Pengaruh Reorientasi 1984 terhadap Organisasi secara Keseluruhan

I. Pengaruh Reorientasi 1984 terhadap Organisasi secara Keseluruhan

Pemulihan yang lambat tapi pasti yang mengiringi reorientasi politik 1984 sulit untuk dinilai. Pada tahun 1971, NU memperoleh 10,2 juta suara, atau 18,67% dari keseluruhan pemilih Indonesia. Sejak fusi ke dalam PPP, tidak jalan untuk mengukur kekuatan gerakan tradisional tersebut. NU sendiri tidak memiliki data yang akurat: dengan tepat Idham Chalid mengibaratkan NU dengan pesantren salaf, di mana santri datang dan pergi tanpa pendaftaran. Tim registrasi anggota sekarang ini belum menghasilkan data apapun. Yang menangani tugas ini, Chafidz Usman, memperkirakan, NU memiliki sekitar 40 juta simpatisan. Melihat pada data registrasi anggota yang bisa diperoleh di masing-masing wilayah sekarang ini, menunjukkan bahwa perkiraan ini nampak berlebihan. Wilayah- wilayah tertentu melakukan registrasi dengan baik. Misalnya Jawa Timur, yang merupakan benteng NU, di sana terdaftar 1,2 juta anggota. Kita tidak memiliki data untuk membandingkan dengan jumlah anggota sebelum tahun 1971. Angka tersebut mungkin nampak rendah namun secara angka bisa menyesatkan kita: kita harus membedakan antara anggota aktif dan orang yang secara tidak langsung dihubungkan dengan gerakan tersebut, misalnya melalui ikatan kekeluargaan atau pengikut setia seorang kiai. Para pemimpin NU, yang menyadari ketidakcocokan angka ini, memperkirakan di Jawa Timur NU memiliki simpatisan atau anggota potensial sebanyak 7 juta orang. Tempat lain jauh lebih sedikit. Di Sumatera, di mana NU secara tradisional lemah, hasil registrasi masih sangat memprihatinkan. Sumatera Barat mendata sebanyak 15.000 anggota sementara diperkirakan masih ada lagi sekitar 50.000 simpatisan. Sulawesi Selatan mendata 283.000 anggota untuk perkiraan 5 juta simpatisan. Di Aceh, di mana 20 pesantren merupakan afiliasi NU yang potensial, Pimimpinan Wilayah mengatakan tidak berani lagi untuk mendekati pesantren yang telah bertahan begitu lama dengan sarananya sendiri tanpa bantuan NU.58 Perbedaan antara Aceh dengan Jawa Timur, tempat kelahiran NU, terbukti dan bisa dipahami. Namun data ini terlalu sedikit memberi petunjuk kepada kita tentang bagaimana sebenarnya NU telah dilemahkan dan kemudian pulih kembali.

Satu-satunya perbandingan yang mungkin adalah berdasarkan pada data dari organisasi perempuan NU, muslimat (mungkin organisasi afiliasi NU yang terorganisir paling baik). Organisasi ini telah mendata 1,2 juta anggota di Jawa Timur dan Jawa Tengah sampai tahun 1991, dibandingkan dengan tiga juta anggota yang ia miliki pada tahun 1971. Kendatipun jumlah anggotanya masih rendah dibandingkan dengan periode yang lebih awal, nampak bahwa muslimat dianggap salah satu dari organisasi perempuan yang paling berpengaruh di Indonesia dan dengan demikian diminta berpartisipasi dalam program perawatan anak yang disponsori oleh UNICEF. Organisasi yang menangani pesantren, Robithotu al-Ma'ahid al- Islamiyah (RMI) juga secara perlahan-lahan mengumpulkan kekuatan. Pada pertemuan pesantren nasional awal tahun 1991, 120 pesantren ikut serta, namun sedikit sekali yang berasal dari luar Jawa. Sama sekali tidak ada yang berasal dari Sumatera Barat, Aceh atau Nusa Tenggara Barat. Pada tahun 1987, organisasi masjid, Hai'ah Ta'miril Masajid Indonesia (HTMI) hanya berhasil membentuk dua biro perwakilan di Jawa dan para pimpinannya mengatakan banyak masjid masih takut-takut untuk menampilkan lambang NU di "tempat yang belum pasti ini." Pulihnya cengkeraman NU pada wilayah keagamaan, dengan demikian, sedang terjadi, namun pada ruangan yang beragam tergantung daerahnya.

