NU, ASAS TUNGGAL PANCASILA DAN KOMITMEN KEBANGSAAN:

NU, ASAS TUNGGAL PANCASILA DAN KOMITMEN KEBANGSAAN:

Refleksi Kiprah NU Paska Khittah 26 Einar M. Sitompul

KOMITMEN kebangsaan bagi suatu organisai khususnya organisasi yang bernafaskan keagamaan semacam NU sudah barang tentu tidak datang dengan sendirinya. Sudah jamak bila suatu organisasi akan mengutamakan atau mengupayakan semaksimal mungkin agar cita-citanya dapat terwujud dan menentukan perkembangan masyarakat. Ia akan menjadi persoalan karena ia berkiprah di dalam masyarakat. Ia akan menjadi persoalan karena ia berkiprah dalam masyarakat yang pluralistik dan menemukan perkembangan masyarakat tidak ditentukan oleh kekuatan sospol Islam melainkan oleh kelompok-kelompok strategis (ABRI, Golkar dan birokrat) yang mendominasi pemerintahan dan yang sangat pengaruh menetapkan perkembangan masyarakat.

Walaupun demikian NU sebagai organisasi keagamaan yang bertumpu pada kiprah ulama sebagai pemimpin umat, tidak dapat berdiam diri dan membiarkan saja perkembangan berjalan sendiri. Disadari bahwa politik bukan satu-satunya jalur untuk mawujudkan aspirasi keagamaan. Jalur politik merupakan pilihan yang mungkin tepat dalam suatu kurun waktu tetapi akan merugikan bila tetap dipertahankan di dalam kurun waktu yang berbeda

Menyadari keberadaannya tidak dapat terlepas dari kiprah berbagai kelompok lainnya di dalam negara Indonesia dan setelah melalui pergumulan panjang yang berat dan rumit, NU ingin menegaskan ulang komitmen kebangsaannya dengan mana ia akan berkiprah dalam proses transformasi sosial kultural yang sedang kita lalui agar dimensi keagamaan masyarakat tidak diabaikan oleh proses pembangunan tetapi akan semakin meresap melalui peran serta NU sebagai organisasi keagamaan. Dengan komitmen kebangsaan berlandaskan Pancasila, NU ingin menjalankan peranan keulamaannnya; tidak lagi untuk ikut-ikutan merebut "kapling politik" melainkan akan peka terhadap aspirasi yang hidup dan terbuka terhadap upaya bersama menegakkan hak asasi, demokrasi dan keadilan.

Dalam tulisan ini saya mencoba menguraikan pergumulan NU setelah menerima asas tunggal Pancasila di dalam Muktamar ke-27 tahun 1984 di Situbondo. Sebagaimana kita ketahui dengan ditetapkannya Pancasila sebagai asas bagi semua organisasi politik dan kemasyarakatan, maka mulailah babak baru pejalanan organisasi politik dan kemasyarakatan. Khusus bagi NU sebagai organisasi keagamaan (jamiyah dinniyyah) penerimaan asas Pancasila bukan sekedar persoalan politis-organisatoris, melainkan persoalan keagamaan yang diselesaikan secara keagamaan juga melalui argumen-argumen keagamaan yang diketengahkan dalam Muktamar Situbondo.

