PENDAHULUAN Dalam bab ini merupakan pengantar bagi PEMECAHAN DARI MASALAH RISIKO DI DALAM PERJANJIAN,

10 tersebut diterapkan konklusi berupa kesimpulan dan saran yang diharapkan berguna bagi perkembangan hukum di Indonesia.

G. SISTEMATIKA PENULISAN

Untuk mempermuda pembaca dalam memahami isi skripsi ini , disini akan diuraikan secara singkat gambaran isi yang akan dibahas dalam skripsi ini. Untuk itu , maka dalam pembahasan ini dibuat sistematika atau gambaran isi materi skripsi ini Dalam lima 5 bab dan setiap bab akan terbagi dalam sub bab dengan uraian sebagai berikut:

BAB I : PENDAHULUAN Dalam bab ini merupakan pengantar bagi

pembaca untuk memberikan gambaran awal dari penulisam skripsi ini sehingga perlu adanya penegasan dan pengertian judul, alasan pemilihan judul, permasalahan, tujuan pembahasan, metode pengumpulan data dan gambaran isi serta keseluruhan dari skripsi ini . BAB II : TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN Dalam bab ini penulis menguraikan gambaran umum tentang perjanjian yang di mulai dengan definisi perjanjian,bagian-bagian perjanjian, jenis-jenis perjanjian, sistem atau syarat dan azas perjanjian. BAB III : KETENTUAN-KETENTUAN UMUM MENGENAI RISIKO dalam bab ini penulis menguraikan gambaran mengenai pengertian risiko,risiko dalam perjanjian sewa menyewa, jual beli, pinjam pakai, pinjam meminjam, serta masalah yang timbul Universitas Sumatera Utara 11 akibat pengaturan risiko yang keliru dan tidak adanya pengaturan mengenai risiko tersebut. BAB IV : PEMECAHAN DARI MASALAH RISIKO DI DALAM PERJANJIAN, KHUSUSNYA RISIKO DI DALAM PERJANJIAN JUAL – BELI dalam bab ini, penulis akan menguraikan pokok dari permasalahan yakni analisa mengenai resiko dalam perjanjian khususnya resiko dalam perjanjian jual beli benda bergerak di Badan Usaha Toyota Auto 2000, berdasarkan KUHPerdata, yang terdiri atas latar belakang perjanjian pengikatan, ketentuan-ketentuan dan syarat dalam perjanjian pengikatan jual beli, serta resiko yang timbul dalam perjanjian jual beli benda bergerak. BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN dalam bab terakhir ini, penulis akan menguraikan segala kesimpulan dan memberi saran yang diperoleh berdasarkan bab-bab sebelumnya yang diharapkan dapat bermanfaat dan berguna untuk perkembangan ilmu hukum Universitas Sumatera Utara 12

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN

A. PERJANJIAN SECARA UMUM A.1 PENGERTIAN PERJANJIAN Sebelum kita membicarakan tentang pengertian perjanjian menurut ilmu hukum, ada baiknya lebih dahulu bila kita mengetahui dimana perjanjian itu diatur di dalam sistimatika Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang terdiri dari 1993 pasal dibagi atas IV Buku, yang susunannya adalah sebagai berikut : 1. Buku kesatu berjudul : “Tentang Orang”Van Personen” 2. Buku kedua berjudul : “Tentang Benda”Van Zaken” 3. Buku ketiga berjudul : “Tentang Perikatan”’’Van Verbintenissen” 4. Buku keempat berjudul : “Tentang Pembuktian” dan “Daluarsa””Van Bewijsen Verjaring” Buku ketiga diatas berjudul ‘Tentang Perikatan””Van Verbintenissen”. Menurut pasal 1233 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Perikatan dapat terjadi karena : - Undang-Undang - Perjanjian Di atas telah kita mengetahui dimana diaturnya perjanjian itu dalam sistimatika Kitab Undang-Undang Hukum Perdata untuk itu apakah yang dinamakan “perjanjian” itu? Universitas Sumatera Utara 13 Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata berbunyi : “Suatu Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”. Apabila kita secara seksama menganalisa perumusan pasal 1313 tersebut diatas ternyata rumusan tersebut kurang sempurna atau tidak lengkap. Sehingga pengertiannya disatu pihak bisa luas dan dilain pihak bisa sempit. Dikatakan bisa luas : Dari perumusan dari pasal 1313 diatas hanya menyebutkan “perbuatan” saja. Tentu dalam benak pikiran kita akan timbul pertanyaan, apakah ini maksudnya hanya perbuatan hukum saja atau meliputi semua perbuatan baik yang sudah dijanjikan terlebih dahulu maupun tidak perbuatan yang menimbulkan akibat hukum tanpa dimaksudkan. Misalnya, A dengan mengenderai motor menabrak B yang menimbulkan akibat hukum tanpa dimaksudkan, ialah B akan menuntut ganti rugi kepada A berdasarkan perbuatan melanggar hukum di muka Pengadilan, pada hal tidak ada persetujuan antara A dan B terlebih dahulu. Dikatakan sempit : Karena definisi pasal 1313 hanya mengenai persetujuan sepihak, sepihak sajalah yang berprestasi sedangkan pihak lainnya tidak berprestasi. Prof. Dr. R. Wirjono Projodikoro S.H mendefinisikan : Perjanjian adalah suatu perhubungan hukum mengenai harta kekayaan antara dua pihak, dalam Universitas Sumatera Utara 14 mana satu pihak berjanji untuk melakukan suatu hal, sedangkan pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu. 7 Prof. R. Surbekti S.H. mendepinisikan : Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada orang lain atua dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. 8 Dengan berpedoman kepada kedua depinisi sarjana di atas, maka dari itu perkataan “perbuatan” dalam pasal 1313, harus ditambah dengan perkataan “hukum”. Mengganti perkataan “satu” dengan perkataan “dua”. Kemudian menambahkan perkataan “saling” didepan perkataan “mengikatkan dirinya”, selanjutnya perkataan “terhadap satu orang lain atau lebih” dihilangkan dan diganti dengan perkataan”untuk melaksanakan sesuatu hal” ……….. Dengan demikian pasal 1313 akan berbunyi sebagai berikut ; Perjanjian adalah suatu perbuatan hukum dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan dirinya untuk melaksanakan sesuatu hal. Dari depinisi diatas jelaslah bagi kita bahwa perjanjian itu adalah suatu perbuatan hukum yang mengikat para pihak agar supaya mereka melaksanakan penyerahan sesuatu barang, untuk berbuat sesuatu dan untuk tidak berbuat sesuatu. Dengan demikian perjanjian itu adalah merupakan tali pengikat bagi para pihak-pihak untuk mana mereka dituntut memenuhi apa yang telah mereka sepakati. Adanya suatu perjanjian adalah karena suatu perbuatan hukum, perbuatan hukum mana menimbulkan perhubungan antara dua orang atau lebih, 7 Prof. Dr. R. Wirjono Prodjodikoro S.H. Hukum Perdata tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu Cet Ke VII Penerbit “Sumur-Bandung” Hal 17, tahun 1981. 8 R. Surbekti S.H. Hukum Perjanjian Cet Ke V Hal I. Universitas Sumatera Utara 15 perhubungan ini dinamakan “perikatan”. Jadi perjanjian menerbitkan suatu perikatan antara orang-orang yang membuatnya. Dengan demikian maka hubungan antara perjanjian dengan perikatan adalah, bahwa perjanjian menerbitkan perikatan Perjanjian adalah sumber perikatan disamping sumber-sumber lainnya. Perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji- janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis. Jadi perjanjian itu suatu hal yang kongkrit atau “peristiwa” karena kita dapat melihat atau membaca suatu perjanjian ataupun mendengarkan perkataan-perkataannya. Lain halnya dengan perikatan adalah suatu pengertian abstrak, kita tidak dapat “melihat” dengan mata kepala kita suatu “perikatan”, kita hanya dapat membayangkan dalam alam pikiran kita. 9 Perjanjian terjadi dari tiga bagian, yaitu : Bagian-bagian Perjanjian a. ESSENTIALIA, misalnya ; harga dan barang adalah essentialia dari perjanjian jual beli b. NATURALIA, misalnya ; jaminan kenikmatan tenteram dan aman serta tidak adanya cacad-cacad tersembunyi dari penjual ke pada pembeli dalam perjanjian jual beli. c. AKSIDENTALIA ialah ; bagian-bagian yang ditambah kepada perjanjian oleh para pihak yang tidak diatur oleh undang-undang, misalnya ; dalam perjanjian 9 Prof. R. Surbekti S.H. Hukum Perjanjian, Edisi ke V. Penerbit – 1 Alumni Bandung, Hal 1-2 tahun 1978. Universitas Sumatera Utara 16 jual beli rumah kedua belah pihak menetapkan bahwa tidak turut dijual- belikan wastafel yang melekat pada rumah. a. Perjanjian dengan cuma-cuma dan perjanjian dengan beban Jenis-Jenis Perjanjian Perjanjian dengan cuma-cuma ialah perjanjian dimana satu pihak memberi keuntungan kepada pihak lainnya tanpa menerima kontra prestasi. Pasal 1314 ayat 2. Misalnya, hibah. Perjanjian dengan beban ialah perjanjian yang mewajibkan pihak masing-masing untuk memberikan sesuatu atau tak berbuat sesuatu. Pasal 1314 ayat 3. b. Perjanjian Sepihak Dan Perjanjian Timbal Balik Perjanjian sepihak ialah perjanjian yang hanya memberi kewajiban kepada pihak yang satu dan hak kepada pihak yang lain. Misalnya, perjanjian. Perjanjian timbal balik ialah perjanjian yang memberi kewajiban dan hak kepada kedua belah pihak. Misalnya, perjanjian jual-beli, sewa-menyewa. c. Perjanjian Formil Dan Perjanjian Riil Perjanjian formil ialah perjanjian yang dianggap sah apabila diadakan dengan tertulis. Misalnya, perjanjian perdamaian, perjanjian penghibaan barang tak bergerak. Perjanjian riil ialah perjanjian yang dianggap sah apabila barang yang menjadi objek perjanjian telah diserahkan. Misalnya, perjanjian penitipan barang. Hukum Perjanjian menganut sistim terbuka dan azas konsensualitas. A.2. Sistim, Asas-Asas dan Syarat-Syarat Perjanjian Universitas Sumatera Utara 17 Sistim terbuka mengandung azas kebebasan membuat perjanjian, lain dengan sistim tertutup yang mengandung sifat memaksa dari peraturan- peraturannya, sebagaimana halnya dengan Hukum Benda, yang macam- macamnya hak atas benda itu adalah terbatas dan peraturan-peraturan yang mengenai hak-hak atas benda itu bersifat memaksa. Sistim terbuka dari Hukum Perjanjian, memberikan kebebasan seluas- luasnya kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian yang berisi dan bermacam apa saja asal tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan. Pasal-pasal dari Hukum Perjanjian merupakan yang dinamakan “Hukum pelengkap” “optional law” Bah. Inggris yang berarti pasal-pasal itu boleh disingkirkan manakala dikehendaki oleh pihak-pihak yang membuatnya, mereka diperbolehkan membuat ketentuan-ketentuan sendiri yang menyimpang dari pasal-pasal Hukum Perjanjian. 10 Kalau mereka tidak mengatur sendiri sesuatu soal, maka diartikan bahwa mereka mengenai soal itu akan tunduk kepada undang-undang. 11 Memang biasanya orang mengadakan suatu perjanjian tidak mengatur secara terperinci semua persoalan yang bersangkutan dengan perjanjian itu dan biasanya hanya menyetujui hal-hal yang pokok saja. Misalnya kalau kita mengadakan perjanjian jual beli, cukuplah apabila kita sudah setuju tentang harga dan barangnya. Tentang dimana barang harus diserahkan, siapa yang harus memikul biaya penghantaran barang, tentang bagaimana kalau barnag musnah dalan perjalanan, soal-soal itu lazimnya tidak dipikirkan dan tidak diperjanjikan. 10 Op. Cit 13 11 Ibid Universitas Sumatera Utara 18 Dan apabila timbul perselisihan maka menyerah saja kepada hukum dan undang- undang. Sistim terbuka yang dianut Hukum Perjanjian kita simpulkan dari pasal 1338 ayat I yang berbunyi ; “Semua perjanjian yang diadakan secara sah, berlaku bagi mereka yang mengadakannya sama seperti undang-undang” Dari rumusan pasal diatas kita dapat mengetahui makna isi pasal itu adalah, merupakan suatu pernyataan kepada khalayak ramai bahwa kita diberikan kebebasan seluas-luasnya untuk mengadakan perjanjian yang berupa dan berisi apa saja dan perjanjian itu akan mengikat siapa yang membuatnya seperti suatu undang-undang. Hal ini kita dapat melihat dari perkataan “semua” Disamping pengertian – pengertian diatas dari sistim terbuka, juga mengandung suatu pengertian, bahwa perjanjian-perjanjian khusus yang diatur dalam undang-undang hanyalah merupakan perjanjian yang paling terkenal saja dalam masyarakat pada waktu Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dibentuk. 12 12 Op Cit Hal 14 Misalnya, perjanjian “sewa-beli” dalam undang-undang Hukum Perjanjian, kita tidak akan menemukannya, tetapi dalam praktek kita sering menemukan dan mendengarkannya, yang merupakan suatu campuran antara jual-beli dengan sewa-menyewa. Universitas Sumatera Utara 19 Asas-asas dalam suatu perjanjian Dalam suatu perjanjian terdapat beberapa asas yang berlaku, antara lain 13 1. Azas Kebebasan Berkontrak : Azas kebebasan berkontrak adalah salah satu azas yang sangat penting di dalam hukum perjanjian. Kebebasan ini adalah perwujudan dari kehendak bebas, pancaran hak azasi manusia. Azas kebebasan berkontrak ini didasari oleh pasal 1338 KUH perdata, yakni suatu perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. 2. Azas Konsensualisme Azas ini dapat ditemukan dalam pasal 1320 dan pasal 1338 14 3. Azas Kepercayaan KUH perdata. Dalam pasal 1320 KUH Perdata, desebutkan secara tegas bahwa adanya kesepakatan para pihak merupakan syarat sahnya perjanjian dan pada pasal 1338, disebutkan “semua perjanjian”. Kata-kata dalam pasal 1338 dan 1320 ini menunjukkan bahwa setiap orang diberikan kesempatan untuk menyatakan keinginannya yang dirasanya baik untuk menciptakan perjanjian. Azas ini sangat erat hubungannya dengan azas kebebasan mengadakan perjanjian. Seseorang yang mengadakan perjanjian dengan pihak lain, menumbuhkan kepercayaan di antara kedua belah pihak itubahwa satu sama lain akan memegang janjinya, dengan kata lain akan memenuhi prestasinya di kemudian 13 Prof.Miriam Darus Badrulzaman.2001.Kompilasi Hukum Perikatan Citra Aditya Bakti,Bandung. Hlm 83 14 Pasal 1338 KUH perdata : semua perjanjian yang dibuat sah berlaku bagi undang-undang bagi mereka yang membuatnya Universitas Sumatera Utara 20 hari. Tanpa kepercayaan, maka perjanjian tidak mungkin diadakan oleh para pihak. 4. Asas Kekuatan Mengikat Di dalam perjanjian terkandung suatu asas kekuatan mengikat. Terikatnya perjanjian itu tidak semata-mata terbatas pada apa yang diperjanjikan tetapi juga terhadap beberapa unsure lain sepanjang dikehendaki oleh kebiasaan dan kepatutan secara moral. Demikian sehingga asas-asas, moral, kebiasaan dan kepatutan mengikat para pihak yang mengadakan perjanjian. 5. Asas Persamaan Hukum Asas ini menempatkan para pihak di dalam persamaan derajat, tidak ada perbedaan, walaupun ada perbedaan kekayaan, jabatan, bangsa, dan lain-lain. Masing-masing para pihak wajib melihat adanya persamaan ini dan mengharuskan kedua belah pihak untuk menghormati satu sama lain sebagai ciptaan Tuhan. 6. Asas Keseimbangan Asas ini menghendaki kedua belah pihak memenuhi dan melaksanakan perjanjian yang diadakan. Asas keseimbangan ini merupakan kelanjutan dari asas persamaan. Kreditur memiliki kekuatan untuk menuntut prestasi dan jika diperlukan dapat menuntut pelunasan prestasi melalui kekayaan debitur, namun kreditur juga memikul beban untuk melaksanakan perjanjian itu dengan itikad baik. Dapat dilihat disini bahwa kedudukan kreditur yang kuat diimbangi dengan kewajibannya untuk memperhatikan itikad baik sehingga kedudukan kreditur dan debitur seimbang. Universitas Sumatera Utara 21 7. Asas Kepastian Hukum Perjanjian sebagai suatu figure hukum harus mengandung kepastian hukum. Kepastian hukum ini terungkap dari kekuatan mengikat perjanjian itu, yaitu sebagai undang-undang para pihak. 8. Asas Moral Asas ini terlihat dalam perikatan, dimana suatu perbuatan sukarela dari seseorang tidak menimbulkan hak baginya untuk menggugatkontraprestasi dari debitur. Asas ini juga terdapat dalam pasal 1339 KUH Perdata 15 9. Asas Kepatutan . Faktor- faktor yang memberikan motivasi pada yang bersangkutan melakukan perbuatan hukum itu berdasarkan pada kesusilaan atau moral, sebagai panggilan dari hati nuraninya. Asas ini dituangkan dalam pasal 1339 KUH Perdata, asas kepatutan disini berkaitan dengan ketentuan mengenai isi perjanjian, asa ini patut dipertahankan Karena melalui asas ini ukuran tentang hubungan ditentukan juga oleh rasa keadilan dalam masyarakat. Syarat-syarat perjanjian Syarat-syarat untuk sahnya suatu perjanjian,diatur pada pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu “untuk sahnya persetujuan-persetujuan diperlukan 4 syarat yakni : 1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya 15 Pasal 1339 KUH Perdata: suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan., kebiasaan atau oleh undang-undang Universitas Sumatera Utara 22 2. Kecakapan untuk membuat perjanjian 3. Suatu hal tertentu 4. Suatu sebab yang halal Syarat-syarat diatas dapat dikelompokknan menjadi dua bagian yaitu kedua syarat yang pertama dinamakan syarat subjektif, karena kedua syarat tersebut mengenai subjek perjanjian. Sedangkan kedua syarat terakhir disebutkan syarat obektif, karena mengenai objek dari perjanjian. 1. Syarat Subjektif a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya dengan diberlakukan keta sepakat mengadakan perjanjian, maka berarti bahwa kedua belah pihak haruslah mempunyai kebebasan berkehendak. Para pihak tidak mendapat suatu unsure paksaan atau tekanan yang mengakibatkan adanya cacat bagi perwujudan kehendak tersebut. Pengartian sepakat di lukiskan sebagai pernyataan kehendak yang disetujui para pihak. Sedangkan dengan syarat kesepakatan mereka yang mengikatkan diri, dalam KUH Perdata dicantumkan beberapa hal yang merupakan faktor yang dapat menimbulkan cacatpada kesepakatan tersebut. Yaitu kehilafan, pakasaan dan penipuan. b. cakap untuk membuat suatu perikatan pasal 1329 : Tiap orang berwenang untuk membuat perikatan, kecuali jika ia dinyatakan tidak cakap untuk hal itu. Universitas Sumatera Utara 23 subjek hukum yang tidak cakap hukum pasal 1330 : b.1 Orang-orang yang belum dewasa Orang yg telah dianggap dewasa oleh hukum, atau berumur 18 tahun berdasarkan hukum perkawinan ini yg berlaku dalam hukum perdata atau dalam KUHPerdata berumur 21 tahun. b.2 Dibawah pengampuan b.3 Orang-orang perempuan, dalam hal ini ditetapkan oleh undang-undang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang, membuat persetujuan-persetujuan tertentu. Mengenai sub 3 pasal 1330 KUH Perdata ini tidak berlaku lagi sejak tahun 1963 dengan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 31963 mengatakan kedudukan wanita yang telah memiliki suami diangkat ke derajat yang sama dengan pria, untuk mengadakan perbuatan hukum dan menghadap di depan pengadilan, ia tidak memerlukan bantuan dari suaminya.

