Memelihara Kehormatan dan Kesucian Diri

1. Memelihara Kehormatan dan Kesucian Diri

Dalam posisinya sebagai istri, mereka memiliki kewajiban terhadap Nabi saw, keluarganya (rumahnya) dan diri mereka sendiri. Kewajiban tersebut berkaitan dengan keharusan memelihara kehormatan serta kesucian diri serta melaksanakan Dalam posisinya sebagai istri, mereka memiliki kewajiban terhadap Nabi saw, keluarganya (rumahnya) dan diri mereka sendiri. Kewajiban tersebut berkaitan dengan keharusan memelihara kehormatan serta kesucian diri serta melaksanakan

“…Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik. Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu, dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu, dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya” (QS. al-Ahzâb/33: 32- 33)

Dalam rangka memelihara kehormatan dan kesucian diri para istri Nabi saw, Allah swt memberikan petunjuk dan pedoman kepada mereka melalui ayat-ayat Al- Qur’an. Ayat 32 merupakan tuntunan Allah swt kepada mereka menyangkut ucapan, dilanjutkan dengan bimbingan menyangkut perbuatan dan tingkah laku pada ayat 33.

Di antara tuntunan yang diberikan Allah kepada Ummahât al-Mu’minîn menyangkut ucapan adalah aturan atau batasan berupa etika berbicara yang meliputi gaya berbicara dan isi pembicaraan.

Menyangkut gaya berbicara, para istri Nabi saw dilarang berbicara dengan sikap dan suara yang dibuat-buat “ِلْﻮَﻘْﻟﺎِﺑ َﻦْﻌَﻀْﺨَﺗ ﺎَﻠَﻓ “. Kata ﻦﻌﻀﺨﺗ terambil dari kata عﻮﻀﺧ yang pada mulanya berarti tunduk. Bila dikaitkan dengan ucapan, maka yang Menyangkut gaya berbicara, para istri Nabi saw dilarang berbicara dengan sikap dan suara yang dibuat-buat “ِلْﻮَﻘْﻟﺎِﺑ َﻦْﻌَﻀْﺨَﺗ ﺎَﻠَﻓ “. Kata ﻦﻌﻀﺨﺗ terambil dari kata عﻮﻀﺧ yang pada mulanya berarti tunduk. Bila dikaitkan dengan ucapan, maka yang

maka pada dasarnya ia tidak terlarang. 42 Larangan berbicara dengan gaya seperti itu, dikarenakan berbicara dengan

laki-laki asing dan memandang secara sembunyi-sembunyi kepada orang fasiq merupakan pembuka terjadinya fâh 43 isyah. Sebab dilarangnya gaya berbicara yang

dibuat-buat seperti dengan merendahkan suara yang melebihi kodratnya dikarenakan khawatir timbulnya akibat/dampak negatif terhadap mereka terutama menyangkut kehormatan dan kesucian diri mereka, yaitu adanya keinginan laki-laki asing terhadap mereka 44 sebagaimana dikemukakan dalam ayat. Atau menurut penyusun Tafsir

al-Jalâlain ketika menafsirkan kalimat ٌضَﺮَﻣ ِﮫِﺒْﻠَﻗ ﻲِﻓ يِﺬﱠﻟا َﻊَﻤْﻄَﯿَﻓ adalah perasaan nifâq 45 dari laki-laki yang berbicara dengan mereka.

41 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, vol. 11, h. 262 42 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, vol. 11, h. 262 43 Khatib ar-Râzî, Tafsîr ar-Râzî, Juz 25, h. 209 44 Menurut M. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Mishbah, vol 11, h. 262, kata ﻊﻤﻄﯾ digunakan

untuk menggambarkan keinginan pada sesuatu yang biasanya akibat dorongan nafsu dengan adanya keinginan atau niat untuk berbuat serong dengan wanita, seperti melakukan zina

