PENGERTIAN RISIKO KETENTUAN UMUM RESIKO

42

BAB III KETENTUAN UMUM RESIKO

A. PENGERTIAN RISIKO

Hidupnya manusia dalam memenuhi kebutuhannya banyak menanggung risiko untuk kelangsungan hidupnya. Memeras keringat, membanting tulang dan kadang kala harus mempertaruhkan nyawanya, demikianlah ditakdirkan oleh Tuhan kepada manusia semenjak Adam dan Eva berbuat dosa. Kata-kata risiko ini dalam hidup manusia bermasyarakat, apalagi zaman sekarang ini boleh dikatakan sudah berurat berakar dan oleh setiap orang selalu mengkaitkan dengan hal yang tidak enak. Dalam penulisan skripsi ini kata “risiko” kami kaitkan dengan risiko dalam perjanjian menurut ilmu hukum. Untuk itu apakah yang dinamakan dengan risiko dalam Hukum Perjanjian ? Risiko adalah kewajiban memikul kerugian yang disebabkan suatu kejadian diluar kesalahan salah satu pihak. 39 Misalnya, barang yang diperjual-belikan, musnah diperjalanan karena kapal laut yang mengangkutnya karam di tengah laut akibat serangan badai. Atau sebuah rumah yang sedang dipersewakan terbakar habis karena “kortsluiting” aliran listrik. Siapakah yang menurut hukum harus menanggung kerugian-kerugian tersebut. Inilah persoalan yang dengan satu istilah hukum disebut persoalan “risiko”. Pihak yang menderita karena barang yang menjadi objek perjanjian 39 Op. Cit. hal 36. Universitas Sumatera Utara 43 ditimpa oleh kejadian yang tak disengaja tersebut dan diwajibkan memikul kerugian itu tanpa adanya keharusan bagi pihak lawannya untuk mengganti kerugian itu, pihak ini dinamakan pihak yang memikul risiko. Persoalan tentang risiko itu berpokok pangkal pada terjadinya suatu peristiwa diluar kesalahan salah satu pihak yang tidak diduganya sejak dari semula. Peristiwa semacam ini dalam hukum perjanjian disebut dengan suatu istilah “keadaan memaksa” atau “overmacht”. Wirjono Prodjodikoro, S.H. memberikan definisi sebagai berikut : Keadaan memaksa adalah, keadaan yang mengakibatkan bahwa suatu hak atau suatu kewajiban dalam suatu perhubungan hukum tidak terlaksana atau tidak dapat dilaksanakan. 40 R.M. Suryodiningrat, S.H. memberikan depinisi sebagai berikut : Keadaan memaksa adalah, peristiwa yang terjadi diluar kesalahan debitor setelah dibuatnya perikatan yang debitor tidak dapat memperhitungkannya terlebih dahulu pada saat dibuatnya perikatan, atau sepatutnya tidak dapat memperhitungkannya, dan yang merintangi pelaksanaan perikatan. 41 Jika kita telaah kedua definisi diatas, sebenarnya kedua definisi tersebut dapat dikatakan mempunyai maksud yang sama. Namun demikian bukan maksud bahwa kedua definisi itu memberikan arti yang sama dari keadaan memaksa itu. Maksud yang sama adalah, karena kedua depinisi tersebut mengatakan, bahwa dengan keadaan memaksa perhubungan hukum atau perjanjian, tidak dapat dilaksanakan atau merintangi pelaksanaan perjanjian. . 40 Wirjono Prodjodikoro, SH. Azas-Azas Hukum Perdata Indonesia, hal 63. 