2. Syarat Objektif

a. Syarat tentang barang suatu perjanjian haruslah memiliki objek tertentu, sekurang-kurangnya dapat ditentukan bahwa objek tertentu itu dapat berupa benda yang sekarang ada dan nanti aka nada secara ringkas, ketentuan mengenai barang yang menjadi objek perjanjian adalah sebagai berikut : 1 Barang itu adalah barang yang dapat diperdagangkan Universitas Sumatera Utara 24 2 Barang- barang yang di pergunakan untuk kepentingan umum antara lain seperti pelabuhan, gedung-gedung umum, jalan raya dan sebagainya tidaklah dapat di jadikan objek perjanjian 3 Dapat di tentukan jenisnya. pasal 1333 16 4 Barang yang akan datang atau barang yang aka nada. pasal 1334 KUH Perdata 17 KUH Perdata b. Syarat tentang suatu sebab yang halal berdasarkan pasal 1335 samapai dengan pasal 1337 KUH Perdata menentukan bahwa setiap perjanjian yang dibuat tanpa sebab, dengan sebab palsu atau larangan serta bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan adalah tidak sah, dan tidak memiliki kekuatan hukum. A.3 SUBJEK DAN OBJEK PERJANJIAN a. Subjek Perjanjian Yang dimaksud dengan subjek perjanjian adalah pihak-pihak yang teikat dengan diadakannya suatu perjanjian. KUH Perdata membedakan 3 golongan yang tersangkut pada perjanjian yaitu : 16 Pasal 1333 KUH Perdata : dinyatakan secara tegas “Suatu persetujuan harus mempunyai pokok berupa suatu barang yang sekurang-kurangnya ditentukan jenisnya. Jumlah barang itu tidak perlu pasti, asal saja jumlah itu kemudian dapat ditentukan atau dihitung.” 17 Pasal 1334 KUH Perdata : jelas dinyatakan “Barang yang baru ada pada waktu yang akan datang, dapat menjadi pokok suatu persetujuan. Akan tetapi seseorang tidak diperkenankan untuk melepaskan suatu warisan yang belum terbuka, ataupun untuk menentukan suatu syarat dalam perjanjian mengenai warisan itu, sekalipun dengan persetujuan orang yang akan meninggalkan warisan yang menjadi pokok persetujuan itu………………” Universitas Sumatera Utara 25 1. Para pihak yang mengadaka perjanjian itu sendiri 2. Para ahli waris mereka dan mereka yang mendapatkan hak dari padanya.

3. Pihak ketiga

b. Objek Perjanjian

Objek perjanjian yang merupakan tujuan dari perjanjian yaitu adanya hak dan kewajiban dari setiap pihak-pihak biasanya disebut prestasi, yang berupa: 1. Memberikan sesuatu 2. Berbuat sesuatu 3. Tidak berbuat sesuatu Agar objek perjanjian itu sah, maka harus memenuhi syarat-syarat antara lain 18 1. Lahir dari perjanjian maupun undang-undang : 2. Prestasinya harus tertentu dan dapat ditentukan 3. Dapat dilaksanakan 4. Diperbolehkan, dalam arti tidak bertentangan denga undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan. A.4. Bentuk-Bentuk Perjanjian Pada umumnya perjanjian tidak terikat kepada suau bentuk tertentu, perjanjian dapat dibuat secara lisan dan atau lisan, apabila dibuat secara tulisan, apabila dibuat secara tulisan maka bersifat sebagai alat bukti apabila terjadi perselisihan dan juga menjadi syarat untuk adanya perjanjian itu, kerena beberapa perjanjian tertentu, undang-undang mnentukan suatu bentuk tertentu dimana apabila bentuk itu tidak dituruti maka perjanjian tidak sah, misalnya perjanjian 18 Wan Sadjaruddin Baros.1992. Beberapa Sendi Hukum Perikatan USU Press, medan. Universitas Sumatera Utara 26 mendirikan perseroan terbatas harus dengan akta notaris pasal 38 Kitab Undang0Undang Hukum Dagang Perjanjian dapat dibedakan menurut berbagai cara, perbedaan tersebut adalah sebagai berikut 1. Perjanjian timbal balik Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban pokok ke dua belah pihak. Misalnya perjanjian jual beli 2. Perjanjian Cuma-Cuma Perjanjian dengan Cuma-Cuma adalah perjanian yang memberikan keuntungan bagi salah satu pihak 3. Perjanajian atas beban Perjanjian atas beban adalah perjanjian dimana terhadapprestasi dari pihak yang satu selalu terdapat kontrak prestasi dari pihak lain dan antara kedua prestasi itu ada hubungan menurut hukum 4. Perjanjian bernamaperjanjian khusus Perjanjian khusus adalah perjanjiann yang mempunyai nama sendiri. Maksudnya adalah bahwa perjanjian-perjanjian tersebut diatur dan diberi nama oleh pembentukl undang-undang, berdasarkan tipe yang paling banyak terjadi sehari-hari 5. Perjanjian tidak bernama Di luar perjanjian bernama, ada juga perjanjian tidak bernama, yaitu perjanjian-perjanjian yang diatur dalam KUHPerdata, tetapi terdapat dalam masyarakat. Namun tetap tunduk peda peraturan umum yang Universitas Sumatera Utara 27 terdapat dalam KUHPerdata sesuai dengan pasal 1319 KUHPerdata yang menyatakan : “semua perjanjian baik yang memiliki nama khusus maupun yang tidak terkenal dengan nama tertentu, tunduk pada peraturan- peraturan umum yang termuat dalam bab lainnya.” Jumlah perjanjian ini tidak terbatas dengan nama yang disesuaikan dengan kebutuhan pihak- pihak yang mengadakannya, seperti perjanjian kerjasama, perjanjian pemasaran, perjanjian pengelolahan. Dasar hukum dari adanya perjanjian. 6. Perjanjian obligator Perjanjian obligator adalah perjanjian dimana pihak-pihak sepakat mengikatkan diri untuk melakukan penyerahan suatu benda kepada pihak lain. Menurut KUHPerdata perjanjian jual beli saja belum lagi mengakibatkan beralihnya hak milik atas benda tersebut dari penjual kepada pembeli. Fase ini baru merupakan kesepakatan konsesual dan harus diikuti dengan perjanjian penyerahan perjanjian kebendaan. 7. Perjanjian kebendaan Perjanjian kebendaan dengan mana seseorang menyerahkan hak atas sesuatu benda kepada pihak lain, yang membebankan kewajiban oblige pihak itu untuk menyerahkan benda tersebut kepada pihak lain lavering transfer. Penyerahan itu sendiri merupakan perjanjian kebendaan. Dalam hal perjanjian jual beli tetap, maka perjanjian jual belinya disebutkan juga perjanjian jual beli sementara. Untuk perjanjian jual beli benda-benda bergerak maka perjanjian obligator dan perjanjian kebendaannya jatuh bersamaan. Universitas Sumatera Utara 28 8. Perjanjian konsensual Perjanjian konsensual adalah perjanjian dimana diantara kedua belah pihak telah tercapai kesesuaian kehendak untuk mengadakan perikatan. Menurut KUHPerdata perjanjian ini seudah mempunyai kekuatan mengikat pasal 1338 KUHPerdata 9. Perjanjian riil Didalam KUHPerdata ada perjanjian-perjanjian yang hanya berlaku sesudah terjadinya penyerahan barang, misalnya perjanjian penitipan barang pasal 1694 KUHPerdata, pinjam meminjam pasal 1740 KUHPerdata. Perjanjian yang terakhir ini dinamakan perjanjian riil. 10. Perjanjian liberatoir Perjanjian diman apara pihak membebaskan diri kewajiban yang ada, misalnya pembebasan utang pasal 1438 KUHPerdata 19 11. Perjanjian pembuktian Perjanjian dimana para pihak menentukan pembuktian apakah yang berlaku diantara mereka. 12. Perjanjian utung-untungan Perjanjian yang objeknya ditentukan kemudian, misalnya perjanian asuransi pasal 1774 KUHPerdata 13. Perjanjian public Perjanjian public yaitu perjanjian yang sebagian atau seluruhnya dikuasai oleh hukum public, karena salah satu pihak yang bertindak adalah 19 Pasal 1438 KUHPerdata : pembebasab sesuatu utang tidak dipersangkakan, tetapi harus dibuktikan Universitas Sumatera Utara 29 pemerintah, dan pihak lainnya swasta. Diantara keduanya terdapat hubungan atasan dengan bawahan, jadi tidak berada dalam kedudukan yang sama, misalnya perjanjian iaktan dinas. 14. Perjanjian campuran Perjanjian campuran adalah perjanjian yang mengandung berbagai unsure perjanjian, misalnya pemilik hotel yang menyewakan kamar sewa- menyewa tapi juga menyajikan makanan jual beli juga pelayanan. B. Perjanjian Jual Beli B.1 Pengertian Perjanjian Jual Beli Istilah perjanjian jual beli berasal dari terjemahan contract of sale. Perjanjian jual beli diatur dalam pasal 1457 samapi dengan pasal 1540 KUHPerdata jual beli menurut BW adalah suatu perjanjian timabal balik dalam mana piahk yang satu penjual berjanji untuk menyerahkan hak milik atas suatu barang, sedang pihak yang lainnya sipembeli berjanji untuk membayar harga yang terdiri dari atas sejumlah uang sebagai imbalan dari perolehan hak milik tersebut. Terjadinya perjanjian jual beli dan peralihan hak. Unsur-unsur pakok dalam perjanjian jual beli adalah barang dan harga. Dimana pertama-tama antara penjuan dan pembeli harus ada akata sepakat tentang harga dann benda yang menjadi objek jual beli. Sesuai dengan asas “ konsensualisme” yang menjiwai hukum perjanjian BW, perjanjian jual beli itu Universitas Sumatera Utara 30 sudah dilahirkan pada detik tercapainya “sepakat” mengenai barang dan harga. Begitu kedua belah pihak telah setuju dengan barang dan harg, maka lahirlah perjanjian jual beli yang sah. Sifatnya konsensual dari perjanjian jual beli tersebut ditegaskan dalam pasal 1458 yang berbunyi “jual beli dianggap sudah terjadi antara kedua belah pihak seketika setelah mereka mencapai sepakat tentang barang dan harga, meskipun barang ini belum diserahakn maupun harganya belum dibayar.” 20 Namun perlu diperhatikan, bahwa dengan persetujuan ini, sipembeli belumlah menjadi pemilik eigenaar, kerena persetujuan ini hanya bersifat obligator. Untuk menjadi pemilik, harus diadakan penyerahan lavering lebih dulu. Penyerahan inilah yang mengakibatkan terjandinya pemindahan kebendaan. Penyerahan ini bergantung pada jenis bendanya, apakah bergerak, tidak bergerak maupun benda tidak bertubuh. Hal ini ditegaskan dalam ketentuan pasal 1459 KUHPerdata, yakni “hak milik atas barang yang di jual tidaklah berpindah kepada si pembeli selama penyerahannya belum dilakukan menurut pasal 612 21 , 613 22 , dan 616 23 Bagi sipembeli untuk mendapatkan kepastian bahwa ia benar-benar akan menjadi pemilik benda yang bersangkutan maka dapat di berikan semacam uang panjar. Karena dalam pasal 1464 KUHPerdata menegaskan, bahwa dengan panjar ” 20 Prof.RSubekti 1995.Aneka Perjanjian .Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm.2 21 Pasal 612 KUHPerdata : penyerahan kebendaan bergerak, terkecualai yang tidak bertubuh, dilakukan dengan penyerahan yang nyata akan kebendaan itu atau atas naman pemilikk, atau dengan penyerahan kunci-kunci dari bangunan, dalam mana kebendaan itu berada. 22 Pasal 613 KUHPerdata : penyerahan atas nama piutang-piutang dan kebendaan tak bertubuh lainnya, dilakukan dengan jalan membuat akta otentik atau dibawah tangan dengan mana hakl-hak atas kebendaan itu dilimpahkan kepada orang lain. 23 Pasal 616 KUHPerdata :penyerahan atau penunjukan akan kebendaan tidak bergerak dilakukan dengan pengumuman akan akta yang bersangkutan dengan cara seperti yang ditentukan dalam pasal 620 Universitas Sumatera Utara 31 ini, kedua belah pihak tidak dapat membatalkan persetujuan jual beli, baik dengan memberikan uang itu di tangan penjual maupun dengan pengembalian uang itu ketanggan pembeli. Biasanya uang yang diberikan itu diperhitungkan dengan harga pembelian sebelumnya, sehinggan lebih merupakan suatu pemberian perschoot pembayaran. Artinya dari pada penyerahan ini ditegaskan dalam pasam 1475 KUHPredata. 24 Penyerahan adalah pemindahan benda yang dijual kedalam kekuasaan pembeli. Penyerahan ini harus memperhatikan jenis bendanya, apakah benda bergerak atau benda tidak bergerak, karena apabila benda bergerak, penyerahan nyata dan penyerahan juridis adalah satu tindakan, sedangkan untuk benda bergerak, maka perlu diperhatikan pasal 612,613,616 KUHPerdata. Juga disini berlaku ketentuan bahwa jual beli milik orang lain tidak sah. 25 Macam-macam jual beli antara lain: 1. Jual beli dengan percobaan ; diatur dalam pasal 1463 KUHPerdata. Jual beli percobaan berarti pembeli baru akan membeli kepastian jadi tidaknya jual beli, setelah pembeli melakukan percobaan atau mencoba barang yang hendak dibeli 26 2. Jual beli dengan system panjar; diatur dalam pasal 1464 KUHPerdata. Jual beli dengan sistem panjar merupakan suatu jual beli yang dilakukan antara penjual dengan pembeli. Dimana jual beli itu pihak pembelian menyerahkan uang perschootpanjar atas harga barang, sesuai dengan kesepakatan antara dalam jual beli dengan percobaan, dibuat dengan syrat tangguh, dimana jadi atau tidaknya transaksi jual beli berdasarkan hasil percobaan itu 24 Achmad Ichsan.1969.Hukum Perdata IB.jakarta; Pembimbing Masa,Jakarta.hlm 102 25 Ibid 26 M.Yahya Harahap.op.cit.hlm.183 Universitas Sumatera Utara 32 kedua belah pihak. Dalam sistem jual beli ini salah satu pihak tidak dapat meniadakan pembelian itu dengan menyuruh memiliki atau mengembalikan uang panjarnya. 3. Jual beli dengan contoh; dalam hal ini barang yang menjadi objek jual beli sebelum dilakukan perjanjian jual beli. Diberikan contohnya terlebih dahulu. Apabila pembeli telah melihat contoh dan sesuai dengan keinginan pembeli, maka perjanjian jual beli pun dapat dilakukan, apabila pembeli merasa sesuai dengan contoh barang yang dimaksud kalau barang yang diserahkan tidak sesuai dengan contoh maka dapat dituntut pembatalan perjanjjian. 4. Jual beli dengan hak membeli kembali; dalam jual beli ini puhak penjual dapat memperjanjikan pada pihak pembeli bahwa barang yang sudah sijualnya dapat dibelinya kembali dari pembeli itu. Waktu yang diperjanjian untuk membeli kembali barang yang sudah dijual itu tidak boleh lebih dari 5 tahun pasal 1519 KUHperdata. Apabila setelah lampau waktu yang diperjanjikan, penjual tidak membeli kembali, maka perjanjian untuk memeli kembali itu gugur. Dalam jual beli dengan hak membeli kembali, apabial objeknya barang bergerak, maka hak untuk membeli kembali itu hanya ada pada penjualanpertama, sedangkan untuk barang tidak bergerak, hak membeli kembali itu tetap ada walaupun barang itu berada pada pihak lain. 5. Jual beli dengan cicilan angsuran; jual beli cicilan secara umum di atur dalam pasal 1576 samapai denga pasal 1576x KUHPerdata balanda, tetapi tidak dimuat dalam KUHPerdata Indonesia. Dalam jual beli dengan cicilan, hak milik atas barang telah berpindah kepada pembeli ketika barang diserahkan Universitas Sumatera Utara 33 walaupun barang belum lunas dibayar, dimana pelunasan barang dilakukan dengan cara mencicil. Begitu pembeli menerima barang, seketika itu juga ia berhak menjual barang itu, walaupun harga belum lunas. Jual beli dengan cicilan ini biasanya mengunakan uang panjar, yang ditentukan oleh penjual. Sisanya dibayar dengan waktu yang telah ditentukan kedua belah pihak. 27 6. Sewa beli disebut juga dengan huurkoop.dalam hal ini pembayaran dilakukan dengan cara berangsuran, namaun demikian sudah ada penyerahan hanya dalam persetujuan ditegaskan bahwa dengan penyerahan ini hak milik belum berpindah. Hak milik baru berpindah setelah harga di bayar lunas. Karena itu sewa beli merupakan suatu pembelian dengan cara Subjek dan objek jual beli Pada dasarnya semua orang atau badan hukum dapat menjadi subjek hukum dalam perjanjian jual beli, yaitu bertindak sebagai penjual atau pembeli dengan syarat yang bersangkutan telah dewasa dan atautelah menikah. Namun secara yuridis ada beberapa orang yang yang tidak diperkenankan untuk melakukan perjanjian jual beli, sebagaimana dikemukakan sebagai berikut ini 28 a. Jual beli suami istri : Pertimbangan hukum tidak diperkenankan jual beli antara suami istri adalah karena mereka sejak terjadinya perkawinan, maka sejak saat itulah terjadi percampuran harta, yang disebut harta bersama, kecuali ada perjanjian kawin, namun ketentuan ini ada pengecualiaannya, yakni: 27 Wan Sadjaruddin Baros.loc.cit 28 Salim SH.MS, 2003.HUkum Kontrak TEori dan TeknikPenyusunan KontrakSinar Grafika.Jakarta.hlm 50 Universitas Sumatera Utara 34 1. Jika seorang suami atau istri menyerahkan benda-bendakepada istri atau kepada suaminya yang oleh pengadilan dipisahkan apa yang menjadi hak suami dan apa yang menjadi hak istri menurut hukum. 2. Jika penyerahan dilakukan seorang suami atau istrinya, juga dari pengembalian benda-bendasi istri yang telah di jual atau uang yang menjadi kepunyaan istri, jika benda itu dikecualikan dari persatuan. 3. Jika si istri menyerahkan barang-barang kepada suaminya untuk melunasi sejumlah uang yang telah ia janjikan kepada suaminya sebagai harta perkawinan. b. Jual beli oleh para Hakim, Jaksa, Advokat, Juru sita dan Notaris, Para pejabat ini tidak diperkenankan melakukan jual beli hanya terbatas pada benda-benda atau barang dalam sengketa. Apabila hal ini tetap dilakukan, maka jual beli ini dapat dibatalkan, serta dibebankan untuk penggantian biaya, rugi dan bunga. c. Pegawai yang memangku jabatan umum yang dimaksud disini adalah membeli untuk kepentingan sendiri terhadap barang yang di lelang. Objek Jual Beli Yang dapat menjadi objek jual beli dalam jual beli adalah semua benda bergerak dan tidak bergerak, baik menurut tumpukan, berat, ukuran, dan timbangannya, sedangkan yang tidak diperkenankan untuk di perjual belikan adalah 29 29 ibid.hlm 51 : Universitas Sumatera Utara 35 a. Benda atau barang orang lain b. Barang yang tidak dperkenankan oleh undan-undang. Seperti;obat terlarang c. Bertentangan dengan ketertiban, dan d. Kesusilaan yang baik B.3. Kewajiban Para Pihak dalam Perjanjian Jual Beli Kewajiban Penjual Bagi pihak penjual ada dua kewajiban utama yaitu : a. Menyerahkan hak milik atas barang yang diperjual belikan Kewajiban yang menyerahkan hak milik meliputi segala perbuatan yang menurut hukum diperlukan untuk mengelihkan hak milik atas barang yang diperjualbelikan itu dari pihak penjual kepada pembeli. Oleh karena itu KUHPerdata mengenal tiga macam barang, yaitu : barang bergerak, barang tetap dan barang tak bertubuh maka penyerahan hak miliknya juga ada tiga macam yang berlaku untuk masing-masing barang tersebut : a. Penyerahan benda bergerak Penyerahan benda bergerak cukup dengan penyerahan atas barang tersebut, sesuai dengan pasal 612 yang berbunyi sebagai berikut : “penyerahan kebendaan bergerak, terkecuali yang tidak bertubuh dilakukan dengan penyerahan nyta akan kebendaan itu oleh atas nama pemilik, atau dengan penyerahan kunci dari bangunan dalam mana kebendaan ituberada” Universitas Sumatera Utara 36 b. Penyerahan kebendaan tidak bergerak Bagi kebendaan tidak bergerak sebagaimana dimaksud dalam pasal 506 30 dan pasal 508 KUHPerdata, kecuali mengenai hak ats tanah yang telah diatur secara khusus dalam undang-undang pokok agrarian, penyerahan hak miliknya dilakukan dengan membuat suatu akta otentik yang bertujuan untuk mengalihkan hak atas tanah tersebut dan selanjutnya mengumumkan dan mendaftarkan sesuai dengan pasal 620 KUHperdata 31 terhadap kebendaan berupa tanah dan segala sesuatu yang melekat diatasnya, yang di jual bersama-sama dengan tanah tersebut, berlakulah ketentuan yang diatur dalalm UUPA, dimana jual beli dilakukan secara terang dihadapan pejabat pembuat akta tanah, dan tunai, tanpa diperlukan dua peristiwa hukum sebagaimana dimaksud dalam pasal 584 KUHPerdata 32 Dengan demikian jelaslah jika dalam KUHPerdata penyerahan benda tidak bergerak harus dilakukan dengan cara balik nama penyerahan yuridis, namun dengan berlakunya UUPA No.5 Tahun 1960 jo. Peraturan Pemerintahan No.24 Tahun 1997 tentang pendaftaran tanah yang mengantikan PP No. 10 Tahun 1961, maka 30 Pasal 506 KUHPerdata : kebendaan tidak bergerak adalah : 1. Perkarangan dan yang di atasnya 2. Penggilingan, kecuali yang termaksud pasal 510 KUHPerdata 3. Pohon-pohon dan tanaman lading 4. Kayu tebangan selama belum di potong 5. Pipa-pipa dan got-got yang diperuntukkan untuk menyalurkan air ke rumah 31 Gunawan Widjaja, Kartini Muljadi.2003.Seri Hukum Perikatan, JUAL BELI. Hlm 143 32 Ibid.hlm 149 Universitas Sumatera Utara 37 segala hal yang berhubungan dengan jual beli, penyerahan dan pengakutan hak atas tanah serta pendaftarannya diatur didalam dan diselengarakan menurut PP No 24 tahun 1997, sedangkan untuk kapal laut peraturan mengenai hak milik masih diatur dalam Stb.1938-48 c. Penyerahan benda tidak bertubuh Sesuai dengan pasal 613 KUHPerdata penyerahan akan piutang atas nama dan benda tidak bertubuh lainnya dilakukan dengan sebuah akta autentik atauakta dibawah tangan dengan nama hak- hak atas kebendaan itu dilimpahkan kepada orang lain Kewajiban pihak pembeli ialah: a. Membayar harga barang yang dibelinya sesuai dengan janji yang telah dibuat b. Memikul biaya yang timbl dalam jual beli, misalnya ongkos antar baiya akta dan sebagainya kecuali kalau diperjanjikan sebaliknya