Muktamar Situbondo sebagai tonggak sejarah perjalanan NU adalah pertanda kembali peranan ulama yang selama ini sudah tersudut sejak NU bergabung dengan PPP dan membuktikan ketangguhan organisasi keagamaan tradisional seperti NU, menghadapi perkembangan sosial politik. Sebelum Muktamar itu para ulama terlebih dahulu sudah menegaskan bahwa Pancasila bagi umat Islam adalah wajib hukumnya. Kemudian Muktamar Situbondo yang mengukuhkan keputusan Munas 1993- memutuskan menerima Pancasila berdasarkan pertimbangan keagamaan. Pertama, NU menganut pendirian bahwa Islam adalah agama fitriah (sifat asal atau murni); sepanjang suatu nilai tidak bertentangan dengan keyakinan Islam, ia dapat diarahkan dan dikembangkan agar selaras dengan tujuan-tujuan di dalam Islam. Dalam hal ini ketika Islam diterima oleh masyarakat, ia tidak harus mengganti nilai-nilai yang terdapat di dalam masyarakat tetapi ia akan bersikap menyempurnakan segala kebaikan yang dimiliki masyarakat Islam bukanlah suatu totalitas yang lengkap pada dirinya dan dengan itu harus dijadikan alternatif membangun masyarakat. Karena Pancasila bukanlah agama melainkan hasil pergumulan bangsa Indonesia untuk membangun dirinya, maka ia tidak dicurigai sebagai saingan agama. Sila-sila dari Pancasila tidak bertentangan dengan Islam kecuali kalau diisi dengan tafsiran yang bertentangan dengan Islam. Berangkat dari konsep fitrah, membuat NU bersipak inklusifistik-mengakui nilai-nilai yang baik yang sudah ada di dalam masyarakat untuk mengembangkan Islam. Dan di samping itu juga akan senantiasa bersikap positif-kritis karena NU bertujuan menyempurnakan nilai-nilai itu agar sejalan dengan tuntutan Islam. NU mampu membedakan mana nilai-nilai yang berguna ditanggap dan yang tidak berguna, serta mana yang harus diterima dan yang harus ditolak demi tujuan keagamaan.

Kedua, konsep ketuhanan Pancasila dinilai mencerminkan tauhid menurut pengertian keimanan Islam. Pengertian tentang ketuhanan yang menjadi pokok perdebatan sengit di antara kalangan nasionalis-sekuler dengan nasionalis-muslim sejak sebelum kemerdekaan dan terus bergema sampai beberapa dekade telah diselesaikan dengan tuntas Ketuhanan Yang Maha Esa dinilai sudah membayangkan atau menggambarkan apa yang diinginkan oleh tauhid. Kendati ia tidak identik dengan tauhid tetapi merupakan fitrah bangsa Indonesia untuk dikembangkan lebih lanjut sehingga tercapai tingkat pemahaman yang sesuai dengan Islam dan pada gilirannya dapat dibangun masyarakat yang sejahtera sesuai dengan aspirasi Islam. Berdasarkan sila Ketuhanan itu wawasan keagamaan negara Indonesia sudah dijamin. NU tidak lagi khawatir bahwa negara akan menjadi sekuler. Wawasan keagamaan yang tercermin di dalam sila Ketuhanan sesuai dengan watak NU yang selalu mengutamakan agar perkembangan masyarakat tetap dalam wawasan keagamaan-menjadikan nilai-nilai keagamaan sebagai tolok ukur perkembangan.

Ketiga, dari sudut sejarah bahwa ulama-ulama dengan cara mereka sendiri dan NU sebagai organisasi keagamaan yang berakar kuat di dalam masyarakat, telah turut berjuang merebut kemerdekaan sebagai kewajiban keagamaan. Mendirikan negara sebagai jalan mengupayakan kesejahteraan bagi NU adalah wajib hukumnya. Karena itu kesepakatan mendirikan negara Republik Indonesia beserta semua mekanismenya dan segala yang bertujuan membawa kesejahteraan adalah sah dilihat dari pandangan Islam serta mengikat semua pihak. Negara diperlukan untuk meningkatkan kehidupan manusia yang- berlandaskan nilai-nilai keagamaan. Sepanjang nili-nilai keagamaan mendapat perhatian, maka semua upaya membangun untuk kesejahteraan wajib didukung. Lagi pula karena umat Islam sejak semula turut serta memperjuangkan kemerdekaan dan aktif di dalam kehidupan berbangsa, maka negara Indonesia adalah "upaya final" memperjuangkan bangsa khususnya kaum Muslimin. Kalau negara adalah "upaya final" seluruh bangsa khususnya kaum Muslimin dan bahwa wawasan keagamaan sudah terjamin, maka penerimaan Pancasila sebagai asas adalah sah dan logis. Yang tinggal sekarang bagaimana memberlakukan Islam menurut aqidah (kenyakinan) Ahlussunnah waljamaah di bumi Indo- nesia.l