasan setimpal dengan perbuatan pelaku.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa hukum qishâsh dan tebusan merupakan tradisi yang telah eksis sejak masa sebelum Islam lahir. Tradisi ini juga
dikenal dalam konstruksi hukum agama Yahudi dan Nasrani. 75 Pada akhirnya, tradisi ini ditetapkan Al-Qur’ân sebagai bagian dari hukum Islam setelah dimodifikasi
dengan nilai-nilai keislaman. Khusus mengenai persoalan tebusan (diat), menurut hadits yang diriwayatkan Imam al-Bukhârî dari Ibnu Abbâs ra, hal ini tidak ada
dalam tradisi agama monotheis sebelumnya. 76 Namun, di tengah perkembangan dunia Islam yang dihadapkan pada pelbagai
persoalan multidimensi, hukum qishâsh menimbulkan sejumlah problem ketika akan diterapkan di pelbagai negara muslim, khususnya negara-negara yang telah memiliki produk hukum tersendiri. Oleh karena itu, Syahrûr, menganggap ayat qishâsh (2:178) yang terdapat dalam Al-Qur’ân harus dimaknai dalam kerangka bahwa hukuman pembunuhan merupakan hukum maksimal (al-had al-a’lâ), sementara hukum minimalnya adalah pemberian ma’af atau membayar diat. Islam memberikan peluang pada hakim untuk berijtihad dalam menentukan hukuman yang harus diberikan pada
pelaku pembunuhan. 77 Hampir mirip dengan pendapat Syahrûr tersebut, al-Ashmawî menyatakan hukum qishâsh mengandung banyak problem. Di antaranya adalah
74 Al-Thabarî, Tafsîr Jâmi ’ al-Bayân, Juz 7, hal. 666 75 Mengenai eksistensi hukum qishâsh dalam tradisi Yahudi, di dalam Al-Qur’ân digambarkan pada surah al-Mâidah (5): 45. Di dalamnya telah kami tetapkan pada mereka (Yaitu orang Yahudi) bahwasanya nyawa dibayar nyawa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, luka-luka pun ada qishâshnya. Hukum ini menurut para ulama Islam, juga harus dilaksanakan oleh umat Islam karena berdasarkan kaidah bahwa aturan-aturan yang diterapkan pada agama monotheis sebelum Islam, jika tidak dihapus, ia harus diamalkan. Muhammad bin Alî bin Muhammad al-Syaukânî, Irsyâd al-Fuhûl, (Makkah: Maktabah al-Tijâriyyah, 1993), Cet. ke-1, hal. 400
76 Al-Bukhârî, al-Jâmi` al-Shahîh, Juz 4, hal. 1636 77 Syahrûr, Al-Kitâb wa Al-Qur ’ ân, hal. 455 76 Al-Bukhârî, al-Jâmi` al-Shahîh, Juz 4, hal. 1636 77 Syahrûr, Al-Kitâb wa Al-Qur ’ ân, hal. 455
bertentangan dengan syari’ah. 78
3. Hukum waris Praktek waris yang berkembang dalam masyarakat Arab pra Islam, mayoritas hanya memberikan bagian harta pada anak laki-laki yang sudah dewasa saja. Sementara para wanita, anak kecil dan para budak tidak diberikan bagian harta
warisan sedikitpun. Kaidah populer yang menggambarkan tradisi mereka adalah: 79
Anak laki-laki tidak mewarisi harta orang tuanya yang meninggal dunia kecuali ia mampu untuk berperang
Sebagai konsekuensinya, ketika orang yang meninggal tidak memiliki anak laki-laki, maka ahli waris yang paling berhak mendapatkan warisan adalah saudara laki-laki. Mereka juga menjadi ahli waris tunggal ketika yang meninggal hanya memiliki anak perempuan.
