Etika Pergaulan dalam Menghadapi Rumah Tangga Nabi

4. Etika Pergaulan dalam Menghadapi Rumah Tangga Nabi

Nabi Muhammad adalah utusan Allah swt yang membawa kabar gembira kepada manusia yang beriman akan adanya pahala bagi mereka yang beramal sholeh. Selain itu, Nabi juga memberikan peringatan kepada umat manusia akan adanya balasan berupa siksa dan azab bagi manusia yang mengingkari ajaran yang dibawanya. Oleh karena itu, agar manusia mendapatkan pahala dan terhindar dari dosa sehingga dapat hidup bahagia di dunia dan di akhirat, Nabi Muhammad diutus untuk memberikan petunjuk mengenai jalan yang mesti ditempuh manusia. Petunjuk itu berupa ayat-ayat al-Qur’an dan Sunnahnya. Sebagai seorang Nabi yang mempunyai jasa yang begitu agung, maka seyogyanya manusia senantiasa menghormati Nabi Muhammad. Oleh karena itu, Allah swt mengatur umat manusia

106 Ahmad Khalîl Jam’ah, Istri-istri Para Nabi, h. 295

107 Maka apabila istri-istri Nabi yang merupakan Ummahât al-Mu’minîn tidak menikah lagi, otomatis mereka akan menjadi penghuni surga sebagaimana suami mereka, Nabi saw.

dengan aturan pergaulan terutama dalam menghadapi Nabi dan rumah tangganya (istri-istrinya). Firman Allah:

“Hai orang-orangyang beriman, janganlah kamu memasuki rumah-rumah Nabi kecuali bila kamu diizinkan untuk makan dengan tidak menunggu-nunggu

waktu masak (makanannya); tetapi jika kamu diundang maka masuklah, dan bila kamu selesai makan, keluarlah kamu tanpa asik memperpanjang percakapan. Sesungguhnya yang demikian itu akan mengganggu Nabi lalu Nabi malu kepadamu (untuk menyuruh kamu keluar), dan Allah tidak malu (menerangkan) yang benar. Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (istri-istri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka. …” (Q. S. al-Ahzâb/33: 53)

Dalam ayat di atas Allah menerangkan kepada kaum mu’minin untuk menghormati Nabi-Nya, termasuk di dalamnya istri-istrinya yang menjadi ibu bagi mereka (Ummahât al-Mu’minîn) baik dalam keadaan menyendiri atau di dalam khalayak ramai.

Ada dua hal pokok yang dikandung ayat ini, pertama, menyangkut etika mengunjungi Nabi (rumahnya) di mana di dalamnya terdapat istri-istrinya, kedua, menyangkut hijab –yang berkaitan dengan etika berhubungan dengan para istri Nabi.

Dalam hal yang pertama, menurut sahabat Nabi, Anas bin Malik, ayat ini turun ketika Nabi melangsungkan pernikahannya dengan Zainab Binti Jahsy. Ketika itu Nabi menyiapkan makanan untuk para undangan. Namun setelah mereka makan, sebagai undangan. Namun setelah mereka makan, sebagian undangan –dalam riwayat ini dikatakan tiga orang– masih tetap duduk berbincang-bincang. Nabi saw masuk ke kamar ‘‘Âisyah lalu keluar, dengan harapan para tamu masih tinggal itu telah pulang, tetapi belum juga, maka beliau masuk lagi ke kamar istri yang lain, demikian seterusnya, silih berganti masuk dan keluar ke kamar-kamar semua istri beliau. Akhirnya mereka keluar juga setelah sekian lama Nabi saw menanti. Anas Ibnu Malik

yang menuturkan kisah ini berkata: “Maka aku menyampaikan hal tersebut kepada Nabi saw maka beliau masuk. Aku pun ketika itu akan masuk tetapi telah dipasang

hijab antara aku dan beliau, lalu turunlah ayat ini”. 108 Dalam riwayat lain sahabat Nabi saw Anas Ibnu Malik menyatakan bahwa