45 al-Mahalli dan As-Suyûthi, Tafsîr Al-Qur’ân al-Karîm/Tafsîr Jalâlain, h. 346

Selain menghindari gaya pembicaran yang dapat menimbulkan masalah, terutama keinginan laki-laki asing terhadap mereka, mereka juga diharuskan senantiasa berkata dengan perkataan yang ma’ruf (ﺎًﻓوُﺮْﻌَﻣ ﺎًﻟْﻮَﻗ). Kata ﺎﻓوﺮﻌﻣ di sini dipahami dalam arti yang dikenal oleh kebiasaan masyarakat. Perintah mengucapkan yang ma’ruf, menurut Quraish Shihab, mencakup cara pengucapan, kalimat-kalimat yang diucapkan serta gaya pembicaraan. Dengan demikian, ini menuntut suara yang wajar, gerak gerik yang sopan dan kalimat-kalimat yang diucapkan baik, benar dan

sesuai sasaran, tidak menyinggung perasaan atau mengundang rangsangan. 46 Diriwayatkan dari sebagian istri-istri Nabi saw bahwa mereka sering

meletakan tangan pada bibirnya ketika berkomuniksi dengan orang lain. Hal itu dilakukan karena khawatir suaranya berubah, sehingga menjadi kedengaran lembut

dan merdu kemudian dipersepsi keliru. 47 Ketegasan dalam nada pembicaraan, membatasi diri dalam mentasharrufkan harta, dan menjaga jarak dengan bukan

muhrim adalah butiran-butiran kebaikan bagi perempuan yang sudah bersuami baik pada jaman Jahiliyyah maupun dalam ajaran Islam. 48 Sebaliknya nada pembicaraan

yang lembut dan erotis apalagi pembicaraan yang porno (rofats) adalah bentuk keburukan dan kebodohan perempuan yang sudah bersuami. 49

Dalam konteks lembaga perkawinan ayat ini berkaitan dengan fiqh al- mu’âsyarah (pemahaman tentang etika pergaulan domestik lembaga perkawinan).

46 al-Mahalli dan As-Suyûthi, Tafsîr Al-Qur’ân al-Karîm/Tafsîr Jalâlain, h. 346 47 al-Alûsî, Rûh al-Ma’âni, Juz 22, h. 5.

48 al-Alûsî, Rûh al-Ma’âni, Juz 22, h. 5. 49 al-Alûsî, Rûh al-Ma’âni, Juz 22, h. 5.

Seorang istri harus memiliki etika dan karakter yang jelas yang menegaskan perbedaan mereka dengan perempuan yang belum bersuami. Etika dan karakter tersebut muncul sebagai akibat dari kualitas ketakwaan yang mencerminkan rasa tanggung jawab terhadap Allah dan terhadap suaminya. Wujud etika tersebut dalam bentuk rambu-rambu ketika berhubungan dengan orang lain. Pada ayat di atas digambarkan dalam bentuk larangan berkomunikasi yang menimbulkan persepsi keliru serta kecenderungan-kecenderungan memancing hasrat seksual laki-laki bukan muhrim.

Selanjutnya dalam ayat 33 Allah memberikan bimbingan menyangkut

perbuatan dan tingkah laku. Dalam ayat ini Allah ingin memastikan bahwa keluarga dan orang-orang yang berada dalam lingkaran inti kenabian betul-betul menjadi cermin baik secara moral dan spiritual bagi perubahan sistem kemasyarakatan Jahiliyyah yang sudah rusak, dan menghindarkan mereka dari kontaminasi kultur destruktif Jahily untuk menunjang dakwah risalah.

Kata نْﺮَﻗ َ –begitu dibaca oleh ‘Ashim dan Abu Ja’far-- terambil dari kata َنْرَﺮﻗا iqrarna dalam arti tinggallah dan beradalah di tempat secara mantap. Ada juga yang berpendapat bahwa kata tersebut terambil dari kata ﻦﯿﻋ ةﺮﻗ yang berarti sesuatu yang menyenangkan hati. Dengan demikian, perintah ayat ini berarti: Biarlah rumah kamu menjadi tempat yang menyenangkan hati kamu. Ini dapat juga Kata نْﺮَﻗ َ –begitu dibaca oleh ‘Ashim dan Abu Ja’far-- terambil dari kata َنْرَﺮﻗا iqrarna dalam arti tinggallah dan beradalah di tempat secara mantap. Ada juga yang berpendapat bahwa kata tersebut terambil dari kata ﻦﯿﻋ ةﺮﻗ yang berarti sesuatu yang menyenangkan hati. Dengan demikian, perintah ayat ini berarti: Biarlah rumah kamu menjadi tempat yang menyenangkan hati kamu. Ini dapat juga