41 R.M.Suryodiningrat, SH. Azas-Azas Hukum Perikatan Penerbit Tarsito Bandung, hal 36 tahun 1979. Universitas Sumatera Utara 44 Kedua definisi tersebut tidak memberikan arti yang sama adalah, disatu pihak definisi yang diberikan Wirjono Prodjodikoro, SH, hanya memberikan apa akibat dari keadaan memaksa, sedangkan apa penyebab keadaan memaksa itu tidak diberikan. Jadi hanya dengan berdasarkan kepada definisi tersebut kita akan bingung, mengapa tidak, karena kita akan hanya menerima jawaban perhubungan hukum tidak dapat dilaksanakan. Disampingnya tidak menyebutkan apa penyebab dari keadaan memaksa itu, juga tidak menyebutkan pihak mana yang tidak dapat melaksanakan perjanjian tersebut dan bagaimana pertanggungjawabannya. Dilain pihak depinisi yang diberikan oleh R.M.Suryodiningrat, SH. Menurut hemat kami lebih baik karena disamping beliau memberikan akibat dari keadaan memaksa juga menyebutkan apa penyebab keadaan memaksa yaitu “peristiwa yang terjadi diluar kesalahan debitor”. Dan dengan menyimpulkan perkataan itu, maka pihak yang tidak dapat melaksanakan perjanjian adalah debitor, walaupun selanjutnya beliau tidak menyebutkan bagaimana pertanggung-jawaban debitor tersebut. Dan untuk lebih sempurnanya depinisi yang diberikan oleh R.M.Suryodiningrat,SH. Akan berikan definisi dari Prof. R.Subekti, SH. Keadaan memaksa adalah suatu kejadian yang tak terduga, tak disengaja, dan tak dapat dipertanggung-jawabkan kepada debitur dan memaksa dalam arti bahwa debitur ini terpaksa tidak dapat menepati janji. 42 Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, soal keadaan memaksa diatur dalam Psal 1244 dan 1245 yang terdapat dalam bagian tentang ganti rugi. Adapun dasar pikiran pembuat undang-undang menempatkan pasal ini dalam 42 Prof. R.Subekti, SH. Loc Cit, hal 53 Universitas Sumatera Utara 45 bagian ganti rugi adalah karena keadaan memaksa adalah suatu alasan untuk dibebaskan dari kewajiban membayar ganti rugi. 43 Pasal 1244 berbunyi sebagai berikut; “ Jika dimungkinkan untuk itu, si debitur harus dihukum mengganti biaya, rugi dan bunga apabila ia tidak membuktikan bahwa hal debitur tidak melaksanakan atau melaksanakan tapi telah melewati waktu yang ditetapkan dalam perjanjian, disebabkan suatu hal yang tak terduga, tak dapatlah dipertanggungjawabkan kepadanya, kesemuanya itu haruslah itikat baik ada padanya” Pasal 1245 berbunyi sebagai berikut ; “Tidaklah biaya, rugi dan bunga harus diganti debitur, apabila karena keadaan memaksa atau karena suatu peristiwa yang tidak disengaja si debitur berhalangan memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau karena hal-hal yang sama telah melakukan perbuatan yang terlarang”. Dari isi kedua pasal tersebut terlihat, bahwa maksudnya mengatur dua hal yang sama, yaitu dibebaskannya si debitur dari kewajibannya mengganti kerugian, karena suatu peristiwa yang dinamakan “keadaan memaksa”. Secara terus terang harus dikatakan bahwa dua pasal itu merupakan suatu “doublure”, dua pasal yang mengatur satu hal yang sama. 44 43 Op. Cit. hal 52. Yang satu tidak memberikan suatu hal yang lebih dari pada yang sudah diberikan oleh yang lainnya. Hanyalah pasal 1245 menyebutkan kejadian yang termaksud itu dengan nama “keadaan memaksa” Jadi keadaan memaksa adalah merupakan suatu alat bagi debitur untuk membebaskan dirinya dari tuntutan kreditur, dengan menunjukkan bahwa tidak 44 Op.Cit. hal 53. Universitas Sumatera Utara 46 terlaksananya apa yang dijanjikan itu disebabkan oleh hal-hal yang sama sekali tidak dapat diduga, dan dimana ia tidak dapat berbuat apa-apa terhadap keadaan atau peristiwa yang timbul diluar dugaan tadi. Sehingga dengan pengajuan keadaan memaksa ini debitur tidak dapat dikatakan lalai atau alpa. Dengan penguraian yang singkat diatas dapatlah ditarik kesimpulan bahwa debitur dapat menghindar dari tuntutan kreditur untuk pemenuhan prestasi karena keadaan memaksa setelahnya perjanjian ditutup dengan mengemukakan : 1. Adanya suatu keadaan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan terhadap debitur. 