Namun, praktek warisan tanpa memberikan bagian harta pada para wanita ini, hanya berlaku dalam mayoritas kalangan penduduk Hijaz saja, tidak bagi semua kabilah Arab, sebab ada sebagian kabilah yang memberikan warisan pada para anak perempuannya. Misalnya tradisi warisan yang berlaku dalam sebagian kelompok masyarakat yang dikenal dengan dzû al-majâsid, Âmir bin Jasym bin Ghanam. Ia
78 Muhammad Sa’id al-Ashmawi, “Syari’ah: Kodifikasi Hukum Islam”, dalam Charles Kurzman (ed.), Wacana Islam Liberal, (Jakarta: Paramadina, 2003), Cet. ke-2, hal. 49
79 Al-Thabarî, Tafsîr Jâmi ’ al-Bayân, Juz 4, hal. 185 79 Al-Thabarî, Tafsîr Jâmi ’ al-Bayân, Juz 4, hal. 185
Islam, sebagai agama yang menghargai prinsip kesetaraan manusia, tanpa membeda-bedakan status sosialnya, merespon secara tegas bahwa tradisi mayoritas Arab tersebut tidak sejalan dengan nilai-nilai Islam. Dalam Islam, manusia hanya dapat dibedakan dari sisi kualitas takwanya. Kaum perempuan, yang sering termarginalkan waktu itu, diangkat derajatnya dengan diberikan perlakuan yang sama dengan kaum laki-laki. Islam menawarkan sebuah perubahan radikal dengan merubah
sistem pewarisan yang telah ada, dengan cara membagi-bagikan harta warisan kepada para wanita dan anak-anak. Sebagai implikasinya, ketika peraturan tentang warisan ini muncul, muncul protes dari masyarakat Arab yang telah lama menikmati tradisi yang berlaku selama ini. Mereka menyatakan: ”ya rasulullah apakah kami akan memberikan setengah harta warisan pada seorang budak sementara ia tidak dapat menunggang kuda dan berperang dan apakah kami akan memberikan warisan pula
pada anak kecil sedangkan ia tidak memiliki kemampuan apa-apa”. 81 Dalam Al-Qur’ân sendiri, terdapat sejumlah ayat untuk menanggapi tradisi
Arab tersebut, di antaranya adalah ayat 7 surah al-Nisâ’ (4). Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan
kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu- bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan.
Menurut riwayat dari Sa’îd bin Jubair dan Qatâdah, ayat ini turun dalam rangka merespon tradisi masyarakat Arab waktu itu, yang hanya memberikan harta warisan pada para laki-laki, sementara anak kecil, dan kaum perempuan diabaikan. Sedangkan dalam riwayat lainnya ayat ini turun dalam rangka menanggapi protes yang dilancarkan oleh Ummi Kujjah yang bercerita pada nabi bahwa ia memiliki dua
80 Jawâd Alî, Târîkh al-Arab, Juz 5, hal. 275 81 Al-Thabarî, Jâmi ’ al-Bayân, Juz 4, hal.185 80 Jawâd Alî, Târîkh al-Arab, Juz 5, hal. 275 81 Al-Thabarî, Jâmi ’ al-Bayân, Juz 4, hal.185
Respon tegas Al-Qur’ân terhadap prilaku masyarakat Arab ini, melalui pembagian warisan terhadap para perempuan, didukung oleh ayat-ayat selanjutnya, khususnya QS. al-Nisâ’ (4):11, yang merupakan penjelas dari ayat tujuh tersebut yang menerangkan porsi bagian laki dengan perempuan adalah dua banding satu, suatu keputusan yang sama dengan yang terjadi pada sebagian masyarakat Arab sebelumnya.
Dari ayat-ayat tersebut, terlihat jelas bahwa Al-Qur’ân sangat menghargai nasib kaum perempuan dengan mengangkat posisinya setara dengan kaum laki-laki, yaitu diberikan bagian harta waris sesuai dengan bagian-bagian yang telah ditetapkan dalam Al-Qur’ân. Meskipun bagiannya tidak sebanding dengan bagian laki-laki, hal ini disebabkan karena tuntutan kondisi waktu itu, dimana para laki-laki memiliki tanggung jawab yang lebih besar untuk memelihara keluarga dibandingkan perempuan sehingga sangat wajar apabila diberikan harta warisan yang lebih besar. Selain itu, sangat tidak realistis apabila Al-Qur’ân langsung melakukan perubahan secara radikal dengan penyamarataan bagian laki-laki dan perempuan yang dapat menimbulkan gelombang protes besar dari masyarakat Arab.
