Jaminan Mendapatkan Pemeliharaan Kesucian Diri

1. Jaminan Mendapatkan Pemeliharaan Kesucian Diri

Sebagai Ummahât al-Mu’minîn yang hidup serumah dengan Nabi, para istri Nabi senantiasa mendapatkan bimbingan ruhani. Bimbingan ini mengarahkan mereka

93 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, vol. 11, h. 269

untuk melaksanakan berbagai ketentuan agama. Selain itu, Nabi senantiasa menegur mereka bila melakukan kesalahan yang tidak pantas dilakukan oleh seorang pendamping Nabi. Sehingga, ketika mereka betul-betul insyaf dan sadar akan kewajiban mereka dan telah mentaati segala ketentuan dari Allah dan Rasul-Nya, Allah memberikan jaminan pemeliharaan kesucian. Selain itu, ketentuan-ketentuan tersebut bagi mereka tiada lain agar mereka tetap suci, bersih dari segala dosa. Jaminan Allah ini diberikan sebagai penghargaan atas prestasi mereka karena memiliki komitmen keagamaan yang tinggi dalam mendampingi Nabi saw. Firman Allah:

“... Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahl al-bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.” (Q. S. al- Ahzâb/33: 33)

Kata ( ﺲﺟﺮﻟا ) ar-rijs pada mulanya berarti kotoran. Ini dapat mencakup empat hal. Kekotoran berdasar pandangan agama, akal, tabiat manusia, atau ketiga hal tersebut sekaligus. Khamr dan perjudian adalah kotoran menurut pandangan agama dan akal. Khamr yang melekat pada badan adalah kotoran dari segi syara’, meminumnya adalah kotoran dalam pandangan agama dan akal. Debu di baju dan Kata ( ﺲﺟﺮﻟا ) ar-rijs pada mulanya berarti kotoran. Ini dapat mencakup empat hal. Kekotoran berdasar pandangan agama, akal, tabiat manusia, atau ketiga hal tersebut sekaligus. Khamr dan perjudian adalah kotoran menurut pandangan agama dan akal. Khamr yang melekat pada badan adalah kotoran dari segi syara’, meminumnya adalah kotoran dalam pandangan agama dan akal. Debu di baju dan

Meskipun secara tekstual ayat ini sedang membahas Istri-istri Nabi, ulama berbeda pendapat tentang siapa saja yang dicakup oleh Ahl al-Bait pada ayat ini. Kata ﺖﯿﺒﻟا sendiri secara harfiah berarti rumah, yaitu rumah tempat tinggal istri-istri Nabi Muhammad saw. Rumah itu beliau bangun berdampingan atau menyatu dengan

masjid, yang terdiri dari sembilan kamar yang sangat sederhana 95 sesuai dengan jumlah istri Nabi pada saat ayat ini turun.

Melihat konteks ayat, maka istri-istri Nabi Muhammad saw termasuk di

dalamnya, bahkan merekalah yang pertama dituju oleh konteks ayat ini. Sebagian ulama memperluas dengan memahami kata al-Bait dalam arti Baitullah al-Haram sehingga Ahl al-Bait adalah penduduk Mekah yang bertakwa. Namun pendapat ini jelas keluar dari konteks pembicaraan ayat. Meskipun demikian, dari sisi lain, tidak dapat juga dikatakan bahwa Ahl al-Bait hanya istri-istri Nabi saw saja. Hal ini dikarenakan redaksi ayat yang digunakan sebagai mitra bicara dalam konteks uraian Ahl al-Bait bukannya bentuk yang digunakan khusus buat perempuan (muannats/feminin) tetapi justru mudzakkar/maskulin yang dapat juga digunakan untuk pria bersama perempuan. Ayat tersebut tidak menggunakan istilah ﻦﻜﻨﻋ ﺐھﺬﯿﻟ (yang digunakan terhadap mitra bicara perempuan), tetapi redaksi yang digunakan adalah ﻢﻜﻨﻋ ﺐھﺬﯿﻟ dalam bentuk mudzakkar. Ini berarti ahl al-Bait bukan hanya istri-