2. Keadaan mana atau kejadian itu tidak diketahui sebelumnya. 3. Debitur dengan itikat baik hendak melaksanakan kewajibannya, tapi keadaan menghalanginya. 4. Debitur belum lalai untuk menyerahkan barang. Dengan adanya overmacht ini terhentilah perikatan tapi bukan menghilangkan. Perikatan tetap ada hanya tidak dapat dilaksanakan. Sehingga bila dilihat dari pihak si kreditur, kreditur tidak dapat meminta pemenuhan prestasi. Sedangkan bila dilihat dari pihak si debitur risiko dipikul oleh kreditur. Bentuk-bentuk overmacht dapat diakibatkan oleh 3 hal, : Bentuk-bentuk Overmacht 1 Peristiwa 2 Kehilangan 3 Pencurian Universitas Sumatera Utara 47 Agar debitur dapat mengemukakan, overmacht berdasarkan salah satu hal diatas maka harus dipenuhi tiga syarat : 1 Debitur harus membuktikan bahwa ia tidak bersalah 2 Debitur tidak harus menanggung risiko baik berdasarkan undang- undang atau pun perjanjian. 3 Debitur tidak dapat memenuhi kewajibannya secara lain. Overmacht dapat bersifat tetap atau sementara. Overmacht bersifat tetap; Jika prestasinya sama sekali tidak mungkin. Misalnya, barangnya telah musnah. Atapun bila prestasi itu pemenuhannya sesudah overmacht tidak berguna lagi. Contoh : Misalnya, si A memesan kartu undangan untuk keperluan perkawinan adiknya yang bungsu, akan tetapi karena tidak ada bahannya, kartu undangan tadi tidak dibuatkan, sehingga bila kartu undangan itu dibuatkan lagi, prestasinya tidak ada lagi. Overmacht bersifat sementara; Jika kewajiban untuk memenuhi prestasi timbul lagi sesudah keadaan overmacht berlalu. Mengenai overmacht sementara ini menimbulkan kesulitan. Jika sesudah berlalunya atau berhentinya keadaan overmacht harga barang sangat tinggi, sehingga dirasakan oleh debitur sangat tidak adil. Akhirnya timbul masalah, apakah debitur harus berprestasi menurut harga-harga sebelumnya terjadi overmacht, ataukah menurut harga setelah terjadinya overmacht ? Sifat-sifat Overmacht Penyelesaiannya : menganggap bahwa setiap perjanjian dibuat clausula “Rebus Sic Stantibus” artinya bahwa : pihak yang membuat perjanjian harus menganggap Universitas Sumatera Utara 48 bahwa perjanjian itu hanya dimaksudkan oleh mereka selama keadaan-keadaan tidak berubah. Paham ini termasuk paham kuno, menurut paham modern perjanjian tidak lagi menggunakan clausula “Rebus Sic Stantibus”, akan tetapi dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ada pasal yang secara tegas mengatur mengenai pelaksanaan perjanjian itu, yakni pasal 1338 ayat 3 yang berbunyi : “perjanjian- perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”. Yang dimaksudkan pasal ini adalah bahwa pelaksanaan itu harus berjalan dengan mengindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan. Jadi dimaksudkan adalah ukuran-ukuran objektif untuk menilai pelaksanaan tadi. “Pelaksanaan perjanjian harus berjalan diatas rel yang benar” Dalam pasal 1338 ayat 3 Hakim diberikan kekuasaan untuk mengawasi pelaksanaan suatu perjanjian, jangan sampai pelaksanaan itu melanggar kepatutan atau keadilan. Ini berarti bahwa Hakim itu berkuasa untuk menyimpang dari isi perjanjian menurut hurufnya, manakala pelaksanaan menurut huruf