b.4 resiko dalam perjanjian jual beli

Dalam perundang-undangan masalah resiko dalam perjanjian jual beli diatur sebagai berikut : a. Benda atau barang yang sudah ditentukan Barang yang sudah ditentukan dijual, maka resiko barang itu saatpembelian menjadi tanggungan si pembeli walaupunbarang itu belum diserahkan pasal 1460 KUHPerdata. Namun, ketentuan ini telah dicabut Universitas Sumatera Utara 38 dengan SEMA No 3 tahun 1963 33 1. Bergantung pada letak dan tempat bendanya itu, dan , sehingga ketentuan ini tidak dapat diterapkan secara tegas, namun penerapannya harus memperhatikan: 2. Bergantung pada yang melakukan kesalahan atas musnahnya barang tersebut 34 b. Benda menurut berat, jumlah, atau ukuran . Barang yang dijual menurut berat, jumlah, atau ukuran tetap menjadi tanggungan si penjual hingga barang itu ditimbang, dihitung, atau diukur. Jadi sejakterjadinya penimbangan, penghitungan dan pengukuran atas barang maka tanggungjawab atas benda tersebut beralih kepada si pembeli pasal 1461 KUHPerdata c. Barang yang di jual secara tumpukan Jika barang yang di jual menurut tumpukan maka sejak terjadinya kesepakatan tentang harga dan barang maka sejak saat itulah barang- barang itu menjadi tanggung jawab si pembeli, walaupun belum ditimbang, dihitung atau di ukur pasal 1462 KUHPerdata Dalam sistem KUHPerdata suatu kontrak hanya bersifat obligator saja, yang berarti bahwa setelah kontrak tersebut dilakukan masih diperlukan tindakan hukum lainnya, yakni penyerahan lavering yang dapat dilakukan setelah kontrak jual beli dilakukan, mestinya resiko baru beralih pada saat seharusnya penyerahan benda tersebut dilakukan, bukan pada saat kontrak jual beli dilakukan. 33 Mahkamah Agung hendak menghindari kesalahan dalam penafsiran atau penerapan pasal 1460 KUHPerdata yang isinya antara lain menganjurkan kepada hakim di pengadilan-pengadilan untyk mengaggap pasal 1460 tersebut tidak berlaku lagi. 34 Salim SG.MS.loc.cit hlm 50 Universitas Sumatera Utara 39 Ketidaktepatan pengaturan resiko dalam pasal 1460 KUHPerdata diatasi dengan dikeluarkannya Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 tahum 1963 35 yang memintakan para ahakim tidak memberlakukan pasal 1460 tersebut 36 Dalam praktiknya, ketentuan umum tentang risiko tidak banyak berperan, karena seperti yang banyak telihat pada prakteknya, masalah risiko telah banyak diatur dalam perjanjian khusus, padahal prinsipnya ketentuan khusus didahulukan terhadap ketentuan umum. Di luar itu, para pihak dalam perjanjian juga bebas untuk mengatur sendiri masalah resiko, menyimpang dari ketentuan undang- undang yang bersifat menambah. Orang boleh memperjanjikan, bahwa kerugian yang timbul sebagai akibat dari kelalaiannya, dan juga kelalaian karyawannya, tidak ditanggung olehnya, tetapi orang tidak dapat melepaskan diri dari tanggung jawab kerugian yang muncul dari kesengajaan, janji-janji dimana kreditur membebaskan diri dari kewajiban menanggung risiko sebagai yang ditentukan dalam hukum yang bersifat menambah, dinamakan klausula exonoratie. Klausula exonoratie banyak terdapat pada perjanjian standar yang isinya dibuat oleh salah satu pihak dan pihak lain ada pilihan untuk menerima atau menolak, klausula exonoratie ini juga mengambil bentuk tanpa mengubah prinsip tanggung jawabnya, hanya karena menetapkan maksimum ganti rugi yang akan dipikul apabila terjadi kerugian 37 35 “dengan tidak berlakunya lagi pasal ini pasal 1460, maka harus ditinjau tiap-tiap keadaan, apakah tidak sepantasnya pertanggung jawaban atau risiko atas musnahnya barang yang telah diperjanjikan dijual tetapi belum diserahkan, harus dibagi antara kedua belah pihak, dan kalau iya, ditentukan sampai mana” . 36 J Satrio SH. 1993. Hukum Perikatan Perikatan pada umumnya. Alumni;Bandung. 37 Ibid.hlm.248 Universitas Sumatera Utara 40 Ketentuan pasal 1481 KUHPerdata menentukan bahwa kebendaan yang dijual harus di serahkan, dalam keadaan seperti pada waktu penjualan dilakukan ketentuan tersebut memberikan arti bahwa keadaan kebendaan pada saat penyerahan dilakukan haruslah sesuai dengan saat kebendaan tersebut dijual. Dengan keadaan yang demikian, berarti dapat dimintakan pertanggungjawaban atas kewajiban penjual untuk memelihara dan merawat kebendaan hingga saat penyerahan. Ini berarti meskipun jual beli telah berlaku secara sahpada saat penjual dan pembeli mencapai kata sepakat mengenai kebendaan yang di jual dan harga pembelian kebendaan, selama kebendaan belum diserahkan, maka segala hasil dan pendapatan yang diperoleh dari kebendaan tersebut masihlah menjadi milik dari penjualdengan demikian tepatlah rumusan pasal 1481 ayat 2 yang menyatakan “sejak waktu itu waktu penyerahan segala hal menjadi kepunyaan pembeli” 38 Berdasarkan pasal 1482 KUHPerdata yang merupakan pelaksanaan dari ketentuan umum yang diatur dalam pasal 1339 KUHPerdata yang berbunyi : “perjanjian-perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, melainkan juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang.” Dengan demikian maka jelaslah bahwa jual beli mengenai suatu objekkebendaan tertentu adalah jual beli yang berhubungan dengan manfaat yang akan ditarik dari kebendaan yang dibeli tersebut. Ini berarti secara objektif, jual beli meliputi segala hal yang melekat pada kebendaan tersebut agar kebendaan 38 Gunawan Widjaja.Op,cit.hlm. 150 Universitas Sumatera Utara 41 tersebut dapat digunakan sebagaimana mestinya sesuai peruntukan kebendaan tersebut dan agar pembeli dapat menikmati penggunaan dan pemanfaatannya secara aman dan tentram dari genggaman pihak manapun juga. B.5 Pembatalan Perjanjian Jual Beli Perjanjian jual beli adalah sebuah persetujuan dan oleh karena itu supaya jual beli itu sah, maka harus memenuhi syarat-syarat yang tercantum oleh undang- undang untuk sahnya suatu perjanjian. Jika syarat-syarat itu tidak dipenuhi maka persetujuan jual beli itu dapat batal demi hukum atau batal karena pembatalan atas permohonan salah satu pihak. Batal demi hukum Pembatalan ini mengakibatkan bahwa perjanjian itu dianggap tidak pernah dilakukan Undang-Undang mencantumkan bahwa suatu perbuatan hukum adalah batal demi hukum, apabila perbuatan itu dilakukan dengan cara melanggar ketentuan dalam undang-undang mengenai cara itu sendiri, juga termaksuk apabila mengancam ketertiban umum atau kesusilaan. Batal karena pembatalan Pembatalan ini memiliki akibat hukum setelah orang yang bersangkutan meminta kepada pengadilan supaya persetujuan itu dibatalkan. Undang-undang menentukan bahwa suatu perbuatan hukum dapat dibatalkan, apabila bertujuan untuk melindungi pihak yang dirugikan, seperti dalam hal terjadinya paksaan, penipuan, kekhilafan, dan orang tidak cakap. Pembatalan dalam perjanjian jual beli, umumnya terjadi apabila tidak terpenuhinya kewajiban salah satu pihak. Universitas Sumatera Utara 42

