Sekilas NU Dewasa Ini

Sekilas NU Dewasa Ini

Penegasan NU untuk kembali ke Khittah 1926 sebetulnya bukan hanya bermakna melepaskan diri dari afiliasi politik dengan ketiga partai yang ada di Indonesia. Butir penting sebagai konsekuensi dari political aquidistance ini, ialah mengajak anggota NU untuk menegaskan jati-dirinya sebagai warganegara yang merdeka dan berdaulat penuh di Republik Indonesia. Jatidiri ini lalu menempatkan wargn NU untuk bergumul pula dengan dasar negara. Inilah maksud Deklarasi Hubungan Islam dan Pancasila yang menyalakan, bahwa NU juga hakrnajihan untuk menjaga prmahanran Pancasila yang benar.3

Di permukaan, pergumulan dengan wacana ideologi ini tampak sebagai peran utama yang dimainkan NU selama 10 tahun terakhir termasuk dalam theatricum-symbolicum Rapat Akbar 1 Maret 1992. Douglas Ramage menilai, "strategi Pancasila" Abdurrahaman Wahid merupakan usaha sadar untuk mengambil alih penafsiran atas ideologi negara yang senantiasa dijadikan basis legtimasi kekuasaan Orde Baru. Selama seperempat abad terakhir Pancasila telah sering dipakai sebagai alat untuk menarik garis batas wacana dan tingkah laku politik yang dibolehkan atau dilarang bagi masyarakat.

Padahal, pada dasarnya Pancasila juga mewakili cita-cita yang luhur untuk membangun bangsa: toleransi, penghargaan terhadap perbedaan, keadilan sosial dan ekonomi, serta sistem politik yang demokratis sesuai dengan kultur politik asli Nusantara. Begitulah, lanjut Ramage, Abdurrahman Wahid telah mengajukan himbauan bagi sebuah masyarakat demokratis yang- prasyaratnya mengandalkan Pancasila sebagai penjamin atas terbinanya sebuah civil society demokratis, yang sifatnya non-Islam dan non-militer.4

Untuk aspek sosio-kultural bukan hanya sekolah-sekolah yang didirikan dengan nama Sunan Giri, Sultan Agung (khas gaya NU setelah Pemilu 1971) tak lagi banyak terdengar; sekitar 30% sekolah NU yang sempat memisahkan diri dari partai NU, kembali bergabung dengan Lembaga Pendidikan Ma'arif NU. Dalam tahun Konbes NU di Cilacap (1987) dilaporkan lebih dari 4000 unit sekolah berada di bawah Ma'arif NU.5 Secara umum hubungan dunia pendidikan di NU (termasuk pesantren) dengan pemerintah membaik, sumbangan peralatan dan dana juga dirasakan lebih lancar dibanding waktu-waktu sebelumnya. Namun arus masuk kepentingan negara juga bertambah.6

Dalam dakwah, munculnya mubaligh-mubaligh kondang dari NU dan semaraknya kegiatan dakwah merupakan kenyataan yang dapat lebih mudah dinikmati oleh masyarakat. Orang- orang NU yang menjadi pegawai negeri juga "berani" menampakkan diri kem- bali. Semarak kegiatan sosial-keagamaan NU ini, tentu harus dilihat dalam konteks sikap negara yang makin kondusif terhadap Islam.

NU juga menekankan kegiatan pengembangan masyarakat (community development) melalui pesantren dan pengembangan ekonomi. Peran pesantren dalam pengembangan

masyarakat dapat dirunut kembali sejak pengalaman Kiai Hasyim Asy'ari mendirikan pesantren Tebuireng di dekat pabrik gula Cukir, Jombang. Di lokasi ini sering terjadi perampokan, pejudian, sabung ayam serta pelacuran. Usaha Kiai Hasyim mengembangkan pesantren ternyata berasil membawa masyarakat sekitar untuk keluar dan perilaku buruk tersebut, dan Tebuireng menjadi pesantren panutan di Jawa.7

Belakangan program ini telah dimungkinkan oleh pengalaman pesantren dalam pengembangan masyarakat pada dasawarsa 1970an yang merupakan hasil dari kerjasama Belakangan program ini telah dimungkinkan oleh pengalaman pesantren dalam pengembangan masyarakat pada dasawarsa 1970an yang merupakan hasil dari kerjasama

Friedrich Naumann Stiftuung (FNS), salah satu lembaga dana dari Jerman, kemudian juga terlibat dalam pembentukan P3M (Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat 1983). Bersama kalangan non-NU, tokoh NU yang menjadi pengurus adalah KH Yusuf Hasyim dan KH Sahal Mahfudh. Semua proyek P3M ditempatkan di pesantren dan meliputi peralihan manajemen dan pengorganisasian, pelatihan komunikasi lisan dan tertulis, koperasi, teknologi tepat guna, atau eskperimen pendidikan alternatif. Belakangan, di bawah koordinasi Masdar F, Mas'udi, P3M melakukan fasilitasi halqah yang cukup kontroversial namun mencerahkan dan transformatif.

Secara khusus Munas Situbondo 1983 memang mendukung proyek percontohan dalam bidang pendidikan, koperasi, bantuan hukum dan penyediaan air bersih, Muktamar Situbondo 1984 kemudian menunjuk kerja-kerja sosial, upaya-upaya ekonomi dan perbaikan kondisi buruh sebagai contoh pengembangan masyarakat.9 PBNU lain mendirikan Lakpesdam, dengan kegiatan utama berupa pelatihan manajemen dan kepemimpinan, mendorong usaha peningkatan pendapatan dalam bidang pertanian dan industri rumah tangga, termasuk melalui kelompok-kelompok usaha bersama.10

Dalam Muktamar Krapyak (1989), NU mencanangkan program pengembangan industri pedesaan berskala kecil dan proyek-proyek peningkatan kesejahteraan sosial (seperti rumah- rumah sakit dan panti-panti asuhan),11 Namun kegiatan yang sangat mencolok adalah pendirian Bank Perkreditan Rakyat (BPR) NU, yang menyediakan kredit kecil bagi wirasuwastawan kecil dan petani NU. BPR NU pertama dibuka di Sidoarjo (Maret 1990). Kini, BPR Nusumma berjumlah belasan buah.

Ke manakah NU hendak menuju dengan semua itu, kiranya perlu dijawab dengan lebih dulu menengok kembali ke saat-saat organisasi ini didirikan di kampung Kertopaten, Surabaya, 68 tahun silam, Tilikan diakronik ini diharapkan membantu memberikan perspektif untuk meneropong masa depan NU.