Saudah binti Zam’ah

2. Saudah binti Zam’ah

57 maksud yang lebih baik dari Khadîjah adalah ‘Aisyah sendiri. 58 Teks lengkap hadits di atas adalah:

Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad, Kitab Bâqî Sanad al-Anshâr, bab Hadîts ‘Âisyah, Hadits no 23719. Muslim juga meriwayatkan tentang keutamaan Khadîjah dalam Shahîh Muslim, Bab Keutamaan Shahabat, Hadits No. 4458-4467

Beliau adalah Saudah binti Zam'ah bin Qais bin Abdu Syams bin Abdu Wadd bin Nashr bin Mâlik bin Hisl bin Amir bin Luai bin Ghâlib 60 Al-Quraisyiyah

Al-Amiriyyah. Ibunya bernama Asy-Syumûs binti Qais bin Amru bin Zaid bin Labîd bin Khidasy bin Amir bin Ghanm bin ‘Âdî bin An-Najjâr. Asy-Syumus adalah putri

saudara laki-laki Salma binti Amr bin Zaid dan Salma adalah ibu Abdul Muthâlib. 61 Saudah masuk Islam sejak awal dan berbaiat. Sebelumnya pernah menikah

dengan As-Sakrân bin Amr bin Abdu Syam bin Abdu Wudd bin Amir bin Luai. As- Sakrân adalah saudara laki-laki Suhail, Sal, Hathib, dan Salith bin Amru Al-Amîrî yang semuanya adalah sahabat-sahabat Nabi saw. As-Sakrân masuk Islam bersama

Saudah, kemudian bersama delapan orang dari bani Amir 62 termasuk orang yang pertama kali hijrah ke Habasyah pada hijrah kedua meninggalkan kampung halaman

dan hartanya. Namun ketika tiba di Mekkah As-Sakrân bin ‘Amru meninggal dunia. Ada yang mengatakan As-Sakrân meninggal di Habasyah. 63

Sepeninggal Khadîjah, Nabi saw hidup sendirian sehingga para Sahabat yang memperhatikan keadaan beliau merasa kasihan. Mereka menginginkan beliau menikah lagi tapi tidak seorangpun di antara mereka yang berani menyampaikan keinginan tersebut hingga akhirnya Khaulah binti Hakîm, sosok wanita yang berani mengemukakan keinginan para sahabat. Khaulah pertama kali mengusulkan ‘Âisyah,

59 Bint asy-Syâthi, Istri-istri Nabi, h. 35 60 A. Khalîl Jam’ah, Istri-istri Para Nabi, h. 430 61 Saudah mempunyai nama panggilan Umm al-Aswad. An-Nawâwî, Tahdzîb, 2, h. 348. A. Khalîl Jam’ah, Istri-istri Para Nabi, h. 430

62 Bint Asy-Syâthi, Istri-istri Nabi, h. 71 62 Bint Asy-Syâthi, Istri-istri Nabi, h. 71

untuk lebih dahulu menikahi Saudah binti Zam’ah dan berkumpul dengannya. 64 Meskipun demikian, sebelum menikah dengan Saudah, sebenarnya Nabi saw telah

terlebih dahulu melangsungkan akad nikah dengan Âisyah dan tiga tahun kemudian baru menyempurnakan pernikahannya dengan Âisyah.

Saudah Binti Zam’ah adalah wanita yang pertama kali dinikahi Nabi saw setelah Khadîjah binti Khuwailid meninggal. Dengannya –Saudah menjadi satu-

satunya isteri beliau setelah wafatnya Khadîjah-- Nabi saw mengarungi bahtera rumah tangga selama tiga tahun atau lebih, hingga kemudian beliau menikahi ‘Âisyah

binti Abû Bakar As-Shiddiq. 65 Nabi saw menikahi Saudah di bulan Ramadhan tahun kesepuluh kenabian. Beliau menyelenggarakan pernikahan tersebut di Mekkah dan

kemudian hijrah bersama Saudah ke Madinah. 66 Nabi saw sebenarnya menginginkan ‘Âisyah terlebih dahulu, tapi karena

beberapa pertimbangan, beliau terlebih dahulu menikahi Saudah binti Zam'ah. Selain karena pertimbangan usia yang cukup untuk mengelola rumah tangga, Nabi saw menikahi Saudah dikarenakan Saudah adalah wanita yang mulia. Ia adalah wanita

63 A. Khalîl Jam’ah, Istri-istri Para Nabi, h. 430 mengutip pendapat Ibnu Ishâq dan Al-Wâqidî di Jawâmi’ As-Sîrah, h. 66 mengatakan di Mekkah, sedangkan Musa bin Uqbah dan Abû Ma’syar di

Ushud Al-Ghâbah, 2, 412 mengatakan di Habasyah. 64 Aba Firdaus al-Halwani, Wanita-wanita Pendamping Rasulullah, (Yogyakarta: Mitra Pustaka,

2001), Cet. IV, h. 52 65 Lihat al-Halwani, Wanita-wanita Pendamping Rasulullah, h. 51-52

66 Ibnu Sa’ad, Purnama Madinah, h. 57

yang rela hijrah meninggalkan kampung halamannya, menyeberangi dasyatnya lautan karena ridha menghadapi maut dalam rangka memenangkan dînnya. Semakin bertambah siksaan dan intimidasi yang diterima olehnya, suami, dan dan delapan orang dari bani Amir karena mereka menolak kesesatan dan kesyirikan. Selain ujian itu, ia juga harus kehilangan suami –sang muhajirin-- yang dicintainya di negeri asing (Habasyah) tersebut. Maka beliaupun menghadapi ujian menjadi seorang janda di samping juga ujian di negeri asing. Oleh karena itu, maka Nabi saw menaruh perhatian yang istimewa terhadap wanita muhajirah yang beriman dan telah menjanda tersebut.

Sebelum menikah dengan Nabi saw, Saudah pernah bermimpi dalam tidurnya. Dalam mimpinya tersebut sepertinya Nabi saw berjalan hingga menginjak lehernya. Ia kemudian menceritakan mimpinya tersebut kepada suaminya. Suaminya berkata kepadanya, “Jika mimpimu benar, aku akan meninggal dunia, kemudian engkau pasti dinikahi Muhammad.” Pada malam lainnya Saudah bermimpi melihat bulan jatuh kepadanya. Ia ceritakan mimpinya tersebut kepada suaminya. Suaminya berkata, “Jika mimpimu benar, maka tidak lama lagi aku akan meninggal dunia dan engkau akan menikah sepeninggalku.” Sejak hari itu, As-Sakrân, suami Saudah jatuh sakit dan beberapa lama kemudian ia wafat.

Setelah beberapa lama menikah dan telah hadir dalam rumah tangga Nabi saw istri-istri yang lain seperti ‘Âisyah, Hafshah binti ‘Umar, Zainab binti Jahsy dan

Ummu Salamah binti Abû Umayyah al-Mahzûmiy, 67 Saudah pernah hampir diceraikan oleh Nabi saw, akan tetapi Saudah tetap bertahan ingin menjadi istri Nabi

karena berharap menjadi istri Nabi di dunia dan di akhirat. “Pertahankanlah aku ya Rasulullah! demi Allah tiadalah keinginanku

diperistri itu karena ketamakan, akan tetapi aku hanya berharap agar Allah membangkitkan aku pada hari kiamat dalam keadaan menjadi istrimu.”

Oleh karena itu, demi mempertahankan statusnya sebagai istri seorang Nabi, ia rela memberikan hari gilirannya kepada ‘Âisyah karena ia faham bagaimana kedudukan ‘Âisyah di hati Nabi, ‘Âisyah adalah istri yang paling dicintai Nabi, sehingga hari giliran Âisyah menjadi dua hari, hari gilirannya dan hari giliran Saudah.

“Mâlik bin Ismâ’îl telah menceritakan kepada kami, Zuhair telah menceritakan kepada kami dari Hisyam dari ayahnya dari ‘Âisyah bahwa Saudah binti Zam’ah memberikan hari gilirannya untuk ‘Âisyah. Nabi membagi giliran’Âisyah satu hari giliran ‘Âisyah dan satu hari giliran Saudah.” 68

Nabi saw kemudian menerima usulan istrinya yang memiliki perasaan yang halus tersebut. Mengenai hal ini turunlah ayat :

67 Bint Asy-Syâthi, istri-istri Nabi, h. 75

68 Shahih Bukhârî, Kitab Nikah, Bab Perempuan yang Memberikan Hari Giliran suaminya, Hadits No. 4811, CD Room

“Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyûz 69 atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian

yang sebenar-benarnya…” (Q.S. an-Nisâ/4: 128)

Saudah lebih mendahulukan keridhaan suaminya yang mulia, maka beliau memberikan gilirannya kepada ‘Âisyah untuk menjaga hati Nabi saw. Bahkan Saudah sudah tidak memiliki keinginan sebagaimana layaknya wanita lain.

Saudah r.a. mampu menunaikan kewajiban dalam rumah tangga Nabi dan melayani putri-putri Nabi saw. Selain itu ia mampu mendatangkan kebahagiaan dan kegembiraan di hati Nabi saw, Ibnu Sa’ad berkata:

“Diriwayatkan dari Ibrahim bahwa Saudah berkata kepada Rasulullah: ‘Aku shalat di belakangmu kemarin dan rukuk di belakangmu sampai-sampai aku memegangi hidung karena khawatir kalau-kalau darahku akan menetes.’ Ibrahim berkata, ‘Rasul tertawa, dan Saudah memang senang membuat Rasul

tertawa.’” 70

Saudah tinggal dalam rumah tangga Nabi dengan penuh keridhaan dan ketenangan dan bersyukur kepada Allah yang telah menempatkan posisinya di sisi sebaik-baik makhluk di dunia serta karena mendapat gelar umm al-mu’minîn dan menjadi istri Nabi di surga.

Terdapat perbedaan pendapat tentang tahun wafat Saudah, Bint asy-Syâthi menyatakan bahwa Saudah wafat pada akhir pemerintahan ‘Umar bin Khattab. 71

69 Nusyûz menurut bahasa artinya naik, yaitu merasa lebih tinggi daripada yang lain (Al-Qâmûs Al-Muhîth, h. 201). Sedang menurut istilah Ulama Fiqh ialah pelanggaran dari pihak istri atau suami

atau keduanya. (Syaikh Shalih Ghanim as-Sadlan, kitab An-Nusyûz, h. 18-19). Sedangkan dalam Al- Qur’an dan Terjemahnya, nusyûz adalah meninggalkan kewajiban bersuami istri. Nusyûz dari pihak istri seperti meninggalkan rumah tanpa izin suaminya. Al-Qur’an dan Terjemahnya, foot note no. 291,

h. 123. Sedangkan nusyûz dari pihak suami ialah bersikap keras terhadap istrinya; tidak mau menggaulinya dan tidak mau memberikan haknya. Al-Qur’an dan Terjemahnya, foot note no. 357, h. 143

70 Ibnu Sa’ad, Purnama Madinah, h. 58 71 Bint Asy-Syâthi, Istri-istri Nabi, h. 77

Sedangkan Ibnu Sa’ad menukil pendapat Abdullah bin Muslim dan Al-Wâqidi, menyatakan bahwa Saudah wafat di Madinah pada bulan Syawal tahun 54 Hijriyah

pada masa pemerintahan Mu’awiyah bin Abi Sofyan. 72 Kebaikan Saudah terhadap Âisyah membuat Âisyah selalu terkenang dan

mengingat perilaku beliau. Selain itu, ‘Âisyah juga terkesan akan keindahan kesetiaannya, sehingga ‘Âisyah berkata:

“Diriwayatkan daripada ‘Âisyah r.a katanya: Wanita yang paling aku senangi adalah Saudah bin Zam'ah dan aku ingin jika dapat menjadi seperti dia. Dia adalah seorang wanita yang tajam fikirannya. Setelah Saudah tua giliran Nabi saw diserahkan kepada ‘Âisyah. Saudah berkata: Wahai Rasulullah! Aku berikan giliranku sehari kepada ‘Âisyah. Jadi Rasulullah saw membahagikan giliran kepada ‘Âisyah dua hari, sehari gilirannya sendiri dan

sehari lagi giliran pemberian Saudah.” 73

3. ‘Âisyah binti Abû Bakar

‘Âisyah adalah istri Nabi yang dinikahi dalam keadaan gadis, sementara istri yang lainnya dinikahi dalam keadaan janda. Ia adalah istri yang paling dicintai Nabi.

72 Ibnu Sa’ad, Purnama Madinah, h. 61 73 Riwayat Bukhârî dalam kitab Nikah, Hadits No. 4811, Riwayat Muslim dalam kitab Susuan,

Hadits No. 2657, Riwayat Abû Dâwud dalam kitab Nikah, Hadits No.1826, Riwayat Ibnu Mâjah dalam kitab Nikah, Hadits No. 1962, Riwayat Ahmad bin Hanbal, dalam juz VI, Muka Surat 68, 76, 117

‘Âisyah adalah putri Abû Bakar Shiddiq, 74 sahabat Nabi saw yang pertama kali beriman kepada Nabi saw. Ibunya adalah Ummu Rumân binti ‘Umair bin Amir

dari Bani Al-Hârits bin Ghanam bin Kinânah. 75 ‘Âisyah mempunyai gelar (kuniyah) “Ummu ‘Abdullah”, ‘Abdullah adalah nama keponakan ‘Âisyah yang merupakan

putra Zubair. 76 Abû Bakar menikahkan Nabi dengan ‘Âisyah, yang pada saat itu baru

berumur enam atau tujuh tahun. 77 Sebelumnya ia sudah dilamar untuk Jubair bin Muth’im bin Amir bin Amr bin Ka’ab bin Sa’ad bin Thaim bin Murrah. 78 Nabi menikahinya pada bulan Syawwal tahun kesepuluh kenabian, tiga tahun sebelum

hijrah dan menyempurnakan perkawinannya pada bulan Syawal, delapan bulan setelah hijrah di mana saat itu ‘Âisyah berumur sembilan tahun. 79 Nabi saw

meninggal ketika ‘Âisyah berumur 18 tahun, 80 sehingga ‘Âisyah hidup bersama beliau selama sembilan tahun.

Umm al-Mu’minîn ‘Âisyah berasal dari Bani Taim yang terkenal dengan sifat-sifat pemurah, berani, jujur dan memiliki pandangan yang tepat. Mereka juga

74 Nama asli Abû Bakar adalah ‘Abdullah atau ‘Atiq –bin Abû Quhâfah –nama asli Abû Quhâfah ialah Utsmân—bin Amir bin Amr Ka’ab bin Sa’ad bin Taim bin Murrah bin Ka’ab bin Luai.

A. Khalîl Jam’ah, Istri-istri Para Nabi, h. 335 75 Bint Asy-Syâthi, Istri-istri Nabi, h. 83

76 A. Khalîl Jam’ah, Istri-istri Para Nabi, h. 336 77 Bint Asy-Syâthi, Istri-istri Nabi, h. 82. Terdapat dua pendapat tentang usia ‘Âisyah saat

dinikahi Nabi. Dalam Shahîh Bukhârî, Kitab Manâqib kaum Anshâr, bab Pernikahan Rasulullah saw dengan ‘Âisyah, hadits no. 3894, ‘Âisyah mengatakan bahwa ia dinikahi Nabi dalam usia enam tahun. Sedangkan dalam Shahîh Muslim, hadits no. 1422, ‘Âisyah dinikahi dalam usia tujuh tahun. Namun jika kedua hadits tersebut disatukan, dapat diambil kesimpulan bahwa ‘Âisyah dinikahi Nabi saw saat usia enam tahun dan masuk tahun ketujuh.