BAB III KETENTUAN UMUM RESIKO

A. PENGERTIAN RISIKO

Hidupnya manusia dalam memenuhi kebutuhannya banyak menanggung risiko untuk kelangsungan hidupnya. Memeras keringat, membanting tulang dan kadang kala harus mempertaruhkan nyawanya, demikianlah ditakdirkan oleh Tuhan kepada manusia semenjak Adam dan Eva berbuat dosa. Kata-kata risiko ini dalam hidup manusia bermasyarakat, apalagi zaman sekarang ini boleh dikatakan sudah berurat berakar dan oleh setiap orang selalu mengkaitkan dengan hal yang tidak enak. Dalam penulisan skripsi ini kata “risiko” kami kaitkan dengan risiko dalam perjanjian menurut ilmu hukum. Untuk itu apakah yang dinamakan dengan risiko dalam Hukum Perjanjian ? Risiko adalah kewajiban memikul kerugian yang disebabkan suatu kejadian diluar kesalahan salah satu pihak. 39 Misalnya, barang yang diperjual-belikan, musnah diperjalanan karena kapal laut yang mengangkutnya karam di tengah laut akibat serangan badai. Atau sebuah rumah yang sedang dipersewakan terbakar habis karena “kortsluiting” aliran listrik. Siapakah yang menurut hukum harus menanggung kerugian-kerugian tersebut. Inilah persoalan yang dengan satu istilah hukum disebut persoalan “risiko”. Pihak yang menderita karena barang yang menjadi objek perjanjian 39 Op. Cit. hal 36. Universitas Sumatera Utara 43 ditimpa oleh kejadian yang tak disengaja tersebut dan diwajibkan memikul kerugian itu tanpa adanya keharusan bagi pihak lawannya untuk mengganti kerugian itu, pihak ini dinamakan pihak yang memikul risiko. Persoalan tentang risiko itu berpokok pangkal pada terjadinya suatu peristiwa diluar kesalahan salah satu pihak yang tidak diduganya sejak dari semula. Peristiwa semacam ini dalam hukum perjanjian disebut dengan suatu istilah “keadaan memaksa” atau “overmacht”. Wirjono Prodjodikoro, S.H. memberikan definisi sebagai berikut : Keadaan memaksa adalah, keadaan yang mengakibatkan bahwa suatu hak atau suatu kewajiban dalam suatu perhubungan hukum tidak terlaksana atau tidak dapat dilaksanakan. 40 R.M. Suryodiningrat, S.H. memberikan depinisi sebagai berikut : Keadaan memaksa adalah, peristiwa yang terjadi diluar kesalahan debitor setelah dibuatnya perikatan yang debitor tidak dapat memperhitungkannya terlebih dahulu pada saat dibuatnya perikatan, atau sepatutnya tidak dapat memperhitungkannya, dan yang merintangi pelaksanaan perikatan. 41 Jika kita telaah kedua definisi diatas, sebenarnya kedua definisi tersebut dapat dikatakan mempunyai maksud yang sama. Namun demikian bukan maksud bahwa kedua definisi itu memberikan arti yang sama dari keadaan memaksa itu. Maksud yang sama adalah, karena kedua depinisi tersebut mengatakan, bahwa dengan keadaan memaksa perhubungan hukum atau perjanjian, tidak dapat dilaksanakan atau merintangi pelaksanaan perjanjian. . 40 Wirjono Prodjodikoro, SH. Azas-Azas Hukum Perdata Indonesia, hal 63. 41 R.M.Suryodiningrat, SH. Azas-Azas Hukum Perikatan Penerbit Tarsito Bandung, hal 36 tahun 1979. Universitas Sumatera Utara 44 Kedua definisi tersebut tidak memberikan arti yang sama adalah, disatu pihak definisi yang diberikan Wirjono Prodjodikoro, SH, hanya memberikan apa akibat dari keadaan memaksa, sedangkan apa penyebab keadaan memaksa itu tidak diberikan. Jadi hanya dengan berdasarkan kepada definisi tersebut kita akan bingung, mengapa tidak, karena kita akan hanya menerima jawaban perhubungan hukum tidak dapat dilaksanakan. Disampingnya tidak menyebutkan apa penyebab dari keadaan memaksa itu, juga tidak menyebutkan pihak mana yang tidak dapat melaksanakan perjanjian tersebut dan bagaimana pertanggungjawabannya. Dilain pihak depinisi yang diberikan oleh R.M.Suryodiningrat, SH. Menurut hemat kami lebih baik karena disamping beliau memberikan akibat dari keadaan memaksa juga menyebutkan apa penyebab keadaan memaksa yaitu “peristiwa yang terjadi diluar kesalahan debitor”. Dan dengan menyimpulkan perkataan itu, maka pihak yang tidak dapat melaksanakan perjanjian adalah debitor, walaupun selanjutnya beliau tidak menyebutkan bagaimana pertanggung-jawaban debitor tersebut. Dan untuk lebih sempurnanya depinisi yang diberikan oleh R.M.Suryodiningrat,SH. Akan berikan definisi dari Prof. R.Subekti, SH. Keadaan memaksa adalah suatu kejadian yang tak terduga, tak disengaja, dan tak dapat dipertanggung-jawabkan kepada debitur dan memaksa dalam arti bahwa debitur ini terpaksa tidak dapat menepati janji. 42 Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, soal keadaan memaksa diatur dalam Psal 1244 dan 1245 yang terdapat dalam bagian tentang ganti rugi. Adapun dasar pikiran pembuat undang-undang menempatkan pasal ini dalam 42 Prof. R.Subekti, SH. Loc Cit, hal 53 Universitas Sumatera Utara 45 bagian ganti rugi adalah karena keadaan memaksa adalah suatu alasan untuk dibebaskan dari kewajiban membayar ganti rugi. 43 Pasal 1244 berbunyi sebagai berikut; “ Jika dimungkinkan untuk itu, si debitur harus dihukum mengganti biaya, rugi dan bunga apabila ia tidak membuktikan bahwa hal debitur tidak melaksanakan atau melaksanakan tapi telah melewati waktu yang ditetapkan dalam perjanjian, disebabkan suatu hal yang tak terduga, tak dapatlah dipertanggungjawabkan kepadanya, kesemuanya itu haruslah itikat baik ada padanya” Pasal 1245 berbunyi sebagai berikut ; “Tidaklah biaya, rugi dan bunga harus diganti debitur, apabila karena keadaan memaksa atau karena suatu peristiwa yang tidak disengaja si debitur berhalangan memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau karena hal-hal yang sama telah melakukan perbuatan yang terlarang”. Dari isi kedua pasal tersebut terlihat, bahwa maksudnya mengatur dua hal yang sama, yaitu dibebaskannya si debitur dari kewajibannya mengganti kerugian, karena suatu peristiwa yang dinamakan “keadaan memaksa”. Secara terus terang harus dikatakan bahwa dua pasal itu merupakan suatu “doublure”, dua pasal yang mengatur satu hal yang sama. 44 43 Op. Cit. hal 52. Yang satu tidak memberikan suatu hal yang lebih dari pada yang sudah diberikan oleh yang lainnya. Hanyalah pasal 1245 menyebutkan kejadian yang termaksud itu dengan nama “keadaan memaksa” Jadi keadaan memaksa adalah merupakan suatu alat bagi debitur untuk membebaskan dirinya dari tuntutan kreditur, dengan menunjukkan bahwa tidak 44 Op.Cit. hal 53. Universitas Sumatera Utara 46 terlaksananya apa yang dijanjikan itu disebabkan oleh hal-hal yang sama sekali tidak dapat diduga, dan dimana ia tidak dapat berbuat apa-apa terhadap keadaan atau peristiwa yang timbul diluar dugaan tadi. Sehingga dengan pengajuan keadaan memaksa ini debitur tidak dapat dikatakan lalai atau alpa. Dengan penguraian yang singkat diatas dapatlah ditarik kesimpulan bahwa debitur dapat menghindar dari tuntutan kreditur untuk pemenuhan prestasi karena keadaan memaksa setelahnya perjanjian ditutup dengan mengemukakan : 1. Adanya suatu keadaan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan terhadap debitur. 2. Keadaan mana atau kejadian itu tidak diketahui sebelumnya. 3. Debitur dengan itikat baik hendak melaksanakan kewajibannya, tapi keadaan menghalanginya. 4. Debitur belum lalai untuk menyerahkan barang. Dengan adanya overmacht ini terhentilah perikatan tapi bukan menghilangkan. Perikatan tetap ada hanya tidak dapat dilaksanakan. Sehingga bila dilihat dari pihak si kreditur, kreditur tidak dapat meminta pemenuhan prestasi. Sedangkan bila dilihat dari pihak si debitur risiko dipikul oleh kreditur. Bentuk-bentuk overmacht dapat diakibatkan oleh 3 hal, : Bentuk-bentuk Overmacht 1 Peristiwa 2 Kehilangan 3 Pencurian Universitas Sumatera Utara 47 Agar debitur dapat mengemukakan, overmacht berdasarkan salah satu hal diatas maka harus dipenuhi tiga syarat : 1 Debitur harus membuktikan bahwa ia tidak bersalah 2 Debitur tidak harus menanggung risiko baik berdasarkan undang- undang atau pun perjanjian. 3 Debitur tidak dapat memenuhi kewajibannya secara lain. Overmacht dapat bersifat tetap atau sementara. Overmacht bersifat tetap; Jika prestasinya sama sekali tidak mungkin. Misalnya, barangnya telah musnah. Atapun bila prestasi itu pemenuhannya sesudah overmacht tidak berguna lagi. Contoh : Misalnya, si A memesan kartu undangan untuk keperluan perkawinan adiknya yang bungsu, akan tetapi karena tidak ada bahannya, kartu undangan tadi tidak dibuatkan, sehingga bila kartu undangan itu dibuatkan lagi, prestasinya tidak ada lagi. Overmacht bersifat sementara; Jika kewajiban untuk memenuhi prestasi timbul lagi sesudah keadaan overmacht berlalu. Mengenai overmacht sementara ini menimbulkan kesulitan. Jika sesudah berlalunya atau berhentinya keadaan overmacht harga barang sangat tinggi, sehingga dirasakan oleh debitur sangat tidak adil. Akhirnya timbul masalah, apakah debitur harus berprestasi menurut harga-harga sebelumnya terjadi overmacht, ataukah menurut harga setelah terjadinya overmacht ? Sifat-sifat Overmacht Penyelesaiannya : menganggap bahwa setiap perjanjian dibuat clausula “Rebus Sic Stantibus” artinya bahwa : pihak yang membuat perjanjian harus menganggap Universitas Sumatera Utara 48 bahwa perjanjian itu hanya dimaksudkan oleh mereka selama keadaan-keadaan tidak berubah. Paham ini termasuk paham kuno, menurut paham modern perjanjian tidak lagi menggunakan clausula “Rebus Sic Stantibus”, akan tetapi dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ada pasal yang secara tegas mengatur mengenai pelaksanaan perjanjian itu, yakni pasal 1338 ayat 3 yang berbunyi : “perjanjian- perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”. Yang dimaksudkan pasal ini adalah bahwa pelaksanaan itu harus berjalan dengan mengindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan. Jadi dimaksudkan adalah ukuran-ukuran objektif untuk menilai pelaksanaan tadi. “Pelaksanaan perjanjian harus berjalan diatas rel yang benar” Dalam pasal 1338 ayat 3 Hakim diberikan kekuasaan untuk mengawasi pelaksanaan suatu perjanjian, jangan sampai pelaksanaan itu melanggar kepatutan atau keadilan. Ini berarti bahwa Hakim itu berkuasa untuk menyimpang dari isi perjanjian menurut hurufnya, manakala pelaksanaan menurut huruf bertentangan dengan “itikad baik”. Sehingga adalah bahwa pasal 1338 itu harus kita pandang sebagai suatu tuntutan keadilan. Berbicara mengenai masalah “risiko” didalam perjanjian, maka hal ini berarti menelaah isi Buku III dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Dari berbagai macam bentuk perjanjian di dalam Buku III dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, namun dalam penulisan skripsi ini, penulis tidak akan menelaah kesemuanya, tapi hanya beberapa bentuk diantaranya. Universitas Sumatera Utara 49 Dalam penelaahan risiko di dalam skripsi ini, penulis akan lebih menitik beratkan penelaahan terhadap risiko di dalam perjanjian jual beli, hal mana kami dasarkan karena perjanjian jual beli ini dalam kehidupan sehari-hari paling banyak diadakan. Dengan sedikitnya penguraian diatas, dapatlah kini dipersoalkan bagaimana pengaturan soal risiko ini didalam Hukum Perjanjian dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Mengenai persoalan pengaturan risiko ini, dalam bagian umum dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, kita hanya dapat menemukan satu pasal saja yang sengaja mengatur soal risiko yaitu pasal 1237 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Pasal 1237 berbunyi : “Dalam hal timbulnya suatu perikatan untuk menyerahkan suatu barang tertentu, maka barang itu semenjak terbitnya perikatan adalah menjadi tanggungan si kreditur”. Perkataan “tanggungan” dari bunyi pasal tersebut adalah sama dengan “risiko”. Dengan bunyi pasal diatas maka dapat diketahui dalam hal perikatan untuk menyerahkan sesuatu barang tertentu jika barang itu, sebelumnya diserahkan, musnah karena suatu peristiwa diluar kesalahan salah satu pihak, kerugian ini harus dipikul oleh “kreditur” yaitu pihak yang berhak menerimanya. Suatu “perikatan untuk memberikan sesuatu barang tertentu” adalah suatu perikatan yang timbul dari suatu perjanjian sepihak. 45 45 Op.Cit. hal 56-57. Pembuat undang-undang disini hanya memikirkan pada suatu perjanjian dimana hanya ada suatu kewajiban pada satu pihak, yaitu kewajiban untuk memberikan suatu barang tertentu, dengan Universitas Sumatera Utara 50 tidak memikirkan bahwa pihak yang memikul kewajiban itu juga dapat menjadi pihak yang berhak atau dapat menuntut sesuatu. Dengan lain perkataan, pembuat undang-undang tidak memikirkan pada perjanjian-perjanjian yang bertimbal balik, dimana pihak yang wajib melakukan sesuatu prestasi juga berhak menuntut suatu kontraprestasi; dia hanya memikirkan pada suatu perikatan secara abstrak, dimana ada suatu pihak yang wajib melakukan suatu prestasi dan di satu pihak lain yang berhak atas prestasi tersebut. Bagaimanapun pasal 1237 itu hanya dapat dipakai untuk perjanjian yang sepihak, seperti : perjanjian penghibaan dan perjanjian pinjam pakai. Ia tidak dapat dipakai untuk perjanjian – perjanjian bertimbal balik. Memang kalau demikian halnya, berarti tiada mungkin kita pakai pasal 1237 ini untuk perjanjian bertimbal balik. Oleh karena itu bagaimana dan dimana dapat kita temukan pasal pengaturannya ? Dalam bagian khusus kita dapat menemukan beberapa pasal yang mengatur persoalan risiko untuk perjanjian bertimbal balik dan untuk perjanjian sepihak. Antara lain pasal 1460, 1461, 1462, untuk perjanjian jual beli, pasal 1545 untuk perjanjian tukar menukar, pasal 1553 untuk perjanjian sewa menyewa, pasal 1708 untuk perjanjian penitipan barang. B. Perjanjian tukar menukar adalah perjanjian bertimbal balik, hal ini jelas sekali dinyatakan dalam definisi tukar menukar yang diberikan oleh pasal 1541 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi sebagai berikut : Risiko di dalam Perjanjian Tukar Menukar Universitas Sumatera Utara 51 “Tukar menukar adalah suatu perjanjian dimana dua pihak mengikatkan dirinya satu sama lain untuk saling memberikan suatu barang secara bertimbal balik sebagai ganti dari barang yang diterimanya”. Soal Risiko di dalam perjanjian tukar menukar diatur dalam pasal 1545 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, bunyinya sebagai berikut : “dalam hal timbulnya suatu perikatan untuk tukar menukar suatu barang tertentu yang telah disepakati untuk ditukar musnah dengan tidak dikehendaki pemiliknya, perjanjian adalah menjadi gugur dan barang siapa dari kedua belah pihak telah memenuhi prestasinya, dapatlah ia menuntut kembali barang yang telah diberikannya dalam tukar menukar”. Isi pasal 1545 ini tampak suatu pencerminan yang adil dan tepat. Adil dan tepatnya isi pasal tersebut dapat kita lihat dari perkataan “Menjadi gugur dan barang siapa dari kedua belah pihak telah memenuhi prestasinya dapatlah ia menuntut kembali barang yang telah diberikannya.” Dari perkataan ini kita dapat simpulkan bahwa risiko atas musnahnya barang yang telah diperjanjikan untuk ditukar dibebankan kepada pundak masing-masing pemilik barang. Jadi apa yang diberikan oleh pasal 1545 itu adalah tepat. Kiranya tiada seorangpun yang akan menyangkal umpamanya, penulis mempunyai mobil, lantas mobil tersebut musnah karena kebakaran dalam hal ini, tentu penulislah yang akan memikul kerugian atau kejadian itu adalah risiko yang harus penulis pikul dan penulis tidak mungkin mengatakan kerugian atau risiko atas kejadian tersebut dipikul oleh si pihak ketiga X. Lain halnya bila penulis membeli sebuah mobil dengan garantie I tahun, bila rusak “bukan musnah” Universitas Sumatera Utara 52 perbaikannya ditanggung oleh Dealer. Dalam hal ini sudah ada dasarnya, bahwa penulis akan mengalihkan risiko atas rusaknya mobil itu dengan membebankan kepada Dealer akan perbaikannya. Dengan demikian logis dan tepat akan isi pasal 1545 tersebut, sebuah contoh untuk kejelasannya. Misalnya, seorang pemimotor membuat perjanjian tukar menukar dengan seorang pemilik anjing herder, pemilik motor sudah menyerahkan motornya tapi anjing herder itu mati sebelum diserahkan karena suatu kejadian tak disengaja, maka sudah adil kalau ia menerima kembali motornya. Kematian anjing harus dipikul oleh pemiliknya dan tidak boleh ditimpahkan kepada pemilik motor. Kemusnahan mobil penulis tidak boleh ditimpahkan kepada pihak ketiga X. C. Pengaturan soal risiko atas musnah, hilangnya barang yang dipersewakan terdapat dalam pasal 1553 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata sebagaimana disebutkan tadi diatas. Risiko di dalam Perjanjian Sewa-Menyewa Dimana Pasal 1553 tersebut berbunyi sebagai berikut : “Apabila dalam suatu tenggang waktu sewa berjalan, barang yang disewakan musnah sama sekali karena suatu peristiwa yang dengan tidak dikehendaki atau tidak disengaja maka perjanjian gugur demi hukum.” Sebelumnya memberi tanggapan pendapat terhadap apa yang tertuang dalam pasal tersebut , terlebih dahulu kita mengidentikkan perkataan mana yang selaras dengan pengertian “risiko”. Hal ini sebagaimana terlihat dari isinya pasal Universitas Sumatera Utara 53 1553 itu, kita tidak menemukan perkataan “risiko” didalamnya. Dan untuk itu kita akan melihat apa yang dikatakan Prof. R. Subekti sebagai berikut; “Dari perkataan “gugur demi hukum” inilah kita simpulkan, bahwa masing-masing pihak sudah tidak dapat menuntut sesuatu apa dari pihak lawannya, hal mana berarti kerugian akibat musnahnya barang yang dipersewakan dipikul sepenuhnya oleh pihak yang menyewakan. 46 Apa yang telah dikatakan Prof. R. Subekti, SH. Dapat menjadi alat untuk menganalisa isi pasal diatas. Dengan demikian mengandung arti, bahwa risiko atas musnahnya barang yang dipersewakan dalam sewa menyewa ada dipihak yang menyewakan atau dipikul oleh pemilik barang, tapi juga sebaliknya dari pihak penyewa dalam arti bahwa uang sewa yang dibayarkan karena waktu persewaan belum waktunya berakhir, tidak dapat kembali menuntut sisanya. Untuk itu kami berkesimpulan bahwa perkataan “gugur demi hukum” diatas mengandung maksud bahwa dari semula tiadalah diterbitkan perikatan, sehingga pihak-pihak yang tadinya tersangkut di dalam perjanjian kembali kepada keadaan semula sebagaimana halnya sebelum lahirnya perikatan. Dengan akhir kesimpulan diatas, saya berpendapat bahwa, pengaturan soal risiko yang dituangkan dalam pasal 1553 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, memang sesuai dengan rasa keadilan atau dengan kata lain bahwa peraturan itu benar dan patut, oleh karena pada umumnyalah setiap pemilik barang wajib menanggung segala risiko atas barang miliknya dan tidak seorangpun yang bisa 46 Prof. R. Subekti, SH. Loc cit hal 56 Universitas Sumatera Utara 54 mengatakan bahwa ia tidak mau dibebani risiko atas barang miliknya sendiri kecuali ada alas hak lain untuk itu. D. Dalam hubungannya dengan masalah risiko di dalam jual-beli dibedakan atas tiga peraturan. Risiko di dalam Perjanjian Jual Beli 1. Mengenai barang tertentu ---------------pasal 1460 2. Mengenai barang yang dijual menurut berat, jumlah atau ukuran ------- pasal 1461. 3. Mengenai barang yang dijual menurut tumpukan ------pasal 1462. Pasal 1460, pasal pengaturan soal risiko dalam jual beli mengenai barang tertentu, yang berbunyi sebagai berikut ini : “Apabila barang yang dijual merupakan suatu barang yang sudah ditentukan, maka barang itu semenjak perjanjian jual beli ditutup adalah atas tanggungan si pembeli walaupun penyerahan akan barang belum dilakuka n dan berhaklah si penjual menuntut harganya”. Pasal 1461, pasal pengaturan soal risiko dalam jual beli mengenai barang yang dijual menurut berat, jumlah, atau ukuran, yang berbunyi sebagai berikut : “Apabila barang-barang yang dijual merupakan barang yang menurut berat, jumlah, atau ukuran, maka barang-barang itu tetap atas tanggungan si penjual hingga barang-barang ditimbang, dihitung atau diukur”. Pasal 1462, pasal pengaturan soal risiko dalam jual beli mengenai barang- barang yang dijual menurut tumpukan, yang berbunyi sebagai berikut : “Apabila Universitas Sumatera Utara 55 barang-barang yang dijual merupakan barang yang menurut tumpukan, maka barang – barang itu adalah atas tanggungan si pembeli, meskipun belum ditimbang, dihitung atau diukur”. Dari isi ketentuan pasal 1460 kita dapat melihat bahwa, di dalam perjanjian jual beli, akan barang yang dijual barang yang sudah ditentukan adalah atas tanggungan si pembeli walaupun barang belum diserahkan. Artinya risiko terhadap barang-barang tersebut seandainya musnah setelah perjanjian ditutup karena suatu peristiwa yang menimpanya adalah dipikul oleh si pembeli. Apa yang dimaksud dengan “barang tertentu?” Yang dimaksud dengan barang tertentu adalah barang yang pada waktu perjanjian dibuat sudah ada dan ditunjuk oleh si pembeli. 47 Pasal 1461 kita dapat melihat bahwa, di dalam perjanjian jual beli, akan barang yang dijual menurut berat, jumlah atau ukuran adalah atas tanggungan si penjual sebelum dan atas tanggungan si pembeli setelah ditimbang, dihitung atau diukur. Artinya risiko terhadap barang-barang tersebut seandainya musnah setelah perjanjian ditutup tetapi belum ditimbang, dihitung atau diukur adalah dipikul oleh si penjual sebaliknya setelah ditimbang, dihitung atau diukur adalah dipikul oleh si pembeli. Misalnya pembeli itu masuk sebuah toko mebel dan menjatuhkan pilihannya pada sebuah lemari yang disetujui untuk dibelinya. Yang dibeli adalah lemari yang ditunjuk itu bukan lemari lain dan bukannya ia pesan untuk dibuatkan lemari yang seperti itu. 47 Prof. R. Subekti, SH. Op. Cit. hal 37 Universitas Sumatera Utara 56 Pasal 1462 pun kita dapat melihat bahwa, di dalam perjanjian jual beli, akan barang yang dijual menurut tumpukan adalah atas tanggungan si pembeli. Artinya risiko terhadap barang-barang tersebut seandainya musnah setelah perjanjian ditutup karena suatu peristiwa yang menimpanya adalah dipikul oleh si pembeli. Setelah kita melihat dan mengetahui pengaturan-pengaturan soal risiko di dalam perjanjian jual beli yang terdiri dari tiga pasal tersebut, maka dapatlah kita menarik inti kesimpulan dari persamaan maupun perbedaannya. Dan menurut hemat kami adapun persamaan ketiga pasal tersebut adalah, bahwa dalam perjanjian jual beli, si pembeli adalah pihak yang ditetapkan sebagai pemikul risiko terhadap kejadian-kejadian yang mengakibatkan musnahnya barang yang menjadi objek perjanjian. Sedangkan perbedaannya adalah bahwa, kalau dalam jual beli barang tertentu dan barang menurut tumpukan risiko atas kemusnahan barang tersebut langsung diletakkan pada pundak si pembeli semenjak perjanjian jual beli ditutup sedangkan kalau dalam jual beli barang menurut berat, jumlah atau ukuran risiko baru akan diletakkan di pundak pembeli setelah barang-barang tersebut ditimbang, dihitung atau diukur. Akhir kesimpulan kami adalah bahwa ketiga pasal tersebut satu sama lain adalah sama, sehingga penulis berpendapat bahwa pasal pengaturan soal risiko dalam jual beli yang dituangkan dalam pasal-pasal diatas tidak tepat dan tidak sesuai dengan rasa keadilan, betapa tidak sesuai penulis katakan. Contoh, seorang X membeli sebuah lemari, dalam perjalanan atau seketika perjanjian jual beli Universitas Sumatera Utara 57 ditutup lemari hancur karena suatu peristiwa. Maka menurut pasal tersebut si X atau pembelilah yang menanggung kerugian hancurnya lemari. Dengan melihat contoh ini mungkin hati nurani kita akan mengatakan tidak adil, apalagi kalau kita sendiri umpama si pembeli itu. Maukah kita menerima hal itu ? Secara logika saja penulis rasa tak seorang pun yang akan mau menerima hal itu dengan benak pikiran bahwa itu memang sudah sepantasnya atau seadilnya.