Banyak ulama membaca ayat di atas dengan kasrah pada huruf qaf yakni َنْﺮِﻗ. Ini terambil dari kata راﺮﻗ yakni berada di tempat. Dengan demikian ayat ini memerintahkan Ummahât al-Mu’minîn sebagai istri-istri Nabi saw itu untuk berada di tempat yang dalam hal ini adalah rumah-rumah mereka. Sementara itu, Ibnu ‘Athiyyah membuka kemungkinan memahami kata َنْﺮِﻗ terambil dari kata رﺎَﻗو yakni

wibawa dan hormat. Ini berarti perintah untuk berada di rumah karena hal itu mengundang wibawa dan kehormatan untuk mereka. 51

Sedang menurut Abu al-Fatah al-Hamdany, makna نﺮﻗ adalah berkumpul. 52 Makna ini menjadi relevan ketika mendudukan istri sebagai ibu rumah

tangga yang senantiasa berkumpul dengan putera-puterinya. Secara psikologis dengan berkumpulnya seorang ibu akan memberikan kenyamanan, perlindungan, fungsi pendidikan serta pengawasan yang lebih maksimal bagi keluarganya. Di samping itu, makna ini menjadi relevan jika dikaitkan dengan keharusan pergaulan di dalam keluarga secara mu’âsyarah bi al-ma’rûf (keintiman yang positif) seperti yang terdapat pada surat an-Nisâ ayat 19 sebab keintiman (intimate) tidak mungkin terjalin tanpa berkumpul. Firman Allah:

50 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, vol. 11, h. 263 51 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, vol. 11, h. 263 52 Al-Alûsî, Rûh al-Ma’ânî, Juz 22, h. 6

“... Dan bergaullah dengan mereka secara patut. …” (Q.S. An-Nisâ/4: 19)

Penisbahan kata ( ﻦﻜﺗﻮﯿﺑ ) kepada dhamir muannats (perempuan), menunjukan bahwa kaum perempuan memiliki kekuasaan dan otoritas besar di rumahnya dibanding suaminya sendiri. 53 Seorang suami ibarat tamu di rumah istrinya. 54 Inilah fungsi khas (orisinil) seorang istri dalam struktur keluarga muslim (back to home). 55 Dengan kalimat tersebut juga menunjukan keharusan seorang istri

melaksanakan fungsi manajerial rumah tangga suaminya. Jika mempergunakan pendekatan kebahasan (qawâid al-lughawiyyah) dalam tradisi ilmu ushul fiqh, dilâlah al-amr yang terdapat dalam kalimat ( نﺮﻗ ) boleh jadi

menunjukan kepada makna imperatif (perintah) yang bersifat wajib. 56 Sehingga dipastikan istri-istri Nabi saw dan perempuan muslim pada umumnya wajib diam di

rumah memaksimalkan fungsi domestiknya. Dengan maksimalnya peran dan fungsi perempuan di dalam rumah, secara psikologis bisa membangun fungsi keluarga secara lebih efektif dengan landasan cinta dan kasih sayang (mawaddah wa rahmah)

53 Al-Alûsî, Rûh al-Ma’ânî, juz 22, h. 7 54 Perhatikan Seyyed Hossein Nasr, The Heart of Islam: Pesan-pesan Universal Islam untuk Kemanusiaan, (Bandung: Mizan, 2003), h. 230. Ini menepis pandangan Barat seolah-olah perempuan muslim dalam keadaan terbelenggu di rumahnya (kolonialisme gender). Yang justeru terjadi adalah peran aktif perempuan sebagai manajer dalam miniatur masyarakat paling kecil yaitu keluarga. Mengatur fungsi-fungsi elemen keluarga secara harmonis. Di sini bisa difahami bahwa persamaan laki- laki dan perempuan dalam Islam tidak bersifat persamaan kuantitatif, tetapi bersifat komplementaris. Ini berkali-kali diungkapkan oleh Nasr.