78 Bint Asy-Syâthi, Istri-istri Nabi, h. 83 79 Ibnu Sa’ad, Purnama Madinah, h. 61 80 Ibnu Sa’ad, Purnama Madinah, h. 62 78 Bint Asy-Syâthi, Istri-istri Nabi, h. 83 79 Ibnu Sa’ad, Purnama Madinah, h. 61 80 Ibnu Sa’ad, Purnama Madinah, h. 62

memiliki sifat yang mudah bergaul dengan baik kepada teman-temannya, dia juga memiliki kelembutan hati. 82

Sedangkan ibu ‘Âisyah yaitu Ummu Rumân termasuk wanita-wanita besar dari golongan sahabat. Pada jaman jahiliyah dia pernah menikah dengan ‘Abdullah bin al-Hârits al-Asady dan mempunyai anak, yaitu Thufail. Kemudian ‘Abdullah meninggal dan Ummu Rumân dinikahi oleh Abû Bakar. Dari pernikahannya dengan

Abû Bakar dia memperoleh anak yaitu ‘Âisyah dan ‘Abdurrahman. 83

‘Âisyah dilahirkan di Makkah empat atau lima tahun setelah Muhammad diangkat menjadi Rasul. 84 Nabi Muhammad mengenal ‘Âisyah sejak masa kanak-

kanaknya, dan beliau menempatkan ‘Âisyah dalam hatinya sebagai seorang anak yang berharga. Nabi menyaksikan langsung ‘Âisyah yang tumbuh bertambah dewasa. Masa kanak-kanaknya mulai tersingkap, dia menunjukkan kecerdasan, kelincahan dan spontanitas yang mengagumkan. Di samping itu, lidahnya juga fasih dan memiliki hati yang berani, hasil pengaruh didikan Bani Makhzûm. 85

Penghargaan Nabi kepada ‘Âisyah sedemikian rupa, sehingga beliau selalu menasihati Ummu Rumân dengan sabdanya: “Wahai Ummu Rumân, aku nasihatkan

81 Bint Asy-Syâthi, Istri-istri Nabi, h. 83 82 Bint Asy-Syâthi, Istri-istri Nabi, h. 83

83 Bint Asy-Syâthi, Istri-istri Nabi, h. 84 84 A. Khalîl Jam’ah, Istri-istri Para Nabi, h. 336 85 Bint Asy-Syâthi, Istri-istri Nabi, h. 85 83 Bint Asy-Syâthi, Istri-istri Nabi, h. 84 84 A. Khalîl Jam’ah, Istri-istri Para Nabi, h. 336 85 Bint Asy-Syâthi, Istri-istri Nabi, h. 85

Sesudah datang Hafshah, datang lagi istri-istri Nabi yang lain, sehingga petak rumah yang sembilan itu penuh. Di antara mereka ada Zainab binti Jahsy, wanita muda yang cantik, Ummu Salamah binti Abû Umayah, yang memiliki julukan penyedia perbekalan rombongan dan dikenal sebagai wanita yang memiliki garis kebapakan yang tinggi. Juga ada Juwairiyyah binti al-Hârits tempat tertujunya mata orang karena kecantikannya. Shafiyyah binti Huyai, bunga mekar orang Yahudi yang halus mempesona, dan Ummu Habîbah binti Abû Sufyân pemimpin dan panglima

tentara Mekkah. 87 Di antara para istri Nabi, ‘Âisyah adalah istri yang paling pencemburu dan

paling gigih berjuang untuk memonopoli kasih sayang Nabi. ‘Âisyah beralasan bahwa dialah wanita pertama yang telah membukakan hati Nabi setelah Khadîjah wafat. Dan hanya dia sendiri yang dinikahi Nabi dalam keadaan gadis. Dia pun merasa bahwa dia adalah ‘Âisyah binti Abû Bakar, sahabat Nabi paling terkemuka. 88

Pada tahun keenam Hijriyah, yaitu setelah Nabi saw menikahi Zainab binti Jahsy terjadi peristiwa tuduhan atau Hadits al-Ifki. Ketika itu Nabi Muhammad saw bersiap-siap untuk berangkat menghadapi perang Bani Al-Mustahiq, lalu beliau membuat undian di antara istri-istrinya, sebagaimana biasa setiap keluar untuk

86 Bint Asy-Syâthi, Istri-istri Nabi, h. 83 87 Bint Asy-Syâthi, Istri-istri Nabi, h. 104 88 Bint Asy-Syâthi, Istri-istri Nabi, h. 105 86 Bint Asy-Syâthi, Istri-istri Nabi, h. 83 87 Bint Asy-Syâthi, Istri-istri Nabi, h. 104 88 Bint Asy-Syâthi, Istri-istri Nabi, h. 105

Di tengah perjalanan, dekat Madinah, mereka berhenti, lalu menginap setengah malam. Saat mereka berangkat, tidak ada seorangpun yang mengetahui bahwa ‘Âisyah tertinggal di tempat mereka menginap. Pasukan tersebut sampai di Madinah saat subuh, lalu unta yang membawa Umm al-Mu’minîn ‘Âisyah dituntun menuju halaman rumahnya. Kemudian mereka menurunkan haudaj (tempat duduk di

atas unta) perlahan-lahan, ternyata Umm al-Mu’minîn tidak ada di dalamnya. 90 Nabi saw terdiam seketika bersama-sama dengan para sahabatnya dalam

keheranan serta kebingungan, sebagian di antara mereka berangkat kembali, mencari ‘Âisyah. Tidak lama kemudian terlihat dari jauh, ‘Âisyah menunggang unta yang dituntun oleh seorang laki-laki yang mereka kenal, yaitu Shafwân bin Mu’thil as- Silmiy. Beliau mendengarkan cerita ‘Âisyah tentang sebab mengapa dia tertinggal.

Ternyata waktu itu ‘Âisyah sedang keluar untuk buang hajat sebelum keberangkatan diumumkan. Saat itu, kalung permata yang dipakainya jatuh dari leher dan ia tidak mengetahuinya. Ketika kembali ke tempat pasukan, ia meraba lehernya dan tidak mendapati kalung itu, dan orang-orang sudah siap untuk berangkat. ‘Âisyah pun segera kembali ke tempat tadi, mencarinya hingga dapat. Peristiwa selanjutnya, sebagaimana dituturkan ‘Aisyah:

“Orang-orang datang, dan jarak saya begitu jauh, mereka menuntun unta saya dan memegang haudaj, mengira bahwa saya berada di dalamnya, karena

89 Bint Asy-Syâthi, Istri-istri Nabi, h. 111 90 Bint Asy-Syâthi, Istri-istri Nabi, h. 111 89 Bint Asy-Syâthi, Istri-istri Nabi, h. 111 90 Bint Asy-Syâthi, Istri-istri Nabi, h. 111

Saya membungkus diri dengan kainku, lalu berbaring di tempat itu, dan merasa yakin, tentu orang-orang akan menyadari kehilangan saya dan akan kembali. Sungguh, demi Allah, saya sedang berbaring tiba-tiba lewat Shafwân bin Mu’thil as-Silmiy, yang rupanya ketinggalan juga dari pasukan karena suatu keperluan, dan tidak menginap bersama rombongan. Dia melihat pakaian hitam saya, lalu datang mendekati sehingga dia berdiri di dekat tempat saya – dulu Shafwân pernah melihat ‘Âisyah sebelum hijab diwajibkan atasnya. Maka ketika dia melihat saya, dia berkata, “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un. Ini yang dibawa Nabi saw mengapa sampai tertinggal, wahai yang dilimpahi rahmat Allah?”

Saya tidak berbicara dengannya. Kemudian dia mendekatkan untanya seraya berkata, “Silakan naik” dan dia mundur, lalu saya pun naik, dan dipegangnya kendali unta itu, lalu dengan cepat berangkat menyusul rombongan. Demi Allah, kami tidak bertemu orang-orang lagi, sampai pagi-pagi, dan rupanya rombongan sudah sampai disini, dan sampai juga laki-laki ini menuntun unta yang aku tunggangi.” 91

‘Abdullah bin Ubay bin Salul, yang dendamnya terhadap Nabi saw tidak kunjung habis, terus berusaha membuat tipu muslihat untuk menjatuhkan beliau. Sekelompok orang yang menerima berita tentang peristiwa itu bertemu dan menambahi berita tersebut dengan cerita-cerita yang mereka reka sekehendak hati, untuk memuaskan kekalahan dan rasa dendamnya. 92

Dari Ibnu Salul dan orang-orang yang berada di sekitarnya, berita tuduhan itu tersiar ke seluruh penjuru kota Madinah. Dan berita itu diulang-ulang (ditiupkan oleh musuh-musuh Muslimin) oleh beberapa orang, diantaranya Hisan bin Tsabit, penyair Nabi saw, Misthah bin Utsatsah, keponakan Abû Bakar dan tempat curahan

91 Bint Asy-Syâthi, Istri-istri Nabi, h. 111-113 92 Bint Asy-Syâthi, Istri-istri Nabi, h. 113 91 Bint Asy-Syâthi, Istri-istri Nabi, h. 111-113 92 Bint Asy-Syâthi, Istri-istri Nabi, h. 113

Akhirnya berita itu sampai juga ke telinga Nabi saw juga ke telinga Abû Bakar dan Ummu Rumân, yang lalu menutup telinganya rapat-rapat. Tetapi tidak seorangpun di antara mereka, yang berani berterus terang kepada ‘Aisyah mengenai berita yang tersiar menakutkan itu, karena ‘Aisyah, sejak pulang dari perang Bani Mushthaliq, sakit agak parah.

‘Aisyah mengetahui apa yang dibicarakan orang tentang dirinya dari Ummu Misthah binti Abû Rahm bin al-Muththalib bin ‘Abdu Manâf, yang ibunya adalah

binti Shakhar bin Amir bin Ka’ab bin Sa’ad bin Taym, adik ibu Abû Bakar. Mengenai kejadian ini turun ayat Al-Qur’an surat an-Nûr/24 ayat 11-19.

Setelah ayat-ayat ini turun, maka orang-orang yang memulai mengatakan dan yang menyebarkan tuduhan itu pun didera, sesuai dengan firman Allah:

“Dan orang-orang yang menuduh wanita baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali pukulan, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka untuk selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik.” (QS. An-Nûr/24: 4) 94

93 Bint Asy-Syâthi, Istri-istri Nabi, h. 113 94 Bint Asy-Syâthi, Istri-istri Nabi, h. 119

Keutamaan ‘Aisyah

‘Âisyah mempunyai kelebihan dibanding wanita lain. Ia adalah wanita yang cerdas dan berfikiran tajam, serta kuat hafalannya sehingga ia menjadi tempat bertanya yang utama tentang al-Hadits dan as-Sunnah. 95 Apalagi kedekatannya

dengan Nabi, sebagai istri dan pendamping Nabi, membuatnya banyak mengetahui riwayat-riwayat dari Nabi saw.

Imam Az-Zuhri berkata: “Sekiranya ilmu ‘Âisyah dikumpulkan, dan dibandingkan dengan ilmu-ilmu istri-istri Nabi yang lain, dan ditambah dengan ilmu dari semua wanita, tentulah ilmu ‘Âisyah lebih utama.” 96

Hisyâm bin Urwah meriwayatkan dari kakeknya, dia berkata: “Saya belum pernah melihat seorang wanita yang lebih mengetahui ilmu fiqih, kedokteran dan

syair, melebihi ‘Âisyah” 97 Selain itu ia memiliki kelebihan yang tidak dimiliki oleh istri-istri Nabi yang

lain, di antaranya:

1. Satu-satunya istri yang dinikahi Nabi saw dalam keadaan gadis.

2. Hanya ia yang kedua orang tuanya termasuk orang yang berhijrah.

3. Wahyu turun untuk membersihkan dirinya dan menyelesaikan perkaranya (hadits al- ifki).

95 Bint Asy-Syâthi, Istri-istri Nabi, h. 125. Disebutkan dengan dua istilah yang berbeda dalam hal ini untuk menjelaskan betapa ‘Âisyah sangat faham dengan ucapan-ucapan Nabi dan perbuatannya.

96 Bint Asy-Syâthi, Istri-istri Nabi, h. 125 97 Bint Asy-Syâthi, Istri-istri Nabi, h. 126

4. Jibril membawa gambarnya dari surga dan menyampaikan bahwa ia adalah istri Nabi saw.

5. ‘Âisyah dan Nabi saw pernah mandi janabah dari bejana yang sama, di mana Nabi tidak pernah melakukan hal tersebut dengan istri-istri yang lain.

6. Nabi pernah shalat sedangkan di hadapannya ada ‘Âisyah sedang berbaring.

7. Wahyu turun ketika Nabi saw sedang bersamanya.

8. Nabi saw wafat ketika sedang berbaring di pangkuan ‘Âisyah.

9. Nabi saw wafat pada malam giliran ‘Âisyah.

10. Nabi saw dikuburkan di rumah ‘Âisyah. 98

11. ‘Âisyah adalah istri yang paling dicintai Nabi saw

12. ‘Âisyah pernah melihat malaikat Jibril. 99 ‘Âisyah adalah salah seorang di antara istri-istri Nabi saw yang dijamin

masuk surga selain Khadîjah, Zainab binti Jahsy, dan Hafshah binti ‘Umar bin Khaththâb.

Dalam bidang akhlak, ‘Âisyah termasuk orang yang dermawan. Saking dermawannya, pernah suatu ketika ‘Âisyah dikirim uang sejumlah 100.000 dirham, ia membagikan uang tersebut sampai habis padahal saat itu ia sedang berpuasa dan ia

tidak ingat untuk menyisihkan uang tersebut untuk dirinya. 100

98 Ibnu Sa’ad, Purnama Madinah, h. 65, Lihat A. Khalîl Jam’ah, Istri-istri Para Nabi, h. 378- 381

99 Ibnu Sa’ad, Purnama Madinah, h. 66-67 100 Ibnu Sa’ad, Purnama Madinah, h. 66-67

‘Âisyah juga seorang wanita yang zuhud, ia memperbaiki sendiri pakaiannya. Ia juga seorang yang tidak sombong, ketika akan meninggalnya, ia ingin menjadi sesuatu yang tidak berarti dan dilupakan.

‘Âisyah wafat dalam usia 66 tahun. Menurut berita yang paling kuat, bahwa wafatnya ‘Âisyah adalah tanggal 17 Ramdhan 58 H, dan jenazahnya dishalati oleh Abû Hurairah, kemudian diantarkan pada permulaan malam ke pekuburan Baqi 101 sebagaimana yang diwasiatkan olehnya. 102

Ayat Al-Qur’an yang turun berkaitan dengan ‘Âisyah

1. Peristiwa Tuduhan terhadap ‘Âisyah (Hadits al-Ifki) dalam Surah An-Nûr/24: 11-

19

101 Di dalam kitab Shahîh al-Bukhâri diterangkan bahwa ‘Âisyah mewasiatkan kepada ‘Abdullah bin Zubair, anak kakaknya, Asma’, agar beliau dikuburkan bersama-sama rekan-rekannya di

Pekuburan Baqi. Bint Asy-Syâthi, Istri-istri Nabi, h. 126 102 Bint Asy-Syâthi, Istri-istri Nabi, h. 126

“Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga. Janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu bahkan ia adalah baik bagi kamu. Tiap-tiap seseorang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya. Dan siapa di antara mereka yang mengambil bahagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu baginya azab yang besar.(11) Mengapa di waktu kamu mendengar berita bohong itu orang-orang mu'minin dan mu'minat tidak bersangka baik terhadap diri mereka sendiri, dan (mengapa tidak) berkata: "Ini adalah suatu berita bohong yang nyata."(12) Mengapa mereka (yang menuduh itu) tidak mendatangkan empat orang saksi atas berita bohong itu? Oleh karena mereka tidak mendatangkan saksi-saksi maka mereka itulah pada sisi Allah orang- orang yang dusta.(13) Sekiranya tidak ada kurnia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu semua di dunia dan di akhirat, niscaya kamu ditimpa azab yang besar, karena pembicaraan kamu tentang berita bohong itu.(14) (Ingatlah) di waktu kamu menerima berita bohong itu dari mulut ke mulut dan kamu katakan dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui sedikit juga, dan kamu menganggapnya suatu yang ringan saja. Padahal dia pada sisi Allah adalah besar(15). Dan mengapa kamu tidak berkata, di waktu mendengar berita bohong itu: "Sekali-kali tidaklah pantas bagi kita memperkatakan ini. Maha Suci Engkau (Ya Tuhan kami), ini adalah dusta yang besar."(16) Allah memperingatkan kamu agar (jangan) kembali memperbuat yang seperti itu selama-lamanya, jika kamu orang-orang yang beriman,(17) dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.(18) Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat. Dan Allah mengetahui, sedang, kamu tidak mengetahui.(19)” (Q. S. An-Nisâ/4: 11-19)

2. Teguran Allah kepada Nabi saw akibat perbuatan ‘Âisyah dan Hafshah yang cemburu terhadap Zainab Binti Jahsy –menurut satu riwayat- atau terhadap