E. Risiko di dalam Perjanjian Pinjam Pakai

Pinjam pakai adalah suatu perjanjian, dalam mana suatu pihak memberikan kepada pihak lain suatu barang bergerak atau tak bergerak, untuk dipakai dengan percuma, sedang pihak lain berwajib mengembalikan barang itu, setelah memakainya, atau setelah lampau suatu tenggang waktu tertentu Kitab Undang-Undang Hukum Perdata pasal 1740 Kalau penulis meminjam sebuah mobil maka yang harus penulis kembalikan adalah mobil, sedangkan kalau penulis meminjam sejumlah uang atau beras maka penulis kembalikan bukan uang dan beras yang penulis terima itu, tetapi hanya sejumlah uang yang sama atau beras sebanyak yang dipinjam dari kwalitas yang sama yang telah habis terpakai dalam hal ini dinamakan pinjam meminjam, sedangkan untuk yang pertama disebut pinjam pakai. Sehingga untuk mengadakan perbedaannya dipakai sebagai kriterium bahwa dalam “pinjam pakai” barang yang dipinjam tidak habis atau musnah karena pemakaian, Universitas Sumatera Utara 58 sedangkan dalam halnya, “pinjam-meminjam” barang itu habis atau musnah karena pemakaian. 48 Terhadap pinjam pakai hanya dapat barang-barang yang dalam pemakaian tidak habis pasal 1742 adalah tidak betul. Juga barang-barang yang habis karena pemakaian dapat menjadi objek perjanjian peminjaman barang, asal saja pemakaian tidak berupa memakan barang-barang itu. Jadi yang perlu ialah tujuan dari perjanjian. 49 Syarat pinjam pakai barang adalah terjadi dengan cuma-cuma. Misalnya meminjam buah-buahan, tapi tidak boleh dimakan melainkan hanya boleh dipertontonkan saja, maka ada peminjaman barang pinjam pakai Selanjutnya kita akan melihat pasal-pasal pengaturan soal risiko di dalam perjanjian pinjam pakai dan untuk itu kita akan tinjau satu persatu pasal 1744- 1749 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Pasal 1744 berbunyi sebagai berikut : “Siapa yang menerima pinjaman sesuatu, diwajibkan menyimpan dan memelihara barang pinjaman sebagai seorang bapak rumah yang baik. “Tiada diperkenankan pemakaian barang pinjaman guna kebutuhan lain terkecuali sesuai dengan sifatnya barang itu atau yang ditetapkan dalam perjanjian, kesemuanya itu atas ancaman penggantian biaya, rugi dan bunga, bila ada alasan untuk itu”. “Apabila ia dalam pemakaian barang itu menggunakannya guna suatu kebutuhan lain, atau lebih lama dari pada yang diperbolehkan maka disamping ia 48 Prof. R. Subekti, SH. Loc cit hal 134 49 Prof. R. Wirjono Prodjodikoro, SH. Loc cit. hal 131. Universitas Sumatera Utara 59 mengganti biaya, rugi dan bunga adalah bertanggung jawab akan kemusnahan barang sekali pun kemusnahan itu dikarenakan suatu peristiwa yang sama sekali tidak disengaja atau tidak dikehendaki”. Ketentuan pasal 1744 ayat I, seorang yang meminjam barang diumpamakan sebagai seorang bapak rumah tangga yang baik. Seorang bapak rumah tangga yang baik akan memelihara anak istrinya serta membimbingnya dalam arti kata memberi nafkah kepada anak istrinya, menyekolahkan anak- anaknya mendidik dan mengarahkannya ke jalan yang benar. Seperti bapa rumah yang baik tadi, oleh undang-undang ditentukan bahwa seorang peminjam pakai terhadap barang yang dipinjamnya tidak diperkenankan menggunakan barang itu dengan sekehendak hatinya hingga berlawanan dengan sifat barang atau yang ditetapkan dalam perjanjian maupun dalam pemakaian lebih lama dari pada yang diperbolehkan, tetapi hendaklah ia dalam pemakaian itu sebagai seorang bapak rumah yang baik, yang dalam selalu hal berusaha menenpa menjadi manusia-manusia yang berguna. Oleh karena itu dalam ayat 2,3 nya ditentukan bahwa si peminjam akan mengganti biaya, rugi dan bunga bila ada alasan untuk itu bahkan kemusnahan barang karena suatu peristiwa yang tak disengaja sama sekalipun bila peminjam dalam pemakaian barang menggunakannya dalam kebutuhan lain atau lebih lama dari pada yang diperbolehkan, tetapi sebaliknya tiadalah ia peminjam akan menanggung risiko akan kemusnahan barang itu bila ia peminjam mentaati isi perjanjian melainkan ada risiko dipikul si pemilik barang. Universitas Sumatera Utara 60 Dari uraian diatas akhirnya kami menarik kesimpulan bahwa pasal 1744 menetapkan risiko atas kemusnahan barang yang dipinjam karena suatu peristiwa yang tidak disengaja dipikul oleh si pembeli barang, asal saja si peminjam barang mentaati isi perjanjian, tapi sebaliknya risiko akan dipikul oleh peminjam manakala ia melanggar isi perjanjian. Misalnya, seorang yang diberikan sebuah rumah tempat tinggal dalam pinjam pakai, ia tidak boleh memakainya sebagai bengkel atau bila seorang diberikan sebuah motor untuk dipinjam pakai bagi keperluan ke kantor tidak boleh memakainya sebagai ojek atau tidak boleh memakainya lebih lama dari yang ditentukan dalam perjanjian, bila ia menuruti isi perjanjian maka risiko dipikul oleh si pemilik barang bila barang musnah karena suatu peristiwa yang tak disengaja tapi bila ia melanggarnya maka ia memikul risiko atas musnahnya barang. Pasa 1745 berbunyi sebagai berikut : “Apabila barang yang dipinjam musnah karena suatu peristiwa yang tak disengaja sama sekali, yang sebenarnya masih dapat dihindarkan seumpama si peminjam telah memakai barangnya sendiri, ataupun seandainya jika hanya satu dari kedua barang itu saja yang dapat diselamatkan, si peminjam telah memilih menyelamatkan barang miliknya sendiri, adalah maka ia bertanggung jawab akan kemusnahan barang yang dipinjam.” Menurut pasal ini si pemimjam dalam hal penyelamatan baik karena pemakaian ataupun karena kepemilikan barang harus lebih mengutamakan barang yang dipinjam. Bila peminjam tidak mengindahkannya maka ia bertanggung Universitas Sumatera Utara 61 jawab akan kemusnahan barang itu, walaupun kemusnahan itu disebabkan karena suatu peristiwa yang tak disengaja. Maksudnya : Dalam hal karena pemakaian musnahnya barang yang disewa akan terhindar bila si penyewa memakai barangnya sendiri. Dalam hal karena kepemilikan musnahnya barang yang disewa akan terhindar bila si penyewa tidak lebih mengutamakan penyelamatan barang miliknya sendiri. Isi pasal 1745 tersebut bila kita analisa adalah suatu hal yang wajar dan patut bila kita lebih memperhatikan barang orang lain yang kita pinjam dari pada barang milik sendiri sesuai dengan pepatah “hargailah orang lain supaya orang lain menghargaimu”. Sehingga didalam ketentuan pasal ini ada baiknya dan ada buruknya. Baiknya; Kita akan selalu dipercaya orang dan tentu saja kita akan lebih mudah mendapatkan pinjaman barang. Buruknya; Kita harus mengorbankan barang milik sendiri, hasil jerih payah sendiri, yang sudah dengan susah payah untuk mendapatkannya tetapi demi kepentingan barang orang lain kita harus mengorbankannya barang itu. Pasal 1746 berbunyi sebagai berikut : “Apabila barang yang dipinjamkan, pada waktu dipinjam harganya ditaksir, maka kemusnahan barang itu walaupun terjadi karena suatu peristiwa yang sama sekali tidak disengaja, maka adalah menjadi tanggungan peminjam, terkecuali sebaliknya telah diperjanjikan”. Universitas Sumatera Utara 62 Dari ketentuan pasal ini kita dapat menyimpulkan bahwa maksudnya adalah, apabila barangnya sebelum diserahkan dalam pinjam pakai, ditaksir dahulu harganya dihadapan kedua belah pihak maka itu dianggap sebagai petunjuk atau persangkaan bahwa si peminjam akan memikul risiko atas barang pinjaman. Dan karena adanya taksiran itu maka si peminjam akan menjadi pihak yang memikul risiko hal ini berarti yang telah melakukan penaksiran barangitu pihak peminjam pakai. Mengenai isi ketentuan pasal 1746 tersebut menurut hemat kami, tidak menimbulkan permasalahan dan karenanya merupakan suatu ketentuan yang harus diterima. Karena kewajiban menanggung risiko dari pihak peminjam terhadap musnahnya barang pinjaman menurut isi pasal tersebut kita dapat tafsirkan bahwa peminjam siap dan sanggup mengganti kerugian atau membeli barang seharga itu. Jadi logislah bila dalam pinjam pakai bila harganya barang ditaksir dulu oleh peminjam pakai menjadi tanggungannya bila barang musnah, yang walaupun kemusnahan barang itu dengan tidak dikehendaki. Pasal 1747 berbunyi sebagai berikut : “Apabila nilai atau harganya barang berkurang disebabkan pemakaian tidak dengan dikehendaki si peminjam pakai, maka tiadalah ia bertanggung jawab akan hal itu.” Suatu kemunduran akan harga atau nilai dari barang yang dipinjam pakai walaupun kemunduran itu karena pemakaian, tapi pemiliklah yang bertanggung jawab dan sekali-kali bukan si peminjam pakai asal saja kemunduran akan nilai atau harga barang itu tidak dengan dikehendaki si peminjam, demikian kita menarik arti ketentuan pasal tersebut. Universitas Sumatera Utara 63 Memang sudah sepantasnya dalam hal kemunduran harga atau nilai barang yang dipinjam pakai dibebankan kepada si pemilik barang, soalnya barang yang sama sekalipun musnah, risiko ditanggung oleh pemilik barang, asal saja si peminjam dalam pemakaian barang yang dipinjam, memakainya dalam batas- batas yang sudah ditentukan. Pinjam – meminjam adalah suatu perjanjian, dalam mana satu pihak menyerahkan kepada pihak lain sejumlah uang atau barang – barang yang dapat diganti dengan janji dari pihak lain itu untuk dikemudian hari mengembalikan kepada pihak ke satu sejumlah uang yang sama atau sejumlah barang-barang yang sama jenis dan nilainya. Pasal 1754 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

F. Risiko di dalam Perjanjian Pinjam Meminjam.

Dalam pinjam meminjam barang atau uang, barang atau uang yang diserahkan oleh pihak kesatu kepada pihak kedua itu, beralih menjadi milik pihak kedua. Pengaturan soal risiko dalam perjanjian pinjam meminjam dituangkan dalam pasal 1755 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi sebagai berikut : “Dengan alas hak perjanjian pinjam meminjam itu, maka pihak yang menerima pinjaman menjadi pemilik dari barang yang dipinjamkan; dan apabila barang itu musnah dengan cara apapun, musnahnya barang itu adalah menjadi tanggung jawabnya. Karena si peminjam menjadi pemilik dari barangnya pinjaman, maka ia berkuasa untuk menghabiskan memusnahkan barang tersebut. Sebagai pemilik Universitas Sumatera Utara 64 ini ia juga memikul segala risiko atas barang itu; dalam halnya kemerosotan nilai uang atau kemusnahan barang. Dengan ketentuan yang ditetapkan dalam pasal tersebut diatas maka dalam pinjam meminjam kemusnahan akan barang yang dipinjam adalah atas tanggungan si peminjam atau risiko dengan kemusnahan barnag yang dipinjam ada di pihak peminjam. Adalah suatu ketentuan yang menurut hemat kami apa yang ditentukan dalam pasal tersebut tepat dan adil. G. Masalah-masalah yang timbul akibat dari pengaturan risiko yang keliru dan ketidak adanya pengaturannya. Dalam punt 2 kami telah berikan uraian mengenai peraturan soal risiko dari beberapa macam bentuk perjanjian. Dari uraian pengaturan risiko tersebut satu sama lain, disatu pihak menunjukkan kesamaan dan dilain pihak berlainan, malah bertentangan. Manakala setelahnya kita mengadakan penelaahan terhadap pengaturan risiko tersebut ternyata ada beberapa pasal tertentu yang tidak sesuai dengan rasa keadilan atau menimbulkan keganjilan-keganjilan dan bahkan ada juga bentuk perjanjian yang sama sekali tidak terdapat atau tidak ada pasal pengaturan soal risikonya, baik itu bentuk perjanjian yang terdapat didalam Hukum Perjanjian dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, maupun bentuk perjanjian yang timbul dari praktek sehari-hari, sehingga akibatnya menimbulkan permasalahan yang memberikan kesan yang tidak baik kepada masyarakat. Dan untuk jelasnya Universitas Sumatera Utara 65 permasalahan-permasalahan tersebut tidak ada salahnya kita meninjau kembali pasal-pasal dari perjanjian yang dimaksudkan. Pasal-pasal dalam perjanjian jual beli, pasal 1460, 1461, 1462 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, merupakan pasal peraturan risiko. Pasal 1460 mengenai risiko dalam jual beli barang tertentu, yang menetapkan bahwa, barang itu sejak saat ditutupnya perjanjian jual-beli adalah atas tanggungan pembeli, meskipun penyerahan akan barang belum dilakukan. Pasal ini menentukan bahwa risiko terhadap kejadian – kejadian yang menimpa barang tersebut dibebankan pada pundaknya si pembeli semenjak perjanjian jual beli ditutup. Misalnya, barang yang menjadi objek perjanjian jual beli itu musnah karena jatuh dari tempat penyimpanannya atau hancur dalam perjalanan sewaktu sedang diangkut ke rumah si pembeli. Kerugian akibat kemusnahan, kehancuran barang tadi dibebankan pada pundaknya si pembeli padahal secara menurut hukum ia si pembeli belum merupakan pemiliknya. Demikian juga halnya dengan pasal 1461, hanya saja dalam pasal ini, risiko atas musnahnya barang yang menjadi objek perjanjian dipikulkan kepada pundaknya si pembeli sesudahnya dilakukan penimbangan, penghitungan atau pengukuran. Pun juga dengan pasal 1462 tidak beda dengan pasal 1460, 1461 dalam arti, risiko diletakkan dipundaknya si pembeli meskipun barangnya belum diserahkan. Dengan lain perkataan barangnya masih berada dalam kekuasaan si penjual. Dari uraian singkat diatas dapatlah kita melihat masalah yang menjadi bahan pemikiran. Universitas Sumatera Utara 66 Adapun masalah-masalah itu adalah sebagai berikut : 1. Apakah peraturan dari pasal itu tidak merupakan suatu pasal yang keliru, yang tidak sesuai dengan sistim jual beli dan pemindahan hak milik yang dianut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata? 2. Mengapa ada pasal undang-undang yang memberikan peraturan yang tidak adil itu ? Mengenai perjanjian yang tidak ada peraturan soal risikonya disini dibedakan antara perjanjian yang timbul karena suatu ciptaan praktek dan perjanjian yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Perjanjian yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, menimbulkan permasalahan-permasalahan serius yang meminta perhatiannya para ahli yuris. Adapun permasalahannya adalah sebagai berikut : 3. Pasal peraturan dari bentuk perjanjian yang mana harus diterapkan atau dipakai terhadap perjanjian-perjanjian tersebut ? Sedangkan perjanjian yang timbul oleh suatu ciptaan praktek dalam hal ini perjanjian “sewa-beli”, juga menimbulkan permasalahan. Adapun permasalahannya adalah sebagai berikut : 4. Apakah perjanjian sewa beli harus dikwalifikasikan sebagai perjanjian “jual- beli” atau perjanjian “sewa-menyewa”. Kekeliruan dan atau ketidak adilan maupun ketidak adanya pengaturan yang adil dan pasti, hal ini mengakibatkan resahnya masyarakat dan terganggunya lalu lintas perniagaan dan tiadanya kepastian hukum bagi setiap pembeli maupun Universitas Sumatera Utara 67 penyewa beli serta tiap orang yang tersangkut dalam suatu perjanjian yang tidak ada peraturan soal risikonya. Mengenai pemecahan terhadap permasalahan-permasalahan ini penulis akan membahasnya pada bab IV dari skripsi ini, yang mencoba memberikan ulasan penyelesaian terhadap masalah tersebut. Universitas Sumatera Utara 68