55 Gerakan kembali ke rumah (back to home), ke dalam fungsi orisinil kaum perempuan di keluarga banyak muncul di Barat dan Amerika ketika gerakan emansipasi cenderung mereduksi

struktur keluarga inti (nuclear family) dan menghancurkan sendi-sendi kekeluargaan. 56 Ibnu Abî Hâtim mengeluarkan hadits yang diterimanya dari Ummi Nailah ra. Berkata: “Abû

Barzah datang ke rumah dan dia tidak menemui istrinya. Kemudian orang memberitahu bahwa istrinya pergi ke mesjid. Tatkala istrinya datang ia berteriak sambil berkata: “Sesungguhnya Allah telah melarang perempuan untuk ke luar rumah dan Dia menyuruhnya diam di rumahnya masing-masing, tidak boleh mengantarkan jenazah, tidak boleh pergi ke mesjid dan tidak boleh menghadiri shalat jum’at. As-Sayûthî, ad-Durr al-Mantsûr, juz 5, h. 374 Barzah datang ke rumah dan dia tidak menemui istrinya. Kemudian orang memberitahu bahwa istrinya pergi ke mesjid. Tatkala istrinya datang ia berteriak sambil berkata: “Sesungguhnya Allah telah melarang perempuan untuk ke luar rumah dan Dia menyuruhnya diam di rumahnya masing-masing, tidak boleh mengantarkan jenazah, tidak boleh pergi ke mesjid dan tidak boleh menghadiri shalat jum’at. As-Sayûthî, ad-Durr al-Mantsûr, juz 5, h. 374

Di samping melaksanakan fungsi manajemen di dalam rumahnya, dalam kedudukannya sebagai Ummahât al-Mu’minîn, istri-istri Nabi saw wajib memelihara kesucian diri. Kesucian (‘iffah) seorang perempuan antara lain melalui kebersahajaan di dalam berpenampilan sesuai dengan tuntutan syari’at. 57 Istri Nabi saw sebagaimana tercantum pada ayat tersebut di atas dilarang mengeksploitasi dirinya untuk konsumsi publik yang sangat murah.

Kata ﻰَﻟوُﺄْﻟا ِﺔﱠﯿِﻠِھﺎَﺠْﻟا َجﱡﺮَﺒَﺗ َﻦْﺟﱠﺮَﺒَﺗ ﺎَﻟَو , dalam maknanya yang lebih luas adalah

eksploitasi aspek-aspek komersil kaum perempuan untuk konsumsi publik secara murah seperti kaum yang tidak terdidik secara etik (jâhiliyyah) 58 . Perempuan secara

qudraty memiliki daya tarik. 59 Daya tarik tersebut menyebabkan kaum perempuan rentan terhadap berbagai gangguan dan komersialisasi baik disadari atau tidak. Pesan

al-Qur’an yang ditujukan kepada Istri Nabi untuk tidak eksplosif (tabarruj) secara fisik, mengandung pesan preventif dan antisipatif agar kaum perempuan muslimin pada umumnya lebih terhormat dan berharga.

Menurut Mujahid, Qatada, dan Ibnu Najih yang diterimanya dari Muqatil berpendapat bahwa kalimat جﺮﺒﺗ mengandung makna mengelok-elok diri,

57 Lihat Q.S. al-Ahzâb/33 : 59. 58 Menurut Imam al-Zamakhsyari dan Ibnu ‘Athiyyah yang dimaksud Jahiliyyah dalam ayat

tersebut adalah Jahiliyyah sebelum Islam (qabla as-syar’i). Dengan demikian termasuk di dalamnya tradisi jahiliyyah jaman Nabi Adam, Nuh, Ibrahim dan Musa berupa sifat-sifat kekafiran, kefasiqan dan penentangan terhadap sya’riat Allah. Al-Alûsî, Rûh al-Ma’âni, Juz 22, h. 8. Bandingkan pula dengan ar-Râzî, Tafsîr ar-Râzî, juz 25, h. 210, dan as-Sayûthî, ad-Durr al-Mantsûr, juz 5, h. 375

