Balasan yang Berlipat Ganda
1. Balasan yang Berlipat Ganda
Istri-istri Nabi saw mempunyai kedudukan yang istimewa karena mereka adalah pendamping seorang Nabi. Kedudukan suami mereka sebagai Nabi dan utusan
1 Misalnya ‘Âisyah yang menjadi rujukan para sahabat setelah Nabi wafat, ia banyak mengeluarkan fatwa dan meriwayatkan sebanyak 2.210 hadits dari Nabi. Dari jumlah tersebut 174
buah muttafaq ‘alaih, 64 buah infarada bih al-Bukhârî dan 68 buah infarada bihi al-Muslim. Lihat Fatchur Rahman, Ikhtishar Musthalahul Hadits, (Bandung: PT Al-Ma’arif, 1987), Cet. V, h. 253
Allah adalah sebuah kedudukan yang sangat tinggi yang berbeda dari manusia lainnya. Hal ini menyebabkan kedudukan mereka sebagai istri Nabi tidaklah ringan dikarenakan menuntut adanya keteladanan dan tanggung jawab yang melebihi tanggung jawab perempuan muslimah biasa. Oleh karena itu pula, istri-istri Nabi saw sebagai Ummahât al-Mu’minîn mempunyai kekhususan secara hukum agama terhadap ‘amal mereka, yaitu berlipatgandanya balasan. Bila di antara mereka ada yang melakukan perbuatan yang keji, maka akan dilipatgandakan hukuman bagi mereka. Sebaliknya, bila melakukan amal shaleh, pahala mereka dilipatgandakan, bahkan mereka akan mendapatkan rezeki yang mulia (surga). Firman Allah:
“Hai isteri-isteri Nabi, baranga siapa di antara kamu mengerjakan perbuatan keji yang nyata, niscaya akan dilipat gandakan siksaan kepada mereka dua kali lipat. Dan demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (Q. S. al Ahzâb/33: 30)
“Dan barang siapa di antara kamu sekalian (isteri-isteri Nabi) tetap taat kepada Allah dan Rasul-Nya dan mengerjakan amal yang saleh, niscaya Kami memberikan kepadanya pahala dua kali lipat dan Kami sediakan baginya rezki yang mulia.” (Q. S. al-Ahzâb/33: 31)
Pada ayat 30 Allah swt memperingatkan istri-istri Nabi saw agar selalu menjaga diri mereka. Karena mereka adalah ibu dari seluruh kaum Muslimin dan Pada ayat 30 Allah swt memperingatkan istri-istri Nabi saw agar selalu menjaga diri mereka. Karena mereka adalah ibu dari seluruh kaum Muslimin dan
mungkin terjadi di dalamnya. 2 Kata ﺔﺸﺣﺎﻓ sendiri biasa diartikan sebagai perbuatan yang sangat keji. Ulama
berpendapat bahwa jika kata tersebut berbentuk definitive ma’rifah, yakni pada awal katanya dibubuhi alif dan lam (ﺔﺸﺣﺎﻔﻟا ), maka yang dimaksud adalah perzinahan dan semacamnya. Namun bila tanpa alif dan lam, maka yang dimaksud adalah dosa
secara umum. 3 Memang, manusia tidak luput dari dosa. Demikian pula istri-istri Nabi saw.