BAB IV PEMECAHAN DARI MASALAH RISIKO DI DALAM PERJANJIAN,

KHUSUSNYA RISIKO DI DALAM PERJANJIAN JUAL – BELI Dalam punt 3 dari bab II, telah kami utarakan akan permasalahan- permasalahan yang timbul akibatketidak adilan pengaturan soal “risiko” dalam perjanjian jual-beli dan masalah-masalah yang timbul akibat tidak adanya ketentuan pengaturannya. Adapun masalah-masalah tersebut adalah sebagai berikut : Dalam perjanjian jual – beli 1. Apakah peraturan dari pasal itu tidak merupakan suatu ketentuan yang keliru, yang tidak sesuai dengan sistim jual beli dan pemindahan hak milik yang dianut oleh Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang mengandung maksud bukankah musnahnya barang tersebut si pembeli belum merupakan pemilik ? 2. Mengapa ada pasal undang-undang yang memberikan peraturan yang tidak adil itu ? Dalam perjanjian yang tidak terdapat peraturan soal risikonya, hal ini dibedakan dengan perjanjian yang terdapat dalam Hukum Perjanjian dari Kitab Undang- Undang Hukum Perdata dan perjanjian yang timbul karena ciptaan praktek. Perjanjian yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. 3. Pasal peraturan dari bentuk perjanjian yang mana harus diterapkan atau dipakai terhadap perjanjian-perjanjian tersebut ? Universitas Sumatera Utara 69 Perjanjian yang timbul karena suatu ciptaan praktek 4. Apakah perjanjian sewa beli itu harus diklasifikasikan sebagai perjanjian “jual-beli” atau perjanjian “sewa-menyewa” ataupun diklasifikasikan ke bentuk perjanjian lainnya ? Pemecahan masalah-masalah ini, penulis akan memulainya dengan : 1. Apakah Peraturan Dari Pasal Itu Tidak Merupakan Suatu Ketentuan Yang Keliru, Yang Tidak Sesuai Dengan Sistim Jual Beli Dan Pemindahan Hak Milik Yang Dianut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Yang Mengandung Maksud Bukankah Musnahnya Barang Tersebut Si Pembeli Belum Merupakan Pemilik ? Untuk agar lebih terarah dan terperincinya pembahasan pemecahan ini, kami akan memberikan sistematika pemecahannya. - Keterikatan untuk melaksanakan perjanjian Sistematika Pemecahan - Saat lahirnya perjanjian jual beli dan sistim jual beli yang dianut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. - Tanggapan Instansi Peradilan Terhadap Pasal-Pasal Yang Dimaksudkan. - Dengan memanfaatkan Sistim Terbuka Yang Dianut Hukum Perjanjian. - Kebiasaan yang hidup dan tumbuh menjadi suatu hukum kebiasaan yang berlaku umum. Universitas Sumatera Utara 70 Berjanji untuk sesuatu adalah berarti mengikatkan diri secara membebankan pada diri sendiri suatu kewajiban untuk melakukan sesuatu. Keterikatan Untuk Melaksanakan Perjanjian Bila kita tanyakan, apakah yang menyebabkan seseorang terikat pada janjinya ? Prof. Dr. R. Wirjono Prodjodikoro, SH, menyatakan, dalam masyarakat adalah suatu syarat penting untuk tata tertib didalamnya, bahwa orang dapat dipercaya, apabila ia berjanji sesuatu. Maka pada pokoknya hukum mewajibkan seseorang yang berjanji itu, untuk melaksanakan janji. Untuk kepentingan orang itu adalah baik, apabila ia menepati janji, sebab kalau tidak, dikemudian hari ia akan disingkiri oleh kawan bergaul hidup dalam masyarakat, dengan akibat bahwa ia sukar akan mendapat janji pula dari orang lain guna memenuhi kepentingannya. 50 Dr. Sunarjati Hartono, SH mengatakan, keadilanlah yang menghendaki agar orang menepati janjinya. Karena setiap perjanjian senantiasa mengganggu keseimbangan, keseimbangan ini selalu harus dikembalikan restored oleh pelaksanaan perjanjian tersebut, agar supaya setiap orang menerima apa yang menjadi haknya. 51 Memang adalah benar didalam kehidupan bermasyarakat agar tercipta kehidupan yang harmonis antara sesama individu dengan individu maupun antara individu dengan masyarakat ke dewi tunggalan antara individu dan kesatuan pergaulan hidup, harus mematuhi, mentaati norma-norma yang ada terdapat 50 Prof. Dr. R. Wirjono Prodjodikoro, SH. Azas-azas Hukum Perjanjian Cet Kesembilan Penerbit “Sumur-Bandung” 1981. 51 Dr. Sunaryati SH. Loc cit hal. 25 Universitas Sumatera Utara 71 dalam pergaulan hidup masyarakat. Dan pantaslah apabila seseorang yang melakukan perbuatan melanggar norma-norma itu, akan menerima sanksi dari masyarakat sekitarnya. Misalnya, disingkirkan oleh kawan bergaul hidup dalam masyarakat. Oleh sebab itu suatu perbuatan yang melanggar norma-norma adalah merupakan noda hitam baginya. Selanjutnya Dr. Sunarjati Hartono, SH mengatakan, didalam hukum Romawi pada awal mulanya tidak terdapat suatu Hukum Perjanjian. Akan tetapi jika seorang telah menyalahi sumpahnya akan memenuhi janjinya, maka ia akan dihukum oleh Pendeta-pendeta Romawi, menurut ajaran agama Romawi. Dan karena seseorang yang menyalahi sumpahnya merupakan bahaya bagi masyarakatnya karena menimbulkan marah dari dewa-dewa, ia dikorbankan kepada dewa-dewa. 52 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata membagi pelbagai kewajiban seorang yang berjanji itu kepada lain orang sebagai pelaksanaan perjanjian, ke-I untuk menyerahkan suatu barang, ke-2 untuk berbuat sesuatu, ke-3 untuk tidak berbuat sesuatu demikian menurut pasal 1234. Untuk hal ke-I, bila seorang A berkewajiban menyerahkan suatu barang kepada lain orang dalam hal ini ada dua kemungkinan yaitu ; 1. Memindahkan hak milik barang tersebut 2. Tidak memindahkan hak milik barang tersebut Dalam kemungkinan pertama adalah misal, jual beli, tukar-menukar, hibah. 52 Dr. Sunarjati Hartono, SH. Ibib. Hal 26 Universitas Sumatera Utara 72 Dalam kemungkinan kedua adalah misal, pinjam pakai, sewa-menyewa, penitipan barang. Memindahkan hak milik menurut hukum harus dilakukan dengan aturan prosedur yang ditetapkan oleh undang-undang. Dalam pasal 584 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dapat dilihat bahwa “levering” adalah suatu cara untuk memindahkan dan memperoleh hak milik. Pasal ini menyebut beberapa cara untuk memperoleh hak milik tetapi dalam zaman sekarang inti dari antara sekian macam cara itu, maka levering adalah yang terpenting, yang paling banyak terjadi dalam pergaulan hidup sehari-hari. Pada hakekatnya dengan “levering” itu dimaksudkan adalah pemindahan hak milik atas suatu benda dari satu tangan ke tangan orang lain, sehingga berakibat bahwa orang yang menerima hak itu menjadi pemilik dari benda tersebut. Dalam pemakaian levering dibagi menjadi dua bentuk yaitu; feitelijke levering dan juridische levering. 1. Feitelijke levering ialah tindakan penyerahan kekuasaan secara nyata terhadap sesuatu benda ke tangan orang lain sehingga orang lain tadi secara nyata menguasai benda itu. 2. Juridische levering ialah tindakan dimana seorang menyerahkan hak eigendomnya terhadap sesuatu benda kepada seseorang lain yang oleh orang yang bersangkutan diterima. Sedangkan levering itu sesuai dengan macamnya barang dibedakan atas tiga macam : Universitas Sumatera Utara 73 1. Penyerahan barang bergerak 2. Penyerahan barang tak bergerak 3. Penyerahan barang tak bertubuh. Di dalam barang tak bergerak, feitelijke levering lazimnya jatuh bersamaan dengan juridische levering. Jadi dengan menyerahkan secara nyata barnag tersebut, orang yang menerimanya telah menjadi eigenar, bahkan tak perlu melakukan penyerahan, bila sebelumnya barang itu dikuasai oleh orang yang akan menerimanya. Untuk lebih jelasnya kita dapat melihat pasal 612 yang berbunyi sebagai berikut : “Penyerahan akan barang bergerak, selainnya barang tak bertubuh dilakukan dengan penyerahan yang nyata barang tersebut oleh atau atas nama pemilik, atau hanya dengan menyerahkan kunci-kunci dari bangunan dimana barang itu adanya” Ayat I “Pun penyerahan tak perlu dilakukan bilamana barang yang harus diserahkan, dengan alas hak lain, orang yang akan menerimanya telah menguasai barang itu”. Untuk barang tetap atau tak bergerak, dengan feitelij levering hak milik belum berpindah, hak milik baru akan berpindah dengan juridische levering, yaitu dengan penulisan yang dinamakan “balik nama” “overschrijving” dimuka Pegawai Kadaster atau pegawai penyimpan hipotik demikian isi ketentuan pasal 616 dihubungkan dengan pasal 620. Untuk barang tak bertubuh dengan perbuatan yang dinamakan “cessie” ketentuan ini dapat ditemukan dalam pasal 613 yang berbunyi : “Penyerahan akan piutang-piutang atas nama dan kebendaan tak bertubuh lainnya dilakukan dengan Universitas Sumatera Utara 74 membuat sebuah akta otentik atau dibawah tangan, dengan mana hak-hak atas kebendaan itu dilimpahkan kepada orang lain. “Penyerahan yang demikian bagi si berutang tiada akibatnya melainkan setelah penyerahan itu diberitahukan kepadanya secara tertulis disetujui dan diakuinya”. “Penyerahan tiap-tiap piutang karena surat bawa dilakukan dengan penyerahan surat itu; penyerahan tiap-tiap karena surat tunjuk dilakukan dengan penyerahan surat disertai dengan endosemen” Dari apa yang diuraikan diatas kita dapat melihat bahwa perbuatan “levering” adalah perbuatan juridis untuk memindahkan hak milik dari suatu barang. Saat Lahirnya Perjanjian Jual – Beli dan Sistim Jual-Beli Yang Dianut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Jual – beli suatu perjanjian timbal balik, dimana suatu pihak mengikatkan dirinya untuk berwajib menyerahkan suatu barang, dan pihak lain untuk berwajib membayar harga yang telah mereka sepakati. Pasal 1457 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Unsur pokok perjanjian jual-beli adalah barang dan harga. Sesuai dengan azas “konsensualisme” yang menjiwai hukum perjanjian dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, perjanjian jual beli itu sudah dilahirkan pada detik tercapainya “sepakat” mengenai barang dan harga, meskipun harganya belum dibayar ataupun barang belum diserahkan pasal 1458. Universitas Sumatera Utara 75 Tetapi apakah makna kedua ketentuan diatas itu mengandung arti bahwa hak milik atas barang tersebut telah berpindah kepada si pembeli. Terhadap pertanyaan ini baiklah kita melihat apa yang dikatakan oleh Prof. Dr. R. Wirjono Prodjodikoro, SH sebagai berikut : Hukum B.W. mengatakan dalam pasal 1457 dan 1458, bahwa jual beli adalah suatu persetujuan, dimana satu pihak mengikatkan diri untuk berwajib menyerahkan suatu barang, dan pihak lain untuk berwajib membayar harga prijs dimufakati antara mereka berdua. Dan selanjutnya pasal 1475 B.W. mengatakan bahwa penyerahan levering ini adalah penyerahan overdracht barang oleh penjual ke arah kekuasaan dari pihak pembeli. Pasal-pasal ini adalah tiruan dari pasal-pasal 1493, 1494 BW Negri Belanda. Dan disana para ahli hukum tidak semufakat dalam penafsiran pasal- pasal ini. Ada yang berpendapat, bahwa perkataan “penyerahan” kini hanya berarti penyerahan belaka dari tangan si penjual ke tangan si pembeli perjanjian jual beli sudah memindahkan hak milik diantaranya Hofmann, dan ada yang berpendapat bahwa perkataan “penyerahan” kini meliputi juga penyerahan hak milik, diantaranya Kamphuisen dan Van Brakel. Tetapi Hofmann akhirnya berpendapat, bahwa si penjual juga berwajib untuk menyerahkan hak milik atas barang yang diserahkan itu. Hanya saja kewajiban ini tidak diambil dari pasal 1493 dan 1511, melainkan dari bagian lain dari hukum dengan mengingat tujuan yang sesungguhnya dari jual beli. Universitas Sumatera Utara 76 Pasal 584 BW, menyebutkan beberapa cara untuk memindahkan hak milik, diantaranya juga disebut penyerahan sebagai akibat dari suatu eprsetujuan atau perbuatna hukum yang bermaksud memindahkan hak milik atas suatu barang dari tangan seorang ke tangan seorang lain. Berhubung dengan pasal ini maka penetapan pengertian dari jual beli dalam pasal 1457 BW, yang menyebutkan sebagai unsur dari jual beli hanya kewajiban penjual untuk menyerahkan barang adalah berarti, bahwa dengan adanya persetujuan jual beli ini, barang yang bersangkutan belum pindah hak miliknya kepada si pembeli. Pemindahan hak milik baru akan terjadi apabila barangnya sudah diserahkan ke tangan si pembeli. 53 Dalam hal ini, oleh para ahli hukum Belanda dikatakan bahwa perjanjian jual beli hanya mempunyai sifat “obligatoir” mengikat, tidak mempunyai “zakelijke werking”, artinya tidak berdaya langsung mengenai kedudukan barangnya. Jadi selama penyerahan itu belum terjadi maka hak milik atas barang itu tetap berada ditangannya si penjual. Ini ditegaskan lagi dalam pasal 1459 BW. 54 Mengenai apa yang kita lihat dengan ulasan yang diberikan Prof. Dr. R. Wirjono Prodjodikoro diatas, adalah tepat sekali. Dimana bahwa perjanjian jual beli itu hanya kewajiban penjual untuk menyerahkan barangnya adalah mengandung arti : bahwa adanya perjanjian jual-beli, hak milik atas barang yang bersangkutan belum berpindah kepada si pembeli. 53 Prof. Dr. R. Wirjono Prodjodikoro, SH, Loc cit hal 18. 54 Prof. Dr. R. Wirjono Prodjodikoro, SH, Ibid hal 18. Universitas Sumatera Utara 77 Penafsiran beliau terhadap pasal 1457 dan 1458 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata selaras dengan azas “konsensualitas” dan sistim perjanjian jual beli yang dianut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata selaras dengan azas “konsensualitas” dan sistim perjanjian jual beli yang dianut Kitab Undang- Undang Hukum Perdata yang hanya bersifat “obligatoir” saja, artinya bahwa perjanjian jual beli baru meletakkan hak dan kewajiban bertimbal balik antara kedua belah pihak; pihak penjual dan pihak pembeli yaitu meletakkan kepada si penjual kewajiban untuk menyerahkan hak milik atas barang yang dijualnya, sekaligus memberikan kepadanya hak utnuk menuntut pembayaran harga yang telah disetujui dan di sebelah lain meletakkan kewajiban kepada si pembeli untuk membayar harga sebagai imbalan haknya untuk menuntut penyerahan hak milik atas barang yang dibelinya. Dalam tahap ini lazim disebut dengan istilah “obligatoir overeenkomst”. Dengan lain perkataan, hanya dengan ditutupnya perjanjian jual beli menurut sistim yang dianut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata belum memindahkan hak milik, dan hak milik baru akan berpindah dengan dilakukannya “levering”. Tahap ini lazim disebut dengan istilah “zakelijke overeenkomst”, yaitu suatu perjanjian dimana kedua belah pihak menyatakan kehendaknya untuk memberikan hak hak milik; “eigendom” atas benda yang diserahkan kepada pihak yang memperoleh benda tersebut. Terhadap sifat jual beli hanya “obligatoir” saja untuk lebih jelasnya kita dapat melihat pasal 1459 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi; “Hak milik atas kebendaan yang dijual tidak akan berpindah kepada si pembeli selamanya belum dilakukan penyerahan”. Universitas Sumatera Utara 78 Apa yang dapat kita lihat dari ketentuan pasal 1459 diatas tersebut ? Si pembeli bukanlah merupakan seorang pemilik terhadap barang yang dibelinya selama penyerahan akan barang itu oleh penjual belum dilakukan. Jadi pembeli baru akan merupakan pemilik terhadap barang yang dibelinya setelah pihak dari penjual atau si penjual melakukan penyerahan. Bila kita telaah isi ketentuan pasal 1459 tersebut diatas, adalah sebenarnya merupakan suatu pernyataan kepada kita bahwa di satu pihak sistim jual beli yang dianut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata hanya bersifat “obligatoir”, dan di pihak lain bahwa hak milik itu dapat berpindah hanya dengan penyerahan levering. Dengan uraian-uraian diatas, akhirnya kami berkesimpulan bahwa : 1. Lahirnya atau ditutupnya perjanjian jual beli bukanlah berarti hak milik atas barang yang menjadi objek perjanjian telah berpindah. Tetapi laharnya atau ditutupnya perjanjian jual-beli baru hanya meletakkan hak dan kewajiban kepada kedua belah pihak secara bertimbal balik “obligatoir” 2. Hak milik baru berpindah setelah adanya penyerahan “levering” Manakala setelahnya kita mengetahui azas “konsensualisme” yang dianut Hukum Perjanjian, sudah barang tentu azas tersebut menjiwai seluruh perjanjian- perjanjian di dalamnya, walaupun ada satu dua perjanjian kecualinya. Azas tersebut yang antara lain menjiwai perjanjian jual-beli. Sehingga dengan demikian tercapai “kesepakatan” mengenai hal-hal yang pokok dalam jual beli maka perjanjian telah dilahirkan. Tetapi ternyata hal ini bukan mengandung arti hak milik atas barang tersebut telah berpindah dari penjual ke pembeli, hal ini Universitas Sumatera Utara 79 karena sistim jual-beli yang dianut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata hanya obligatoir saja. Maka untuk pemindahan hak milik itu diperlukan suatu perbuatan yuridis yaitu “levering” Selanjutnya untuk pemecahan masalah-masalah yang timbul akibat pengaturan soal risiko dalam perjanjian jual beli, baiklah kita melihat kembali pasal-pasal yang bersangkutan. Pasal 1460 berbunyi ; “Apabila barang yang dijual itu merupakan suatu barang yang sudah ditentukan, maka barang itu semenjak perjanjian jual beli ditutup adalah atas tanggungan si pembeli, walaupun penyerahan akan barang belum dilakukan dan berhaklah si penjual menuntut harganya”. Semenjak perjanjian jual beli ditutup dan bila barang yang menjadi objek perjanjian jual beli merupakan suatu barnag yang sudah ditentukan, maka kerugian dengan musnahnya barang adalah merupakan beban yang harus dipikul oleh pembeli walaupun barangnya belum diserahkan. Demikian menurut isi ketentuan pasal tersebut, sehingga menurut hemat kami isi ketentuan itu mengandung arti, bahwa hak milik atas benda tersebut telah berpindah kepada pembeli sejak perjanjian jual beli dilahirkan. Betapa tidak, oleh karena sejak detik itu benda itu telah menjadi tanggungan pembeli. Bukankah seorang pemilik akan bertanggung jawab atas barangnya? Bagaimana tanggapan kita terhadap isi ketentuan pasal 1460 ini bila kita identikan dengan system jual-beli dan pemindahan hak milik yang dianut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Universitas Sumatera Utara 80 Sebagaimana dengan apa yang kami telah uraikan pada halaman yang sudah lalu. Pada halaman itu kami telah utarakan bahwa Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dalam jual-beli hanya bersifat obligatoir saja, yaitu perjanjian jual beli baru meletakkan hak dan kewajiban bertimbal balik antara kedua belah pihak. Meletakkan kewajiban kepada si penjual untuk menyerahkan hak milik atas barang itu dan memberikan hak kepadanya untuk menuntut pembayaran sedang dipihak lain meletakkan kewajiban kepada si pembeli untuk membayar harga dan memberikan hak kepadanya untuk menuntut penyerahan hak milik atas barang itu. Sedangkan hak milik baru berpindah dengan dilakukannya “Levering”. Jadi tegasnya ditutupnya perjanjian jual beli bukan berarti hak milik atas benda itu telah berpindah kepada pembeli atau pembeli telah menjadi pemilik, tetapi ditutupnya perjanjian jaul beli itu baru hanya mengikat pihak-pihak yang bersangkutan dan pembeli baru akan merupakan pemilik terhadap kebendaan itu dengan dilakukannya penyerahan oleh penjual dan oleh pembeli diterima. Dalam keadaan ini perjanjian jual beli baru berdaya langsung terhadap kedudukan barangya. 55 Sehingga sebelum penyerahan dilakukan penjual masih tetap pemilik kebendaan itu. Oleh karena itu apabila si penjual jatuh pailit atau dilakukan penyitaan terhadap harta benda si penjual pailisemen dapat dianggap sebagai suatu “penyitaan umum” maka barang tersebut diatas disita sebagai miliknya si penjual atau masih termasuk dalam harta kekayaan “boedel” sipenjual. 