59 Dalam al-Qur’an Allah menegaskan bahwa manusia (kaum laki-laki) dijadikan untuk tertarik dan cinta kepada perempuan, harta dan keturunan. Lihat Q.S. ‘Ali Imrân/3: 14.

menghancurkan diri serta genit (atractiveness). 60 Kata ( ﻦﺟﺮﺒﺗ ) tabarrajna dan ( جﺮﺒﺗ ) tabarruj terambil dari kata ( جﺮﺑ ) baraja yaitu nampak dan meninggi. Dari

sini kemudian ia dipahami juga dalam arti kejelasan dan keterbukaan karena demikian itulah keadaan sesuatu yang nampak dan tinggi. 61 Termasuk dalam hal ini

seorang perempuan memakai kerudung tetapi tidak sempurna sehingga kelihatan kalungnya, antingnya, dan pundaknya. 62 Sedangkan Imam al-Laits berpendapat

bahwa perempuan disebut tabarruj apabila memperlihatkan keindahan wajahnya, tubuhnya, sehingga setiap mata bisa memandang dengan penuh kekaguman dan mengundang syahwat. 63 Maka, dalam maknanya secara keseluruhan tabarruj adalah

ekploitasi, komersialisasi dan kolonialisme (penjajahan) kaum perempuan baik secara fisik, seks atau psikis. 64

Adanya larangan ber-tabarruj berarti larangan menampakkan “perhiasan” dalam pengertiannya yang umum yang biasanya tidak dinampakkan oleh perempuan baik-baik, atau memakai sesuatu yang tidak wajar dipakai, seperti berdandan secara berlebihan, atau berjalan dengan berlenggak-lenggok dan sebagainya. Menampakkan sesuatu yang biasanya tidak dinampakkan --kecuali kepada suami-- dapat mengundang decak kagum pria lain yang pada gilirannya dapat menimbulkan

60 Al-Alûsî, Rûh al-Ma’ânî, juz 22, h. 7. Perhatikan pula as-Sayûthî, ad-Durr al-Mantsûr, juz 5, h. 375

61 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, vol. 11, h. 264 62 Al-Alûsî, Rûh al-Ma’âni, Juz 22, h. 8 63 Al-Alûsî, Rûh al-Ma’âni, Juz 22, h. 8 64 Al-Alûsî, Rûh al-Ma’âni, Juz 22, h. 8. Perhatikan pula as-Sayûthî, ad-Durr al-Mantsûr, juz

5, h. 375 dan ar-Râzî, Tafsîr Ar-Râzî, juz 25, h. 210.

rangsangan atau mengakibatkan gangguan dari yang usil. 65 Firman Allah dalam Q.S. An-Nur/24: 60:

“Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi), tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian mereka dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan, dan berlaku sopan adalah lebih baik bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”

Kata ( ﺔﯿﻠھﺎﺠﻟا ) al-jâhiliyyah terambil dari kata (ﻞﮭﺟ) jahl yang digunakan al- Qur’an untuk menggambarkan suatu kondisi di mana masyarakatnya mengabaikan

nilai-nilai ajaran Ilahi, melakukan hal-hal yang tidak wajar, baik atas dorongan nafsu, kepentingan sementara, maupun kepicikan pandangan. Karena itu istilah ini secara berdiri sendiri tidak menunjuk ke masa sebelum Islam, tetapi menunjuk masa yang ciri-ciri masyarakatnya bertentangan dengan ajaran Islam, kapan dan dimana pun. 66

Ayat di atas menyifati jâhiliyyah tersebut dengan al-ûla, yakni masa lalu. Bermacam-macam penafsiran tentang masa lalu itu. Ada yang menunjuk masa Nabi Nuh as., atau sebelum Nabi Ibrahim as. Agaknya yang lebih tepat adalah menyatakan masa sebelum datangnya Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad – selama pada

masa itu – masyarakatnya mengabaikan tuntunan Ilahi, 67 temasuk di dalamnya sifat