Mariyah Al-Qibthiyah –menurut riwayat lain- dalam Surah At-Tahrîm: 1-5

“Hai Nabi, mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah menghalalkannya bagimu; kamu mencari kesenangan hati isteri-isterimu? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (1) Sesungguhnya Allah telah mewajibkan kepada kamu sekalian membebaskan diri dari sumpahmu; dan Allah adalah Pelindungmu dan Dia Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (2) Dan ingatlah ketika Nabi membicarakan secara rahasia kepada salah seorang dari isteri-isterinya (Hafshah) suatu peristiwa. Maka tatkala (Hafshah) menceritakan peristiwa itu (kepada ‘Âisyah) dan Allah memberitahukan hal itu (semua pembicaraan antara Hafshah dengan ‘Âisyah) kepada Muhammad lalu Muhammad memberitahukan sebagian (yang diberitakan Allah kepadanya) dan menyembunyikan sebagian yang lain (kepada Hafshah). Maka tatkala (Muhammad) memberitahukan pembicaraan (antara Hafshah dan ‘Âisyah) lalu Hafshah bertanya: "Siapakah yang telah memberitahukan hal ini kepadamu?" Nabi menjawab: "Telah diberitahukan kepadaku oleh Allah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal". (3) Jika kamu berdua bertaubat kepada Allah, maka sesungguhnya hati kamu berdua telah condong (untuk menerima kebaikan); dan jika kamu berdua bantu-membantu menyusahkan Nabi, maka sesungguhnya Allah adalah Pelindungnya dan (begitu pula) Jibril dan orang- orang mu'min yang baik; dan selain dari itu malaikat-malaikat adalah penolongnya pula.(4) Jika Nabi menceraikan kamu, boleh jadi Tuhannya akan memberi ganti kepadanya dengan isteri-isteri yang lebih baik daripada kamu, yang patuh, yang beriman, yang ta`at, yang bertaubat, yang mengerjakan ibadat, yang berpuasa, yang janda dan yang perawan.(5)”

Penjelasan tentang sebab turun ayat tersebut sebagai berikut:

“Diriwayatkan dari ‘Âisyah r.a, beliau berkata: Sesungguhnya Nabi saw berada di rumah Zainab binti Jahsy, lalu beliau meminum susu, maka aku dan Hafshah bersepakat, siapa di antara kami berdua yang akan ditemui oleh Nabi saw nanti, dia mesti mengatakan kepada Rasulullah saw: Sesungguhnya aku mencium bau getah pokok urfuth darimu. Adakah kamu baru saja memakannya? kemudian Nabi saw menemui salah seorang dari kami, langsung saja pertanyaan tersebut diajukan kepada beliau. Tetapi beliau menjawab: Bahkan aku baru saja minum madu di rumah Zainab binti Jahsy, aku bersumpah tidak mengulanginya lagi. Lalu Allah menurunkan firman-Nya: َﻢِﻟ َﻚَﻟ ُﮫﱠﻠﻟا ﱠﻞَﺣَأ ﺎَﻣ ُمﱢﺮَﺤُﺗ (Mengapa kamu mengharamkan apa yang telah dihalalkan oleh Allah kepada kamu) sampai ayat ﺎَﺑﻮُﺘَﺗ ْنِإ (Jika kamu berdua bertaubat) kepada ‘Âisyah dan Hafsah. Adapun sebab turun firman Allah yang berbunyi ﱠﺮَﺳَأ ْذِإَو ﺎًﺜﯾِﺪَﺣ ِﮫِﺟاَوْزَأ ِﺾْﻌَﺑ ﻲَﻟِإ ﱡﻲِﺒﱠﻨﻟا (Dan ingatlah ketika Nabi membicarakan secara rahasia kepada salah seorang dari isteri-isterinya, yaitu Hafshah mengenai

satu peristiwa) ialah karena sabda Nabi: Bahkan aku minum madu.” 103

103 Riwayat Bukhâri dalam kitab Tafsîr Al-Qur’ân, Hadits No. 4531, Riwayat Muslim dalam kitab Talak, Hadits No. 2694, Riwayat Tirmizi dalam kitab Makanan, Hadits No. 1754, Riwayat

Nasâ’i dalam kitab Talak, Hadits No. 3367, Sumpah Nazar dan Pertanian, Hadits No. 3735, Sepuluh Orang Wanita, Hadits No. 3896, Riwayat Abû Dawud dalam kitab Minuman, Hadits No.3227, 3227, Riwayat Ibnu Mâjah dalam kitab Makanan, Hadits No. 3314, Riwayat Ahmad bin Hanbal, dalam juz

VI, Muka Surat 221, Riwayat Ad-Dârimi, dalam kitab Makanan, Hadits No. 1986. CD Room Hadits

3. ‘Âisyah yang pertama kali ditanyai Nabi saw saat ayat takhyîr (Q. S. al-Ahzâb/33:

28) turun.

“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu: "Jika kamu sekalian mengingini kehidupan dunia dan perhiasannya, maka marilah supaya kuberikan kepadamu mut`ah dan aku ceraikan kamu dengan cara yang baik….” (Q. S. Al-Ahzâb: 28)

Ketika turun ayat takhyîr (pilihan antara cerai atau tidak bagi istri-istri), Nabi saw menemui ‘Âisyah terlebih dahulu sebelum istri yang lainnya, dan

berkata: “Aku akan mengatakan sesuatu kepadamu dan aku ingin engkau tidak bertindak terburu-buru, namun hendaknya engkau datang kepada orang tuamu.” ‘Âisyah berkata, “Sesuatu apakah itu?” Rasul saw kemudian membacakan ayat tersebut, kemudian ‘Âisyah berkata, “Haruskah aku meminta pendapat orang tuaku? Aku memilih Allah dan Rasul-Nya.”

Hak pilih yang dimulai dengan ‘Âisyah terlebih dahulu, menurut Imam an- Nawâwî, 104 menunjukkan kelebihan dirinya atas istri-istri Nabi yang lain. Saat

ayat ini turun, istri-istri Nabi saw ada sembilan orang selain Khadîjah dan Zainab binti Khuzaimah yang telah lebih dahulu mendahului Nabi (wafat).

Ayat takhyîr ini turun berkaitan dengan keinginan istri-istri Nabi untuk memperoleh/memiliki perhiasan dunia.

Syarh Shahîh Muslim, J. 10, h. 78-79

4. Ayat Tayammum

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan ni`mat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.” (al- Maidah/5: 6)

Mengenai sebab turun ayat ini, Hisyâm bin ‘Urwah meriwayatkan dari ayahnya bahwa dalam suatu perjalanan bersama Nabi saw, ‘Âisyah kehilangan kalung yang dipinjamnya di suatu tempat yang biasa disebut “Shalshal”. Setelah menerima pengaduan ‘Âisyah tentang jatuhnya kalung tersebut, Nabi menyuruh sahabatnya untuk mencari kalung tersebut. Tidak lama kemudian, tiba waktu shalat sedangkan saat itu tidak ditemukan air sedikitpun di tempat tersebut. Akhirnya mereka shalat tanpa berwudhu. Lalu turunlah ayat tersebut. Maka Usaid bin Hudhair berkata kepada ‘Âisyah, “Semoga Allah membalasmu dengan Mengenai sebab turun ayat ini, Hisyâm bin ‘Urwah meriwayatkan dari ayahnya bahwa dalam suatu perjalanan bersama Nabi saw, ‘Âisyah kehilangan kalung yang dipinjamnya di suatu tempat yang biasa disebut “Shalshal”. Setelah menerima pengaduan ‘Âisyah tentang jatuhnya kalung tersebut, Nabi menyuruh sahabatnya untuk mencari kalung tersebut. Tidak lama kemudian, tiba waktu shalat sedangkan saat itu tidak ditemukan air sedikitpun di tempat tersebut. Akhirnya mereka shalat tanpa berwudhu. Lalu turunlah ayat tersebut. Maka Usaid bin Hudhair berkata kepada ‘Âisyah, “Semoga Allah membalasmu dengan

4. Hafshah binti ‘‘Umar bin Khaththâb

Beliau adalah Hafshah putri dari ‘Umar bin Khaththâb bin Nufail bin ‘Abdul ‘Uzza bin Riyah bin ‘Abdullah bin Qurath bin Razah bin ‘Adi bin Ka’ab bin Luai, seorang shahabat agung yang melalui perantaranya Islam memiliki wibawa. Hafshah adalah seorang wanita yang masih muda dan berparas cantik, bertaqwa dan wanita yang disegani. Ibunya adalah Zainab binti Maz’un bin Habîb bin Wahb bin Hudzafah bin Jumah. Ia lahir pada saat orang-orang Quraisy membangun Ka’bah, lima tahun

sebelum kenabian Nabi saw. 106 Pada mulanya beliau dinikahi salah seorang shahabat yang mulia bernama

Khunais bin Khudzâfah bin Qais bin ‘Adiy as-Sahmiy Al-Quraisy yang pernah berhijrah dua kali, ke Habasyah dan Madinah, ikut dalam perang Badar dan perang Uhud namun setelah itu beliau wafat di negeri hijrah karena sakit yang beliau alami pada waktu perang Badar. 107 Ketika suaminya meninggal, Hafshah masih muda dan

berumur 18 tahun. Setelah menjadi janda dan sebelum menikah dengan Nabi, ‘Umar bin Khaththâb pernah menawarkan Hafshah, putrinya tersebut kepada kedua sahabatnya,

105 Muhammad Ibrahim Salim, Nisâ’ Haula ar-Rasul: Al-Qudwah al-Hasanah wa al-Uswah ath-Thayyibah li Nisâ’ al-Usroh al-Muslimah, alih bahasa Abdul Hayyie al-Kattani dan Zahrul Fata,

Perempuan-perempuan Mulia di Sekitar Rasulullah Saw, (Jakarta: Gema Insani Press, 2002), h. 129. Lihat pula Aba Firdaus Al-Halwani, Wanita-wanita Pendamping Rasulullah., h. 245-246

A. Khalîl Jam’ah., Istri-istri Para Nabi, h. 396, Ibnu Sa’ad, Purnama Madinah, h. 77

Ada yang mengatakan karena luka pada perang Uhud. Namun pendapat pertama lebih terkenal. A. Khalîl Jam’ah, Istri-istri Para Nabi, h. 396.

Abû Bakar dan ‘Utsmân bin ‘Affân –yang saat itu baru ditinggal wafat istrinya, Ruqayyah binti Nabi saw-- untuk menikahi anaknya dikarenakan hatinya sedih melihat anaknya yang berduka setelah kematian suaminya. Namun kedua sahabatnya menolak. Kemudian beliau menghadap Nabi saw dan mengadukan keadaan dan sikap Abû Bakar maupun ‘Utsmân. Maka tersenyumlah Nabi saw seraya berkata:

"Hafshah akan dinikahi oleh orang yang lebih baik dari Abû Bakar dan ‘Utsmân sedangkan ‘Ustmân akan menikahi wanita yang lebih baik daripada Hafshah (yaitu putri beliau Ummu Kultsum r.a. )"

Kemudian Nabi menikahinya di Madinah pada bulan Sya’ban, tiga bulan setelah hijrah beliau pada tahun 2 Hijriyah.

Satu riwayat 108 menerangkan bahwa Nabi saw menceraikan Hafsah, tapi kemudian beliau rujuk kembali. Tentang sebab rujuknya, ada beberapa riwayat. Ada

yang menerangkan bahwa rujuk terjadi karena Nabi merasa kasihan melihat ‘Umar yang memukuli kepalanya sambil berkata, “Allah sudah menghinakan dan tidak memperdulikan ‘Umar dan puterinya lagi.” Keesokan harinya Malaikat Jibril menemui Nabi saw dan berkata, “Sungguh, Allah menyuruh Rasulullah supaya rujuk kepada Hafshah karena kasihan melihat ‘Umar”

Sedang dalam riwayat lain dijelaskan bahwa Malaikat Jibril a.s. turun menemui Nabi saw dan berkata, “Rujuklah kepada Hafshah, karena dia adalah seorang wanita yang sering berpuasa, dan beribadah pada malam hari, dan

yakni riwayat Ibnu Hajar al-‘Asqalâni dengan sanad yang berlainan, yang seluruhnya dapat dikompromikan bahwa beliau menceraikan Hafsah dengan talak satu. Bint Asy-Syâthi, Istri-istri Nabi, h. 139

untuk tidak menceraikan Hafshah. Di antara istri-istri Nabi, selain ‘Âisyah, Hafshah binti ‘Umar bin Khaththâb dikenang dalam sejarah sebagai Umm al-Mu’minîn yang memelihara naskah pertama dari Al-Qur’an, Kitab berbahasa Arab yang terbesar kemuliaanya, dan mukjizat Islam yang kekal setelah Nabi saw meninggal. Pada mulanya, ‘Umar bin Khaththâb menasihati Abû Bakar, Khalifah pertama, untuk segera mengumpulkan Al-Qur’an yang saat itu masih berserakan dalam catatan, sebelum habis dan meninggal orang-

orang yang menghafalnya. Abû Bakar menerima nasihat ‘Umar. Kemudian beliau mengumpulkannya dan menitipkannya kepada Hafshah. Pada masa Khalifah ‘Utsmân bin Affan, catatan Al-Qur’an tersebut diminta untuk disalin menjadi empat eksemplar yang kemudian dibagi-bagikannya ke kota-kota besar, serta memerintahkan catatan lainnya dibakar. Hal ini dimaksudkan untuk menghindarkan umat dari perselisihan

yang mungkin timbul dalam membaca Al-Qur’an tersebut. 110 Hafshah wafat pada bulan Sya’ban tahun 45 Hijriyah pada masa

kekhalifahan Muawiyah bin Abû Sufyân, dan dikuburkan di Pekuburan Baqi, di tempat para Umm al-Mu’minîn lainnya. Marwan bin Hakam yang saat itu menjadi

109 Bint Asy-Syâthi, Istri-istri Nabi, h. 139 110 Bint Asy-Syâthi, Istri-istri Nabi, h. 144 109 Bint Asy-Syâthi, Istri-istri Nabi, h. 139 110 Bint Asy-Syâthi, Istri-istri Nabi, h. 144

Ayat yang berkaitan dengan Hafshah

Hafshah dan ‘Âisyah adalah dua istri Nabi yang saling mencintai. Suatu ketika Hafshah pergi ke rumah ayahnya dan berbicara dengannya, kemudian Nabi saw pergi menemui budak beliau –Mariyah Al-Qibtiyah-- dan bersama Nabi saw, Mariyah pergi ke rumah Hafshah. Hari itu adalah hari giliran Nabi saw mendatangi Hafshah. Ketika Hafshah pulang ke rumahnya, ia mendapati Nabi saw bersama Mariyah sehingga ia cemburu. Setelah Mariyah keluar, Hafshah masuk dan berkata

kepada Nabi, “Sungguh aku tahu orang yang di sampingmu tadi. Demi Allah, engkau telah menyakitiku.” Nabi lalu meminta keridaan Hafshah dan memintanya menjaga sebuah rahasia, yaitu Nabi mengharamkan Mariyah untuknya demi keridaan Hafshah tersebut. Tapi Hafshah kemudian memberitahukan rahasia tersebut kepada

‘Âisyah. 113 Saat itu, turunlah wahyu kepada Nabi Q.S. At-Tahrîm/66: 1:

“Hai Nabi, mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah menghalalkannya bagimu; kamu mencari kesenangan hati isteri-isterimu? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.S. At-Tahrîm/66: 1)

111 Bint Asy-Syâthi, Istri-istri Nabi, h. 144, Ibnu Sa’ad, Purnama Madinah, h. 81 112 Seperti dikatakan Imam Nawâwî di Tahzîb, j. 2, h. 339. Buku-buku tersebut dikumpulkan di

buku Baqi bin Mukhallad, seperti dikatakan Az-Zahabi di Siyar A’lâm an-Nubalâ, j. 2, h. 230 113 Ibnu Jarîr At-Thabârî, at-Tafsîr, j. 28, h. 157. Muhammad bin Sa’ad As-Suyûthi, Ad-Durr al-

Mantsûr fî at-Tafsîr bi al-Ma‘tsûr, j. 8, h. 214-215

Ibnu Katsîr mengambil riwayat dari ‘Umar bin Khaththâb yang berkata, “Nabi saw bersabda kepada Hafshah, ‘Janganlah engkau bercerita

kepada siapapun bahwa Ummu Ibrâhîm (Mariyah) adalah haram bagiku,’ Hafshah berkata, ‘Apakah engkau mengharamkan sesuatu yang telah dihalalkan Allah bagimu?’ Rasulullah saw bersabda, ‘Demi Allah, aku tidak akan mendekatinya.’ Rasulullah saw tidak mendekati Ummu Ibrâhîm (Mariyah) hingga Hafshah menceritakan rahasia tersebut kepada ‘Âisyah, kemudian Allah Ta’ala menurunkan ayat:

“Sesungguhnya Allah telah mewajibkan kepada kamu sekalian membebaskan diri dari sumpahmu; dan Allah adalah Pelindungmu dan Dia Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. ” (Q.S. At-Tahrîm/66: 2) 114

Keutamaan Hafshah

Hafshah pernah merasa bersalah karena menyebabkan kesusahan dan penderitaan Nabi dengan menyebarkan rahasianya namun akhirnya menjadi tenang setelah Nabi saw memaafkan beliau. Kemudian Hafshah hidup bersama Nabi dengan hubungan yang harmonis sebagai seorang istri bersama suaminya. Manakala Nabi wafat dan Khalifah dipegang oleh Abû Bakar ash-Shiddîq, Hafshah-lah yang dipercaya diantara Ummahat al-Mu’minîn termasuk ‘Âisyah didalamnya, untuk menjaga mushaf Al-Qur'an yang pertama.