bertentangan dengan “itikad baik”. Sehingga adalah bahwa pasal 1338 itu harus kita pandang sebagai suatu tuntutan keadilan. Berbicara mengenai masalah “risiko” didalam perjanjian, maka hal ini berarti menelaah isi Buku III dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Dari berbagai macam bentuk perjanjian di dalam Buku III dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, namun dalam penulisan skripsi ini, penulis tidak akan menelaah kesemuanya, tapi hanya beberapa bentuk diantaranya. Universitas Sumatera Utara 49 Dalam penelaahan risiko di dalam skripsi ini, penulis akan lebih menitik beratkan penelaahan terhadap risiko di dalam perjanjian jual beli, hal mana kami dasarkan karena perjanjian jual beli ini dalam kehidupan sehari-hari paling banyak diadakan. Dengan sedikitnya penguraian diatas, dapatlah kini dipersoalkan bagaimana pengaturan soal risiko ini didalam Hukum Perjanjian dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Mengenai persoalan pengaturan risiko ini, dalam bagian umum dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, kita hanya dapat menemukan satu pasal saja yang sengaja mengatur soal risiko yaitu pasal 1237 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Pasal 1237 berbunyi : “Dalam hal timbulnya suatu perikatan untuk menyerahkan suatu barang tertentu, maka barang itu semenjak terbitnya perikatan adalah menjadi tanggungan si kreditur”. Perkataan “tanggungan” dari bunyi pasal tersebut adalah sama dengan “risiko”. Dengan bunyi pasal diatas maka dapat diketahui dalam hal perikatan untuk menyerahkan sesuatu barang tertentu jika barang itu, sebelumnya diserahkan, musnah karena suatu peristiwa diluar kesalahan salah satu pihak, kerugian ini harus dipikul oleh “kreditur” yaitu pihak yang berhak menerimanya. Suatu “perikatan untuk memberikan sesuatu barang tertentu” adalah suatu perikatan yang timbul dari suatu perjanjian sepihak. 45 45 Op.Cit. hal 56-57. Pembuat undang-undang disini hanya memikirkan pada suatu perjanjian dimana hanya ada suatu kewajiban pada satu pihak, yaitu kewajiban untuk memberikan suatu barang tertentu, dengan Universitas Sumatera Utara 50 tidak memikirkan bahwa pihak yang memikul kewajiban itu juga dapat menjadi pihak yang berhak atau dapat menuntut sesuatu. Dengan lain perkataan, pembuat undang-undang tidak memikirkan pada perjanjian-perjanjian yang bertimbal balik, dimana pihak yang wajib melakukan sesuatu prestasi juga berhak menuntut suatu kontraprestasi; dia hanya memikirkan pada suatu perikatan secara abstrak, dimana ada suatu pihak yang wajib melakukan suatu prestasi dan di satu pihak lain yang berhak atas prestasi tersebut. Bagaimanapun pasal 1237 itu hanya dapat dipakai untuk perjanjian yang sepihak, seperti : perjanjian penghibaan dan perjanjian pinjam pakai. Ia tidak dapat dipakai untuk perjanjian – perjanjian bertimbal balik. Memang kalau demikian halnya, berarti tiada mungkin kita pakai pasal 1237 ini untuk perjanjian bertimbal balik. Oleh karena itu bagaimana dan dimana dapat kita temukan pasal pengaturannya ? Dalam bagian khusus kita dapat menemukan beberapa pasal yang mengatur persoalan risiko untuk perjanjian bertimbal balik dan untuk perjanjian sepihak. Antara lain pasal 1460, 1461, 1462, untuk perjanjian jual beli, pasal 1545 untuk perjanjian tukar menukar, pasal 1553 untuk perjanjian sewa menyewa, pasal 1708 untuk