65 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, vol. 11, h. 264 66 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, vol. 11, h. 264 67 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, vol. 11, h. 264 65 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, vol. 11, h. 264 66 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, vol. 11, h. 264 67 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, vol. 11, h. 264

kemudian”. Ini tentu setelah masa Nabi Muhammad saw. Masa kini dinilai oleh Sayyid Quthub dan banyak ulama lain, sebagai Jahiliah modern. 69

Oleh karena itu, seorang perempuan zaman Nabi akan sama dengan dengan perempuan sebelum Islam (jahiliah) bila dalam berhiasnya selalu menampakkan kecantikan mereka kepada kaum lelaki. Kecuali bila yang ditampakkan adalah

sesuatu yang memang biasa tampak, maka itu diperbolehkan dalam Islam. 70 Firman Allah dalam surat An-Nur/24: 31:

“…Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) tampak darinya…”

Ketika Islam menyuruh kaum perempuan untuk kembali ke keluarganya (back to home), seperti yang digambarkan oleh ayat tersebut kepada istri-istri Nabi sebenarnya mengandung pesan pembebasan bagi kaum perempuan dari kolonialisme dan dominasi kaum laki-laki, 71 serta kembali kepada ranah dan domainnya yang

hakiki sesuai dengan qudratnya. Ini adalah fungsi emansipatoris kaum perempuan dalam pengertian yang sebenarnya.

68 Lihat Al-Alûsî, Rûh al-Ma’ânî, Juz 22, h. 8. Bandingkan pula dengan ar-Râzî, Tafsîr Ar- Râzî, juz 25, h. 210 dan as-Sayûthî, ad-Durr al-Mantsûr, juz 5, h. 375

69 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, vol. 11, h. 264 70 Al-Mahalli dan As-Suyûthî, Tafsîr al-Jalâlain, juz 2, h. 347 71 Diriwayatkan dari Ibnu Jarîr dari Hakam bin ‘Uyainah berkata: “Masa antara Nabi Adam dan

Nuh sekitar 800 tahun adalah masa yang paling buruk dari kaum perempuan, sementara kaum laki- lakinya masa yang paling baik. Kaum perempuan tersebut banyak yang menawarkan dirinya untuk kaum laki-laki. Dan inilah yang dimaksud Jahiliyyah pertama. Al-Alûsî, Rûh al-Ma’ânî, Juz 22, h. 8.

Oleh sebab itu pada ayat 59 Surah al-Ahzâb Nabi memerintahkan istri- istrinya, anak-anak perempuan dan seluruh istri kaum mukminin untuk memakai baju tertutup (jilbab).

“Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuan dan isteri-isteri orang mu’min: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya 72 ke

seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha

Pengampun lagi Maha Penyayang”. (Q. S. al-Ahzâb/33 : 59).

Ayat ini menurut Sa’îd bin Manshûr, Ibnu Sa’îd, ‘Abd Ibnu Hamîd, Ibnu Mundzir dan Ibnu Abî Hâtim diterimanya dari Abû Mâlik, diturunkan ketika istri-istri Nabi saw keluar pada malam hari untuk menunaikan hajatnya, kemudian segolongan kaum munafiq mengganggunya, lalu mereka ditegur dan mereka berkata: “Kami melakukannya terhadap budak-budak (perempuan).” Maka turunlah ayat ini (perintah

untuk memaki jilbab) agar dapat dibedakan dengan hamba sahaya (‘amat). 73

72 Beragam pendapat yang menafsirkan makna jilbab. Dalam Al-Qur’an dan terjemahnya, h. 678, jilbab ialah sejenis baju kurung yang lapang yang dapat menutup kepala, muka dan dada.

Sedangkan dalam CD Holy Qur’an, jilbab adalah sesuatu yang menutupi aurat perempuan. 73 As-Sayûthî, ad-Durr al-Mantsûr, juz 5, h. 414. Demikian pula riwayat Ibnu Jarîr dari Abû

Shâlih ra. dengan kasus dan makna yang hampir sama. Sementara menurut riwayat Sa’îd dari Muhammad bin Ka’ab al-Qurdzy ra. Berkata, “Kaum lelaki munafiq sering mengganggu perempuan muslim sehingga menyakiti mereka. Ketika mereka ditegur, mereka berkata, “Kami mengira mereka hamba sahaya”. Maka Allah menyuruh kaum perempuan untuk membedakan diri dari hamba sahaya dengan mengulurkan jilbab mereka yang menutupi wajah mereka kecuali dua buah mata, karena hal itu akan mudah dikenal untuk membedakannya dari hamba sahaya.