Hafshah mengisi hidupnya sebagai seorang ahli ibadah dan ta'at kepada Allah, rajin shaum dan juga shalat. Sehingga Jibril menurunkan wahyu kepada Nabi saw untuk melarang Nabi mencerai Hafshah dikarenakan:

"Dia adalah seorang wanita yang rajin shaum, rajin shalat dan dia adalah istrimu di surga". 115

Demikianlah kehidupan Hafshah sehingga ia mendapat julukan Ash- Shawwâmah (yang banyak berpuasa) dan Al-Qawwâmah (yang banyak mendirikan shalat malam), yang merupakan tingkatan ibadah yang paling tinggi yang mesti dijaga manusia dalam kehidupan ini.

5. Zainab binti Khuzaimah

Tidak lama setelah kedatangan Hafshah dalam rumah tangga Nabi,

masuklah Zainab binti Khuzaimah yang terkenal dengan gelar Umm al-Masâkîn, Ibu orang-orang miskin, pada zaman Jahiliyah. Ia adalah Zainab binti Khuzaimah bin al- Hârits bin ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Abdu Manâf bin Hilâl bin ‘Âmir bin Sha‘sha‘ah 116 bin Muawiyah bin Bakr bin Hawâzin bin Manshûr bin ‘Ikrimah bin

Khashafah bin Qais Ailan. Sebelum menikah dengan Nabi, Zainab bersuamikan ‘Ubaidah bin Hârits 117

Ibnu Katsîr, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, (Semarang: Toha Putra, tth,) J. 4, h. 412 115 Bint Asy-Syâthi, Istri-istri Nabi., h. 139. Ibnu Sa’ad, Ath-Thabaqât, j. 8, h. 84, A. Khalîl

Jam’ah, Nisa’ Mubasysyarât bi al-Jannah, alih bahasa Kathur Suhardi, Wanita yang Dijamin Surga, (Jakarta: Darul Falah, 2003), Cet. II, h. 463

116 Bint Asy-Syâthi, Istri-istri Nabi, h. 147 3, h. 179 117 Banyak riwayat tentang nama suaminya. Ada yang mengatakan namanya Abdullah bin Jahsy,

anak saudara perempuan dari ayah Nabi saw dan saudara laki-laki dari istri beliau, Zainab binti Jahsy. Ada pula yang mengatakan, pada mulanya Zainab Binti Khuzaimah adalah istri dari Thufail bin al- Hârits bin al-Muththalib bin ‘Abdu Manâf. Kemudian Thufail meninggal atau menceraikannya dan digantikan oleh ‘Ubaidah bin al-Hârits. Lihat Al-‘Asqalânî, Al-Ishâbah, j. 8, h. 944. Riwayat ketiga mengatakan bahwa sebelum dinikahi Nabi saw, ia adalah istri ‘Ubaidah bin al-Hârits bin al-Muththalib bin ‘Abdu Manâf, dan sebelum itu ia adalah istri Jahm bin ‘Amr bin al-Hârits putera pamannya. Lihat Bint Asy-Syâthi, Istri-istri Nabi, h. 147-148 anak saudara perempuan dari ayah Nabi saw dan saudara laki-laki dari istri beliau, Zainab binti Jahsy. Ada pula yang mengatakan, pada mulanya Zainab Binti Khuzaimah adalah istri dari Thufail bin al- Hârits bin al-Muththalib bin ‘Abdu Manâf. Kemudian Thufail meninggal atau menceraikannya dan digantikan oleh ‘Ubaidah bin al-Hârits. Lihat Al-‘Asqalânî, Al-Ishâbah, j. 8, h. 944. Riwayat ketiga mengatakan bahwa sebelum dinikahi Nabi saw, ia adalah istri ‘Ubaidah bin al-Hârits bin al-Muththalib bin ‘Abdu Manâf, dan sebelum itu ia adalah istri Jahm bin ‘Amr bin al-Hârits putera pamannya. Lihat Bint Asy-Syâthi, Istri-istri Nabi, h. 147-148

saw selama delapan bulan, 119 kemudian meninggal pada akhir Rabi’ al-Akhir tahun 4 Hijriyah dalam usia 30 tahunan. Nabi menshalatkannya dan menguburkannya di

Baqi. 120 Singkatnya kehidupan Zainab bersama Nabi saw, menjadikan ahli sejarah

tidak banyak menulis biografi beliau. Selain itu, kalaupun ada, kebanyakan mereka berbeda pendapat tentang tiga hal, nama suaminya sebelum Nabi saw, waktu mati syahid suaminya, dan nama wali yang menikahkannya. Meskipun demikian, mereka

sepakat pada satu hal, bahwa Zainab mempunyai sifat-sifat yang baik, pemurah dan kasih sayang terhadap fakir miskin. Setiap namanya disebut, selalu disertai dengan gelarnya yang mulia, yaitu “Ibu dari orang-orang miskin.”

Bahkan Bint Asy-Syâthi mengutip beberapa pendapat tentang Zainab: 121 “Ibnu Hisyam mengatakan, ‘Zainab disebut Umm al-Masâkîn (Ibu dari

orang-orang miskin) karena kasih sayang dan lemah lembutnya kepada mereka.’ 122 Dalam Al-Ishâbah, Zainab disebut ibu dari orang-orang miskin

karena ia selalu memberi makanan dan bersedekah kepada mereka. 123 Boudly mengatakan, ‘Zainab adalah seorang wanita yang baik tabiat dan bagus

kelakuannya.’ Dr Haikal menerangkan, ‘Zainab tidak begitu cantik, dia hanya terkenal dengan perilakunya yang baik dan sifatnya yang pemurah, sehingga ia diberi gelar ‘Ibu orang-orang miskin.’”

118 Menurut Bint Asy-Syâthi di perang Uhud, Istri-istri Nabi, h. 147 119 ada yang mengatakan selama tiga bulan , Bint Asy-Syâthi, Istri-istri Nabi, h. 148-149 120 Lihat Ibnu Sa’ad, Purnama Madinah, h. 108-109 121 Lihat Bint Asy-Syâthi, Istri-istri Nabi, h. 149-150 122 Ibnu Hisyam, As-Sîrah, j. 4, h. 296 123 Al-Qurthûbî, al-Istî’âb, j. 8, h. 94

6. Ummu Salamah

Beliau adalah Hindun binti Abî Umayyah Suhail bin al-Mughîrah bin ‘Abdullah bin ‘Umar bin Makhzûm. 124 Ayahnya adalah putra dari salah seorang

Quraisy yang diperhitungkan (disegani) dan terkenal dengan kedermawanannya, bahkan mendapat julukan "Zâd ar-Rakbi" yakni seorang pengembara yang berbekal. Dijuluki demikian karena apabila melakukan perjalanan, tidak pernah lupa mengajak teman dan juga membawa bekal, bahkan ia mencukupi bekal milik temannya. 125

Adapun ibunya bernama 'Atîkah binti Âmir bin Rabî'ah bin Mâlik bin Jazîmah bin ‘Alqamah Jazl ath-Th’ân bin Farâs bin Ghanm bin Mâlik bin Kinânah. 126

Di samping memiliki nasab yang terhormat, Ummu Salamah juga seorang wanita yang berparas cantik, berkedudukan, dan seorang wanita yang cerdas. Pada mulanya ia dinikahi oleh Abû Salamah ‘Abdullah bin ‘Abd al-Asad bin Hilâl bin

‘Abdullah bin ‘Umar bin Makhzûm. 127 Bersama Ummu Salamah, Abu Salamah seorang shahabat Nabi yang agung yang mengikuti dua kali hijrah, ke Habasyah dan

Madinah. Di Habasyah, Ummu Salamah melahirkan Salamah, di Madinah beliau melahirkan ‘Umar, Durrah dan Zainab. 128

Bagi suaminya, Ummu Salamah adalah sebaik-baik istri, baik dari segi kesetiaan, kata'atan dan dalam menunaikan hak-hak suaminya. Dia telah memberikan pelayanan kepada suaminya di dalam rumah dengan pelayanan yang

124 Ibnu Sa’ad, Ath-Thabaqât al-Kubrâ, j. 8, h. 86 125 Ibnu Hajar al-‘Asqalânî, Al-Ishâbah fî Tamyîz ash-Shahâbah, j. 4, h. 458 126 Ibnu Sa’ad, Ath-Thabaqât al-Kubrâ, j. 8, h. 86 127 Ibnu Sa’ad, Ath-Thabaqât al-Kubrâ, j. 8, h. 87 124 Ibnu Sa’ad, Ath-Thabaqât al-Kubrâ, j. 8, h. 86 125 Ibnu Hajar al-‘Asqalânî, Al-Ishâbah fî Tamyîz ash-Shahâbah, j. 4, h. 458 126 Ibnu Sa’ad, Ath-Thabaqât al-Kubrâ, j. 8, h. 86 127 Ibnu Sa’ad, Ath-Thabaqât al-Kubrâ, j. 8, h. 87

Ummu Salamah beserta suaminya kembali ke Mekkah bersama shahabat- shahabat yang lain bersamaan dengan disobeknya naskah pemboikotan (terhadap kaum muslimin dan kaumnya Abû Thalib) dan setelah masuk Islamnya Hamzah bin ‘Abdul Muthallib dan ‘Umar bin Khaththâb r.a.

Kemudian manakala Nabi Saw mengizinkan bagi para shahabatnya untuk hijrah ke Madinah setelah peristiwa Bai'atul Aqabah al-Kubrâ, Abû Salamah bertekad untuk mengajak anggota keluarganya berhijrah. Namun keluarga Ummu Salamah menahan Ummu Salamah sehingga hanya Abû Salamah yang pergi dan putranya dibawa oleh Bani Abdul Asad, keluarga suaminya. Meskipun demikian, akhirnya ia dan anaknya dapat bertemu kembali dan dengan bantuan ‘Ustman bin Thalhah, Ummu Salamah dapat menyusul suaminya hijrah ke Madinah. 129

Ummu Salamah adalah wanita pertama yang memasuki Madinah sebagaimana beliau juga pernah mengikuti rombongan pertama yang hijrah ke Habasyah. Selama di Madinah beliau sibuk mendidik anaknya dan mempersiapkan

128 Ibnu Hajar al-‘Asqalânî, Al-Ishâbah fî Tamyîz ash-Shahâbah, j. 4, h. 458, Ibnu Sa’ad, Ath- Thabaqât al-Kubrâ, j. 8, h. 87

129 Ibnu Hajar al-‘Asqalânî, Al-Ishâbah fî Tamyîz ash-Shahâbah, j. 4, h. 458. Lihat pula Bint Asy-Syâthi, Istri-istri Nabi, h. 156-158.

bekal bagi suaminya untuk berjihad dan mengibarkan bendera Islam. Abû Salamah adalah sahabat yang mengikuti perang Badar dan perang Uhud. Pada Perang Uhud inilah beliau terkena luka yang parah karena terkena panah pada bagian lengan sehingga beliau tinggal menetap untuk mengobati lukanya hingga merasa sudah sembuh.

Dua bulan setelah perang Uhud, Nabi saw mendapat laporan bahwa Bani Asad merencanakan hendak menyerang kaum muslimin. Kemudian beliau memanggil Abû Salamah dan mempercayakan kepadanya untuk membawa bendera pasukan menuju “Qathn”, yakni sebuah gunung yang berpuncak tinggi disertai

pasukan sebanyak 150 orang. Di antara mereka adalah ‘Ubaidullah bin al-Jarrah dan Sa‘ad bin Abi Waqqash.

Abû Salamah melaksanakan perintah Nabi saw untuk menghadapi musuh dengan antusias. Beliau menggerakkan pasukannya pada gelapnya subuh saat musuh lengah. Maka usailah peperangan dengan kemenangan kaum muslimin sehingga mereka kembali dalam keadaan selamat dan membawa ghanîmah. Di samping itu, mereka dapat mengembalikan sesuatu yang hilang yakni kewibawaan kaum muslimin tatkala perang Uhud.

Pada pengiriman pasukan inilah luka yang diderita oleh Abû Salamah pada hari Uhud kembali kambuh yang menyebabkannya meninggal dunia. Di saat-saat dia mengobati lukanya, beliau berkata kepada istrinya: “Wahai Ummu Salamah, aku mendengar Nabi saw bersabda:

“Tiada seorang muslimpun yang ditimpa musibah kemudian dia mengucapkan kalimat istirja ‘(inna lillahi wa inna ilaihi raji'un), dilanjutkan dengan berdoa: 'Ya Allah berilah aku pahala dalam musibah ini dan gantilah untukku dengan yang lebih baik darinya’ melainkan Allah akan menggantikan yang lebih baik darinya.”

Pada suatu pagi Nabi saw datang untuk menengoknya dan beliau terus menunggunya hingga Abû Salamah wafat. Maka Nabi saw memejamkan kedua mata Abû Salamah dengan kedua tangannya dan mengarahkan pandangannya ke langit seraya berdo'a:

"Ya Allah ampunilah Abû Salamah, tinggikanlah derajatnya dalam golongan al-Muqarrabîn dan gantikanlah dia dengan kesudahan yang baik pada masa yang telah lampau dan ampunilah kami dan dia Ya Rabbal 'Âlamîn.”

Ummu Salamah adalah wanita yang sholehah, ia menghadapi ujian tersebut dengan hati yang dipenuhi dengan keimanan dan jiwa yang diisi dengan kesabaran, beliau pasrah dengan ketetapan Allah dan qadar-Nya. Ia ingat do'a Nabi saw yang diriwayatkan oleh Abû Salamah yakni:

"Ya Allah berilah aku pahala dalam musibah ini…" Sebenarnya ada rasa tidak enak pada jiwanya manakala dia membaca do'a:

"Wakhluflii khairan minha" (dan gantilah untukku dengan yang lebih baik darinya) karena hatinya bertanya-tanya: 'Lantas siapakah gerangan yang lebih baik daripada Abû Salamah?'. Akan tetapi beliau tetap menyempurnakan do'anya agar bernilai ibadah kepada Allah.