Allah swt membuka kemungkinan tersebut pada diri mereka. Meskipun demikian, perlu digarisbawahi bahwa ancaman ayat di atas adalah bila mereka melakukan dosa yang demikian jelas, bukan dosa yang merupakan hal-hal kecil, apalagi yang tidak
2 Team Tafsir UII, Al-Qur’an dan Tafsirnya, Jilid VII, (T.Tmp: Universitas Islam Indonesia, 1995), h. 757-758
3 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), Cet. I, vol. 11, h. 259 3 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), Cet. I, vol. 11, h. 259
Dalam kenyataannya, istri-istri Nabi saw pernah membuat masalah yang menjadikan Nabi saw memisahkan diri dari mereka selama satu bulan atau kira-kira
29 hari, sebagaimana dijelaskan mengenai sebab nuzul Q. S. al-Ahzab/33: 28-29:
“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu: "Jika kamu sekalian mengingini kehidupan dunia dan perhiasannya, maka marilah supaya
kuberikan kepadamu mut’ah 6 dan aku ceraikan kamu dengan cara yang baik. Dan jika kamu sekalian menghendaki (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya serta
(kesenangan) di negeri akhirat, maka sesungguhnya Allah menyediakan bagi siapa yang berbuat baik di antaramu pahala yang besar.” (Q.S. al-Ahzâb/33: 28-29)
Dalam sebuah riwayat dari Imam Bukhari dan Muslim serta Imam Tirmidzi yang diterima dari Ibnu Jarir dan Ibnu Mundzir, Ibnu Hatim, Ibnu Mardawaih dan Baihaqy, mereka menerimanya dari ‘Âisyah ra.: “Bahwa Nabi saw mendatanginya (‘Âisyah ), ketika disuruh Allah untuk menguji dan menyeleksi istri-istrinya. ‘Âisyah berkata bahwa Nabi saw memulai dari dirinya sambil berkata: “Aku akan mengingatkanmu satu hal, kamu tidak perlu tergesa-gesa sehingga meminta keputusan orang tuamu.” Nabi saw tahu bahwa kedua orang tuaku tidak menyuruhku
4 Lihat foot note no. 69 Bab II 5 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Cet. I, vol. 11, h. 259
6 Mut’ah adalah suatu pemberian yang diberikan kepada perempuan yang telah diceraikan menurut kesanggupan suami. Khadîm al-Haramain asy-Syarifain, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 671 6 Mut’ah adalah suatu pemberian yang diberikan kepada perempuan yang telah diceraikan menurut kesanggupan suami. Khadîm al-Haramain asy-Syarifain, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 671
lakukan.” 7 Banyak yang meriwayatkan komunikasi Nabi saw dengan istrinya berkaitan
dengan ayat 28 Surah al-Ahzâb seperti yang dikemukakan di atas. Di antaranya riwayat Ibnu Said dari Abi Ja’far dengan kandungan yang sama. 8 Dalam riwayat Ibnu
Mundzir, Ibnu Abid Hatim dan Ibnu Mardawaih dari ‘Âisyah , dikabarkan Nabi saw
terlebih dahulu menjauhi istri-istrinya (al-hajru) selama satu bulan kemudian mendatangi ‘Âisyah untuk yang pertama kali sambil mengungkapkan seperti apa
yang terdapat pada hadits sebelumnya. 9 Sementara dalam riwayat lain dari Ibnu Said dari Umar Ibnu Said dari ayah
dan kakeknya meriwayatkan bahwa Nabi saw menyeleksi dan menguji istri-istri beliau, 10 dan semuanya memilih Allah dan Nabi-Nya kecuali Al-‘Amiriyyah ia lebih
memilih kaumnya. Menurut riwayat Ibnu Janah perempuan bernama al-‘Amiriyyah tidak memilih Nabi saw dan kemudian ia hilang akal sampai wafatnya. 11
7 Jalâl ad-Dîn bin ‘Abd ar-Rahmân bin Abû Bakr as-Sayûthî, selanjutnya disebut As-Sayûthî, Ad-Durr al-Mantsûr fî Tafsîr bi al-Ma’tsûr, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1990), juz. 5, h. 371.
8 As-Sayûthî, Ad-Durr al-Mantsûr, juz. 5, h. 371. 9 As-Sayûthî, Ad-Durr al-Mantsûr, juz. 5, h. 371.
10 ketika ayat ini turun, kebanyakan ulama berpendapat bahwa jumlah istri Nabi pada saat itu ada sembilan orang dari sebelas orang, karena di antara mereka ada yang telah wafat mendahului Nabi,
yaitu Khadijah dan Zainab binti Khuzaimah. 11 al-Alûsi, Rûh al-Ma’ânî, Juz 21, h. 182. Meskipun demikian, riwayat tentang al-‘Amîriyah
tidak populer.