Konsekuensi yang paling menonjol dari hubungan baru dengan pemerintah ini adalah kembalinya para pegawai negeri, yang dulu pertama kali meninggalkan NU pada tahun 1970- an. Mereka tidak saja menjadi pengikut tetapi juga menjadi kader. Pada tahun 1992, banyak pengurus wilayah yang mayoritas dipegang oleh pegawai negeri. Di Bengkulu, 60% pengurus wilayah adalah pegawai negeri, di Jawa Timur 75%, Sulawesi Selatan 10% dan Sulawesi Tengah 80%. Di Nusa Tenggara Barat, Ketua Umum Tafidziyah adalab asisten I Gubernur. Informasi ini mendapat tepuk tangan meriah dari peserta Munas di Lampung. Kecenderugan yang sama juga tejadi di Muslimat, di mana para aktivis sekarang ini adalah pegawai negeri atau isteri para pegawai negeri. Beberapa orang pegawai negeri berani mengambil langkah untuk masuk NU, yang lainnya secara terbuka menunjukkan afiliasinya dengan NU. "Sekarang, papar seorang Camat kepada kita: "Bapak saya adalah orang NU, saya juga bagian dari NU. Orang-orang datang dan mengatakan dulu mereka termasuk orang kita," kata Buchori Masruri, Ketua Tanfidziyah Jawa Tengah.

Masih lambatnya pemulihan NU disebabkan banyak faktor. Beberapa Kiai tua menyalahkan menyusutnya tekanan sosial yang pada paruh pertama abad kedua puluh, cukup kuat untuk mendorong orang-orang menjadi anggota organisasi tersebut, terutama di Jawa Timur. Seorang muslim harus memiliki kartu anggota NU untuk meyakinkan bahwa dia akan memperoleh manfaat dari do'a tahlil pada waktu penguburan bila waktu itu datang. Lebih- lebih kartu anggota NU di daerah itu sama dengan KTP atau bahkan bisa menggantikan SIM, kata Kiai Syafei Sulaiman. Namun para aktivis muda mengira bahwa citra NU sebagai bagian dari oposisi masih merupakan pandangan utama. Sehingga, seorang utusan dari Jambi berkata: Orang-orang masih menganggap kami bagian dari PPP dan pegawai negeri masih ragu untuk bergabung dengan kami. Pengurus wilayah 25% masih terdiri dari para aktivis PPP. Di Sulawesi Utara, Ketua Cabang menyalahkan "trauma politik" sebagai penyebab kelemahan relatif kepengurusan tersebut. Seorang utusan Ansor dari Jambi menceritakan kepada saya bahwa ketika dia mengenakan jaket hijau Ansor, orang-orang (kadang-kadang pegawai negeri) datang kepadanya dan berbicara dengan nostalgia tentang masa lalunya sebagai pengurus Ansor namun mengatakan mereka masih tetap suka menghindar dari kelompok pemuda.