Ketika telah habis masa ‘iddahnya, ada beberapa shahabat-shahabat utama yang bermaksud untuk melamar beliau sebagaimana kebiasaan kaum muslimin dalam Ketika telah habis masa ‘iddahnya, ada beberapa shahabat-shahabat utama yang bermaksud untuk melamar beliau sebagaimana kebiasaan kaum muslimin dalam

Nabi saw turut memikirkan nasib wanita yang mulia ini; seorang wanita mukminah, jujur, setia dan sabar. Beliau melihat tidak bijaksana rasanya apabila dia dibiarkan menyendiri tanpa seorang pendamping. Pada suatu hari, pada saat Ummu Salamah sedang menyamak kulit, Nabi saw datang dan meminta izin kepada Ummu Salamah untuk menemuinya. Ummu Salamah mengizinkan beliau. Beliau ambilkan sebuah bantal yang terbuat dari kulit dan diisi dengan ijuk sebagai tempat duduk bagi Nabi. Maka Nabi pun duduk dan melamar Ummu Salamah. Tatkala Nabi selesai

berbicara, Ummu Salamah hampir-hampir tidak percaya dengan apa yang dia dengar. Tiba-tiba beliau ingat hadits yang diriwayatkan oleh Abû Salamah, yakni; "Wakhlufli khairan minha" (dan gantilah untukku dengan yang lebih baik darinya), maka hatinya berbisik: 'Dia lebih baik daripada Abû Salamah'. Hanya saja ketulusan dan keimanannya menjadikan beliau ragu, beliau hendak mengungkapkan kekurangan yang ada pada dirinya kepada Nabi. Dia berkata: “Marhaban ya Rasulullah, bagaimana mungkin aku tidak mengharapkan anda, ya Rasulullah. Hanya saja saya adalah seorang wanita yang pencemburu, maka aku takut jika engkau melihat sesuatu yang tidak anda senangi dariku maka Allah akan mengadzabku, lagi pula saya adalah seorang wanita yang telah lanjut usia dan saya memiliki tanggungan keluarga.” Maka Nabi saw bersabda: “Adapun alasanmu bahwa engkau adalah wanita yang telah lanjut usia, maka sesungguhnya aku lebih tua darimu dan tiadalah aib manakala dikatakan dia telah menikah dengan orang yang lebih tua darinya. Mengenai alasanmu bahwa berbicara, Ummu Salamah hampir-hampir tidak percaya dengan apa yang dia dengar. Tiba-tiba beliau ingat hadits yang diriwayatkan oleh Abû Salamah, yakni; "Wakhlufli khairan minha" (dan gantilah untukku dengan yang lebih baik darinya), maka hatinya berbisik: 'Dia lebih baik daripada Abû Salamah'. Hanya saja ketulusan dan keimanannya menjadikan beliau ragu, beliau hendak mengungkapkan kekurangan yang ada pada dirinya kepada Nabi. Dia berkata: “Marhaban ya Rasulullah, bagaimana mungkin aku tidak mengharapkan anda, ya Rasulullah. Hanya saja saya adalah seorang wanita yang pencemburu, maka aku takut jika engkau melihat sesuatu yang tidak anda senangi dariku maka Allah akan mengadzabku, lagi pula saya adalah seorang wanita yang telah lanjut usia dan saya memiliki tanggungan keluarga.” Maka Nabi saw bersabda: “Adapun alasanmu bahwa engkau adalah wanita yang telah lanjut usia, maka sesungguhnya aku lebih tua darimu dan tiadalah aib manakala dikatakan dia telah menikah dengan orang yang lebih tua darinya. Mengenai alasanmu bahwa

maka aku akan berdo'a kepada Allah agar menghilangkan sifat itu dari dirimu.” 130 Maka beliau pasrah dengan Nabi saw. Dia berkata: “Sungguh Allah telah

menggantikan bagiku seorang suami yang lebih baik dari Abû Salamah, yakni Nabi saw.” Maka jadilah Ummu Salamah sebagai Umm al-Mu’minîn. Beliau hidup dalam rumah tangga nubuwwah yang telah ditakdirkan untuknya dan merupakan suatu kedudukan yang beliau harapkan. Beliau menjaga kasih sayang dan kesatuan hati bersama para Ummahât al-Mu’minin.

Keutamaannya

Ummu Salamah bukan hanya seorang wanita yang memiliki tubuh yang menarik dan wajah yang rupawan, bahkan ia adalah seorang wanita yang cerdas dan matang dalam memahami persoalan dengan pemahaman yang baik dan dapat mengambil keputusan dengan tepat pula. Hal itu ditunjukkan pada peristiwa Hudaibiyah manakala Nabi saw memerintahkan para shahabatnya untuk menyembelih qurban selepas terjadinya perjanjian dengan pihak Quraisy. Namun ketika itu, para shahabat tidak mengerjakannya karena sifat manusiawi mereka yang merasa kecewa dengan hasil perjanjian Hudaibiyah yang banyak merugikan kaum muslimin. Berulangkali Nabi saw memerintahkan mereka akan tetapi tetap saja tak seorangpun mau mengerjakannya. Maka Nabi saw masuk menemui Ummu Salamah dalam keadaan sedih dan kecewa. Beliau ceritakan kepada Ummu Salamah perihal

130 Ibnu Sa’ad, Ath-Thabaqât al-Kubrâ, j. 8, h. 91 130 Ibnu Sa’ad, Ath-Thabaqât al-Kubrâ, j. 8, h. 91

Nabi saw menerima usulan Ummu Salamah. Maka beliau berdiri dan keluar tidak berkata sepatah katapun hingga beliau menyembelih untanya. Kemudian beliau panggil tukang cukur beliau dan dicukurlah rambut beliau. Manakala para shahabat melihat apa yang dikejakan oleh Nabi saw, maka mereka bangkit dan menyembelih

kurban mereka, kemudian sebagian mereka mencukur sebagian yang lain secara bergantian. 131

Mengenai kepribadian Ummu Salamah, ‘Âisyah menyatakan: “Ketika Rasululllah menikah dengan Ummu Salamah, aku merasa sedih,

sebab orang melukiskan betapa cantiknya Ummu Salamah. Lalu dengan diam- diam aku ingin melihatnya. Dan benar…malah lebih dari apa yang dilukiskan orang. Hal itu kuceritakan kepada Hafshah, tapi dengan tenang ia berkata, ‘Ah, dia tidak seperti yang digambarkan orang’. Setelah aku bergaul dengan beliau ternyata benar seperti yang digambarkan Hafshah. Hanya saja aku memang

pencemburu.” 132

Demikianlah Âisyah menunjukkan kehalusan budi pekerti dan ketinggian akhlak Ummu Salamah r. a.

Ali Usman, Partisipasi Keluarga Rasulullah, h. 93 132 H.R. Ibnu Sa’ad namun sanadnya agak lemah karena terdapat Al-Waqidi. Lihat Ali Usman,

Partisipasi Keluarga Rasulullah, h. 92-93

Kecantikan hatinya juga dapat dilihat dari peristiwa mengurung dirinya Nabi Muhammad saw yang telah berlalu. Saat Nabi saw jatuh sakit, Ummu Salamahlah yang memberikan usulan kepada istri-istri yang lain untuk merelakan gilirannya

diberikan kepada ‘Âisyah dan menyerahkan perawatan Nabi kepada ‘Âisyah. 133 Setelah Nabi saw wafat, Ummu Salamah senantiasa memperhatikan urusan

kaum muslimin dan mengamati peristiwa-peristiwa yang terjadi. Beliau selalu andil dengan kecerdasannya dalam setiap persoalan untuk menjaga lurusnya umat dan mencegah mereka dari penyimpangan, terlebih lagi terhadap para penguasa dari para Khalifah maupun para pejabat. Beliau singkirkan segala kejahatan dan kezhaliman

terhadap kaum muslimin, beliau terangkan kalimat yang haq dan tidak takut terhadap celaan dari orang yang suka mencela dalam rangka melaksanakan perintah Allah.

Pada bulan Dzulqa'dah tahun 59 setelah hijriyah, 134 Ummu Salamah wafat dalam usia 84 tahun. Beliau adalah istri Nabi saw yang terakhir wafat. 135 Beliau wafat setelah memberikan contoh kepada wanita dalam hal kesetiaan, jihad dan kesabaran.

7. Zainab binti Jahsy

Zainab binti Jahsy adalah seorang istri Nabi saw yang mendapatkan keutamaan karena pernikahannya dengan Nabi berdasarkan firman Allah (Q. S. al-

133 Ahmad Khoiron Mustafit, Inner Beauty Istri-istri Nabi Muhammad saw, (Jakarta: Qultum Media, 2004), Cet. 1, h.93

134 Ibnu Sa’ad, Ath-Thabaqât al-Kubrâ, j. 8, h. 87. Namun dalam riwayat Ibnu Abî Haitsamah oleh Ibnu Hajar al-‘Atsqalâni dalam Al-Ishâbah, j. 4, h. 460 dikatakan bahwa Ummu Salamah wafat

pada tahun 61 H. 135 Al-‘Asqalânî, Al-Ishâbah, j. 4, h. 460

Ahzâb/33: 36-38). Selain itu, pada saat pernikahannya dengan Nabi turun ayat hijâb (Q.S. al-Ahzâb/33: 53).

Zainab adalah istri yang paling dekat nasabnya kepada Nabi saw. Nasabnya secara lengkap adalah Zainab binti Jahsy bin Ri‘ab bin Ya'mur bin Shabîrah bin

Murrah bin Kabîr bin Ghanm bin Dudan bin Asad bin Khuzaimah. 136 Zainab binti Jahsy adalah wanita muda, bangsawan, cantik, dan keturunan Bani Asad bin

Khuzaimah al-Mudharry, cucu Abdul Muththalib, putri saudara perempuan ayah Nabi Muhammad saw. 137 Ibu beliau bernama Umaimah Binti ‘Abdul Muthallib. Para ahli

riwayat menceritakan bahwa Zainab berkulit putih, sintal, dan termasuk wanita

sempurna di antara wanita Quraisy. Zainab pun merasa bangga dengan kecantikannya dan dengan keturunannya yang mulia. 138 Pada mulanya nama beliau adalah Barrah,

namun tatkala diperistri oleh Nabi, beliau diganti namanya dengan Zainab. 139 Sebelum menikah dengan Nabi, Zainab telah menikah terlebih dahulu

dengan Zaid bin Haritsah bin Syarâhîl bin Ka’ab dari Bani Zaid al-Lât. Pernikahan Zainab dengan Zaid maupun dengan Nabi saw adalah pernikahan yang didasari wahyu Allah swt. Ayat berikut turun terhadap Zainab binti Jahsy.

136 Ahmad Khalîl Jam‘ah, Istri-istri Para Nabi, h. 438 137 Bint Asy-Syâthi’, Istri-istri Nabi, h. 173 138 Bint Asy-Syâthi’, Istri-istri Nabi, h. 173

Berdasarkan hadits riwayat Abû Hurairah r.a yang berkata: “Sesungguhnya nama Zainab pada mulanya ialah Barrah. Ada orang mengatakan: ‘Dia membersihkan dirinya. Lalu Nabi Saw memberinya nama Zainab.’” Lihat Bukhori dalam kitab Adab/Etika, Hadits No. 5724, Muslim dalam kitab Adab, Hadits No. 3990, Ibnu Majah dalam kitab Adab/Etika, Hadits No. 3722, Ahmad bin Hanbal dalam kitab Juz 2, Muka Surah 459, Ad-Darimi dalam Kitab Meminta Izin, Hadits No. 2582

139

“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang beriman dan tidak pula bagi perempuan yang beriman, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada pilihan yang lain bagi mereka tetang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya dia telah sesat, dalam kesesatan yang nyata.” (36) “Dan (ingatlah) ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu (juga) memberi nikmat kepadanya: Tahanlah terus istrimu dan bertakwlah kepada Allah, sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang allah akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) istri-istri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya kepada istri-isterinya. Dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi.” (37) “Tidak ada satu keberatanpun atas Nabi tentang apa yang telah ditetapkan Allah baginya. (Allah telah menetapkan yang demikian) sebagai sunnah-Nya pada nabi-nabi yang telah berlalu dahulu. Dan adalah ketetapan Allah itu suatu ketetapan yang pasti berlaku.” (38) (Q S. Al-Ahzâb /33: 36-38)

Zaid tadinya adalah budak Nabi yang kemudian dimerdekakan dan menjadi anak angkat Nabi sebelum turun ayat:

“Panggilah mereka dengan nama ayah mereka…” (Q. S. Al-Ahzâb/33 : 5)

Zaid sering dipanggil dengan Zaid bin Muhammad. Namun sesudah turun ayat tersebut, Zaid dipanggil dengan nama ayah kandungnya, Zaid bin Haritsah. Zaid

merupakan orang yang pertama kali masuk Islam setelah ‘Ali bin Abî Thâlib. 140 Ketika Nabi saw hijrah ke Madinah, beliau mempersaudarakan sahabat-sahabatnya,

dan Zaid dipersaudarakan dengan Sayyidina Hamzah, paman Nabi Saw. 141 Zaid sebenarnya bukanlah seorang budak. Pada suatu ketika dia pergi

bersama ibunya, yaitu Su’dâ binti Tsa’labah untuk mengunjungi keluarga Bani Mi’an bin Thay’. Lalu Zaid dirampas dari ibunya oleh pasukan berkuda dari Bani Al-Qain bin Jisr, dan mereka menjualnya di salah satu pasar yang ada di Jazirah Arab, yaitu pasar Ukaz. Zaid pun kemudian dibeli oleh Hakîm bin Hizâm bin Khuwailid, keponakan Khadîjah binti Khuwailid, istri Nabi saw, yang sedang mengadakan perjalanan ke Syam. Saat itu Zaid berumur delapan tahunan.

Suatu hari, Khadîjah –yang pada waktu itu telah menjadi istri Nabi saw– datang mengunjungi Hakîm bin Hizâm bin Khuwailid. Ketika Khadîjah hendak kembali pulang, keponakannya mempersilahkan memilih di antara budak-budaknya untuk dibawa serta. Lalu Khadîjah memilih Zaid, dan seterusnya membawa pulang ke Makkah. Sesampainya di rumah, suaminya, Nabi saw melihat Zaid, lalu meminta kepadanya agar anak itu diserahkan kepadanya untuk menjadi pelayan pribadinya.

Ayah Zaid, Hâritsah, yang merasa sedih karena kehilangan Zaid kemudian mengembara mencari berita tentang Zaid dan hingga ia mendengar kabar tentang anaknya yang berada di Makkah, di rumah Nabi saw. Sesampainya di hadapan Nabi, ia segera memohon agar diperkenankan menebus anaknya. Tapi Nabi saw memberikan pilihan kepada Zaid antara beliau atau ayahnya. Namun Zaid lebih memilih tetap bersama Nabi. Maka dalam suasana yang tegang itu, Nabi saw tampil mengajukan jalan tengah. Beliau membimbing tangan Zaid, lalu membawanya ke dekat Ka’bah, ke hadapan kerumunan orang-orang pembesar Quraisy yang saat itu sedang berada di sana. Beliau meresmikan di hadapan mereka, bahwa Zaid adalah

anaknya, waris-mewarisi dengannya. Dan sejak itu, dia dipanggil dengan nama Zaid bin Muhammad. 142

Setelah Zaid cukup dewasa, maka Nabi saw memilihkan seorang istri untuknya, yaitu Zainab binti Jahsy. Akan tetapi Zainab menolak, begitu pula kakaknya, Abdullah bin Jashy, mereka tidak setuju, bahwa seorang wanita bangsawan keturunan Mudhar dikawinkan dengan seorang bekas budak. Mereka memohon dengan kerendahan hati kepada Nabi saw agar jangan menghubungkan kehinaan itu kepada keluarga mereka, karena pada waktu itu, tidaklah pantas seorang putri bangsawan menikah dengan seorang bekas budak, walaupun sudah dimerdekakan. Zainab memberi alasan panjang lebar, yang akhirnya dia berkata, ‘Sungguh, saya tidak mau kawin dengan dia selama-lamanya.’ Kemudian Nabi saw mengemukakan

140 Bint Asy-Syâthi’, Istri-istri Nabi, h. 175 141 Ibnu Hisyam, As-Sîrah, Juz II, h. 151 140 Bint Asy-Syâthi’, Istri-istri Nabi, h. 175 141 Ibnu Hisyam, As-Sîrah, Juz II, h. 151

“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang beriman dan tidak pula bagi perempuan yang beriman, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada pilihan yang lain bagi mereka tetang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya dia telah sesat, dalam kesesatan yang nyata.” (QS. ِAl-Ahzab/33: 36)

Setelah turun ayat tersebut akhirnya Zainab menikah dengan Zaid. Dengan pernikahan Zaid dan Zainab, Nabi saw telah melaksanakan dan mengajarkan ajaran Islam, yaitu menghapuskan perbedaan tingkatan dalam masyarakat.

Akan tetapi kehidupan pernikahan mereka tidak berlangsung lama. Zainab tetap tidak dapat melupakan bahwa dia adalah putri bangsawan yang tidak pernah mengalami status budak sejak nenek moyangnya, dan sedetik pun dia tidak merasa bahagia untuk menjadi istri dari seorang bekas budak seperti Zaid, yang dulu memasuki rumah keluarga Zainab sebagai hamba sahaya.

Zaid menderita karena perlakuan Zainab, sehingga kesabarannya habis, maka dia mengadukan hal tersebut kepada Nabi saw. Berulang kali dia mengadukan buruknya perlakuan Zainab kepada dirinya, sedang Nabi saw selalu menasihati

142 Lihat Bint Asy-Syâthi’, Istri-istri Nabi, h. 173-175 142 Lihat Bint Asy-Syâthi’, Istri-istri Nabi, h. 173-175

“Dan (ingatlah) ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu (juga) memberi nikmat kepadanya: Tahanlah terus istrimu dan bertakwlah kepada Allah,…” (Q.S Al-Ahzâb /33:37)

8. Juwairiyah binti Al-Harits

Juwairiyah adalah putri bangsawan Bani Al-Musthaliq. Ayahnya, Al-Hârits bin Abû Dhirâr bin Al-Hârits bin Abu Dhirar bin Al-Harits Al-Mushthaliq adalah

pemimpin Bani Al-Mushthaliq. 143 Sebelumnya, nama Juwairiyah adalah Barrah, kemudian Nabi saw mengubah namanya menjadi Juwairiyah karena beliau tidak suka

kalau dikatakan bahwa beliau keluar dari sisi Barrah. 144 Sebelum diperistri oleh Nabi saw, Juwairiyah bersuamikan Musafi’ bin Shafwân Al-Musthaliqi 145 yang terbunuh dalam keadaan kafir.