perjanjian penitipan barang. B. Perjanjian tukar menukar adalah perjanjian bertimbal balik, hal ini jelas sekali dinyatakan dalam definisi tukar menukar yang diberikan oleh pasal 1541 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi sebagai berikut : Risiko di dalam Perjanjian Tukar Menukar Universitas Sumatera Utara 51 “Tukar menukar adalah suatu perjanjian dimana dua pihak mengikatkan dirinya satu sama lain untuk saling memberikan suatu barang secara bertimbal balik sebagai ganti dari barang yang diterimanya”. Soal Risiko di dalam perjanjian tukar menukar diatur dalam pasal 1545 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, bunyinya sebagai berikut : “dalam hal timbulnya suatu perikatan untuk tukar menukar suatu barang tertentu yang telah disepakati untuk ditukar musnah dengan tidak dikehendaki pemiliknya, perjanjian adalah menjadi gugur dan barang siapa dari kedua belah pihak telah memenuhi prestasinya, dapatlah ia menuntut kembali barang yang telah diberikannya dalam tukar menukar”. Isi pasal 1545 ini tampak suatu pencerminan yang adil dan tepat. Adil dan tepatnya isi pasal tersebut dapat kita lihat dari perkataan “Menjadi gugur dan barang siapa dari kedua belah pihak telah memenuhi prestasinya dapatlah ia menuntut kembali barang yang telah diberikannya.” Dari perkataan ini kita dapat simpulkan bahwa risiko atas musnahnya barang yang telah diperjanjikan untuk ditukar dibebankan kepada pundak masing-masing pemilik barang. Jadi apa yang diberikan oleh pasal 1545 itu adalah tepat. Kiranya tiada seorangpun yang akan menyangkal umpamanya, penulis mempunyai mobil, lantas mobil tersebut musnah karena kebakaran dalam hal ini, tentu penulislah yang akan memikul kerugian atau kejadian itu adalah risiko yang harus penulis pikul dan penulis tidak mungkin mengatakan kerugian atau risiko atas kejadian tersebut dipikul oleh si pihak ketiga X. Lain halnya bila penulis membeli sebuah mobil dengan garantie I tahun, bila rusak “bukan musnah” Universitas Sumatera Utara 52 perbaikannya ditanggung oleh Dealer. Dalam hal ini sudah ada dasarnya, bahwa penulis akan mengalihkan risiko atas rusaknya mobil itu dengan membebankan kepada Dealer akan perbaikannya. Dengan demikian logis dan tepat akan isi pasal 1545 tersebut, sebuah contoh untuk kejelasannya. Misalnya, seorang pemimotor membuat perjanjian tukar menukar dengan seorang pemilik anjing herder, pemilik motor sudah menyerahkan motornya tapi anjing herder itu mati sebelum diserahkan karena suatu kejadian tak disengaja, maka sudah adil kalau ia menerima kembali motornya. Kematian anjing harus dipikul oleh pemiliknya dan tidak boleh ditimpahkan kepada pemilik motor. Kemusnahan mobil penulis tidak boleh ditimpahkan kepada pihak ketiga X. C. Pengaturan soal risiko atas musnah, hilangnya barang yang dipersewakan terdapat dalam pasal 1553 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata sebagaimana disebutkan tadi diatas. Risiko di dalam Perjanjian Sewa-Menyewa Dimana Pasal 1553 tersebut berbunyi sebagai berikut : “Apabila dalam suatu tenggang waktu sewa berjalan, barang yang disewakan musnah sama sekali karena suatu peristiwa yang dengan tidak dikehendaki atau tidak disengaja maka perjanjian gugur demi hukum.” Sebelumnya memberi tanggapan pendapat terhadap apa yang tertuang dalam pasal tersebut , terlebih dahulu kita mengidentikkan perkataan