Menanggapi persoalan hukum waris dalam Al-Qur’ân ini, menurut Fazlur Rahman, sebagian cendekiawan Islam berspekulasi bahwa karena kondisi saat ini sudah berubah, maka seorang anak perempuan dapat memperoleh bagian yang sama dengan saudara laki-lakinya, sedangkan sebagian cendekiawan lainnya mengungkapkan bahwa ketetapan tersebut harus dipertahankan karena selain warisan, seorang anak perempuan juga akan menerima emas kawin dari suaminya, oleh karena itu, meskipun secara lahiriah, hukum waris tersebut tidak adil, namun dalam
realisasinya sangat adil. 83
82 Ibnu Katsîr, Tafsir Al-Qur ’ ân al-Azhîm, Juz 1, hal. 604, al-Thabarî, Jâmi ’ al-Bayân, Juz 3, hal. 604, al-Suyûthî, al-Durr al-Mantsûr, Juz 2, hal. 439
83 Fazlur Rahman, Major Themes of The Qur ’ ân, hal. 51
Salah satu tokoh yang mengungkapkan kemungkinan membagi harta warisan secara rata antara laki-laki dan perempuan adalah Syahrûr. Menurut Syahrûr, hukum Al-Qur’ân tentang warisan tersebut harus difahami dalam konteks batas maksimal dan batas minimal. Bagi laki-laki, hukum yang ditunjukkan dalam Al-Qur’ân adalah batas maksimal, sementara bagi perempuan adalah batas minimal. Para ulama boleh melakukan ijtihad di antara kedua batas ini, sampai batas hukum yang membagi rata antara warisan laki-laki dan wanita. Dalam menentukan pembagian tersebut, para ulama harus didukung oleh fakta-fakta material. Hal ini menunjukkan bahwa Islam
konsisten dalam menerapkan konsep batas-batasnya (al-hudûd) dan toleransinya dalam pergerakan antar batas tersebut. 84
4. Haji Istilah haji, seringkali diartikan sebagai ziarah ke tempat-tempat suci pada masa-masa tertentu untuk mendekatkan diri pada para Tuhan dan pemilik tempat suci tersebut. Haji dengan makna demikian dikenal dalam tradisi agama manapun. Ia
merupakan bagian pelbagai syi’ar agama masa lampau. 85 Dalam tradisi klasik, tempat-tempat yang dijadikan tujuan haji ini biasanya
berbentuk batu. Ia juga dapat berupa tempat-tempat air bagi bangsa Arab badui, sementara bagi penduduk perkotaan, tempat ini biasanya disesuaikan dengan kondisi alam. Setiap orang berusaha semaksimal mungkin untuk mengunjungi dan beribadah di tempat ini, baik untuk sekedar mengambil berkah atau mendekatkan diri pada Tuhan. Untuk memudahkan pelaksanaannya, mereka menetapkan waktu-waktu pelaksanaan ibadah haji. Hari-hari ini dianggap sebagai hari raya yang digunakan sebagai tempat berkumpul dalam suasana riang gembira setelah mereka berziarah ke
tempat-tempat suci tersebut dan melaksanakan ritual-ritualnya. 86 Tempat-tempat suci tersebut memiliki rumah-rumah yang dipersembahkan
untuk para Tuhan mereka. Sejak zaman klasik hingga kini, populer istilah rumah para
84 Muhammad Syahrûr, Al-Kitâb wa Al-Qur ’ ân, hal. 459 85 Jawâd Alî, Târîkh al-Arab, Juz 5, hal. 214 86 Jawâd Alî, Târîkh al-Arab, Juz 5, hal. 214
Tuhan untuk menyebut pelbagai tempat ibadah. Tempat-tempat ini dijadikan pusat kunjungan haji bagi para pemeluk agama dari seluruh penjuru dunia. Makkah sebelum Islam merupakan bagian dari tempat-tempat ini.
Pada masa pra Islam, tempat haji tidak hanya dipusatkan di kota Makkah. Masih banyak tempat-tempat suci lainnya yang dianggap sebagai tempat suci, misalnya bait al-Lât di Thaif dan bait al-Uzzâ di dekat Arafah, bait Manâh, dan bait Dzî al-Khulshah. Pada musim haji, di tempat-tempat tersebut, mereka berkumpul dan memamerkan segala bentuk keahlian dan kekayaannya. Mereka berkumpul dengan
riang gembira dan berlomba-lomba untuk membahagiakan para Tuhannya dengan hadiah-hadiah yang sesuai dengan keyakinan mereka. Hadiah-hadiah tersebut berwujud hewan-hewan yang disembelih sesuai dengan tingkat prestise dan kemampuan mereka. Pada masa inilah, para faqir miskin memperoleh kenikmatan ganda, di samping dapat melakukan ritual haji, mereka juga dapat merasakan
kenikmatan beraneka ragam hidangan makanan lezat. 87 Bulan yang dianggap memiliki keistimewaan menjadi tempat pelaksanaan haji
bagi masyarakah Arab adalah bulan Dzulhijjah, sebuah nama yang masih eksis hingga saat ini dalam penanggalan hijriah. Selain bulan ini, terdapat sederet bulan mulia lainnya yang juga merupakan bulan-bulan haji. Bulan-bulan tersebut terabadikan dalam penggalan ayat 197 surah al-Baqarah (2) yang menyatakan (musim) haji adalah beberapa bulan yang populer.