Seorang perempuan mu’min bisa mengalami kasus serupa, kapanpun dan dimanapun, oleh sebab itu meskipun ayat ini berlatar belakang kasus yang terbatas pada Istri Nabi, akan tetapi khitâb dan dilalahnya berlaku untuk semua kaum

perempuan mu’min. 74 Tujuannya secara syar’i adalah ta’abbudy (bentuk pengabdian kepada Allah), tetapi secara ta’aqquly (berdasarkan alasan rasional) sebagaimana

dijelaskan oleh ayat tersebut adalah agar mudah dikenal dan tidak diganggu kaum lelaki. Dengan memakai jilbab kaum perempuan mu’min jelas identitasnya, sehingga

bisa dibedakan dari perempuan bukan mu’min dan dari hamba sahaya (‘amat). 75 Walaupun ayat tentang jilbab ini berdimensi kultur Arab lama, dan geografis

Madinah yang serba terbatas, sebagaimana nampak dalam beberapa riwayat yang mendampinginya. 76 Akan tetapi relevansinya sangat abadi baik secara normatif syar’i

ataupun secara etik antropologik. Karena dalam makna generiknya jilbab adalah pakaian yang serba tertutup yang tentu saja akan menjamin keselamatan privasi

74 Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Ibnu Jarîr dan Ibnu Abî Hâtim dan Ibnu Abî Mardawaih diterima dari Ibnu ‘Abbâs ra ketika mengomentari ayat ini berkata, “Allah menyuruh

perempuan mu’minin ketika keluar rumah memenuhi kebutuhannya agar menutupi wajahnya dari atas kepala dengan jilbab dan hanya menampakkan bagian mata saja. As-Sayûthî, ad-Durr al-Mantsûr, juz

5, h. 415. 75 Menurut riwayat Abî Hâtim dari Sâdy r.a. mengomentari ayat ini berkata, “Orang-orang fasiq

ahli Madinah ketika malam gelap sering mendatangi jalan-jalan untuk mengganggu perempuan, dan rumah-rumah penduduk Madinah padat, sehingga kalau malam tiba kaum perempuan keluar untuk menunaikan kebutuhannya, sehingga diikuti oleh kaum lelaki yang fasiq. Jika mereka melihat perempuan berjilbab, mereka berkata, “Ini perempuan merdeka, awas jaga”. Dan jika melihat perempuan tidak pakai jilbab mereka brkata, “Ini amat, lalu mereka mengganggunya”. As-Sayûthî, ad- Durr al-Mantsûr, Juz 5, h. 416.

76 Nasr, misalnya berpendapat bahwa tidak adil kalau Barat bersekongkol untuk menilai dan membangun imej bahwa jilbab adalah lambang ketertindasan perempuan muslim. Padahal jilbab

(pakaian tertutup) adalah pakaian kebesaran kaum perempuan yang ada pada semua agama dan budaya. Lihat Seyyed Hossein Nasr, The Heart of Islam, h. 235.

perempuan yang serba menarik. Sehingga akan tetap terpelihara kesucian dan harga dirinya dibanding jika membiarkan tubuhnya menjadi tontonan orang banyak.

