Orientasi Sosial-Keagamaan Baru: Keberhasilan dan Kegagalan.

II. Orientasi Sosial-Keagamaan Baru: Keberhasilan dan Kegagalan.

Sebelum menganalisis pengaruh reorientasi, perlu dicatat bahwa ada beberapa penafsiran terhadap Khittah dari para pemimpin NU. Tanpa masuk ke dalam detail perbedaan ini, kita bisa mengatakan bahwa KH Achmad Siddiqlah (Rois Aam baru) yang memiliki pandangan- pandangan paling "anti politik". Baginya, NU harus bekerja melalui "pembangunan masyarakat" (kata-kata tersebut dalam bahasa Inggeris). NU hanya menjadi "kekuatan moral" untuk mengingatkan pemerintah bahwa tindakannya sesuai dengan UUD 1945. Cara kerja kekuatan moral ini melalui "musyawarah" dalam bentuk pernyataan-pernyataan yang bijaksana, sesuatu yang telah dilakukan sebelumnya oleh NU berkaitan dengan masalah judi, lotere nasional dan hari-hari suci umum. Kiai Siddiq berbeda dengan Abdurrahman Wahid, Ketua Tanfidziyah, tentang dua hal: Menurut Abdurrahman, NU harus masuk ke dalam wilayah kekuasaan untuk menjadi bagian dari pemerintah dari mana pun pintu terbuka dan kedua, keterlibatan-keterlibatannya, jauh dari caracara Siddiq yang pendiam, dibuat menjadi umum kebanyakan waktu itu. Perbedaan-perbedaan yang banyak mengenai prilaku politik yang ideal setelah khittah dikemukakan pada pemilu tahun 1987: beberapa politisi berkampanye menggembosi PPP, yang lain tetap netral. Sedangkan yang lainnya lagi secara terbuka berpihak pada Golkar. Apapun penafsiran yang ada di benak para aktivis itu, pengaruh politik reorientasi menjadi jelas pada tahun 1987 dengan kekalahan telak PPP, dari 27,8% menjadi hanya 18% dari keseluruhan suara (27,5% jatuh dibandingkan dengan suara umat Islam pada tahun 1955). Namun fakta bahwa wilayah minoritas NU juga melemah (di Sumatera Barat PPP kehilangan 19% suara, di Aceh kehilangan 15,71%) tampak menunjukkan bahwa faktor NU bukan satu-satunya faktor yang harus dipertimbangkan sehubungan dengan kekalahan PPP tersebut Kita bisa menyatakan kekecewaan terhadap gaya Ketua Umum PPP yang otoriter, hilangnya identitas keislaman sejak asas tunggal dan upaya gigih yang dilakukan oleh pemimpin Golkar, Sudharmono.

Bagi para politisi NU, pemilu tersebut merupakan suatu kemenangan tetapijuga sekaligus semacam kekalahan: NU hanva memperoleh 22 kursi di Parlemen sementara Golkar memperoleh 299 kursi. Tidak mengejutkan, serangan-serangan sengit dari para politisi yang kecewa terhadap Abdurrahman Wahid yang dimulai pada tahun 1987 menggemakan motif- motif yang berbeda terhadap keputsan khittah sebagaimana digambarkan di atas. Namun orientasi pro-khittah yang kuat tampil ketika, pada Munas Cilacap bulan November 1987, Abdurrahman Wahid bertahan dari serangan gencar mereka. Sebagai contoh bagaimana kuatnya semangat mendukung orientasi non-politik, izinkan saya memaparkan suatu insiden kecil: ketika seorang aktivis tua Prof. Ali Hassan Achmad Addary, anggota Syuriah Sumatera Utara, secara blak-blakan menunjukkan kemarahannya terhadap pemerintah dan berbicara dengan nada nostalgia tentang zaman keemasan NU. Suasana ruangan itu hening. Ali Hassan dibiarkan meneruskan sumpah serapahnya namun sama sekali tidak ada yang mengomentarinya.56 Ali Hassan sendirian dalam permusuhannya terhadap penguasa, dan ada alasan yang bagus untuk ini: terutama sekali, keuntungan reorientasi Khittah nampaknya melampui kerugian yang ditimbulkannya.

Sebelum menilai pengruh reorientasi, saya memberikan laporan singkat mengenai situasi pada tahun 1984, setelah lebih dari sepuluh tahun berada dalam hubungan yang tegang dengan pemerintah dan mengabaikan masalah-masalah sosial demi mengurusi aspirasi politik. Nampak bahwa asumsi Ben Anderson bahwa NU "sangat berhasil dalam membela "kelompok inti" (inner core) mungkin terlalu optimistik (Anderson 1975: 24).

Dengan berbagai cara pemerintah Orde Baru telah membuat NU menderita. Larangan aktif di luar Golkar bagi pegawai negeri (monoloyalitas) yang dikeluarkan pada tahun 1970 dan pembentukan Korpri secara meyakinkan telah berpengaruh terhadap salah satu tulang punggung NU yang paling penting (Ward 1974: 109). Sejumlah aktivis perempuan (muslimat), Ansor dan organisasi yang berafiliasi NU lainnya mulai mengembalikan kartu keanggotaannya. Lebih jauh lagi, pengawasan yang ketat dari penguasa seringkali membuat anggota yang kurang militan menjadi tidak aktif di organisasi. Di Surabaya, ujar seorang tokoh NU lokal, "ketika 15 aktivis diundang ke pertemuan NU, yang hadir lima orang di samping tujuh orang polisi berpakaian preman. Fusi ke dalam PPP juga mengecilkan hati para aktivis militan terutama kaitannya dengan NU, bukan terhadap PPP. Pada tahun 1975, NU memfoto kopi dan menyebarkan pidato Soeharto yang disampaikan pada Munas yang mendukung aktivitas-aktivitas sosial-keagamaan NU: ia juga ditunjukkan kepada pemerintah Dengan berbagai cara pemerintah Orde Baru telah membuat NU menderita. Larangan aktif di luar Golkar bagi pegawai negeri (monoloyalitas) yang dikeluarkan pada tahun 1970 dan pembentukan Korpri secara meyakinkan telah berpengaruh terhadap salah satu tulang punggung NU yang paling penting (Ward 1974: 109). Sejumlah aktivis perempuan (muslimat), Ansor dan organisasi yang berafiliasi NU lainnya mulai mengembalikan kartu keanggotaannya. Lebih jauh lagi, pengawasan yang ketat dari penguasa seringkali membuat anggota yang kurang militan menjadi tidak aktif di organisasi. Di Surabaya, ujar seorang tokoh NU lokal, "ketika 15 aktivis diundang ke pertemuan NU, yang hadir lima orang di samping tujuh orang polisi berpakaian preman. Fusi ke dalam PPP juga mengecilkan hati para aktivis militan terutama kaitannya dengan NU, bukan terhadap PPP. Pada tahun 1975, NU memfoto kopi dan menyebarkan pidato Soeharto yang disampaikan pada Munas yang mendukung aktivitas-aktivitas sosial-keagamaan NU: ia juga ditunjukkan kepada pemerintah