Menurut kalangan ahli tafsir, pendapat yang shahih menyatakan bahwa bulan- bulan yang populer ini adalah Syawwal, Dzulka’dah dan sepuluh hari bulan
Dzulhijjah. 88 Sementara para cendekiawan lainnya menyatakan satu bulan penuh dari bulan Dzulhijjah merupakan bagian dari bulan-bulan yang telah diketahui ini. 89
87 Jawâd Alî, Târîkh al-Arab, hal. 217 88 Mengenai para ulama yang berpendapat demikian, lihat Ibnu Katsîr, Tafsîr Al-Qur ’ ân al- Azhîm, Juz 1, hal. 236
89 Mengenai para ulama yang berpendapat demikian, lihat al-Thabarî, Jâmi ’ al-Bayân, Juz 2, hal. 269, al-Qurthubî, al-Jâmi ’ li Ahkâm Al-Qur ’ ân, Juz 2, hal. 269
Salah satu ritual haji paling penting yang dilakukan oleh masyarakat Arab Makkah dan sekitarnya adalah tawaf, mengelilingi Baitullah atau Ka’bah sebanyak tujuh kali. Bagi sebagian masyarakat Arab, Ka’bah merupakan pusat tempat pelaksanaan ibadah haji. Pelbagai berhala yang merupakan wujud tuhan-tuhan Arab disimpan di sana. Jumlah berhala-berhala tersebut mencapai hingga 360 buah. Selain melakukan tawaf dengan mengelilingi Ka’bah ini, sebagian kalangan sejarawan juga meriwayatkan bahwa kaum jahiliyah juga mengelilingi rajamât, batu-batu yang dikumpulkan hingga menjulang tinggi seperti menara dan tawaf dengan mengelilingi
kuburan. Selain itu, terdapat beberapa tempat lainnya yang masuk dalam daftar tempat-tempat haji yang disinggahi oleh masyarakat Arab, baik karena kesuciannya
maupun ada berhala di sana seperti Arafah, Shafâ dan Marwah. 90 Praktek tawaf dengan mengelilingi Ka’bah ini diadopsi Islam dan dianggap
sebagai salah satu ritual yang harus dilaksanakan dalam haji. Selain tawaf, terdapat beberapa ritual haji yang ikut diadopsi Islam, di antaranya adalah: mencium hajar aswad, menempelkan tangan padanya, wuquf di Arafah, melempar jumrah, dan menyembelih kurban.
Pelbagai realitas ini mengindikasikan bahwa praktek haji tidak genuin sebagai ajaran Islam. Ia diadopsi dari pelbagai tradisi masyarakat pra Islam yang telah eksis terlebih dahulu. Makna haji selalu berkembang sesuai dengan tingkat kepercayaan yang dimiliki manusia. Oleh karena itu, seiring dengan perkembangan zaman, pelbagai persoalan kontemporer yang mengitari Ibadah haji perlu mendapat respon serius dari kaum muslim demi kembalinya haji pada makna esensialnya sebagai salah satu satu piranti untuk lebih mendekatkan diri pada Allah swt.. Persoalan tersebut antara lain adalah perubahan status haji yang seringkali menjadi ajang praktek komersialisasi ibadah oleh kalangan tertentu serta haji dapat menimbulkan kemudlaratan baru bagi umat Islam seiring dengan seringnya terjadi insiden kematian para jamaah ketika melaksanakan ritual haji.
90 Jawâd Alî, Târîkh al-Arab, Juz 5, hal. 218
Mengenai persoalan haji ini, akan dibahas lebih terperinci pada bab IV, dengan berusaha melakukan kajian kritis terhadap makna haji melalui pendekatan sejarah dan hermeneutik dan bagaimana respon para cendekiawan muslim terhadap konsep haji yang berkembang dalam tradisi masyarakat Islam.
