Haram Dinikahi setelah Nabi saw Wafat

3. Haram Dinikahi setelah Nabi saw Wafat

Penyebutan istri-istri Nabi saw sebagai Ummahât al-Mu’minîn pada dasarnya mempunyai dampak tertentu dari segi hukum. Karena istri-istri Nabi menjadi ibu dari orang-orang yang beriman, maka mereka mempunyai kedudukan seperti ibu dari orang-orang yang beriman, orang-orang yang beriman harus menghadapi mereka (Ummahât al-Mu’minîn) seperti menghadapi ibu mereka

102 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Vol. 11, h. 307 103 sesuai dengan makna kata ﺎﺒﯿﻗر , yang akar katanya terdiri dari huruf-huruf ra’, qaf dan ba’.

Makna dasarnya adalah tampil tegak lurus untuk memelihara sesuatu. Pengawas adalah raqîb, karena Dia tampil memperhatikan dan mengawasi untuk memelihara yang diawasi. Allah yang bersifat Raqîb, adalah Dia yang mengawasi, atau yang menyaksikan, atau mengamati dari saat ke saat, makhluk-Nya. Demikian tiga makna yang dikemukakan al-Qurthubi. Allah Raqîb terhadap segala sesuatu, mengawasi, menyaksikan dan mengamati segala yang dilihat dengan pandangan–Nya, segala yang didengar dengan pendengaran-Nya, serta segala yang wujud dengan ilmu-Nya. Perlu pula ditambahkan bahwa pengawasan ini, bukan bertujuan mencari kesalahan atau menjerumuskan yang diawasi, tetapi justru sebaliknya. Ayat-ayat al-Qur’an yang menampilkan sifat Allah ini, memberi kesan pengawasan yang mengandung makna pemeliharaan, demi kebaikan yang diawasi, sejalan dengan makna kebahasaan yang dikemukakan di atas. Lihat, M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Vol. 11, h. 307- 308

104 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Vol. 11, h. 308 104 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Vol. 11, h. 308

“…Dan kamu tidak boleh menyakiti (hati) Nabiullah dan tidak (pula) menikahi istri-istrinya selama-lamanya sesudah ia wafat. Sesungguhnya perbuatan itu adalah amat besar (dosanya) disisi Allah” (Q. S. al-Ahzâb/33: 53)

Menurut al-Qurthubi larangan mengawini istri Nabi saw pada ayat di atas

dikarenakan ada ucapan seorang munafik yang berkata, “Kalau Muhammad meninggal, maka saya akan mengawini istrinya.” Riwayat lain menyatakan bahwa yang mengucapkan adalah seorang mu’min. Ketika ayat ini turun akhirnya dia bertobat dan menebus dosa-dosanya (kafârat) dengan memerdekakan hamba sahaya, menyumbangkan sepuluh unta untuk jihad fi sabilillah dan melaksanakan ibadah haji dengan berjalan kaki. 105

Keharaman menikahi istri-istri Nabi dikarenakan mereka mendapat gelar Ummahât al-Mu’minîn dan Ummahât al-Mu’minîn mempunyai tugas yang tidak ringan setelah meninggalnya Nabi saw. Selain berdosa, ada alasan lain mengapa istri-

105 mengenai istri Nabi yang akan dinikahi, menurut riwayat Ibnu Abî Hâtim dari Ibnu Zaid dan as-Suddi adalah ‘Âisyah. Sedangkan orang mu’min yang berniat menikahinya, menurut riwayat Ibnu

Abî Hâtim dari Ibnu ‘Abbâs dan as-Suddi adalah Thalhah bin ‘Ubaidillah. Lihat K. H. Q. Shaleh dan

H. A. A. Dahlan, Asbâbun Nuzûl, Edisi Kedua, (Bandung: Diponegoro, 2003), Cet. 10, h. 440-441 H. A. A. Dahlan, Asbâbun Nuzûl, Edisi Kedua, (Bandung: Diponegoro, 2003), Cet. 10, h. 440-441

istri-istri Nabi saw: “Ada perbedaan pendapat mengenai alasan keharaman menikahi istri-istri

Nabi saw Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam setelah beliau wafat. Ada yang mengatakan sebabnya karena istri-istri Nabi saw shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah ibu kaum Mu’minin. Ada lagi yang mengatakan bahwa penghalalan istri- istri Nabi saw shallallahu ‘alaihi wa sallam bagi orang selain beliau itu merendahkan kedudukan beliau. Ada lagi yang mengatakan bahwa alasannya karena mereka istri-istri Nabi saw shallallahu ‘alaihi wa sallam di surga. Ada lagi yang mengatakan bahwa alasannya ialah karena perempuan di surga menjadi suami [istri] dari suami terakhirnya di dunia.” 107