Munculnya perintah Allah untuk menguji dan menyeleksi istri-istri Nabi saw tersebut, menurut salah satu riwayat dilatar belakangi oleh keluhan para istri Nabi saw ketika Nabi saw mendapatkan kemenangan dalam sebuah peperangan dengan bani Nadzir dan bani Quraidzah. Para istri Nabi saw menyangka Nabi saw mendapatkan harta simpanan kaum Yahudi tersebut, kemudian mereka mengelilingi beliau sambil menyebut-nyebut kemegahan puteri-puteri kisra (kaisar Persia), sementara mereka kesempitan. Nabi saw teramat pedih mendengar keluhan istri- istrinya, kemudian Allah menyuruh membacakan ayat yang berkaitan dengan posisi
dan kedudukan mereka. 12
Ilustrasi al-Qur’an yang antroposentris mengenai istri-istri Nabi saw seperti terdapat pada dua ayat di atas, menyimpulkan adanya kemungkinan muncul karakter- karakter alamiah (thabî’iy) pada diri istri-istri Nabi saw, sebagaimana halnya kaum perempuan biasa. Akan tetapi mereka secara kualitas keagamaan telah teruji sehingga sisi-sisi humanistik dan tabiat-tabiat destruktif menjadi tereliminir melalui bimbingan Nabi saw, dan Nabi saw sendiri melakukan pendekatan-pendekatan dan komunikasi yang biasa kepada istri-istrinya sebagaimana layaknya seorang suami pada umumnya, kepada para istrinya.
Dari gambaran komunikasi Nabi saw dengan istri-istrinya seperti di atas, dapat disimpulkan bahwa Nabi saw memperlakukan semua istri-istrinya sebagaimana umumnya para suami: menghormati hak-hak istri, mendengarkan keluhan dan memberi peringatan (nasihat) kepada istri-istrinya. Dalam kaitannya dengan keluhan
12 al-Alûsî, Rûh al-Ma’ânî, Juz 21, h. 182.
para istri Nabi saw, dapat dipandang dari dua sisi: pertama, hal yang manusiawi (basyariah) jika para istri tersebut terkadang tampil dengan karakternya yang umum; mengeluh, memiliki keinginan dan hasrat, cemburu, iri dan lain sebagainya, karena mereka adalah manusia biasa, kedua, peristiwa yang berkaitan dengan istri Nabi saw bertujuan memberikan pelajaran (ibrah) kepada ummatnya, berkaitan dengan hukum dan ajaran Islam mengenai kedudukan dan posisi istri-istri Nabi saw yang mulia dan istimewa. Di antara keistimewaannya itu adalah mereka mendapatkan dua kali lipat
kebaikan dan pahala dibanding perempuan muslimin pada umumnya. 13 Dalam pandangan Muhammad ar-Râzî, ancaman yang diberikan Allah
terhadap para istri Nabi saw dengan dua kali lipat azab jika mereka berbuat fâhisyah, 14 mengandung dua hikmah; pertama, perempuan biasa, jika berzina diberi
azab karena zina mengandung kemafsadatan (mafâsid) sementara istri Nabi saw jika berzina disamping karena mafâsid juga karena dosa menyakiti hati dan perasaan Nabi saw, serta merendahkan kedudukannya sebagai makhluk yang terhormat, kedua, menunjukan kepada kemuliaan para istri Nabi saw, karena sebenarnya istri Nabi dipelihara oleh Allah dari berbuat dosa. 15 Jika perempuan merdeka mendapat sangsi
13 Seperti dijelaskan oleh riwayat Abû Hâtim dari Rabî’ Ibnu Anas yang dikutip oleh al-Alûsî dalam Rûh al-Ma’ânî, penghargaan kelipatan ganjaran yang menjadi hak para istri Nabi, adalah
penghargaan Allah kepada mereka atas kemuliaan dan keutamaan mereka. Penghargaan tersebut menjadi hak mereka di dunia dan di akhirat serta tidak hanya diberikan ketika Nabi masih hidup tetapi juga menjadi hak ketika mereka sudah ditinggalkan Nabi (wafat). Ibid., Juz 22, h. 2.