94 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, vol. 11, h. 264 95 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, vol. 11, h. 263-264

istri Nabi tetapi mencakup pula sekian banyak pria. Pandangan ini didukung oleh riwayat yang menyatakan bahwa ayat ini ini turun di rumah istri Nabi saw, Ummu Salamah. Ketika itu Nabi saw memanggil Fâthimah, putri beliau bersama suaminya yakni ‘Ali bin Abî Thâlib dan kedua putra mereka (cucu Nabi saw) yakni al-Hasan dan al-Husain. Nabi saw menyelubungi mereka dengan kerudung sambil berdoa: “Ya Allah mereka itulah Ahl Baitku, bersihkanlah mereka dari dosa dan sucikanlah mereka sesuci-sucinya.” Ummu Salamah yang melihat peristiwa ini berkata: “Aku ingin bergabung ke dalam kerudung itu, tetapi Nabi saw mencegahku sambil bersabda: Engkau dalam kebajikan … Engkau dalam kebajikan….” (HR. at-Tirmidzi,

ath-Thabrânî dan Ibnu Katsîr melalui Ummu Salamah ra.). 96 Jika dianalisis, penolakan Nabi saw untuk memasukkan Ummu Salamah ke

dalam kerudung itu, bukan karena beliau bukan ahl al-Bait, tetapi karena yang masuk di kerudung itu adalah yang didoakan Nabi saw secara khusus, sedang Ummu Salamah sudah termasuk sejak awal dalam kelompok Ahl al-Bait melalui konteks ayat ini. Atas dasar ini ulama-ulama salaf berpendapat bahwa Ahl al-Bait adalah adalah seluruh istri Nabi saw bersama Fathimah, ‘Ali bin Abî Thâlib serta al-Hasan dan al-Husain. 97

96 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, vol. 11, h. 265. 97 Ulama Syi’ah kenamaan, Thabathaba’i membatasi pengertian Ahl al-Bait pada ayat ini

hanya terbatas pada lima orang yang masuk dalam kerudung itu, yaitu Nabi Muhammad saw, ‘Ali bin Thâlib, Fâthimah az-Zahra’ serta al-Hasan dan al-Husain. Sedang pembersihan mereka dari dosa dan penyucian mereka dipahaminya dalam arti ‘ishmat yakni keterpeliharaan mereka dari perbuatan dosa. Bahkan Imâm Mâlik dan Abû Hanîfah berpendapat bahwa Ahl al-Bait adalah semua anggota keluarga Nabi Muhammad saw yang bergaris keturunan sampai kepada Hâsyim yaitu ayah kakek Nabi saw, putra ‘Abdullah, putra ‘Abdul Muthâlib, putra Hâsyim. Lihat M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, vol. 11, h. 265-266

Selain itu, ketika Allah memindahkan khitab ayat (iltifât) 98 dari jama’ muannatsah mukhâtabah ( ﻦﺘﻧا ) --pada saat menyebutkan beberapa perintah dan

kewajiban yang harus dilaksanakan oleh Ummahât al-Mu’minîn-- kepada jama mudzakar mukhâtab (ﻢﺘﻧا) pada saat membicarakan tentang jaminan yang akan Allah berikan kepada istri-istri Nabi saw (berupa kesucian diri dan keluarga) menarik untuk dianalisis. Hal ini menunjukan keistimewaan seorang istri yang shaleh (melalui gambaran istri-istri Nabi) yang akan memberikan implikasi yang sangat luas bagi kemaslahatan orang banyak. Sebab dhamîr ( ﻢﺘﻧا ) lebih umum dilalahnya dibanding dhamîr ( ﻦﺘﻧا ). Artinya seorang istri yang shaleh tidak hanya memberi manfaat bagi

dirinya, tetapi juga keluarganya. 99