Dalam sebuah peperangan antara kaum muslimin dengan Bani Al-Musthaliq yang terjadi di dekat Al-Muraisi, 146 Bani al-Musthaliq mengalami kekalahan. Wanita-

143 Ahmad Khalîl Jam’ah, Istri-istri Para Nabi, h. 465. 144 Ahmad Khalîl Jam’ah, Istri-istri Para Nabi, Ibid 145 Ibnu Sa’ad, Thabaqat…, j. 8, h. 116 146 Al-Muraisi ialah mata air milik Bani al-Musthaliq dari arah Qadid setelah pantai dari

Madinah ke Mekkah. Di perang tersebut, Nabi saw berhasil mengalahkan Bani Al-Musthaliq. Setelah Madinah ke Mekkah. Di perang tersebut, Nabi saw berhasil mengalahkan Bani Al-Musthaliq. Setelah

Nabi saw untuk meminta bantuan kemerdekaan dirinya. 147 Ketika itu Nabi saw bersedia membantunya dan menawarkan Juwairiyah untuk dinikahi. Juwairiyah

membebaskan dirinya dengan membayar sembilan ‘uqiyah 148 secara kredit yang kemudian dibayarkan Nabi saw dan setelah itu menikah dengan Nabi. Maka,

kemerdekaan Juwairiyah sekaligus menjadi maharnya. Juwairiyah dinikahi Nabi saw

pada tahun 5 H, 149 pada saat ia berusia 20 tahun. Ketika kaum muslimin mendengar bahwa Nabi telah menikahi Juwairiyah,

mereka segera melepaskan tawanan Bani al-Musthaliq yang ada pada mereka. Maka, Juwairiyah telah memberi berkah bagi kaumnya, karena dengan pernikahannya dengan Nabi saw, sekitar seratus orang --dalam satu riwayat 40 orang-- dari keluarganya menjadi merdeka, sebagaimana hadits yang diriwayatkan Ath-Thabrani dari Mujahid 150 bahwa Juwairiyah berkata kepada Nabi saw, ‘Sesungguhnya istri-

itu beliau membunuh beberapa orang Bani Al-Musthaliq, menawan wanita dan anak-anak. Ahmad Khalîl Jam’ah, Istri-istri Para Nabi, h. 466

Juwairiyah adalah wanita yang manis dan cantik, siapapun yang melihatnya pasti tertarik padanya.

148 Satu ‘Uqiyah adalah 12 Dirham atau 28 gram. Kamus Al-Munawwir, h. 48 149 Al-Waqidi sebagaimana tertulis di At-Tahdzîb, Imam Nawâwî, j. 2, h. 336. Ibnu Hisyam,Di

As-Sîrah, j. 3, h. 289 dikatakan bahwa perang Bani al-Musthaliq terjadi pada tahun 6 H. 150 ia adalah Mujâhid bin Jubair Imâm Abû al-Hajjâj al-Makhzûmî, seorang bekas budak kabilah

Makhzûm, Al-Makkî, Qâri’, Ahli Tafsir, Hâfidz yang mendengar hadits dari Sa’ad, ‘Âisyah, Abû Hurairah, Ummu Hâni’, ‘Abdullah bin ‘Umar, dan Ibnu ‘Abbâs. Ia dekat dengan Ibnu ‘Abbâs dan salah satu gudang ilmu. Ia wafat pada tahun 103 H. Tadzkirah al-Huffâzh Makhzûm, Al-Makkî, Qâri’, Ahli Tafsir, Hâfidz yang mendengar hadits dari Sa’ad, ‘Âisyah, Abû Hurairah, Ummu Hâni’, ‘Abdullah bin ‘Umar, dan Ibnu ‘Abbâs. Ia dekat dengan Ibnu ‘Abbâs dan salah satu gudang ilmu. Ia wafat pada tahun 103 H. Tadzkirah al-Huffâzh

Bukankah aku telah memerdekaan empat puluh budak dari kaummu?’. Selain itu, dengan pernikahannya tersebut, ayahnya Al-Hârits bin Dhirâr, juga masuk Islam. 151

Sebelum menikah dengan Nabi, Juwairiyah pernah bermimpi sepertinya melihat bulan berjalan dari Yatsrib (Madinah) hingga jatuh di pangkuannya pada tiga malam sebelum kedatangan Nabi saw.

Keutamaannya

Juwairiyah adalah wanita yang banyak bertasbih kepada Allah.

“Juwairiyah binti Al-Hârits berkata: ‘Rasûlullâh saw datang kepadaku pada saat aku sedang bertasbih di suatu pagi kemudian beliau pergi lagi untuk

151 Sebagaimana dikutip Ahmad Khalîl Jam’ah, Istri-istri Para Nabi, h. 466-467 dari Thabrânî, Al-Kabîr, j. 24, h. 59 dari jalur Abdurrazaq, juga dari Al-Mushannaf, j. 7, h. 271, dan Hakim, Al-

Mustadrak, j. 4, h. 25-26.

memenuhi kebutuhan beliau. Pada kira-kira pertengahan siang, Rasûlullâh saw datang lagi kepadaku pada saat aku masih bertasbih. Beliau bersabda: ‘Engkau masih duduk?’ Aku menjawab, ‘Ya.’ Beliau bersabda lagi, ’Maukah engkau aku ajari kalimat yang jika dibandingkan atau ditimbang dengan semua tasbihmu, maka sama. Kalimat tersebut ialah Subhânallâh ‘adada khalqih (Maha Suci Allah sejumlah makhluk-Nya) sebanyak tiga kali, Subhânallâh zinata ‘arsyih (Maha Suci Allah seberat Arasy-Nya) sebanyak tiga kali, Subhânallâh ridhâ nafsih (Maha Suci Allah sesuai dengan keridhaan diri- Nya) sebanyak tiga kali, dan Subhânallâh midada kalimâtih (Maha Suci Allah sebanyak tinta kalimat-Nya) sebanyak tiga kali.’” 152

Juwairiyah wafat pada tahun 50 H dan dishalati Marwan bin Al-Hakam, gubernur Madinah. Ia wafat dalam usia 70 tahun. 153

9. Shafiyah binti Huyay

Shafiyah adalah puteri dari Huyay bin Akhthab bin Sa’ayah bin Tsa’labah bin Amir bin ‘Ubaid bin Ka’ab bin Al-Khazrâj bin Habîb bin An-Nadhîr bin Yanhum. Ayahnya adalah pemuka Bani Nadhîr, berasal dari anak keturunan (kabilah) Lawai bin Ya’qub a.s., dari anak keturunan Nabi Hârûn bin ‘Imrân, saudara

Diriwayatkan Muslim di kitab Zikir, do’a, tasbih, taubat, dan istighfar, bab Tasbih di awal siang dan hendak tidur’. CD Room, Hadits no. 2726. Ahmad, Al-Musnad, 324-325

153 Sedangkan al-Waqidi mengatakan Juwairiyah wafat pada bulan Rabi’ al-Awwal tahun 56 H. Ada pula yang mengatakan beliau wafat dalam usia 65 tahun. Tentang wafatnya lihat Ibnu Hajar Al-

‘Asqalânî, Al-Ishâbah, j. 4, h. 266, al-Qurthubi, Al-Istî’âb, j. 4, h. 367, Ibnu Sa’ad, Thabaqat, j. 8, h.

120. 154 Ahmad Khalîl Jam’ah dalam Istri-istri Para Nabi, h. 470 mengutip dari Ibnu Zubalah, di Al-

Muntakhab, h. 58 meriwayatkan bahwa nama Shafiyah adalah Habîbah, namun ia diberi nama Shafiyah karena ia shafiyah (pilihan) Nabi saw di perang Khaibar. Shafiyah juga diberi nama panggilan Ummu Yahya, sebagaimana disebut Al-Hafizh Ibnu Hajar di Fath al-Bâri’ ketika menjelaskan hadits no. 2035.

Ibnu Sa’ad, Thabaqat, j. 8, h. 120. Dalam Al-Qurthubi, Al-Istî’âb, j. 4, h. 426 dikatakan Syu’bah, sedang dalam Ibnu Hajar al-‘Asqalânî, Al-Ishâbah, j. 4, h. 346 dikatakan Sa’anah.

Nabi Mûsâ a.s. 157 Ibunya bernama Barrah binti Samuel saudara perempuan Rifâ’ah bin Syam’al al-Quraizhah saudara an-Nadhir. 158

Shafiyah binti Huyay mempunyai seratus tawanan dan seratus budak. Ia memberikan semua tawanan dan budaknya kepada Nabi saw. Sedangkan ayahnya dibunuh bersama Bani Quraidhah.

Sebelum menikah dengan Nabi, Shafiyah pernah menikah dua kali, pertama dengan Salâm bin Misykam yang kemudian menceraikannya, kedua dengan Kinânah

–ia penyair- bin Ar-Rabî‘ bin Al-Huqaiq An-Nadhri. 159 Dari kedua suaminya, ia tidak mendapatkan anak. Suaminya adalah pemilik benteng Al-Qamûsh, benteng terbesar

di Khaibar. 160 Kaum muslimin berhasil menguasai benteng tersebut setelah melewati pertempuran yang sangat hebat, yaitu perang Khaibar pada bulan Muharram 161 tahun

7 H. Kinânah tertangkap dan dipertemukan kepada Nabi saw dalam keadaan masih hidup. Kinânah adalah orang yang menyimpan harta perbendaharaan Bani Nadhîr. Maka Nabi saw menginterogasinya tentang tempat penyimpanan harta tersebut. Namun Kinânah tidak mau mengakui sehingga Nabi saw berkata, ”Seandainya kami menemukan harta itu padamu, apakah engkau rela dibunuh?” dan Kinânah bersedia. Setelah mengetahui tempat penyimpanan harta tersebut, Kinânah dibunuh oleh

156 Ibnu Hajar al-‘Asqalânî, Al-Ishâbah, Ibid 157 Al-Qurthubi, Al-Istî’âb, Ibid 158 Ibnu Sa’ad, Thabaqât, Ibid 159 Ibnu Sa’ad, Thabaqât, Ibid 160 Lihat Ahmad Khalîl Jam’ah, Istri-istri Para Nabi, h. 471-472. Bint Asy-Syâthi’, Istri-istri

Nabi, h. 208 161 akan tetapi Ahmad Khalîl Jam’ah menyebutkan perang itu terjadi di bulan Ramadhan. Istri-

istri Para Nabi, h. 477

Muhammad bin Maslamah yang adiknya, Mahmud bin Maslamah, telah dibunuh oleh orang-orang Yahudi dalam peperangan tersebut. 162

Ketika Shafiyah tiba di perang Khaibar, ia masih pengantin baru dengan Kinânah. Setelah suaminya dibunuh, Shafiyah menjadi tawanan Nabi saw. 163

Tadinya Shafiyah adalah bagian fay’i 164 Dihyah Al-Kalbi, namun Nabi saw menebusnya/membelinya dengan tujuh kambing. Nabi Muhammad saw kemudian

menikahi Shafiyah di bulan Syawal tahun 7 H dengan menjadikan kemerdekaan Shafiyah sebagai maharnya. Shafiyah menikah dengan Nabi saw pada saat umurnya belum mencapai 17 tahun. 165 Resepsi pernikahan dilaksanakan di bendungan Ash-

Shahba’ selama tiga hari dan Nabi saw membuat makanan hais di hamparan kulit untuk dimakan orang banyak. 166

Sebelum menikah dengan Nabi saw, Shafiyah pernah bermimpi bulan jatuh di pangkuannya. Saat mimpinya diceritakan kepada suaminya, suaminya menamparnya dan berkata, ”Apakah engkau menginginkan penguasa Yatsrib (Madinah)?”. Shafiyah juga pernah merasa sangat benci kepada Nabi saw karena Nabi saw telah membunuh ayah dan suaminya. Namun kebenciannya tersebut hilang setelah Nabi saw meminta maaf kepadanya sambil berkata, ”Wahai Shafiyah,

Bint Asy-Syâthi’, Istri-istri Nabi, h. 208 mengutip dari dari Ibnu Hisyâm, As-Sîrah Ibnu Hisyâm, j. 3, h. 351, Târîkh ath-Thabâriy, j. 3, h. 95, dan Ibnu Sa’ad, Thabaqât, j. 2, h. 81 163 Ahmad Khalîl Jam’ah, Istri-istri Para Nabi, h. 471 164 Fay’i adalah harta hasil rampasan perang 165 Ibnu Sa’ad, Thabaqât, j. 8, h. 129. Lihat Ahmad Khalîl Jam’ah, Istri-istri Para Nabi, h. 471-

dalam riwayat lain, bendungan ar-Rauha. Menurut Ahmad Khalîl Jam’ah, Istri-istri Para Nabi, h. 472, 476, keduanya benar. Sedang Ibnu Hajar, Fath al-Bâri’, j. 7, h. 548 menguatkan yang

Ketika Shafiyah telah menikah dengan Nabi dan tinggal di rumah Nabi di Madinah, suatu hari ia mendengar kata-kata yang menyakitkan dari istri Nabi yang lain, yaitu ‘Âisyah dan Hafshah. Ia mengadukan masalah tersebut kepada Nabi, kemudian Nabi menjawab, ”Kenapa engkau tidak katakan kepada mereka berdua tentang kebaikan yang ada pada dirimu, yaitu bahwa suamiku adalah Nabi Muhammad saw, ayahku Nabi Harun dan pamanku Nabi Musa?”

Suatu riwayat diterangkan 168 bahwa Nabi saw bepergian, dan ikut bersama

beliau dua istrinya, yaitu Shafiyah dan Zainab binti Jahsy. Di tengah perjalanan, unta yang ditumpangi Shafiyah sakit, sedang Zainab memiliki unta cadangan, lalu Nabi saw berkata pada Zainab, “Unta yang ditunggangi Shafiyah sakit, bagaimana jika engkau berikan satu untamu kepadanya?” Zainab menjawab, “Saya memberi Yahudi itu?” Mendengar itu, Nabi memalingkan muka dengan marah, selanjutnya beliau

tidak menegur Zainab selama tiga bulan. 169

pertama, yaitu Ash-Shahba’, karena ar-Rauha terletak antara Mekkah dan Madinah, sedangkan ash- Shahba’ terletak sekitar 12 mil dari Mekkah

167 Ahmad Khalîl Jam’ah, Istri-istri Para Nabi, h. 478 168 Ibnu Hajar al-‘Asqalânî, Al-Ishâbah, j. 8, h. 127, Bint Asy-Syâthi’, Istri-istri Nabi, h. 216-217

mengutip dari Sunan Abî Dâwûd 169 Dalam riwayat lain diterangkan, bahwa Nabi tidak mendekati Zainab karena peristiwa

tersebut mulai bulan Dzulhijjah, Muharram, sampai sebagian bulan Safar. Setelah cukup lama barulah Nabi mendekati Zainab kembali seperti biasanya. Bint Asy-Syâthi’, Istri-istri Nabi, h. 217 mengutip dari Al-Istî‘âb, j. 4, h. 1850

Shafiyah wafat pada bulan Ramadlan tahun 50 H 170 pada masa pemerintahan Mu’awiyah dan dikebumikan di Bâqi’. Ia wafat dengan meninggalkan

seratus ribu dirham senilai tanah dan perabotan. Ia mewasiatkan sepertiga kekayaannya kepada anak saudara perempuannya yang beragama Yahudi. 171

Shafiyah meninggalkan namanya di dalam kitab hadits. Di antara orang yang meriwayatkan hadits darinya ialah keponakan dan budaknya, Kinânah, serta budaknya yang lain, yaitu Yazid bin Mat’ab, Imam Zain al ‘Âbidîn Âli bin al-Husain

r.a. dan Muslim bin Shafwân. 172

10. Ummu Habîbah Binti Abû Sufyân

Ummu Habîbah adalah putri Abû Sufyân --orang terkemuka di Mekkah dan pemimpin kaum musyrikin, musuh Nabi saw-- bin Harb bin Umayyah bin ‘Abdu Syams bin ‘Abdu Manâf bin Kilâb bin Murrah bin Ka’ab bin Luai bin Ghâlib. Ummu Habîbah adalah wanita Quraisy dari kabilah ‘Adi.