14 Kata fâh isyah atau fawâhisy adalah perbuatan dosa yang dilakukan secara berpasangan antara laki-laki dan perempuan seperti zina, liwath. Seperti juga dijelaskan as-Sayûthî dalam ad-Durr al-
Mantsûr, j. 5, h. 371. 15 Muhammad Ar-Râzî Fakhruddîn Ibnu al-‘Allâmah Dhiyâuddîn ‘Umar, selanjutnya disebut
ar-Râzî, Tafsir al-Fakhr ar-Râzî/At-Tafsîr al-Kabîr/Mafâtih al-Ghaib, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1985), Juz 25, h. 208 ar-Râzî, Tafsir al-Fakhr ar-Râzî/At-Tafsîr al-Kabîr/Mafâtih al-Ghaib, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1985), Juz 25, h. 208
terhormat, karena Nabi lebih utama dibanding diri mereka sendiri. 16 Pelipatgandaan azab adalah sesuatu yang amat mudah bagi Allah, sekalipun
terhadap istri-istri Nabi bila mereka berbuat dosa. Hal ini dikarenakan status mereka sebagai istri Nabi, panutan umat, sehingga perbuatan maksiat yang bersumber dari mereka lebih berbahaya dari pada perbuatan maksiat yang dilakukan oleh orang
biasa. 17 Oleh karena itu, celaan orang terhadap orang ‘alim/orang yang mengetahui yang berbuat maksiat lebih keras dari pada kepada orang bodoh/yang tidak tahu yang
melakukan maksiat. 18 Berdasarkan ayat 30 ini, sebagian ulama menetapkan hukum bahwa untuk
tindakan kejahatan yang sama jenisnya, maka hukuman yang akan diterima oleh orang-orang yang tahu itu lebih berat dari hukuman yang akan diterima oleh orang yang tidak tahu. Orang yang tahu telah tahu akibat dari sesuatu perbuatan. Jika ia melakukan perbuatan itu berarti ia melakukan dengan penuh kesadaran, sedang yang tidak tahu ia mengerjakan tindakan kejahatan itu, tidak berdasarkan kesadaran dalam arti yang sebenarnya. Karena itu wajiblah orang-orang tahu itu memperoleh hukuman dua kali lipat dari hukuman yang diperoleh orang yang tidak tahu. 19 Oleh karena itu
maka hukuman bagi istri Nabi berlaku pula bagi orang yang tahu. Orang yang tahu
16 ar-Râzî, Tafsir ar-Râzî, Juz 25, h. 208 17 Ahmad Mushthafâ Al-Marâghî, selanjutnya disebut al-Marâghî, Tafsîr al-Marâghî, Jilid VII,
(Beirût: Dâr al-Fikr, 1995), h. 154 18 al-Marâghî, Tafsîr al-Marâghî, Jilid VII, h. 154
19 Team Tafsir UII, Al-Qur’an dan Tafsirnya, Jilid VII, h. 758 19 Team Tafsir UII, Al-Qur’an dan Tafsirnya, Jilid VII, h. 758
Setelah Allah swt menerangkan pada ayat 30 bahwa azab kepada istri-istri Nabi akan dilipatgandakan dua kali lipat jika mereka mengerjakan perbuatan keji, maka pada ayat 31 Allah swt menerangkan tentang berlipatnya pahala yang akan diberikan kepada mereka. Mekipun demikian, pahala yang akan diberikan oleh Allah kepada mereka sebanyak dua kali lipat itu berkaitan dengan mesti adanya dua syarat
pada mereka yaitu ﺖﻨﻘﯾ dan ﺎﺤﻟﺎﺻ ﻞﻤﻌﺗ .