Mengenai pesantren, lingkungan yang terorganisir dalam RMI, di sini nampak pengaruh Arab Saudi. Beberapa pesantren – tidak semua - yang dibangun oleh para lulusan yang studi di sana mencurigai RMI. Karena semakin bannyak Kiai muda pergi dan belajar di Arab Saudi, persoalan tersebut diharapkan diintensifkan. NU ingin mengorganisir sendiri keberangkatannya dan tetap bersentuhan baik dengan para siswa tersebut. Bagaimanapun pengaruh Arab Saudi tidak selalu merugikan bagi RMI: beberapa kiai muda yang belajar di sana sangat aktif diorganisasi itu. Di samping pengaruh asing, kadang-kadang pesantren salaf mencurigai program-program NU. Di sana, para Kiai -yang menjadi tuan bagi dirinya sendiri di kerajaannya yang kecil- cenderung sedikit terbuka terhadap campur tangan luar.

Semakin membaiknya hubungan dengan pemerintah juga diterjemahkan ke dalam kesediaan yang lebih besar dari para pejabat baik lokal maupun nasional untuk menghadiri acara-acara yang diselenggarakan NU. Pada Kongres Fatayat pada tahun 1986, enam menteri hadir untuk meresmikan acara tersebut. Yang paling penting, izin untuk semua jenis aktivitas menjadi lebih mudah diper oleh. Zainut Tauhid, Ketua IPNU, mengatakan dulu izin untuk pertemuan-pertemuan mereka harus diminta empat minggu sebelumnya, sedangkan sekarang ini satu minggu saja sudah cukup. Hampir di semua propinsi, NU memiliki proyek kerja sama dengan pemerintah. Ia terlibat dalam semua jenis proyek. Di Bengkulu misalnya, Gubernur telah menyediakan 350 hektar untuk perkebunan jahe. Di Kalimantan Selatan, Gubernur telah menjanjikan sumbangan 50 juta rupiah untuk pembangunan masjid di Banjarmasin. Di samping kerja sama dalam persoalan-persoalan ekonomi dan sumbangan untuk tujuan-tujuan keagamaan, kerja sama juga dimulai untuk latihan Banser yang dilakukan oleh ABRI. Kerja sama seperti itu banyak dicari kecuali kalau kekurangan dana, kata militer, akan menghalangi latihan yang lebih banyak lagi. Ansor telah menandatangani kesepakatan kerja sama (memorandum of understanding) dengan FKPPI, forum anak-anak ABRI. Direncanakan akan ada kerjasama antara Ansor dan FKPPI dalam bidang kursus manajemen, perkoperasian, dan festival musik.59 NU juga sudah lebih banyak dijadikan sebagai tempat bertanya tentang soal-soal agama. Sebelum tersebar luas di Jawa Timur, Mathla'ul Anwar, perserikatan pesantren yang disponsori pemerintah, 'minta izin' pada NU.

Di sisi lain penghargaan itu dirasakan juga. Sementara hubungan dengan pemerintah telah membaik secara signifikan, harus dicatat bahwa hubungan tersebut bisa dipertimbangkan kembali kapan pun dan bahwa pemerintah daerah tertentu nampak tetap mengawasi NU dengan ketat. Sehingga pada tahun 1991 di Bali, Pengurus Wilayah baru di sana gagal memperoleh pengakuan pemerintah setempat. Di Sulawesi Utara, Pemda TK I "merekomendasikan" kepada NU untuk menyelenggrakan Konferensi Wilayahnya setelah pemilu 1992. Cabang Kalimantan Barat, yang dekat dengan PPP, gagal memperoleh pembangunan jembatan menuju pesantren di daerah terpencil sebagaimana telah dijanjikan. Sebagai klimaks, baik Bupati maupun Gubernur tidak datang membuka Konferensi Wllayahnya pada tahun 1991.

Pada umumnya, pengurus cabang bersemangat melihat peningkatan hubungan mereka dengan pemerintah. Di Linggarjati dan di Lampung banyak utusan yang meminta Ketua Tanfidziyah untuk datang ke daerah mereka untuk melicinkan hubungan dengan penguasa setempat di Linggarjati, seorang utusan dari Jawa Barat sendiri secara terus terang menyatakan beberapa kebingungan melihat kedekatan hubungan mereka dengan penguasa setempat yang tiba-tiba.