Kini penulis kembali kepada aspek hukum yang dikandung oleh perintah waqarna atau waqirna fi buyûtikum. Perintah di atas sebagaimana terbaca ditunjukkan kepada istri-istri Nabi saw. Persoalan yang dibicarakan ulama adalah apakah perempuan-perempuan muslimah selain istri-istri Nabi dicakup juga oleh perintah tersebut? Al-Qurthubi (w. 671 H) yang dikenal sebagai salah seorang pakar tafsir khususnya dalam bidang hukum menulis antara lain: “Makna ayat di atas adalah perintah untuk menetap di rumah. Walaupun redaksi ayat ini ditujukan kepada istri-

istri Nabi Muhammad saw, tetapi selain dari mereka juga tercakup dalam perintah tersebut.” Selanjutnya al-Qurthubi menegaskan bahwa agama dipenuhi oleh tuntunan agar perempuan-perempuan tinggal di rumah, dan tidak keluar rumah kecuali karena keadaan darurat. Pendapat yang sama dikemukakan juga oleh oleh Ibnu al-‘Arabi (1076-1148 M) dalam tafsir Ayat-ayat al-Ahkam-nya. Sementara itu, penafsiran Ibnu Katsîr sedikit lebih longgar. Menurutnya ayat tersebut merupakan larangan bagi perempuan untuk keluar rumah, jika tidak ada kebutuhan yang dibenarkan agama,

seperti shalat, misalnya. 77 Al-Maududi, pemikir Muslim Pakistan kontemporer menganut paham yang

mirip dengan pendapat di atas. Dalam bukunya al-Hijab, ulama ini antara lain menulis bahwa “Tempat perempuan di rumah, mereka tidak dibebaskan dari pekerjaan luar rumah kecuali agar mereka selalu berada di rumah dengan tenang dan

77 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, vol. 11, h. 266 77 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, vol. 11, h. 266

Thâhir bin ‘Asyûr menggarisbawahi bahwa perintah ayat ini ditujukan kepada istri-istri Nabi sebagai kewajiban, sedang bagi perempuan-perempuan muslimah selain mereka sifatnya adalah kesempurnaan. Yakni tidak wajib, tetapi

sangat baik dan menjadikan perempuan-perempuan yang mengindahkannya, menjadi lebih sempurna. 79

Persoalannya adalah dalam batas-batas apa saja izin tersebut? Misalnya, “Bolehkah mereka bekerja?“ Muhammad Quthub, salah seorang pemikir Ikhwan al- Muslimin menulis, dalam bukunya Ma’rakah at-Taqâlid, bahwa: “Ayat itu bukan berarti bahwa perempuan tidak boleh bekerja karena Islam tidak melarang perempuan bekerja. Hanya saja Islam tidak senang dan tidak mendorong hal tersebut. Islam membenarkan mereka bekerja sebagai darurat dan tidak menjadikannya sebagai dasar.” 80

Dalam bukunya Syubuhât H aula al-Islâm, Muhammad Quthub lebih menjelaskan bahwa: perempuan pada awal jaman Islam pun bekerja, ketika kondisi

78 Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 672; M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, vol. 11, h. 266

79 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, vol. 11, h. 266-267 80 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, vol. 11, h. 267 79 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, vol. 11, h. 266-267 80 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, vol. 11, h. 267

kebutuhannya. 81 Sayyid Quthub, menulis bahwa arti waqarna dalam firman Allah “waqarna fî buyûtikunna, berarti “berat, mantap, dan menetap”. Tetapi, tulisnya lebih

jauh, “Ini bukan berarti bahwa mereka tidak boleh meninggalkan rumah. Ini

mengisyaratkan bahwa rumah tangga adalah tugas pokoknya, sedangkan selain itu adalah tempat ia tidak menetap atau bukan tugas pokoknya.” 82

Sa’id Hawa --salah seorang ulama mesir kontemporer-- memberikan contoh apa yang dimaksud dengan kebutuhan, seperti mengunjungi orang tua dan belajar yang sifatnya fardhu ’ain atau kifayah, dan bekerja untuk memenuhi hidup karena tidak ada orang yang dapat menanggungnya. 83

Adapun tabarruj, maka walaupun seandainya kita mendukung yang menyatakan ayat ini khusus buat istri-istri Nabi, tetapi larangan ber-tabarruj bagi seluruh perempuan ditemukan dalam ayat yang lain yaitu pada Q.S. An-Nûr: 60 84

81 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, vol. 11, h. 267 82 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, vol. 11, h. 267 83 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, vol. 11, h. 267 84 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, vol. 11, h. 267

“Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi), tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian mereka dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan, dan berlaku sopan adalah lebih baik bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”