Sayyidina Umar ra. mengusulkan kepada Nabi saw, “Wahai Nabi, orang baik dan tidak baik masuk ke rumahmu, apakah tidak sebaiknya engkau memerintahkan Ummahât al-Mu’minîn (istri-istri Nabi) memasang hijâb?” Maka turunlah ayat ini yang memerintahkan penggunaan tabir. Kedua riwayat di atas tidak harus dipertentangkan. Bisa saja Sayyidina ‘Umar mengusulkan beberapa saat sebelum terjadinya undangan Nabi merayakan perkawinan beliau dengan Zainab ra. itu. 109

HR. Bukhari melalui Anas Ibnu Malik. M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah,Vol. 11, h. 309-310

109 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah,Vol. 11, h. 310

Dari ayat ini, ada beberapa aturan kesopanan (etika) yang dijelaskan dalam menghadapi Nabi dan rumah tangganya (istri-istrinya, Ummahât al-Mu’minîn):

1. Menyangkut etika mengunjungi Nabi (rumahnya) di mana istri-istri beliau berada di dalamnya :

a. Orang yang beriman dilarang memasuki rumah-rumah Nabi saw kecuali setelah mendapatkan izin dari beliau ( َﻦﯾِﺮِﻇﺎَﻧ َﺮْﯿَﻏ ٍمﺎَﻌَﻃ ﻰَﻟِإ ْﻢُﻜَﻟ َنَذْﺆُﯾ ْنَأ ﺎﱠﻟِإ ﱢﻲِﺒﱠﻨﻟا َتﻮُﯿُﺑ اﻮُﻠُﺧْﺪَﺗ ﺎَﻟ

ه ). Meskipun redaksi ayat ini menunjukkan adanya undangan untuk makan, ﺎَﻧِإ

akan tetapi dalam prakteknya, sebelum dan sesudah ayat ini turun, sahabat Nabi yang datang --baik untuk makan ataupun selainnya— tetap setelah mendapat

izin dari beliau.

b. Bila mendapat undangan makan dari Nabi, hendaknya mereka datang setelah mengetahui masakan yang disiapkan oleh Nabi dan istri-istrinya sudah siap, sehingga mereka tidak lama menunggu sampai masaknya makanan yang akan dihidangkan untuk mereka. Bila makanan belum siap dan mereka masih sibuk menyiapkan hidangan, maka masuknya tamu itu akan mengganggu ketenangan keluarga Nabi saw, dan karena bilamana istri Nabi saw sedang bekerja akan terlihat sebagian anggota tubuhnya yang tidak boleh terlihat oleh para tamu

c. Hendaknya segera keluar/pulang apabila mereka telah selesai makan tanpa asyik memperpanjang percakapan, karena yang demikian itu benar-benar mengganggu

Nabi saw (tuan rumah), padahal beliau sendiri merasa malu untuk menyuruh tamu keluar. 110

2. menyangkut hijab –yang berkaitan dengan etika berhubungan dengan para istri Nabi, seorang mu’min apabila ada suatu keperluan --untuk meminta sesuatu, meminjam sesuatu barang, atau lain sebagainya ke rumah istri-istri Nabi saw, hendaknya melakukannya dari belakang tabir dan tidak boleh berhadapan secara langsung. Ditetapkan aturan yang demikian karena hal tersebut lebih mensucikan hati kedua belah pihak dan tidak pula menyakiti hati Nabi saw. Aturan tentang tabir ini kemudian menjadikan ayat ini dikenal dengan sebutan ayat hijâb.

Dari kandungan ayat ini pula disimpulkan bahwa menghadiri undangan sifatnya sunnah, meminta izin sifatnya wajib, dan berlama-lama sehingga mengganngu hukumnya haram. M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, vol. 11, h. 311