KHITTAH DAN PENGUATAN CIVIL SOCIETY DI INDONESIA: Sebuah Kajian Historis Struktural Atas NU sejak 1984 Muhammad AS Hikam

KHITTAH DAN PENGUATAN CIVIL SOCIETY DI INDONESIA: Sebuah Kajian Historis Struktural Atas NU sejak 1984 Muhammad AS Hikam

DALAM sebuah pidato menyambut Harlah NU ke LXVII di Tegal, Jawa Tengah, pada pertengahan Desember 1993, Abdurrahman Wahid mengibaratkan kondisi NU saat ini seperti sebuah kapal yang sedang mengarungi samudera yang setiap saat bisa diancam topan- badai.1 Namun demikian kata Ketua Umum PBNU itu, "kapal yang bernama NU ini tetap stabil dan telah siap menghadapi badai yang sebesar apapun". Bahkan, sedemikian stabil kondisi kapal, sehingga seandainya badai datang sang nahkoda pun bisa tidur lelap setelah membuang sauh dan "ketika bangun, badaipun sudah berlalu". Semua ini disebabkan oleh telah siapnya sang nahkoda dalam mengendalikan dan mengemudikan "kapal" NU tersebut di tengah-tengah "samudera" Indonesia yang telah, sedang, dan akan mengalami berbagai gelombang dan badai dalam perkembangan sejarahnya.

Metafor kapal dan badai yang digunakan untuk melukiskan NU tadi, tentu saja, bukan orisinal dari Gus Dur atau baru kali itu diungkapkan.2 Ia pakai untuk menggambarkan self- understanding dan dinamika internal organisasi sosial keagamaan terbesar di tanah air itu, terutama setelah ia mengalami guncangan-guncangan serius dan mengancam keutuhannya di penghujung dasawarsa delapan puluhan yang bisa diakhiri dengan penyelesaian tuntas lewat upaya "kembali ke Khittah" pada awal dasawarsa delapan puluhan.3 NU paska Khittah muncul sebagai fenomen unik dalam percaturan politik Indonesia: keberhasilan sebuah organisasi sosial keagamaan untuk menduduki kembali posisinya yang strategis justru setelah dengan tegas melepaskan "jubah" politik praktis. Buah cerita sukses itu antara lain adalah harapan yang diberikan kepada NU, bukan saja oleh kaum Nahdliyyin, di Indonesia, tetapi juga umat Islam secara umum dan sampai tingkat tertentu bahkan kelompok non Muslim, agar ia berkiprah secara lebih substantif dalam proses-proses transformasi politik, sosial dan budaya dalam posisinya yang baru itu. NU dengan kekuatan sumberdaya yang besar serta pengalaman historisnya yang lama dalam percaturan politik, sosial dan budaya Indonesia sebelum dan sesudah kemerdekaan, dianggap sebagai salah satu tulang punggung utama kekuatan masyarakat yang harus diakui posisinya masih lemah vis-a-vis kekuatan negara di bawah Orde Baru.4 Lebih jauh, NU diharapkan akan berbuat banyak dalam proses pengembangan dan pengokohan civil society yang mandiri sebagai wahana demokratisasi yang semakin hari semakin menjadi tuntutan rakyat. Semakin disadari bahwa strategi penguatan civil society yang mandiri merupakan salah satu alternatif demokratisasi.5 Tentu saja, mengingat latar belakang historis, kultural dan geopolitis yang khas, maka proses pertumbuhan dan perkembangan civil society di negeri ini mungkin akan berbeda dengan yang ada di wilayah lain.

Salah satu kenyataan historis dalam masyarakat Indonesia paska kolonial adalah keberadaan organisasi-organisasi kemasyarakatan/keagamaan seperti Nahdlatul Ulama. Dalam perkembangannya semenjak didirikan pada tahun 1926 sampai hari ini, organisasi tersebut senantiasa tak pernah lepas dari keterlibatan dalam proses-proses politik baik langsung maupun tidak. Keberadaan NU sebagai parpol mulai 1952 sampai dengan fusi partai-partai Islam dalam PPP pada tahun 1973 menunjukkan sebuah rentetan pengalaman panjang dalam percaturan politik Indonesia dengan segala dinamika dan pasang surutnya. Demikian juga, khususnya komunitas Islam, baik lewat program-program pendidikan, ekonomi, kebudayaan dst telah memberikan sumbangan yang tidak kecil bagi pertumbuhan masyarakat dan bangsa Indonesia modern.