6. Riba Secara etimologis, riba bermakna lebih, bertambah dan berkembang. 91
Sementara dalam istilah fiqh, riba adalah transaksi atas ganti tertentu yang tidak diketahui padanannya dalam ukuran syara’ pada waktu akad atau dengan cara
mengakhirkan pemberian dua atau salah satu benda yang dijadikan alat tukar. 92
Secara umum, riba dibagi dua, riba fadll dan riba nasî’ah. 93 Praktek riba yang populer di kalangan masyarakat Arab pra Islam adalah riba nasî’ah yaitu penangguhan
pembayaran disertai dengan pertambahan hutang. 94 Secara historis, sebelum Islam melarang praktek riba, agama Yahudi dan
Nasrani terlebih dahulu melarangnya. 95 Bahkan, di kalangan anggota masyarakat Jahiliyyah, yang notabene merupakan audiens Al-Qur’ân saat itu, ada yang
memandang riba sebagai tindakan tercela. Hal ini dapat dilihat dalam penuturan Ibn Hisyâm dalam sirahnya, yang meceritakan pernyataan Abû Wahb pada masyarakat
Quraisy ketika mereka sepakat untuk kembali membangun Ka’bah: 96
91 Ibnu Manzhûr, Lisân al-`Arab, Juz 14, hal. 304 92 Zakariâ al-Anshârî, Fath al-Wahhâb, (Beirut: Dar al-Fikr, 1994), Juz 1, hal. 190. 93 Riba fadll adalah transaksi jual beli yang pada salah satu alat tukarnya terdapat kelebihan
dari yang lainnya. Sementara riba nasî’ah adalah riba yang populer pada zaman jahiliyah yaitu pemberian piutang pada seseorang sampai batas waktu tertentu yang dibarengi dengan persyaratan pembayaran hutang secara lebih sesuai dengan lamanya masa meminjam. Sementara Ibnu Rusyd membagi riba pada dua hal, yaitu riba jual beli dan riba yang berada dalam tanggungan. Riba yang berada dalam tanggungan ada dua, sementara riba jual beli juga dibagi dua. Ibnu Rusyd, Bidâyah al- Mujtahid wa Nihâyah al-Muqtashid, ( t.tp.: Dâr al-Fikr, t.th.), Juz 2, hal. 96
94 Al-Thabarî, Tafsîr Jâmi ’ al-Bayân, Juz 3, hal. 102 95 Abu Zahrah mengutip teks Injil: “…jangan kamu memungut riba dari saudaramu Bani
Israil, baik berupa perak maupun makanan …”. Kalimat lain berbunyi “…terhadap orang lain (`ajam) boleh kamu memungut riba, tetapi terhadap saudaramu jangan kamu lakukan!” Lihat Muhammad Abû Zahrah, Buhûts fî al-Ribâ, (Beirut: Dar al-Buhûts al-`Ilmiyyah, 1970), hal. 7
Sementara pelarangan riba dalam agama Yahudi dapat dilihat dalam gambaran Al-Qur’ân surah al-Nisâ’:160-161
96 Ibn Hisyâm, al-Sîrah al-Nabawiyyah, juz 2, hal. 15
Hai sekalian kaum Quraisy, dalam membangun Ka’bah ini jangan menggunakan sesuatu yang diperoleh dengan jalan yang tidak baik; jangan menggunakan hasil pelacuran, riba, jangan pula hasil penganiayaan kepada seseorang
Riwayat singkat ini, menunjukkan bahwa untuk membangun tempat suci, idealisme orang Arab Jahiliyyah tidak membolehkan penggunaan harta dari riba dan kegiatan ekonomi lainnya yang dianggap menyimpang. Namun, riba masih dilakukan banyak orang di masa itu, tidak terkecuali para sahabat nabi pada permulaan Islam hingga datangnya larangan riba secara tegas dalam Al-Qur’ân. Setelah itulah para
sahabat menghindari riba. 97 Menurut pakar tafsir Al-Qur’ân Ali al-Shâbûnî, riba dilarang dalam Islam
dalam bentuk empat tahap, hal ini karena Islam memakai prinsip gradualitas dalam mengundangkan hukumnya agar lebih mudah dicerna oleh para audiensnya. 98
Pertama, firman Allah swt. dalam surah al-Rûm (30) : 39 Ayat ini merupakan bagian dari ayat makkiyyah, di mana di dalamnya tidak ada larangan tegas tentang riba, namun hanya berisi petunjuk bahwa Allah tidak senang pada riba dan riba tidak menuai pahala darinya. Secara implisit, ayat ini menunjukkan praktek riba masih dibolehkan.