56 55 Prof. Dr. R. Wirjono Prodjodikoro SH, Ibid. 56 Prof. R. Subekti SH, Loc Cit, hal. 58 Universitas Sumatera Utara 81 Maka karena itu isi ketentuan pasal 1460 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut merupakan suatu kekeliruan yang tidak sesuai dengan system jual beli dan pemindahan hak milik yang dianut Kitab Undang-Undang Perdata. Kita telah mengetahui bahwa isi ketentuan pasal tersebut diatas merupakan suatu keganjilan atau kekeliruan. Berikutnya bagaimana dengan isi ketentuan pasal 1461 dan pasal 1462? Pasal 1461 berbunyi : “Apabila barang-barang tidak merupakan barang yang dijual menurut tumpukan melainkan barang-barang yang dijual menurut berat, jumlah atau ukuran maka barang-barang itu atas tanggungan si penjual hingga barang-barang ditimbang, dihitung atau diukur”. Bila barang yang diperjual belikan menurut berat, jumlah atau ukuran maka kerugian dengan musnahnya barang itu adalah merupakan beban yang harus dipikul oleh si penjual hingga barang-barang itu ditimbang, dihitung atau diukur artinya hak milik atas barang-barang itu belum berpindah kepada pembeli sejak dilahirkannya perjanjian. Batasan ketentuan ini jika kita identikan dengan system jual beli yang dianut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah tepat dan sesuai sekali. Namun sebaliknya akan terlihat suatu ketentuan yang ganjil atau keliru yaitu bahwa jika setelah barang itu ditimbang, dihitung atau diukur maka kerugian akan musnahnya barang-barang itu, merupakan beban yang harus dipikul oleh pembeli. Akhirnya kesimpulan kita terhadap isi ketentuan pasal 1461 ini sama dengan isi ketentuan pasal 1460 yaitu suatu ketentuan pasal yang keliru., Memang kita mengakui bahwa isi ketentuan pasal 1461, tidak sejelas atau setegas isi ketentuan pasal 1460 yang dengan tengas mengatakan “Walaupun Universitas Sumatera Utara 82 penyerahan barang belum dilakukan”. Tetapi hal ini bukan berarti dengan tidak secara tegas pasal 1461 menyebutkan demikian lantas dimaksud dan arti kedua ketentuan tersebut langsung berbeda, adalah tidak tepat. Karena pengertian dua kata yang sama tidak selalu harus berasal dari bunyi kata yang sama pula. Kesamaan ketentuan pasal 1461 dengan pasal 1460 kami dapat simpulkan dari arti perkataan “diatas tanggungan si penjual hingga barang-barang ditimbang, dihitung atau diukur” dan hal ini berarti atas tanggungan si pembeli setelah barang-barang ditimbang, dihitung atau diukur. Analisa kami terhadap ketentuan ini mentautkan pada pengertian levering itu sendiri yaitu merupakan suatu perbuatan juridis untuk memindahkan hak milik. Penjelasan ; Kalau penulis membeli barang seperti apa yang disebutkan oleh pasal 1461, kemudian setelah barang ditimbang, dihitung atau diukur, lantas tidak berapa lama kemudian barang-barang tersebut musnah atau hancur waktu barang diangkut menuju rumah penulis mobil terjatuh kedalam jurang hingga barang-barang tersebut rusak atau tidak dapat dipakai lagi. Bukankah ini sama artinya dengan penerayahan belum dilakukan sehingga penulis pun belum merupakan seorang pemilik kebendaan itu. Pasal 1462 berbunyi : “Apabila barang-barang merupakan barang-barang yang dijual menurut tumpukan, maka barang-barang itu adalah atas tanggungan si pembeli, meskipun belum ditimbang, dihitung atau diukur”. Semenjak perjanjian jual beli ditutup bila barang yang diperjual belikan menurut tumpukan, maka kemusnahan barang-barang itu adalah merupakan beban yang harus dipikul oleh si pembeli, walaupun barang-barang tersebut Universitas Sumatera Utara 83 belum ditimbang, dihitung atau diukur, mengandung arti bahwa hak milik atas barang-barang itu telah berpindah kepada pembeli sejak perjanjian jual beli dilahirkan. Asumsi kami terhadap isi ketentuan pasal terakhir ini dengan melihat akan pencerminan ketentuan dua pasal yang pertama, menurut kami, ketentuan dari pasal 1462 ini pun tiada berbeda dengan dua pasal yang pertama tadi, dalam arti bahwa ketentuan pasal inipun jika ditautkan dengan system jual-beli dan pemindahan hak milik yang dianut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, merupakan ketentuan yang menyimpang dari system jual beli yang hanya obligatoir saja dan system pemindahan hak milik yang harus dengan suatu perbuatan juridis yaitu “Levering”. Sehingga ketentuan pasal 1462 adalah pula merupakan suatu ketentuan yang keliru. Akhirnya, kami berkesimpulan bahwa, isi ketentuan pasal 1460 pun demikian dengan isi ketentuan pasal 1461 dan pasal 1462, ketiganya merupakan ketentuan pasal yang menyimpang dari system jual beli dan pemindahan hak milik yang dianut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, sehingga ketentuan pasal undang-undang tersebut menimbulkan keganjilan dan ketidak adilan. Oleh karena itu sudah sepantasnya pasal-pasal itu dikesampingkan atau disingkirkan jauh-jauh. Kita mengakui benar bahwa, seluruh masyarakat tidak mengetahui akan isi ketentuan-ketentuan pasal itu, baik dari masyarakat kelas bawah, menengah, dan bahkan dari masyarakat kelas atas sekalipun masih banyak tidak mengetahuinya. Tanggapan Instansi Peradilan Terahadap Pasal-pasal yang dimaksud Universitas Sumatera Utara 84 Dan contoh nyata yang penulis lihat sendiri, pada waktu mengadakan Tanya jawab dengan Sales Manager PT. Astra Motor Sales. Yang bertempat kedudukan di Jalan Asia Afrika No. 125 Bandung, Beliau mengatakan sungguh Bapak tiada menduga bahwa ada pasal ketentuan undang-undang yang peraturannya seperti ini, dengan menunjuk kepasal tersebut. Akan tetapi dengan demikian lantas kita yang kebetulan berkecimpungt dalam bidang ilmu hukum hanya akan berpangku tangan saja dengan membiarkan mereka terlena dibawah suatu ketentuan yang mereka tidak sadari, yang sekali waktu bisa menimpa mereka dan mungkin juga menimpa kita. Dengan menginsafi keganjilan ini, sebagaimana halnya di Negara Belanda maka Mahkaman dengan Surat Edarannya tanggal 4 Agustus 1963, yang dikeluarkan dengan suratnya tanggal 5 September 1963 No. 3P3292M1963 tentang “Gagasan menganggap Buergerlijk Wetboek tidak sebagai Undang- Undang”, maka sebagai konsekwensi gagasan itu Mahkamah Agung menganggap tidak berlaku lagi 8 buah pasal dalam BW; antara lain : pasal 1460 tersebut. Pasal undang-undang tentang risiko dalam jual beli dengan Surat Edaran Mahkamah Agung, hanya dinyatakan pasal 1460 saja yang tidak berlaku lagi. Apakah dengan begitu bahwa hanya pasal 1460 saja yang dianggap keliru ? Bagaimana dengan pasal 1461 dan pasal 1462. Atau apa hanya dengan menyatakan pasal 1460 saja, sudah mengandung makna bahwa di dalamnya terkandung juga pasal 1461 dan 1462? Universitas Sumatera Utara 85 Menurut hemat penulis, ketiga pasal pengaturan tentang risiko dalam jual beli adalah merupakan pasla-pasal yang keliru, sebagaimana dengan Prof. R. Subekti SH katakan : Kalau mengenai barang-barang yang masih harus ditimbang, dihitung atau diukur dahulu, sebelum dilakukan penimbangan, penghitungan atau pengukuran, risikonya diletakkan di pundak si penjual, itu memang sudah tepat, tetapi setelah dilakukan penimbangan, penghitungan atau pengukuran, risiko tersebut otomatis dipindahkan kepada pembeli, itu merupakan suatu ketidak adilan seperti yang dikatakan oleh pasal 1460. 57 Begitu pula ketentuan tentang barang “tumpukan” adalah sama karena barang tumpukan sebetulnya merupakan kumpulan dari barang-barang tertentu menurut pengertian pasal 1460. 58 Dengan hal ini, maka menurut hemat penulis kiranya dalam praktek pelaksanaan ketentuan pasal 1461, 1462 dinyatakan sama dengan rekannya pasal 1460 tersebut yaitu dinyatakan tidak berlaku lagi dan jangan hanya memberikan tafsiran-tafsiran yang sifatnya hanya mengurangi ketidak adilan oleh ketentuan- ketentuan yang keliru itu. Apakah pasal-pasal tersebut benar telah disingkirkan atau sudah tidak dipakai lagi ? Meskipun sudah diakui adanya pasal-pasal yang keliru karena dulu dikutib begitu saja dari Code Civil Prancis namun pasal-pasal tersebut tidak disingkirkan atau diperbaiki, melainkan hanya diberikan tafsiran-tafsiran yang 57 Prof. R. Subekti, SH. Op cit hal 40 58 Prof. R. Subekti, SH, Ibid Universitas Sumatera Utara 86 mengurangi ketidak adilan yang ditimbulkan oleh ketentuan-ketentuan yang keliru itu. Demikian halnya dengan pasal-pasal tentang risiko dalam jual beli pasal 1460, 1461 dan pasal 1462 dan pasal …….………………………. 59 Surat Edaran Mahkamah Agung No. 3 tahun 1963 tentang tidak berlakunya lagi beberapa pasal dari BW yang menurut pendapat kami harus dianggap sebagai anjuran Kepada Pengadilan – pengadilan bawahan untuk membuat yurisprudensi yang menyatakan pasal-pasal bermaksud tidak berlaku lagi dan maknanya dapat kita setujui, dapat pula diambil manfaatnya. Jarangnya terdengar perkara-perkara yang berkaitan dengan masalah tentang risiko dalam jual beli yang diajukan ke Pengadilan dan boleh dikatakan hampir tidak pernah terdengar, menjadi suatu masalah yang perlu kita ketahui apa penyebabnya hingga menjadi hampir tidak terdengar perkara-perkara seperti itu. Apakah memang pihak-pihak selalu dapat mengatasi atau menyelesaikan masalah-masalah seperti itu, bila seandainya terjadi, atau apa memang ada suatu peraturan yang sudah merupakan kebiasaan yang hidup dan tumbuh menjadi suatu kebiasaan yang sudah berlaku umum ? Untuk itu kita akan melihat usaha yang telah dan yang dapat dilakukan. Bila kita lihat memang dengan sistim terbuka yang dianut Hukum Perjanjian, pengaruhnya sangat besar dalam menentukan lancarnya lalu lintas perdagangan yang mana dengan sistim ini para pihak bebas membuat ketentuan- ketentuan sendiri yang menyampingkan pasal-pasal Hukum Perjanjian. Dan Dengan Memanfaatkan Sistim Terbuka Yang Dianut Hukum Perjanjian. 59 Prof. R. Subekti, SH, Aspek-aspek Hukum Perikatan Nasional Cet. Pertama tahun 1976 Penerbit Alumni Hal. 20. Universitas Sumatera Utara 87 dengan tegasnya para pihak diperbolehkan membuat perjanjian yang berupa dan berisi apa saja. Dengan lain perkataan para pihak diperbolehkan membuat undang-undang bagi mereka, asal saja tidak bertentangan dengan apa yang dinamakan “ketertiban dan kesusilaan umum” Hal ini merupakan pengaruh positif dari sistim terbuka. Misalnya, menurut pasal 1460, risiko kemusnahan kebendaan yang menjadi objek jual beli dipikul oleh pembeli, tapi para pihak dapat membuat perjanjian bahwa risiko itu dipikul oleh penjual atau dipikul bersama. Pengaruh positif, memberikan kebebasan kepada para pihak yang membuat ketentuan sendiri, tetapi betapa menyita waktu, tenaga dan pikiran dengan setiap kali para pihak mengadakan transaksi maka harus membuat ketentuan-ketentuan terhadap transaksi yang mereka lakukan, hal ini tentu membosankan pengaruh negatif dari sistim terbuka. Suatu perbuatan yang terus-menerus dilakukan dan yang dirasakan sesuai dengan norma-norma kehidupan tidak heran apabila hal itu menjadi suatu pola perilaku kehidupan di masyarakat tersebut. Demikian halnya bila para pihak- pihak telah terbiasa dengan suatu peraturan yang mereka tentukan sendiri, hal ini sesuai dengan sistim terbuka tersebut dan yang mereka patuhi setiap mengadakan perjanjian, akan tumbuh menjadi suatu hukum kebiasaan. Suatu peraturan akan tumbuh menjadi suatu hukum kebiasaan jika memang peraturan itu layak dan pantas dirasakan sesuai dengan keadilan yang diingini. Demikian sekarang ini akhirnya yang diterapkan dalam jual beli terhadap risiko kemusnahan barang yang menjadi objek perjanjian jual beli. Universitas Sumatera Utara 88 1. Kebiasaan Yang Hidup Dan Tumbuh Menjadi Suatu Hukum Kebiasaan Yang Berlaku Umum Hukum kebiasaan adalah himpunan kaedah-kaedah yang biarpun tidak ditentukan oleh badan perundang-undangan ditaati juga karena orang sanggup menerima kaedah-kaedah itu sebagai hukum. 60 Sepanjang masa terdapat pembentuk undang-undang yang bercita-citakan perundang-undangan yang lengkap, yang dengan lain perkataan menyangka bahwa mereka dapat memberikan peraturan-peraturan dalam undang-undang yang dapat dipakai untuk segala hal. Kini orang yakin, bahwa undang-undang tak kan pernah lengkap. Kehidupan masyarakat demikian rumitnya dan berubah-ubah, sehingga pembentuk undang-undang tak mungkin memenuhi segala pertanyaan hukum yang timbul dari kehidupan masyarakat. Disamping itu kadang undang- undang tidak memenuhi rasa keadilan sehingga menjadikan penyimpangan dari tujuan hukum itu yaitu mengatur tata tertib masyarakat secara adil dan dengan jalan damai. 61 Memang benar apa yang dikatakan tadi diatas bahwa tidak ada suatu perundang-undangan yang dapat mengikuti pandangan yang berganti-ganti dan hubungan yang berubah-ubah dalam masyarakat. Suatu kebiasaan dapat hidup dan tumbuh menjadi sesuatu yang diharuskan, tentu menjalani suatu proses yang cukup lama dan memenuhi syarat- syarat terbentuknya kebiasaan. 60 Prof. Mr. Dr. L.J.Van Apeldoorn Pengantar Ilmu Hukum Cet ke 13 hal Penerbit Pradnya Paramita – Jakarta 1975. 61 Prof. Mr. Dr. L.J. Van Apeldoorn Op Cit hal. 22 Universitas Sumatera Utara 89 Syarat-syarat untuk terbentuknya hukum kebiasaan : 1. Kebiasaan, suatu tindakan menurut garis tingkah laku yang tetap 2. Adanya kesadaran pada mereka, bahwa mereka sudah semestinya berbuat begitu; jadi berdasarkan keyakinan bahwa mereka memenuhi kewajiban hukum. 62 Keyakinan itu tidak perlu ada pada tiap-tiap orang yang mengikuti kebiasaan itu, sebaliknya benar-benar perlu bahwa keyakinan itu terdapat dalam lingkungan dimana kebiasaan itu terjadi, tetapi tidak adanya keyakinan tersebut pada perseorangan, tak membebaskan individu itu dari kewajiban untuk menjalankan peraturan kebiasaan. Hukum tidak terdiri atas peraturan yang dibentuk untuk diri seseorang, melainkan terdiri atas peraturan-peraturan yang diletakkan oleh masyarakat pada kita Hukum adalah heteronom, bukan otonom. 63 Memang adalah benar apa yang telah diutarakan diatas dan untuk kejelasannya kami akan memberikan contoh. Misalnya, perbulan-bulan lamanya seorang pemungut sewa rumah memungut uang sewa dari sebuah rumah yang ada disuatu bagian kota pada alamat penyewa. Jadi tiap bulan ia datang ke rumah yang uang sewanya hendak dipungutnya itu. Kedua belah pihak yang berkepentingan lama kelamaan menganggap kebiasaan ini sebagai suatu yang sudah diharuskan. Lama kelamaan kebiasaan ini dirasa oleh yang menyewakan dan penyewa sebagai suatu kewajiban hukum. Yakni sebagai suatu yang tidak dapat diubah dengan begitu saja. Dan bila kemudian 62 Prof. Mr. Dr. L.J. Van Apeldoorn. Op cit hal 124. 63 Prof. Mr. Dr. L.J. Van Apeldoorn. Op cit hal 124-125. Universitas Sumatera Utara 90 kebiasaan ini oleh pihak-pihak lain diikuti dan secara sadar mengakuinya, dalam arti kebanyakan masyarakat umum telah mengakuinya, maka sudahlah lahir hukum kebiasaan. Kita mengakui, bahwa kita tidak selalu dapat menunjuk ke hukum kebiasaan bila kita menemukan suatu perkara yang dalam undang-undang diatur namun dalam pelaksanaannya, pihak – pihak tunduk kepada hukum kebiasaan, tetapi hal ini bukanlah berarti undang-undang selalu menang terhadap hukum kebiasaan, namun adakalanya undang-undang mengalah terhadap kebiasaan. Pasal 1347 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, lazim dinamakan “standard clausula” dimaksudkan dengan “hal-hal yang menurut kebiasaan selamanya diperjanjikan”. Menurut pasal tersebut maka hal-hal yang menurut kebiasaan selamanya diperjanjikan itu dianggap secara diam-diam dimasukkan dalam perjanjian, meskipun tidak dengan tegas dinyatakan. Oleh karena dianggap sebagai diperjanjikan atau sebagia bagian dari perjanjian sendiri, maka hal yang menurut kebiasaan selamanya diperjanjikan itu dapat menyingkirkan suatu pasal undang-undang yang merupakan hukum pelengkap. Dalam hubungan ini ada terkenal suatu perkara terjadi di Negeri Belanda mengenai jual beli sapi. Persoalannya ialah mengenai risiko atas seekor sapi yang telah dijual, tetapi belum diserahkan kepada pembelinya. Sebagaimana kita ketahui, dalam perjanjian jual-beli, risiko atas barnag yang sudah dibeli tetapi belum diserahkan, apabila mengenai suatu barang tertentu, dipikulkan atas pundaknya pihak pembeli. Artinya : Kalau barang itu musnah diluar kesalahan salah satu pihak, maka pembeli toh harus membayar harganya, meskipun ia tidak menerima Universitas Sumatera Utara 91 barang. Dalam perkara yang bersangkutan ini, sapi yang telah dijual dan belum diserahkan itu mati. Ketika pembeli ditagih tentang pembayarannya, ia mengemukakan bahwa di kalangan para pedagang sapi sudah lazim dalam jual beli sapi itu diperjanjikan bahwa selama sapi masih ditangannya si penjual, maka risiko atas sapi itu masih dipikul oleh penjual. Benar dalam jual-beli yang bersangkutan ini, hal itu tidak secara tegas dinyatakan, tetapi harus dianggap secara diam-diam dimasukkan dalam perjanjian. Setelah pihak pembeli berhasil membuktikan tentang adanya “janji yang lazim dipakai” itu, maka ia dibenarkan oleh Hakim. 64 Berpedoman terhadap hal-hal yang kami telah uraikan, maka usaha yang dapat dilakukan mengatasi keganjilan-keganjilan yang telah kami ulas pada halaman yang lalu maka hukum kebiasaan dapat dipakai sebagai suatu peraturan didalam mengganti kedudukan pasal-pasal dari suatu undang-undang, dalam hal ini, hukum kebiasaan berperan sebagai pengganti singgasana ketentuan pasal 1460 1461, 1462. Dan dengan hal ini penulis telah dengan sengaja melakukan penelitian ke PT. Toyota Auto 200. Yang bertempat kedudukan di jalan : sisingamangaraja dan meminta keterangan secara tanya-jawab terhadap beberapa karyawan dari proyek-proyek yang sedang melaksanakan pembuatan Perumahan. Dalam penelitian yang penulis lakukan pada Dealer mobil PT. Toyota Auto 2000 dengan menyimpulkannya bahwa di dalam tiap-tiap perjanjian jual beli mobil yang mereka lakukan ,telah dianggap secara diam-diam diperjanjikan bahwa selama penyerahan belum mereka lakukan maka risiko atas mobil tersebut 64 Prof. R. Subekti, SH. Loc cit hal. 38 Universitas Sumatera Utara 92 dipikul oleh mereka dealer. Hal ini bagi perusahaan kami sudah merupakan suatu ketentuan peraturan yang mengikat berdasarkan kebiasaan, demikian dikatakan ibu serly, selaku Sales Manager pada PT tersebut. Menyatakan bahwa, hemat saya hal ini bukan ketentuan peraturan yang hanya berlaku pada perusahaan kami saja, tapi semua perusahaan yang bergerak di bidang perdagangan. Bukankah hal itu suatu hal yang logis dan layak musnahnya barang sebelum diserahkan dipikul oleh pihak yang menjual dan illogikal bila ada seorang pembeli yang mau dengan begitu saja menerima memikul kerugian dengan musnahnya barang itu, sebagaimana ketentuan pasal 1460 yang saudara sebutkan tadi. Dan sunguh kenapa baru mengetahui bahwa ada ketentuan hal itu diatur dalam undang-undang. Kemungkin besar dan pasti tak akan ada yang mau dan yang berminat dari dulu membeli mobil ke perusahaan kami bila kami menerapkan ketentuan seperti yang dituangkan dalam pasal 1460 tersebut. Adapun usaha yang dilakukan oleh PT. Toyora Auto 2000 untuk menanggulangi kerugian bila mobil-mobil tersebut ditimpa oleh suatu peristiwa adalah dengan jalan mengasuransikannya. Dalam hal ini asuransi yang mereka lakukan yakni : 1. Asuransi Kebakaran 2. Asuransi Pengangkutan Asuransi kebakaran mereka adalah setelah dan selama mobil-mobil tersebut berada dalam perusahaan mereka. Dan setiap kali mengadakan asuransi dalam jumlah mobil empat puluh buah. Universitas Sumatera Utara 93 Asuransi Pengangkutan mereka adalah sewaktu mereka mendatangkan mobil dari perusahaan pusat dan sewaktu penjualan mobil dalam penyerahannya bila harus melalui pengangkutan. ketentuan peraturan ini adalah suatu kelaziman dan kebiasaan yang berlaku dalam jual-beli dan memang sudah harus demikianlah layaknya, lain hal bila kita di dalam pembuatan perjanjian jual beli telah menjanjikan bahwa bila barang hancur karena keadaan yang memaksa ditanggung bersama atau hanya ditanggung pembeli. Ini pun harus ada syarat, seperti harga kebendaan harus diturunkan. Dengan hal-hal yang telah terutarakan diatas, akhirnya penulis berkesimpulan bahwa : 1. Adanya suatu hukum kebiasaan yang telah melembaga menjadi suatu peraturan yang berlaku umum dalam jual beli. 2. Peraturan hukum kebiasaan yang berlaku itu menetapkan risiko dalam perjanjian jual beli atas kemusnahan barang yang menjadi objek perjanjian jual beli dipikul oleh pihak penjual selama penyerahan belum dilakukan dalam arti barang hancur masih dalam kekuasaan penjual. Dan kami menganjurkan agar dalam pembentukan Hukum Perjanjian Nasional yang akan datang dapat juga mencontoh ketentuan ini karena secara tidak langsung ketentuan ini boleh dikatakan sama dengan ketentuan pasal 1545 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang kami akan berikan dalam pemecahan bentuk perjanjian yang tidak ada pasal pengaturan soal risikonya. Universitas Sumatera Utara 94 B. Mengapa Ada Pasal Undang-Undang Yang Memberikan Peraturan Yang Tidak Adil Itu ? Dalam uraian pada Bab I, telah diutarakan bahwa Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang sekarang kita pakai adalah salah sebuah Kitab Undang- Undang yang berasal dari zaman Pemerintahan Belanda dan yang diberlakukan di Indonesia berdasarkan azas konkordansi adalah sebenarnya sebagian terbesar kitab tersebut oleh Pemerintahan Belanda dikutip dari Code Civil Prancis. Untuk itu dalam pemecahan masalah inipun, penulis akan melakukan tinjauan sejarah. Tinjauan sejarah yang kami maksudkan memberikan secara garis besarnya sejarah terbentuknya Kitab Undang-Undang Negeri Belanda hingga melalui azas konkordansi diberlakukan di Indonesia. Hukum Perdata Belanda bagian terbesar berasal dari Hukum Perdata Perancis yang dikodifikasikan pada tanggal 21 Maret 1804. Sebelum kodifikasi wilayah Negeri Prancis terbagi dalam dua bagian, yaitu bagian Utara dan Tengah yang merupakan daerah hukum lokal yaitu hukum kebiasaan prancis kuno yang berasal dari hukum Germania disampingnya hukum Romawi yang sangat berpengaruh besar dan bagian Selatan yang merupakan daerah yang memperlakukan Hukum Romawi yang telah dikodifikasikan dalam “Corpus Iuris Civilis” dari Justianus. Terjadinya Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Belanda. Pada bagian kedua abad ke 17 di negeri Perancis telah timbul aliran yang menciptakan suatu kodifikasi hukum disitu agar diperoleh kesatuan dalam Hukum Universitas Sumatera Utara 95 Perancis. Dan pada abad ke – 8 dibuat oleh raja Perancis dibuat kodifikasi dari beberapa bagian hukum Prancis. Antara peraturan-peraturan itu ada tiga yang penting sebagai sumber hukum historis untuk mempelajari sejarah hukum perdata Barat yaitu : 1. “Ordonnance sur les donations” yang mengatur soal-soal mengenai pemberian schenking tahun 1731. 