Keputusan organisasi ini untuk kembali pada Khittah 1926, ditandai dengan lepasnya NU dari keterlibatan politik langsung sebagai salah satu unsur PPP, dengan demikian, bisa dilihat sebagai suatu strategi untuk menghadapi realitas yang ada. Penting untuk dicatat bahwa perdebatan-perdebatan yang berlangsung dalam tubuh NU sebelum Muktamar XXVII di Situbondo menunjukkan bahwa keputusan itu dibuat setelah melewati suatu proses panjang, termasuk di dalamnya wacana publik (public discourse) di mass media dan forum-forum diskusi. Hal ini, di satu pihak mengusahan pemecahan permasalahan internalnya. Di pihak lain, ia juga menunjukkan kemampuan organisasi ini untuk membicarakan dan mengambil keputusan yang akan berdampak luas bagi perkembangannya secara terbuka serta mengupayakan lewat prosedur-prosedur yang disepakati. Lebih dari itu, kemampuan NU untuk tampil secara utuh setelah keputusan penting itu di buat, merupakan sebuah prestasi tersendiri yang agak jarang terjadi dalam organisasi sosial dan politik di Indonesia. Kesemuanya itu menunjukkan bahwa NU di dalam dirinya sendiri memiliki potensi kemandirian dan kemampuan bermanuver yang cukup tinggi pada saat organisas-organisasi sosial di Indonesia mengalami kemacetan-kemacetan, kooptasi, dan ketergantungan besar kepada negara.

Setelah NU kembali menjadi organisasi sosial keagamaan dan memfokuskan diri pada kegiatan-kegiatan sosial, ekonomi dan kebudayaan, tak berarti bahwa ia lantas menjadi penonton di luar arena percaturan politik. Justru sebaliknya, organisasi ini dalam konteks politik Orde Baru malahan dianggap oleh banyak pengamat berhasil menempatkan dirinya dalam posisi yang lebih strategis, sebagai wacana dan praksis politik, maka kembali ke Khittah 1926 dapat dilihat sebagai strategi untuk memperluas kembali ruang politik (political space) yang semakin menyempit di bawah dominasi negara. Hasilnya segera tampak pada arah politik formal, di mana secara teoritis NU dan warganya kini menjadi lebih leluasa untuk menyalurkan aspirasi politiknya lewat semua organisasi peserta pemilu (OPP) yang sah.

Namun yang lebih penting dari keberhasilan pada arah politik formal, maka dengan wacana Khittah itu NU berhasil menemukan pijakan bagi pencarian jawaban-jawaban yang strategis untuk bisa dipakai bukan saja untuk tetap mempertahankan keberadaannya dalam kerangka politik ekonomi Orde Baru, tetapi juga scbagai wahana bagi proses demokratisasi dalam jangka panjang lewat penguatan civil society di masa depan. Untuk keperluan itu, perspektif struktural-historis akan digunakan untuk melengkapi kajian-kajian yang ada, yang umumnya melihat dinamika NU dari sisi institusional dan kultural semata.6 Oleh karena itu, fenomen politik NU terutama akan dilihat dalam kaitan struktural yang melibatkan proses-proses formasi sosial, pembentukan negara serta hubungannya dengan masyarakat, dan proses tumbuh dan berkembangnya kapitalisme di Indonesia paska-kolonial, terutama di bawah Orde Baru.7 Penghampiran seperti ini akan memperkaya pemahaman "dari dalam" yang dihasilkan oleh pendekatan institusional dan kultural yang berhasil mencermati dinamika internal organisasi dan self understanding dari para pemimpin dan annggotanya. Dengan memperhatikan dimensi historis-struktural yang berperan scbagai faktor kendala dan sekaligus pendorong bagi gerak NU, maka diharapkan akan didapatkan suatu kajian yang lebih dinamik dan komprehensif.