Kata ﺖﻨﻘﯾ yang berarti kesinambungan dalam ketaatan disertai dengan
ketundukan dan rasa hormat mengisyaratkan makna rela dan puas dengan ketetapan Allah dan Rasul-Nya serta berusaha untuk selalu menjadikan Allah dan Rasul-Nya
rela dan menerima dengan baik amalan-amalan mereka. 21 Kata tersebut menunjukan kualitas moral yang bermuara pada kualitas bathin, yang meliputi kekhusyu’an dan
kerendahhatian di hadapan Allah swt (tawadlu’). Sedangkan kata ﺎﺤﻟﺎﺻ ﻞﻤﻌﺗ menunjukan kepada kualitas serta kuantitas pelaksanaan aspek-aspek formal dari kewajiban agama seperti sholat, puasa, zakat. Keduanya merupakan hal yang berbeda. 22
Pahala berlipat ganda yang mereka dapatkan karena di dunia mereka diberi taufik untuk menafkahkan rezeki yang mereka terima di jalan Allah untuk mencapai keridhaan-Nya disertai perasaan tulus ikhlas. Mereka juga bebas dari segala ketakutan
20 Team Tafsir UII , Al - Qur’an dan Tafsirnya, Jilid VII, h. 758
21 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, vol. 11, h. 260 22 Lihat al-Alûsî, Rûh al-Ma’âni, juz 22, h. 2 21 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, vol. 11, h. 260 22 Lihat al-Alûsî, Rûh al-Ma’âni, juz 22, h. 2
kesederhanaan serta imbalan atas kewajiban mereka yang berbeda dengan perempuan-perempuan lain. 24 Selain itu, pemberian pahala dua kali lipat kepada
mereka merupakan penghargaan dari Allah dikarenakan kedudukan mereka sebagai ”Ummahât al Mu’minîn” yaitu Ibu kehormatan dari segenap kaum mu’minin, dan karena mereka berada di rumah Nabi saw, tempat turun wahyu Illahi, cahaya hikmat
dan petunjuk ke jalan yang lurus. 25 Selain pahala yang berlipat ganda, Allah swt akan memberikan pula rezki
yang mulia bagi istri-istri Nabi yang taat dan melaksanakan amal shalih. Firman Allah:
“Dan barang siapa di antara kamu sekalian (isteri-isteri Nabi) tetap taat kepada Allah dan Rasul-Nya dan mengerjakan amal yang saleh, niscaya Kami memberikan kepadanya pahala dua kali lipat dan Kami sediakan baginya rezki yang mulia.” (Q. S. al-Ahzâb/33: 31)
Sebagian ulama menafsirkan rizqan karîmâ (rizki yang mulia) dengan surga. 26 Sedangkan al-Marâghî menganggap bahwa rizki yang mulia bukan hanya
23 Al-Marâghî, Tafsir al-Marâghî, Jilid VIII, h. 3 24 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, vol. 11, h. 260 25 Team Tafsir UII, Al-Qur’an dan Tafsirnya, Jilid VIII, h. 3
26 Jalâl ad-Dîn Muhammad bin Ahmad al-Mahalli dan Jalâl ad-Dîn ‘Abd ar-Rahmân bin Abû Bakr as-Suyûthî, selanjutnya disebut Al-Mahalli dan As-Suyûthî, Tafsîr Al-Qur’ân al-Karîm/Tafsîr al-
Jalâlain, (Semarang: Al-‘Alawiyyah, T.Th), h. 346 Jalâlain, (Semarang: Al-‘Alawiyyah, T.Th), h. 346
penghormatan dan kewibawaan. 27 Ayat ini pada dasarnya memberikan motivasi (targîb) sekaligus kabar
gembira (tabsyîr) dan penghargaan kepada istri-istri Nabi karena posisi dan kedudukan mereka sebagai pendamping Nabi saw, setelah pada ayat sebelumnya mereka diancam dan diingatkan (indzâr) dengan adzab dua kali lipat jika mereka berbuat dosa.
Ayat 30 dapat pula mengandung makna perintah untuk meninggalkan
keburukan sedang ayat 31 dapat mengandung makna perintah untuk melakukan kebaikan. Menurut Quraish Shihab, penempatan ayat Al-Qur’an yang sedemikian rupa yang menggandengkan/mendampingkan sesuatu dengan lawannya sehingga menjadi seimbang --setelah ancaman ada janji-- dikarenakan meninggalkan
keburukan, lebih utama dan perlu didahulukan daripada melaksanakan kebaikan. 28 Demikianlah keutamaan para istri Nabi, mendapatkan pahala dan ganjaran
dua kali lipat dibanding perempuan/manusia lain.