mana yang selaras dengan pengertian “risiko”. Hal ini sebagaimana terlihat dari isinya pasal Universitas Sumatera Utara 53 1553 itu, kita tidak menemukan perkataan “risiko” didalamnya. Dan untuk itu kita akan melihat apa yang dikatakan Prof. R. Subekti sebagai berikut; “Dari perkataan “gugur demi hukum” inilah kita simpulkan, bahwa masing-masing pihak sudah tidak dapat menuntut sesuatu apa dari pihak lawannya, hal mana berarti kerugian akibat musnahnya barang yang dipersewakan dipikul sepenuhnya oleh pihak yang menyewakan. 46 Apa yang telah dikatakan Prof. R. Subekti, SH. Dapat menjadi alat untuk menganalisa isi pasal diatas. Dengan demikian mengandung arti, bahwa risiko atas musnahnya barang yang dipersewakan dalam sewa menyewa ada dipihak yang menyewakan atau dipikul oleh pemilik barang, tapi juga sebaliknya dari pihak penyewa dalam arti bahwa uang sewa yang dibayarkan karena waktu persewaan belum waktunya berakhir, tidak dapat kembali menuntut sisanya. Untuk itu kami berkesimpulan bahwa perkataan “gugur demi hukum” diatas mengandung maksud bahwa dari semula tiadalah diterbitkan perikatan, sehingga pihak-pihak yang tadinya tersangkut di dalam perjanjian kembali kepada keadaan semula sebagaimana halnya sebelum lahirnya perikatan. Dengan akhir kesimpulan diatas, saya berpendapat bahwa, pengaturan soal risiko yang dituangkan dalam pasal 1553 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, memang sesuai dengan rasa keadilan atau dengan kata lain bahwa peraturan itu benar dan patut, oleh karena pada umumnyalah setiap pemilik barang wajib menanggung segala risiko atas barang miliknya dan tidak seorangpun yang bisa 46 Prof. R. Subekti, SH. Loc cit hal 56 Universitas Sumatera Utara 54 mengatakan bahwa ia tidak mau dibebani risiko atas barang miliknya sendiri kecuali ada alas hak lain untuk itu. D. Dalam hubungannya dengan masalah risiko di dalam jual-beli dibedakan atas tiga peraturan. Risiko di dalam Perjanjian Jual Beli 1. Mengenai barang tertentu ---------------pasal 1460 2. Mengenai barang yang dijual menurut berat, jumlah atau ukuran ------- pasal 1461. 3. Mengenai barang yang dijual menurut tumpukan ------pasal 1462. Pasal 1460, pasal pengaturan soal risiko dalam jual beli mengenai barang tertentu, yang berbunyi sebagai berikut ini : “Apabila barang yang dijual merupakan suatu barang yang sudah ditentukan, maka barang itu semenjak perjanjian jual beli ditutup adalah atas tanggungan si pembeli walaupun penyerahan akan barang belum dilakuka n dan berhaklah si penjual menuntut harganya”. Pasal 1461, pasal pengaturan soal risiko dalam jual beli mengenai barang yang dijual menurut berat, jumlah, atau ukuran, yang berbunyi sebagai berikut : “Apabila barang-barang yang dijual merupakan barang yang menurut berat, jumlah, atau ukuran, maka barang-barang itu tetap atas tanggungan si penjual hingga barang-barang ditimbang, dihitung atau diukur”. Pasal 1462, pasal pengaturan soal risiko dalam jual beli mengenai barang- barang yang dijual menurut tumpukan, yang berbunyi sebagai berikut : “Apabila Universitas Sumatera Utara 55 barang-barang yang dijual merupakan barang yang menurut tumpukan, maka barang – barang itu adalah atas tanggungan si pembeli, meskipun belum ditimbang, dihitung atau diukur”. Dari isi ketentuan pasal 1460 kita dapat melihat bahwa, di dalam perjanjian jual beli, akan barang yang dijual barang yang sudah ditentukan adalah atas tanggungan si pembeli walaupun barang belum diserahkan. Artinya risiko terhadap barang-barang tersebut seandainya musnah setelah perjanjian ditutup karena suatu peristiwa yang menimpanya adalah dipikul oleh si pembeli. Apa yang dimaksud dengan “barang tertentu?” Yang dimaksud dengan barang tertentu adalah barang yang pada waktu perjanjian dibuat sudah ada dan ditunjuk oleh si pembeli. 