Ibunya adalah Shafiyah binti Abû Al-‘Ash (bin Umaiyah). Shafiyyah adalah bibi ‘Utsmân bin ‘Affân r.a. dari jalur ayah. 173

Nama asli Ummu Habîbah ialah Ramlah menurut pendapat yang paling terkenal. Ada pendapat lain yang mengatakan nama aslinya Hindun. 174

170 Ada juga yang mengatakan tahun 52 H. Kedua pendapat tersebut disebutkan Al-Waqidi di Ibnu Sa’ad, Thabaqât, j. 8, h. 128-129. Tahun 50 H dikuatkan oleh Ibnu Hajar, Fath al-Bâri’,

penjelasan hadits no. 2035. Ahmad Khalîl Jam’ah, Istri-istri Para Nabi, h. 482

Sebagaimana disebutkan Ibnu Sa’ad dari Al-Wâqidi, Thabaqât, j. 8, h. 128. Lihat juga Ahmad Khalîl Jam’ah, Istri-istri Para Nabi, h. 482

172 Bint Asy-Syâthi’, Istri-istri Nabi, h. 218 173 Az-Zahabi berkata di Siyaru A’lam an-Nubalâ’ 2/219, ”Ummu Habîbah ialah salah seorang

putri paman Nabi saw dari jalur ayah. Di antara istri-istri Nabi, istri yang paling dekat nasabnya

Sebelum bersuamikan Nabi saw, Ummu Habîbah bersuamikan Ubaidillah bin Jahsy. 175 Ummu Habîbah dan suaminya telah memeluk Islam sementara ayahnya,

Abû Sufyân, masih kafir. Untuk menghindari gangguan ayahnya, Ummu Habîbah bersama suaminya hijrah ke Habasyah pada hijrah kedua dalam keadaan hamil tua. Kemudian di sana ia melahirkan putrinya, Habîbah, sehingga ia biasa dipanggil Ummu Habîbah. 176

Suatu malam Ummu Habîbah pernah bermimpi melihat wajah suaminya dalam keadaan jelek. 177 Ia kemudian menceritakan mimpinya tersebut kepada

suaminya, namun suaminya tidak memperdulikannya. Esok paginya, ternyata

suaminya telah berpindah agama, menjadi Nasrani 178 dan suka minum-minuman keras hingga meninggal dunia. 179 Meskipun demikian, Ummu Habîbah tetap memeluk agama Islam.

Beberapa saat setelah itu, ia pernah bermimpi didatangi seseorang dan berkata “Wahai Umm al-Mu’minîn.” Ternyata setelah masa ‘iddahnya habis, datanglah utusan An-Najasyi yang menyebutkan tentang lamaran Nabi saw

dengan beliau ialah Ummu Habîbah.” Sebagaimana dikutip Ahmad Khalîl Jam’ah, Istri-istriPara Nabi, h. 420

174 Diriwayatkan dari Mush’ab bin ‘Abdullah oleh Al-Hâkim di Al-Mustadrak 4/20. Dua nama Ummu Habîbah tersebut juga disebutkan di Ansâb al-Asyrâf I/438 dan Jawâmi As-Sîrah h. 35. Imam

An-Nawâwî berkata di At-Tahzîb-nya 2/359, “Nama asli Ummu Habîbah ialah Ramlah. Ada lagi yang mengatakan Hindun. Nama Ummu Habîbah menurut pendapat yang benar dan terkenal ialah Ramlah dan itulah pendapat sebagian besar ulama.”

175 ‘Ubaidillah adalah anak saudara perempuan ayah Nabi Saw, kakak Zainab binti Jahsy 176 Bint Asy-Syâthi’, Istri-istri Nabi, h. 225 177 Bint Asy-Syâthi’, Istri-istri Nabi, h. 225, As-Simth ats-Tsamîn, h. 96. 178 yang merupakan agama penduduk Habasyah 179 Lihat Al-Mustadrak, 4/20 175 ‘Ubaidillah adalah anak saudara perempuan ayah Nabi Saw, kakak Zainab binti Jahsy 176 Bint Asy-Syâthi’, Istri-istri Nabi, h. 225 177 Bint Asy-Syâthi’, Istri-istri Nabi, h. 225, As-Simth ats-Tsamîn, h. 96. 178 yang merupakan agama penduduk Habasyah 179 Lihat Al-Mustadrak, 4/20

Setelah itu Ummu Habîbah dinikahi Nabi saw yang diwakili oleh An-Najasy, sekaligus memberikan maharnya sebesar empat ratus dinar. 181 Sedangkan dari pihak

Ummu Habîbah diwakili oleh Khalîd bin Sa’îd bin al-‘Ash. 182 Pernikahan tersebut terjadi pada tahun 7 H. 183 Setelah itu Ummu Habîbah dibawa pulang ke Madinah untuk bertemu Nabi saw dengan diantar Syurahbil bin Hasanah. 184 . Beberapa saat kemudian Nabi saw datang bersama kaum muslimin dari perang Khaibar. Saat itu

usia Ummu Habîbah kira-kira 40 tahunan. 185 Pada saat Ummu Habîbah menikah

dengan Nabi saw, ayahnya Abû Sufyân masih musyrik di Mekkah dan memerangi Nabi saw.

Pernyataan di atas adalah perkataan Ummu Habîbah yang diriwayatkan Ibnu Sa’ad dari Ismâ’îl bin ‘Amr bin Sa’îd Al-Umawî di Thabaqât, j. 8, h. 97-98, Al-Hakim di Al-Mustadrak 4/20-22, dan Ibnu Zubalah di Al-Muntakhab h. 59-61. Tentang kisah tersebut, Az-Zahabi berkata di Siyaru A’lam an-Nubalâ’ 2/221, ”Kisah tersebut mungkar.” Muhammad bin Yusuf ad-Dimasyqi, Istri- istriPara Nabi, h. 421-422

181 Tentang jumlah mahar dan siapa yang melangsungkan akad pernikahan, terdapat perbedaan pendapat. Tentang mahar, ada yang mengatakan dua ratus dinar dan empat ribu dirham, namun

pendapat pertama (empat ratus dirham) lebih kuat. Imam Nawawi menyebut dalam Tahdzîb-nya 2/359, ”Al-Kalabadzi Abû Nashr berkata, ’An-Najasyi memberi mahar kepada Ummu Habîbah sebesar empat ribu dirham dan mengirimnya kepada Nabi saw bersama Syurahbil bin Hasanah.’ Abû Nu’aim berkata, ‘An-Najasyi memberi mahar Ummu Habîbah sebesar empat ratus dinar’.” A. Khalîl Jam’ah, Istri-istri Para Nabi, h. 421

182 Seorang pembesar Muhajirin dari keluarganya, Bani Umayyah. Lihat Bint Asy-Syâthi’, Istri- istri Nabi, h. 228-229, A. Khalîl Jam’ah, Istri-istri Para Nabi, h. 421

183 Ibnu Sa’ad di Ath-Thabaqât, Al-Baladzri di Ansâb al-Asyrâf, dan Ibnu Katsir di Al-Fushûl, mengatakan bahwa itu terjadi pada tahun 7 H. Ada yang mengatakan tahun 6 H, namun pendapat

pertama lebih kuat. Al-Baihaqi menyebutkan di Ad-Dalâil 3/462 dari Ibnu Mandah bahwa An-Najasyi menikahkan Nabi Saw dengan Ummu Habîbah pada tahun 6 H. Itu pula yang dikatakan Abû Ubaidah di Tasmiyatu Azwâj an-Nabiy Shallallahu ‘alaihi wasallam, h.64. Itu dinukil Imam Nawâwî di Tahdzîb-nya 2/359 dari Abû Ubaidah. A. Khalîl Jam’ah, Istri-istri Para Nabi, h. 421

184 Diriwayatkan Thabrânî di Al-Kabîr 23/219 dan Al-Basawi di buku Al-Ma’rifah wa at-Târîkh 3/322. A. Khalîl Jam’ah, Istri-istri Para Nabi, h. 422

185 Bint Asy-Syâthi’, Istri-istri Nabi, h. 231

Pada suatu hari ayahnya tiba di Madinah 186 dan mendatangi Nabi --yang ketika itu hendak menyerang Mekkah 187 -- untuk memperpanjang perdamaian

Hudaibiyah, namun Nabi tidak menerimanya. Kemudian ia mendatangi putrinya, dan ketika hendak duduk di atas kasur Nabi saw, Ummu Habîbah melipat kasur tersebut, sehingga Abû Sufyân berkata, ”Putriku, apakah engkau lebih mencintai kasur ini dari pada ayahmu sendiri atau lebih mencintai ayahmu dari pada kasur tersebut?” Ummu Habîbah menjawab, “Itu kasur Rasûlullâh saw, sedang engkau orang najis dan

musyrik.” 188 Ibnu Sa’ad meriwayatkan dari Ibnu Abbas r. a. bahwa ketika Nabi saw

menikahi Ummu Habîbah, turunlah ayat:

“Mudah-mudahan Allah menimbulkan kasih sayang antara kalian dengan orang-orang yang kalian musuhi di antara mereka dan Allah Maha Kuasa dan Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS Al-Mumtahanah/60: 7) 189

Keutamaannya

Ummu Habîbah mempunyai sifat wara’, hal itu terlihat dari hadits yang disampaikan ‘Âisyah r.a.:

186 sebagai utusan kaum musyrikin untuk memperbaharui perjanjian dengan Nabi Saw karena mereka melanggar perjanjian Hudaibiyah. Bint Asy-Syâthi’, Istri-istri Nabi, h. 232. jadi tahun ………..

yang kemudian Nabi saw dan kaum Muslimin berhasil menaklukkan Makkah. Peristiwa tersebut dalam sejarah dikenal dengan “Fathu Makkah”. Pada peristiwa itu Abû Sufyân masuk Islam.

A. Khalîl Jam’ah, Istri-istri Para Nabi, h. 421. Bint Asy-Syâthi’, Istri-istri Nabi, h. 232-233 189 Diriwayatkan Ibnu Sa’ad 8/99 dan Al-Baihaqi di Ad-Dalâil 3/459. As-Sayûthi di Ad-Durr al-

Mantsûr 8/130 mensanadkan hadits di atas kepada Abd. Bin Humaid, Ibnu Al-Munzir, Ibnu ‘Adi, Ibnu

“Ketika Ummu Habîbah, istri Rasûlullâh saw hendak meninggal dunia, ia memanggilku dan berkata, ’Sungguh telah terjadi pada kita apa yang biasa terjadi pada sesama istri madu. Mudah-mudahan Allah mengampuni itu semua dan aku menghalalkanmu dari itu semua. ’Aku berkata, ‘Engkau telah menggembirakanku, mudah-mudahan Allah menggembirakanmu.’ Ummu Habîbah juga mengutus orang kepada Ummu Salamah dengan membawa

pesan seperti di atas.” 190

Selain itu, Ummu Habîbah juga konsisten dengan hadits Nabi saw, sebagaimana diriwayatkan Zainab binti Ummu Salamah yang berkata:

“Yahya bin Yahya telah menceritakan kepada kami, ia berkata: saya membacakan kepada Mâlik dari ‘Abdullâh bin Abû Bakr dari Humaid bin Nâfi’ dari Zainab binti Abu Salamah, ia berkata bahwa Zainab berkata: Aku masuk kerumah Ummu Habîbah istri Rasûlullâh saw ketika ayahnya, Abû Sufyân wafat. Ia meminta diambilkan wewangian berwarna kuning atau warna lainnya, kemudian budak wanitanya meminyakinya dengan wewangian tersebut hingga menyentuh pipinya. Ummu Habîbah berkata, ’Aku tidak membutuhkan wewangian, hanya saja aku mendengar Rasûlullâh saw bersabda di atas

Mardawaih, Al-Baihaqi, dan Ibnu ‘Asâkir dari jalur Al-Kalbi dari Abû Shâlih dari Ibnu ‘Abbâs r.a. Baca Târîkh ad-Dimasyqa 1/171. A. Khalîl Jam’ah, Istri-istri Para Nabi, h. 422

190 Diriwayatkan al-Hâkim 4/22-23, Ibnu Al-Jauzi di Shifah ash-Shafwah 2/46, dan Ibnu Sa’ad di Ath-Thabaqât 8/100. A. Khalîl Jam’ah, Istri-istri Para Nabi, h. 428-429 190 Diriwayatkan al-Hâkim 4/22-23, Ibnu Al-Jauzi di Shifah ash-Shafwah 2/46, dan Ibnu Sa’ad di Ath-Thabaqât 8/100. A. Khalîl Jam’ah, Istri-istri Para Nabi, h. 428-429

yaitu selama empat bulan sepuluh hari.’” 191

“Muhammad bin ‘Abdullah bin Numair telah menceritakan kepada kami, Abû Khâlid yaitu Sulaimân bin Hayyân telah menceritakan kepada kami dari Dawud bin Abû Hind dari Nu’mân bin Sâlim dari ‘Amr bin Aus berkata: ‘Anbasah bin Abû Sufyân dalam keadaan sakit yang menimbulkan kematiannya telah menceritakan kepadaku: Saya mendengar Ummu Habîbah berkata, saya mendengar Rasûlullâh saw bersabda, ’Barang siapa mengerjakan shalat dua belas raka’at sehari semalam, rumah di surga dibangunkan untuknya karena shalat-shalat tersebut.’ Ummu Habîbah berkata, ‘Aku tidak meninggalkan

shalat-shalat tersebut semenjak aku mendengarnya dari Rasûlullâh saw.’ 192

Sebelum wafatnya, Ummu Habîbah meminta maaf kepada ‘Âisyah dan Ummu Salamah, sebagaimana diceritakan hadits diatas. Ia dikuburkan di pekuburan Bâqi’. Terdapat perbedaan pendapat mengenai tahun wafat Ummu Habîbah. Ada yang mengatakan Ummu Habîbah wafat pada tahun 44 H pada masa kekhalifahan

191 Diriwayatkan Bukhâri di Kitâb Jenâzah, bab ’wanita tidak berhias kepada selain suaminya’, hadits no. 1280, dan Muslim –redaksi di atas menurutnya—di kitab perceraian, bab ‘kewajiban tidak

berhias bagi wanita yang menjalani ‘iddah kematian’, hadits no. 1486. Ibnu Atsîr di Jâmi‘ al-Ushûl 8/149 mensanadkan hadits di atas ke sisa enam buku hadits. A. Khalîl Jam’ah, Istri-istri Para Nabi, h. 429

Muawiyah bin Abû Sofyan. 193 Ada juga yang mengatakan ia wafat satu tahun sebelum wafatnya Muawiyah pada tahun 59 H. 194 Selain itu, ada pendapat yang

mengatakan ia wafat tahun 42 H. 196 Namun pendapat pertama lebih kuat.

11. Maimunah binti Al-Harits

Maimunah binti Al-Harits adalah wanita terakhir yang dinikahi Nabi saw. 197 Ia sebelumnya bernama Barrah, sampai kemudian Nabi Muhammad saw

mengubahnya menjadi Maimunah. 198 Menurut Bint Asy-Syâthi’, Nabi saw menamai Barrah dengan “Maimunah” karena resepsi pernikahan beliau dengan Barrah terjadi

pada waktu yang dipenuhi berkah dan kemenangan, di mana beliau memasuki

Mekkah untuk pertama kalinya setelah tujuh tahun berselang, dan beliau membawa serta pengikut-pengikutnya dalam keadaan aman, tidak takut terhadap apapun. 199

Maimunah adalah putri Al-Hârits bin Hazn bin Bujair bin Al-Huzâm bin Ruwaibah bin ‘Abdullah bin Hilâl bin ‘Âmir bin Sha’sha’ah bin Muawiyah (bin

192 Diriwayatkan Muslim di ‘Shalatnya para musafir dan qasharnya’, bab ‘Keutamaan shalat- shalat rawatib sebelum dan sesudah shalat fardhu, serta penjelasan tentang shalat-shalat rawatib

tersebut’, hadits no.828. A. Khalîl Jam’ah, Istri-istri Para Nabi, h. 429 193 Al-Qurthûbî, Al-Istî‘âb, j. 4, h. 1845. Hanya pendapat itu yang ada menurut Ibnu Sa’ad di

Thabaqât, j. 8, h. 100. A. Khalîl Jam’ah, Istri-istri Para Nabi, h. 424 194 Imam An-Nawâwî, Tahdzîb j. 2, h. 359. Namun riwayat di atas dianggap lemah oleh Imam

Nawâwî dan Ibnu Hajar dalam pembahasan biografi Ummu Habîbah. A. Khalîl Jam’ah, Istri-istri Para Nabi, h. 424

195 Pendapat Ibnu Hibban dan Ibnu Qani’ dalam Al-Ishabah j. 7, h. 654 di pembahasan biografi Ummu Habîbah. A. Khalîl Jam’ah, Istri-istri Para Nabi, h. 424

196 Imam An-Nawâwî, Tahdzîb, menukil dari Ibnu ‘Asâkir, Tarikh ad-Dimasyqa, menyatakan bahwa Ummu Habîbah pergi ke Damaskus untuk mengunjungi saudaranya, Muawiyah. Ada yang

mengatakan ia wafat di sana. Yang benar ia wafat di Madinah. A. Khalîl Jam’ah, Istri-istri Para Nabi, h. 424

197 Maksudnya di antara wanita yang beliau gauli. A. Khalîl Jam’ah, Istri-istri Para Nabi, h. 462, Ibnu Sa’ad, Ath-Thabaqat Al-Kubra, j. 7, h. 132.