Ayat kedua, adalah penggalan ayat 161 surah al-Nisâ’ (4). Ayat ini merupakan bagian dari ayat madaniyyah yang menceritakan larangan terhadap kaum Yahudi melakukan riba namun mereka tetap melakukannya sehingga mereka terkena la’nat dan kemarahan Allah. Ayat ini secara tegas tidak melarang kaum muslim untuk melakukan praktek riba karena hanya mengisahkan larangan riba bagi kaum Yahudi.
97 Muhammad Zuhri, Riba dalam Al-Qur ’ ân dan Masalah Perbankan, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1997), Cet. ke-2, hal. 41
98 Alî al-Shâbûnî, Rawâ ’ i` al-Bayân, Juz 1, hal. 391
Ayat ketiga, adalah ayat 130 surah Ali Imran (5). Dalam ayat ini, riba yang dilarang hanya riba yang berlipat ganda, sebagaimana dipraktekkan oleh kaum jahiliyah waktu itu. Larangan ini, mirip dengan gradualitas dalam pelarangan mengkonsumsi khamr yang pada awalnya hanya dilarang ketika akan melaksanakan shalat (QS. al-Nisâ’(4) ayat 43), sebelum dilarang sepenuhnya.
Dan terakhir, turun larangan melakukan seluruh praktek riba sebagaimana
yang terdapat dalam surah al-Baqarah (2): 278. Melalui ayat ini para ulama
menegaskan bahwa seluruh praktek riba dilarang dalam Islam dan yang masih melakukannya harus diperangi. Mereka menegaskan bahwa riba yang dilarang bukan
hanya riba nasîah yang dipraktekkan oleh mayoritas kaum Arab jahiliyyah. 99
Pendapat mayoritas ulama yang melarang seluruh praktek riba ini, tidak sepenuhnya diamini oleh para cendekiawan muslim lainnya. Mereka hanya sepakat bahwa riba yang diharamkan adalah riba yang berlipat ganda (adl`âfan mudlâ`afah). Ibnu Abbas, misalnya diriwayatkan membantah larangan riba fadll. Pendapat ini diikuti oleh sebagian ulama modern seperti Abduh dan Ridlâ yang menyatakan bahwa riba yang dilarang dalam Islam adalah riba yang berlipat ganda, sebagaimana yang tertera dalam ayat 130 surah Ali Imran. Berbeda dengan yang diungkapkan oleh para ulama lainnya, dalam tafsir al-Manâr, Ridlâ menyatakan bahwa ayat terakhir yang menjelaskan tentang riba adalah ayat 130 surah Ali Imran, sehingga hal ini menegaskan bahwa praktek riba yang dilarang hanya riba nasî’ah yang populer
dilaksanakan oleh masyarakat Arab pra Islam. 100 Selain berargumen dengan pendapat Ibnu Abbas, Ia juga memperkuat pendapatnya dengan hadis nabi yang diriwayatkan
oleh Imam Bukhârî dan Muslim yang menjelaskan bahwa praktek riba yang dilarang hanya riba nasî’ah. 101
99 Alî al-Shâbûnî, Rawâ ’ i` al-Bayân, Juz 1, hal. 365 100 Rasyîd Ridlâ, Tafsîr al-Manâr, (Beirut: Dâr al-Fikr, t.th.), Juz 3, hal. 132 101 Dalam riwayat Imam al-Bukhârî, hadis tersebut berbunyi:
Pendapat terakhir ini, yang membatasi larangan riba hanya pada riba nasî’ah mungkin lebih relevan ketika dikomunikasikan pada konteks saat ini, di mana peran bank sangat penting sebagai mitra bisnis dalam membiayai usaha yang dikembangkan oleh masyarakat. Selain itu, bank merupakan tempat praktis dan aman untuk menyimpan uang sehingga ketika dibutuhkan suatu saat, dapat dimanfaatkan oleh nasabah tanpa ada hambatan.
Al-Bukhârî, al-Jâmi ’ al-Shahîh, Juz 2, hal. 762. Sementara oleh Imam Muslim hadis ini diriwayatkan dengan redaksi ﺔﺌﯿﺴﻨﻟا ﻲﻓ ﺎﺑﺮﻟا ﺎﻤﻧإ , lihat Muslim, Shahîh, Muslim, Juz 3, hal. 1218