47 Pasal 1461 kita dapat melihat bahwa, di dalam perjanjian jual beli, akan barang yang dijual menurut berat, jumlah atau ukuran adalah atas tanggungan si penjual sebelum dan atas tanggungan si pembeli setelah ditimbang, dihitung atau diukur. Artinya risiko terhadap barang-barang tersebut seandainya musnah setelah perjanjian ditutup tetapi belum ditimbang, dihitung atau diukur adalah dipikul oleh si penjual sebaliknya setelah ditimbang, dihitung atau diukur adalah dipikul oleh si pembeli. Misalnya pembeli itu masuk sebuah toko mebel dan menjatuhkan pilihannya pada sebuah lemari yang disetujui untuk dibelinya. Yang dibeli adalah lemari yang ditunjuk itu bukan lemari lain dan bukannya ia pesan untuk dibuatkan lemari yang seperti itu. 47 Prof. R. Subekti, SH. Op. Cit. hal 37 Universitas Sumatera Utara 56 Pasal 1462 pun kita dapat melihat bahwa, di dalam perjanjian jual beli, akan barang yang dijual menurut tumpukan adalah atas tanggungan si pembeli. Artinya risiko terhadap barang-barang tersebut seandainya musnah setelah perjanjian ditutup karena suatu peristiwa yang menimpanya adalah dipikul oleh si pembeli. Setelah kita melihat dan mengetahui pengaturan-pengaturan soal risiko di dalam perjanjian jual beli yang terdiri dari tiga pasal tersebut, maka dapatlah kita menarik inti kesimpulan dari persamaan maupun perbedaannya. Dan menurut hemat kami adapun persamaan ketiga pasal tersebut adalah, bahwa dalam perjanjian jual beli, si pembeli adalah pihak yang ditetapkan sebagai pemikul risiko terhadap kejadian-kejadian yang mengakibatkan musnahnya barang yang menjadi objek perjanjian. Sedangkan perbedaannya adalah bahwa, kalau dalam jual beli barang tertentu dan barang menurut tumpukan risiko atas kemusnahan barang tersebut langsung diletakkan pada pundak si pembeli semenjak perjanjian jual beli ditutup sedangkan kalau dalam jual beli barang menurut berat, jumlah atau ukuran risiko baru akan diletakkan di pundak pembeli setelah barang-barang tersebut ditimbang, dihitung atau diukur. Akhir kesimpulan kami adalah bahwa ketiga pasal tersebut satu sama lain adalah sama, sehingga penulis berpendapat bahwa pasal pengaturan soal risiko dalam jual beli yang dituangkan dalam pasal-pasal diatas tidak tepat dan tidak sesuai dengan rasa keadilan, betapa tidak sesuai penulis katakan. Contoh, seorang X membeli sebuah lemari, dalam perjalanan atau seketika perjanjian jual beli Universitas Sumatera Utara 57 ditutup lemari hancur karena suatu peristiwa. Maka menurut pasal tersebut si X atau pembelilah yang menanggung kerugian hancurnya lemari. Dengan melihat contoh ini mungkin hati nurani kita akan mengatakan tidak adil, apalagi kalau kita sendiri umpama si pembeli itu. Maukah kita menerima hal itu ? Secara logika saja penulis rasa tak seorang pun yang akan mau menerima hal itu dengan benak pikiran bahwa itu memang sudah sepantasnya atau seadilnya.

E. Risiko di dalam Perjanjian Pinjam Pakai