198 Maimunah adalah pecahan kata al-Yumnu yang berarti keberkahan, dan kata al-mainun yang berarti diberkahi, menurut Imam Nawâwî di Tahdzîb-nya, j. 2, h. 356. A. Khalîl Jam’ah, Istri-istri

Para Nabi, h. 455

Bakr) bin Hawâzin bin Manshûr bin ‘Ikrimah bin Khashafah bin Qais Ailan. Dengan demikian, Maimunah binti al-Harits berasal dari kabilah Al-Hilal. 200

Ibu Maimunah adalah Hindun binti ‘Auf 201 bin Zuhair (bin Al-Hârits) bin Hamathah bin Himyâr. Ada yang mengatakan bahwa wanita termulia yang pernah

mempunyai menantu-menantu 202 (atau wanita tua yang paling mulia menantu- menantunya 203 ?) adalah Hindun binti ‘Auf, karena menantu-menantunya adalah:

1. Nabi saw

2. Abû Bakar r.a.

3. Hamzah bin ‘Abdul Muthâlib r.a.

4. Al-‘Abbas bin ‘Abdul Muthâlib r.a.

5. Ja’far bin Abû Thâlib r.a.

6. Ali bin Abû Thâlib r.a

7. Syadad bin Al-Had r.a. 204 Adapun putri-putrinya yang merupakan saudara perempuan Maimunah yang

menikah dengan tokoh-tokoh tersebut adalah:

1. Ummu Al-Fadhl Lubabah Al-Kubrâ, istri Al-‘Abbas bin ‘Abdul Muthâlib r.a. Ia adalah wanita pertama yang beriman kepada Nabi saw setelah Khadîjah r.a. 205

199 Bint Asy-Syâthi’, Istri-istri Nabi, h. 268

A. Khalîl Jam’ah, Istri-istri Para Nabi, h. 455 201 Dalam Tahdzîb, j. 2, h. 356, Imam Nawâwî menyebut nama ibu Maimunah adalah Hindun

binti ‘Amr. A. Khalîl Jam’ah, Istri-istri Para Nabi, h. 455

A. Khalîl Jam’ah, Istri-istri Para Nabi, h. 457 203 Bint Asy-Syâthi’, Istri-istri Nabi, h. 266

A. Khalîl Jam’ah, Istri-istri Para Nabi, h. 457 205 Ia adalah wanita bangsawan yang dalam sejarah Islam diterangkan bahwa ia pernah memukul

Abû Lahab ketika Abû Lahab masuk ke rumah adiknya, Al-‘Abbas, dan menyeret budaknya, Abû

2. Lubabah As-Shughrâ, istri Walîd bin Mughîrah Al-Makhzûmi dan Ibu Khâlid bin Wâlid.

3. ‘Ashma’ binti Al-Hârits. 206 Ia diperistri Ubay bin Khalaf dan melahirkan Abû Ubay. 207

4. ‘Azzah binti Al-Hârits. Ia diperistri Ziyâd bin ‘Abdullah bin Mâlik Al-Hilâli. Mereka adalah saudara perempuan sekandung Maimunah. Sedangkan berikut adalah saudara perempuan se-ibu Maimunah:

1. Asmâ’ binti ‘Umais. Ia diperistri Ja’far bin Abû Thalib. Dari pernikahannya dengan Ja’far ia melahirkan Abdullah, Muhammad, dan ‘Aun. Setelah Ja’far bin

Abû Thalib gugur sebagai syahid, Asma’ binti Umais dinikahi Abû Bakar r.a. dan melahirkan Muhammad bin Abû Bakar. Setelah Abû Bakar wafat, ia dinikahi Ali bin Abû Thâlib r.a. yang kemudian melahirkan Yahya bin Ali bin Abû Thâlib.

2. Salmâ binti ‘Umais. Ia diperistri Hamzah bin ‘Abdul Muthâlib r.a. dan melahirkan Amatullâh 208 binti Hamzah. Setelah Hamzah bin Abdul Muthâlib r.a.

Rafi’ dan memukulinya hanya karena Abû Rafi’ masuk Islam. Melihat hal itu maka Ummu al-Fadhl bangkit mengambil kayu yang ada disana lalu kemudian dipukulkan ke kepala Abû Lahab sehingga menyebabkan luka yang mengkhawatirkan, sambil berkata: “Engkau menganggap dia lemah karena tuannya tidak ada di sini?” Setelah itu Abû Lahab hidup tujuh hari lagi karena penyakit yang ditimpakan Allah kepadanya yang menyebabkan kematiannya. Bint Asy-Syâthi’, Istri-istri Nabi, h. 265 mengutip dari Ibnu Hisyam, As-Sîrah, Juz II, h.301

206 Menurut Ibnu Sa’ad di Ath-Thabaqât, j. 8, h. 279, Lubabah As-Shughra adalah ‘Ashma’. Sedang pendapat kedua, yaitu sebagaimana pendapat diatas, adalah menurut Muhammad bin Yusuf ad-

Dimasyqi dalam A. Khalîl Jam’ah, Istri-istri Para Nabi, h. 456 207 Menurut Muhammad bin Yusuf ad-Dimasyqi dalam Istri-istri Para Nabi. Sedang menurut

Bint Asy-Syâthi’, Istri-istri Nabi, h. 266, ‘Ashma’ binti Al-Hârits melahirkan Abân. 208 Itu adalah namanya di buku aslinya, menurut Abû ‘Umar di Al-Qurthubi, Al-Istî’âb, j. 4, h.

1861. Yang benar namanya ialah Umamah menurut Al-Hâfiz Ibnu Hajar di Al-Ishâbah. Al-Khatib menyebutkan bahwa Al-Wâqidi menamakannya ‘Imârah dan Ibnu As-Sakan menamakannya Fathimah. Baca Al-Hâfiz Ibnu Hajar, Al-Ishâbah, j. 7, h. 500-501. Ibnu Sa’ad membuat biografi 1861. Yang benar namanya ialah Umamah menurut Al-Hâfiz Ibnu Hajar di Al-Ishâbah. Al-Khatib menyebutkan bahwa Al-Wâqidi menamakannya ‘Imârah dan Ibnu As-Sakan menamakannya Fathimah. Baca Al-Hâfiz Ibnu Hajar, Al-Ishâbah, j. 7, h. 500-501. Ibnu Sa’ad membuat biografi

3. Salamah binti ‘Umais. Ia diperistri Abdullah bin Ka’ab bin Munabbih Al- Khats’ami. 209

Empat bersaudara yang terdiri dari Maimunah binti Al-Hârits dan kakaknya, Ummu Fadhl Lubabah al-Kubrâ binti Al-Hârits serta dua adik se-ibu Maimunah yaitu Asma’ dan Salma binti Umais dinamai Nabi saw dengan “wanita-wanita bersaudara

yang beriman.” 210 Sebelum dinikahi Nabi saw, ia bersuamikan Abû Ruhm bin ‘Abd al-‘Uzza

al-Amîri al-Qurasyi dari Bani Mâlik bin Hisl. 211 Sebelumnya Maimunah belum beragama Islam, namun hatinya telah terpikat kepada Agama Islam. Pada saat Nabi

saw melakukan umrah pengganti 213 di tahun 7 H ia terpikat kepada Nabi saw dan secara diam-diam memberitahukan kepada kakaknya, Ummu al-Fadhl. Ia kemudian

menyerahkan persoalan tersebut kepada kakaknya, yang kemudian menyampaikannya kepada suaminya, ‘Abbas bin Abdul Muthâlib, yang tidak lain adalah paman Nabi saw. Kemudian Abbas menemui Nabi saw untuk menyampaikan

khusus tentang dia dan menamakannya Umâmah. Ketika Ibnu Sa’ad di Ath-Thabaqât j. 8, h. 48 dan 285 membuat biografi tentang ibunya, Salmâ binti Umais, Ibnu Sa’ad menamakannya ‘Imârah.

209 Lihat A. Khalîl Jam’ah, Istri-istri Para Nabi, h. 456-457 dan Bint Asy-Syâthi’, Istri-istri Nabi, h. 265-266

210 Lihat Bint Asy-Syâthi’, Istri-istri Nabi, h. 265-266 211 Terdapat perbedaan pendapat mengenai nama suaminya tersebut. Ada yang mengatakan

Farwah bin Abdul ‘Uzza bin Asad bin Ghanm bin Dudan, Lihat Al-Qurthûbî, Al-Istî‘âb, j. 4, h. 1917, Ibnu Hajar al-‘Asqalânî, Al-Ishâbah, j. 8, h. 127.

Disebut umrah pengganti karena umat Islam gagal melaksanakan umrah pada tahun 6 H karena dihalang-halangi oleh kaum musyrikin Mekkah, sehingga dilakukanlah umrah pada tahun berikutnya. Lihat Bint Asy-Syâthi’, Istri-istri Nabi, h. 263-265

yang diturunkan oleh Allah mengenai dirinya:

“ … dan perempuan mukmin yang menyerahkan dirinya kepada Nabi, kalau Nabi mau mengawininya, sebagai pengkhususan bagimu, bukan untuk semua orang mukmin …“ (Q. S. Al-Ahzâb/33: 50)

Ibnu Hisyam di As-Sîrah an-Nabawiyah 216 menyebutkan alasan mengapa Maimunah binti Al-Harits menyerahkan dirinya kepada Nabi saw: “Itu karena

lamaran Nabi saw ia terima ketika mengendarai unta, kemudian ia berkata, ’Unta ini dan apa saja yang ada di atasnya menjadi milik Allah dan Rasul-Nya.’ Kemudian Allah Ta’ala menurunkan ayat tersebut.”

Saat menikah dengan Nabi, ia adalah janda berumur 26 tahun yang ditinggal

mati suaminya. 218 Pernikahannya dengan Nabi terjadi pada tahun 7 H. Resepsi pernikahan mereka terjadi di Sarif. 219

217

213 Setelah melaksanakan perang Khaibar dan kembalinya kaum Muhajirin dari Habasyah. Bint Asy-Syâthi’, Istri-istri Nabi, h. 263

214 Lihat A. Khalîl Jam’ah, Istri-istri Para Nabi, h. 457-459 215 Ibnu Hajar berkomentar, ”Ada yang mengatakan bahwa wanita yang menyerahkan dirinya

kepada Rasulullah itu bukan Maimunah binti Al-Hârits. Ada lagi yang mengatakan bahwa wanita yang menyerahkan dirinya kepada Rasulullah itu banyak, dan itulah pendapat yang paling mendekati kebenaran. Ibnu Hajar, Al-Ishâbah, j. 8, h. 127. A. Khalîl Jam’ah, Istri-istri Para Nabi, h. 458

216

h. 646 217 Bint Asy-Syâthi’, Istri-istri Nabi, h. 266

218 Menurut kesepakatan ulama. A. Khalîl Jam’ah, Istri-istri Para Nabi, h. 462

Mengenai kehidupan Maimunah, para ahli sejarah Islam dan para penulis biografi sahabat-sahabat Nabi saw tidak banyak menerangkan, selain peristiwa seputar kecemburuannya terhadap istri Nabi yang lain seperti terhadap ‘Âisyah yang mendapat kelebihan sebagai istri yang dicintai Nabi saw, dan terhadap Mariyah, seorang budak yang dianugerahi kemuliaan menjadi ibu dari Ibrahim, putra Nabi saw. 220 Mereka hanya menyebutkan bahwa Nabi saw sedang berada di rumah Maimunah saat beliau sakit keras. Dalam keadaan sakit yang kemudian membawa maut kepada beliau, Maimunah dengan segala kerelaannya segera mengizinkan Nabi

untuk dibawa pindah ke rumah yang paling beliau senangi yaitu rumah ‘Âisyah. 221

Maimunah wafat pada pertengahan abad pertama Hijriyah 222 dan dimakamkan di Sarif 223 sesuai dengan wasiatnya untuk dimakamkan di tempat yang ia senangi, tempat yang penuh kenangan dengan Nabi saw di mana ia mengadakan pertemuan dan hubungan yang pertama dengan Nabi saw di sana, di tempat kemah

yang dibangun Nabi saw untuknya. 224 Ath-Thabrâni meriwayatkan dari Muhammad

atau Saraf menurut Bint Asy-Syâthi’, Istri-istri Nabi, h. 268. Di tempat ini ia ia mengadakan pertemuan dan hubungan pertama dengan Nabi. Tempat ini mempunyai kenangan yang indah baginya sehingga ia berwasiat bila meninggal nanti agar dikuburkan ditempat tersebut.

220 Lihat Bint Asy-Syâthi’, Istri-istri Nabi, h. 268-269 221 Bint Asy-Syâthi’, Istri-istri Nabi, h. 269 222 Mengenai tahun pastinya Al-Waqidi menegaskan di Ibnu Sa’ad, Thabaqât, j. 8, h. 140 yaitu

tahun 61 H. Mengenai hal ini Az-Zahabi berkomentar, “Maimunah binti al-Hârits tidak hidup hingga tahun tersebut, karena ia wafat sebelum ‘Aisyah.” Itu pula yang dikatakan Al-Hâfiz Ibnu Hajar Al- ‘Atsqalâni di Al-Ishâbah, j. 8, h. 128.

223 Bint Asy-Syâthi’, Istri-istri Nabi, h. 269

A. Khalîl Jam’ah, Istri-istri Para Nabi, h. 463 A. Khalîl Jam’ah, Istri-istri Para Nabi, h. 463

H. 225

Keutamaannya

Mengenai keutamaannya, ‘Âisyah pernah berkata, “… Sungguh, demi Allah, Maimunah adalah orang paling takwa di antara kami, dialah yang paling banyak menghubungkan silaturrahim di antara kami.” 226

225 Al-Harrah adalah perbatasan tanah haram Madinah dari arah timur. Di tempat tersebut pernah terjadi perang yang terkenal antara pasukan Yazîd bin Mu’âwiyah dengan komandan perang Muslim

bin ‘Uqbah Al-Muzânî –generasi salaf menamakannya Musrif bin Uqbah— dengan penduduk Madinah yaitu para sahabat dan selain mereka. Di perang tersebut, banyak sekali korban yang jatuh dan Madinah dihalalkan selama tiga hari. A. Khalîl Jam’ah, Istri-istri Para Nabi, h. 463

226 Sebagaimana diceritakanYazid bin Aslam. Bint Asy-Syâthi’, Istri-istri Nabi, h. 269

Budi Pekerti Keluarga Nabi Muhammad

----------

Tafsir (Q. S. Al-Ahzab/33: 50)

Setelah pada ayat-ayat yang lalu Allah swt menerangkan soal perkawinan secara global, maka pada ayat berikut ini Allah menerangkan wanita-wanita yang boleh dinikahi oleh Nabi saw secara terperinci. Tafsir UII, jilid VII, juz 21

Kelonggaran-kelonggaran ini hanya khusus untuk Nabi, tidak untuk semua mukmin. dalam pengertian bahwa jika ada seorang wanita yang menyerahkan dirinya untuk dinikahi oleh seorang muslim, walaupun wanita tersebut menyerahkan dirinya secara suka rela, maka mas kawinnya tetap wajib dibayar. Berbeda jika wanita itu menyerahkan dirinya untuk dinikahi oleh Nabi saw, maka ia boleh dinikahi tanpa mas kawin.

Kesimpulan:

1. Allah menghalalkan Bagi Nabi Muhammad untuk menikahi beberapa wanita termasuk keluarganya yang bukan mahramnya yang sama-sama hijrah dari Mekkah ke Madinah.

2. Seorang perempuan yang menghibahkan dirinya untuk Nabi saw boleh dinikahi oleh beliau tanpa mas kawin, hal ini berlaku khusus untuk Nabi saw saja dan tidak berlaku untuk orang lain.

3. Nabi diperbolehkan pula mencampuri hamba-hamba sahaya (jariyah) yang diperoleh dari peperangan atau sebagai hadiah.

Tafsir UII, jilid VII, juz 21

Di h. 95 227

Perjanjian Hudaibiyah adalah perjanjian antara kaum musyrik Mekkah dengan kaum muslimin yang terjadi pada tahun………. Adapun isi perjanjian Hudaibiyah itu adalah………………………