2. “Ordonnance sur les testaments” yang mengatur soal-soal mengenai testamen tahun 1735 3. “Ordonance sur les substitutions fidecomissaires” yang mengatur soal-soal mengenai tahun 1747 Kodifikasi Hukum Perdata Perancis baru dijadikan pada waktu sesudah Revolusi Prancis. Pada tanggal 12 Agustus oleh Napoleon dibentuk suatu panitya yang diserahi tugas rencana Kodifikasi. Panitianya itu terdiri atas empat anggota, yaitu : Portalis, Tonchet, Bigotde Preameneu dan Malleville. Yang menjadi sumber kodifikasi hukum itu : - Hukum Romawi menurut Peradilan Prancis dan menurut tafsiran yang dibuat oleh Potheir dan Domat. - Hukum Kebiasaan daerah Paris - Peraturan Perundang-undangan yang telah disebut diatas. - Dan hukum yang dibuat pada waktu Revolusi Prancis. Seperti telah dikatakan diatas kodifikasi Hukum Perdata Perancis itu dibuat pada tanggal 21 Maret 1804. Pada tahun 1807, maka kodifikasi hukum perdata itu yang bernama “Codedes Francais” diundangkan lagi dengan nama “Code Napoleon”. Universitas Sumatera Utara 96 “Code Napoleon” itu sekarang masih berlaku di Negeri Prancis, yaitu “Code Civil Perancis”. Oleh karena Negeri Belanda adalah waktu itu jajahan Prancis maka dari tahun 1811 sampai tahun 1838 “Code Napoleon” ini serta “Code”Prancis lainnya berlaku juga di Negeri Belanda sebagai kitab undang-undang hukum resmi. Setelah berakhirnya pendudukan Perancis di Negeri Belanda pada tahun 1813, maka berdasarkan pasal kodifikasi Undang-Undang Dasar Negeri Belanda dari tahun 1814 pasal 100 dibentuk suatu panitia yang bertugas membuat rencana kondifikasi hukum Belanda. Panitia itu diketuai oleh Mr. Kemper. Yang menjadi sumber kodifikasi Hukum Perdata Belanda adalah untuk bagian terbesarnya “Code Napoleon” dan disampingnya itu juga Hukum Belanda kuno bagian kecil saja. Pada tahun 1816 oleh Kemper disampaikan kepada raja Belanda suatu rencana kodifikasi Hukum Perdata. Tetapi rencana tersebut tidak diterima oleh para ahli hukum bangsa Belgia pada waktu itu Negeri Belanda dan Belgia disatukan menjadi satu negara karena rencana itu oleh Kemper didasarkan atas hukum Belanda yang kuno, sedangkan para ahli hukum Belgia hendak menurut “Code Napoleon”. Setelah mendapat perubahan sedikit, maka rencana itu disampaikan kepada parlemen Belanda pada tanggal 22 November 1820. Rencana tersebut terkenal dengan nama “Ontwerp-Kemper” “Rencana Kemper” Dalam perdebatan dalam parlemen Belanda “Ontwerp-Kemper itu mendapat tantangan keras dari anggota – anggota bangsa Belgia yang dipimpin oleh presiden ketua pengadilan tinggi di kota Luik Belgia P.Th. Nicolai tahun Universitas Sumatera Utara 97 1768-1836. Setelah Kemper meninggal dunia pada tahun 1824, maka pembuatan kodifikasi hukum perdata itu dipimpin oleh Nicolai. Karena Nicolailah, maka bagian terbesar kodifikasi hukum perdata Belanda didasarkan atas “Code Napolen”. Hanya beberapa bagian dari kodifikasi tersebut didasarkan atas hukum Belanda yang kuno. Maka dari itu kodifikasi Hukum Perdata Belanda adalah suatu tiruan kodifikasi Hukum Perdata Perancis dengan beberapa perubahan yang kecil-kecil yang berasal dari Hukum Belanda yang kuno. Karena peperangan yang mengakibatkan pemisahan antara Negeri Belanda dan Belgia tahun 1830-tahun 1839 maka kodifikasi hukum perdata Belanda itu baru dapat direncanakan pada tahun 1838. Demikian halnya Negara Indonesia waktu itu adalah Negara jajahan Belanda yang dikenal dengan sebutan Hindia Belanda yang dengan berdasarkan azas konkordansi, maka kodifikasi Hukum Perdata Belanda menjadi contoh bagi kodifikasi Hukum Perdata Belanda di Indonesia Hindia Belanda pada tanggal 1 Mei 1848. Dengan uraian singkat tentang sejarah terbentuknya Kitab Undang- Undang Hukum Perdata Belanda, hingga melalui azas konkordansi berlaku di Indonesia, kita dapat melihat bahwa bagian terbesar kodifikasi hukum perdata Belanda didasarkan atas “Code Napoleon”, hanya beberapa bagian dari kodifikasi tersebut didasarkan atas hukum Belanda kuno. Jadi dengan kata lain bahwa kodifikasi hukum perdata Belanda adalah suatu tiruan dari kodifikasi hukum perdata perancis dengan beberapa perubahan yang kecil-kecil yang berasal dari hukum Belanda kuno. Demikianlah halnya dengan Universitas Sumatera Utara 98 pasal-pasal yang sedang kita permasalahkan dalam skripsi ini yaitu; pasal 1460 pasal 1461, 1462, merupakan pasal-pasal yang langsung diambil alih dari Code Civil Perancis. Pasal 1460, 1461,1462 adalah pasal ketentuan yang mengatur soal risiko dalam jual beli, yang telah kita bahas dan merupakan pasal-pasal yang menimbulkan keganjilan-keganjilan. Sistim jual beli yang dianut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata hanya “obligator” belaka yaitu artinya perjanjian jual beli itu baru hanya meletakkan hak dan kewajiban bertimbal balik antara kedua belah pihak. Jadi hanya dengan ditutupnya perjanjian, hak milik belum berpindah, hal ini dapat kita lihat dalam pasal 1459 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, mengatakan bahwa hak milik atas kebendaan yang dijual tidak akan berpindah kepada si pembeli selama belum dilakukan penyerahan. Sehingga sistim pemindahan hak milik menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, harus dengan melakukan suatu perbuatan lagi yang terpisah dengan pembuatan perjanjian yaitu perbuatan “penyerahan” hal ini dapat kita lihat dalam pasal 1475 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, mengatakan bahwa penyerahan adalah suatu perbuatan pemindahan barang yang sudah dijual ke dalam kekuasaan dan kepunyaan si pembeli. Dengan sistim jual beli yang dianut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang hanya obligatoir belaka dan pemindahan hak milik harus dengan levering, maka akhirnya penerapan pasal 1460 itu menimbulkan keganjilan- keganjilan. Universitas Sumatera Utara 99 Terhadap hal ini kita dapat melihat apa yang dikatakan Prof. R. Subekti SH. Secara terus terang, bahwa pasal 1460 itu telah dikutib begitu saja dari Code Civil Perancis, juga tanpa disadari bahwa B.W. sudah mengambil memilih suatu sistim lain tentang pemindahan hak milik, yaitu dengan mengkonstruksikan jual beli sebagai suatu perjanjian “obligatoir belaka, sedangkan pemindahan hak milik, secara yuridis dilaksanakan digeser pada suatu moment lain, yaitu pada saat dilakukannya apa yang oleh para sarjana Belanda dinamakan “zakelijke overeenkomst” 65 Apa yang diutarakan diatas bahwa B.W. sudah mengambil suatu sistim yang lain dengan Code Civil Perancis tentang pemindahan hak milik dimana menurut Code Civil Perancis ini hak milik sudah berpindah pada saat ditutupnya perjanjian jual beli. “La propriete est acquise, des qu’on est convenu de la chose et du prix” kata pasal 1583 C.C. yang berarti : “Hak milik telah diperoleh sejak dicapai kesepakatan tentang barang dan harga”. Karenanya dalam Code Civil Perancis itu perkataan “delivrance” penyerahan hanya merupakan suatu penyerahan kekuasaan belaka, suatu perbuatan physik yang dalam bahasa Belanda dinamakan “feitelijke levering” 66 Perkataan “kodifikasi hukum perdata Belanda adalah suatu tiruan dari kodifikasi hukum perdata Perancis dengan beberapa perubahan yang kecil-kecil yang berasal dari hukum Belanda kuno”, dan bila hal ini kita identikkan dengan apa yang dikatakan Prof. R. Subekti, SH, diatas maka perobahan itu salah satu diantaranya adalah perubahan sistim jual beli dengan sistim pemindahan hak 65 Prof. R. Subekti Loc cit hal 24-38 66 Prof. R. Subekti Op Cit Hal 24. Universitas Sumatera Utara 100 milik. dan akhirnya kami berkesimpulan bahwa, adanya pasal undang-undang yang memberikan peraturan yang tidak adil itu karena pengutipan pasal tersebut dengan begitu saja dari Code Civil, tanpa disadari bahwa B.W sudah mengambil sistim yang lain tentang pemindahan hak milik dari sistim pemindahan hak milik yang dianut hukum perdata Perancis. C. Pasal Peraturan Dari Bentuk Perjanjian Yang Mana Harus Diterapkan atau Dipakai Terhadap Perjanjian – Perjanjian Tersebut. Berhubung dengan masalah risiko di dalam perjanjian yang sedang dibicarakan dalam skripsi ini, ternyata dalam pengaturannya di dalam undang- undang ada bentuk perjanjian tersebut yang tidak ditemukan peraturan tentang soal risikonya, yang tentu sedikit banyak juga menjadi masalah yang perlu dibahas. Sehubungan dengan itu ada baiknya bila hal ini dicarikan jalan keluarnya, karena bagaimanapun kecilnya permasalahan itu setidaknya dapat mengotori citra lalu lintas pergaulan dalam masyarakat. Pembahasan terhadap masalah ini kami akan melihat pertama sekali terhadap ; Hakim, kalau menemukan suatu persoalan yang tidak terdapat pasal undang-undang yang mengaturnya, ia tidak dapat mengatakan, kami tidak menemukan pasal pengaturan perkara saudara. Tetapi sebaliknya haruslah ia menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya, baik ada maupun tidak ada pasal undang-undang yang mengaturnya. Demikianlah halnya dengan perjanjian yang tidak ada peraturan risikonya, bila diajukan ia wajib Kewajiban Hakim Untuk Menyelesaikan Setiap Perkara. Universitas Sumatera Utara 101 menyelesaikan masalah itu, oleh karena pekerjaan hakim menjadi suatu faktur pembentuk hukum, telah diakui resmi oleh undang-undang. Hal ini dapat dilihat dalam pasal 14 ayat 1 No. 14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan – Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, dan pasal 22 AB. Pasal 14 ayat 1 Undang-undang No. 14 Tahun 1970 berbunyi : “Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili sesuatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadili”. 67 Dari dua ketentuan diatas, kita dapat melihat dengan jelas, bahwa Pengadilan hakim tidak dapat menolak untuk memeriksa suatu perkara dengan alasan hukum tidak ada atau kurang jelas, bahkan hakim dapat dituntut bila ia menolak untuk mengadili. Bila memang demikian ketentuannya, bahwa hakim tidak dapat menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara dengan dalih hukum atau perundang-undangan yang bersangkutan tidak ada tidak menyebutnya ataupun kurang jelas. Bagaimana bila perkara yang diajukan itu masalah yang sedang kita bahas sekarang ? Dengan patokan ketentuan pasal 14 ayat 1 Undang-undang No. 14 Tahun 1970 dan pasal 22 AB. Pengadilan hakim harus memeriksanya dan mengadili serta memutuskan. Tetapi pasal-pasal peraturan soal risiko dari bentuk perjanjian yang mana harus diterapkan atau dipakai terhadap perjanjian tersebut ? 67 Dr. Sri Soemantri, SH, Hak menguji Matril di Indonesia Bandung, 1972 hal 73 Universitas Sumatera Utara 102 Terhadap masalah ini pembahasannya terlepas dari penunjukan satu persatu perjanjian-perjanjian yang bersangkutan, tetapi kami memecahkan menjadi dua macam bentuk perjanjian yaitu : 1. Perjanjian sepihak 2. Perjanjian bertimbal balik 1 Perjanjian Sepihak BAB II : Tentang perikatan – perikatan yang dilahirkan dari kontrak atau persetujuan. BAGIAN KESATU : Ketentuan – ketentuan umum. Dituangkan dalam pasal 1319 yang berbunyi : “Semua perjanjian baik yang mempunyai suatu nama khusus, maupun yang tidak terkenal dengan suatu nama tertentu, tunduk pada peraturan-peraturan umum yang termuat dalam bab ini dan bab yang lalu. Menurut ketentuan pasal ini bahwa semua perjanjian yang terdapat dalam undang-undang keperdataan kita maupun yang terdapat diluarnya kesemuanya itu tunduk kepada peraturan umum dari Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Dengan beralaskan ketentuan ini, maka kita dapat menerapkan ketentuan- ketentuan yang terdapat dalam peraturan umum dari Bab I dan Bab II terhadap bentuk perjanjian-perjanjian yang terdapat dalam Buku III, baik itu perjanjian sepihak maupun perjanjian bertimbal balik, dan perjanjian yang tidak diatur dalam undang-undang keperdataan. Dalam arti sejauh ketentuan tersebut dapat Universitas Sumatera Utara 103 diterapkan, hingga tidak bertentangan dengan tujuan dari hukum itu sendiri. Jadi bila mana ketentuan tersebut menimbulkan penyimpangan dari tujuan hukum, menurut hemat kami ketentuan tersebut tidak dapat diterapkan. Di dalam bagian umum dari Hukum Perjanjian, seperti yang telah kita ketahui, ada suatu pasal undang-undang yang mengatur soal risiko dalam perjanjian. Adapun pasal itu yaitu pasal 1237 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Pasal 1237 berbunyi : “Dalam hal timbulnya suatu perikatan untuk menyerahkan suatu barang tertentu, maka barang itu semenjak terbitnya perikatan adalah menjadi tanggungan si debitur”. Dari isi ketentuan pasal 1237 tersebut kita dapat mengetahui bahwa yang dimaksudkannya adalah bahwa, sejak dari saat telah ditutupnya perjanjian hingga si berpiutang menguasai kebendaan tersebut, siberhutang tiada tahu-menahu lagi. Jadi bila seandainya kebendaan tersebut ditimpa suatu peristiwa hingga mengakibatkan benda tersebut musnah atau hancur di luar kesalahan salah satu pihak, kerugian yang timbul akibat musnahnya kebendaan tersebut dipikul oleh siberpiutang. Kita akan melihat apakah ketentuan dari pasal 1237 itu dapat diterapkan terhadap bentuk perjanjian sepihak dan perjanjian bertimbal balik. Prof. R. Subekti, SH mengatakan suatu “perikatan untuk memberikan suatu barang tertentu”, adalah suatu perikatan yang timbul dari suatu perjanjian sepihak. 68 68 Prof. R. Subekti, SH, Loc cit hal 56 Pembuat undang-undang disini hanya memikirkan pada suatu Universitas Sumatera Utara 104 perjanjian dimana hanya ada suatu kewajiban pada satu pihak, yaitu kewajiban memberikan suatu barang tertentu, dengan tidak memikirkannya bahwa pihak yang memikul kewajiban ini juga dapat menjadi pihak yang berhak atau dapat menuntut sesuatu. Selanjutnya beliau katakan. Bagaimanapun pasal 1237 itu hanya dapat dipakai untuk perjanjian yang sepihak. 69 Memang benar apa yang dikatakan Prof. R. Subekti itu bahwa suatu perikatan untuk memberikan suatu barang tertentu adalah suatu perikatan yang timbul dari suatu perjanjian sepihak. Karena bukankah perjanjian sepihak itu, suatu perjanjian yang hanya adanya prestasi dari satu pihak saja, sedang pihak yang lainnya tidak usah memberikan prestasi sebagai imbalan. Demikian juga halnya dengan ketentuan pasal 1237 tersebut. Karena ketentuan pasal tersebut hanya menyebtuka nsuatu perikatan untuk memberikan suatu barang dengan tidak adanya hak menuntut suatu contra prestasi dari lawannya sebagai imbangan dari kewajiban pihak pertama, seperti halnya jual beli dan tukar menukar. Apakah dengan demikian hal ini telah berarti pasal tersebut bila diterapkan perjanjian sepihak, telah dapat memenuhi akan keadilan ? Dan apa masih ada lagi ketentuan pasal yang lainnya yang berhubungan dengan pengaturan soal risiko dalam perjanjian sepihak ? Mengenai apakah dengan demikian, hal ini telah berarti pasal tersebut bila diterapkan terhadap perjanjian sepihak dapat memenuhi keadilan ? 69 Prof. R. Subekti, SH. Op Cit hal 57. Universitas Sumatera Utara 105 Menurut ketentuan pasal 1237 tersebut, bahwa semenjak perikatan diterbitkan, adalah atas tanggungan siberpiutang dari ketentuan ini kita dapat simpulkan, bahwa isi ketentuan ini sama maknanya dengan isi ketentuan pasal 1460, kami maksudkan sama dalam hal “walaupun barangnya belum diserahkan, asal saja perjanjian sudah ditutup maka bila barang tersebut musnah di luar kesalahan salah satu pihak maka kerugian yang timbul akibat kemusnahan kebendaan itu dipikul oleh si berpiutang”. Sedang bilamana hal ini kita kaitkan dengan sistim pemindahan hak milik yang dianut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, adalah sebenarnya suatu ketentuan yang menyimpang juga, dimana menurut sistim yang dianut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, hak milik baru akan berpindah dengan dilakukannya suatu perbuatan yuridis yaitu “levering”. Jadi dengan begitu ketentuan pasal 1237 itupun menurut hemat kami tidak dapat diterapkan terhadap perjanjian sepihak. Memang benar kita mengakui bahwa, perjanjian sepihak itu hanya ada prestasi dari satu pihak saja, tetapi apakah dengan begitu, kita lantas pasrah saja terhadap kenyataan itu ? Kita berbicara mengenai hukum, demikian dalam sistim pemindahan hak milik yang dianut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, hak milik baru berpindah dengan perbuatna levering. Jadi adalah konsekwen kiranya bila dalam ketentuan soal risiko dalam perjanjian sepihak kitapun harus mengkaitkan dengan sistim pemindahan hak milik. Janganlah kita lantas berpikir bahwa dalam perjanjian sepihak itu karena tiada kita rugi bila kebendaan tersebut musnah atau hancur. Ya Kalau kebetulan kebendaan itu bagi kita tidak ebrguna dan berfungsi. Universitas Sumatera Utara 106 Bagaimana bila sebaliknya justru dengan kebendaan itulah nanti kehidupan ekonomi kita baru dapat berjalan baik. Bukankah ini suatu pukulan yang cukup berat ? Oleh karena itu ketentuan soal risiko didalam perjanjian sepihak harus ditautkan juga dengan sistim pemindahan hak milik. “Apabila si debitur lalai untuk menyerahkan kebendaan itu, adalah semenjak saat kelalaian itu kebendaan menjadi tanggungannya”. Ayat 2 Maksudnya : Bilamana hari yang ditentukan dalam perjanjian untuk menyerahkan kebendaan itu telah lewat, juga masih belum diserahkan, maka jika kebendaan tersebut musnah akibat suatu peristiwa tak disengaja maka kerugian yang timbul dipikulkan oleh kreditur. Dengan menghubungkan ayat 1 dengan ayat 2 nya maka pertanggungjawaban ditanggung pihak mana batasannya : a. Semenjak perikatan dilahirkan hingga hari penyerahan kebendaan tersebut, musnahnya barang ditanggung kreditur. b. Lewatnya hari yang ditentukan maka kemusnahan barang ditanggung oleh debitur. Hal ini telah logis. Dengan meniti uraian diatas maka untuk penerapan pasal 1237 kita harus terlebih dahulu melihat bentuk perjanjian sepihaknya. Ketentuan pasal yang lainnya yang berhubungan dengan pengaturan soal risiko dalam perjanjian sepihak. Di dalam bab IV : Tentang hapusnya perikatan. Oleh pasal 1381 menyebutnya salah satu penyebab hapusnya perikatan adalah, karena musnahnya Universitas Sumatera Utara 107 barang yang terutang. Selanjutnya ketentuan ini diatur dalam bagian ketujuhnya dalam pasal 1444. Pasal 1444 menyebutkan. “Apabila barang tertentu yang menjadi bahan perjanjian, musnah, tak lagi dapat diperdagangkan atau hilang, sedemikian hingga sama sekali tidak diketahui apakah barang itu masih ada, maka hapuslah perjanjiannya asal barang itu musnah atau hilang diluar salahnya si debitur dan sebelum ia lalai untuk menyerahkannya.” Ayat 1. “Bahkan meskipun si debitur lalai menyerahkan barangnya sedang ia tidak telah menanggung terhadap kejadian-kejadian yang tak terduga, perjanjian hapus jika barangnya akan musnah secara yang sama didalam penguasaan si kreditur setelah diserahkan kepadanya”. Dari isi pasal 1444 itu kita dapat menarik inti kesimpulan bahwa, bila musnahnya suatu kebendaan atau tak dapatnya lagi kebendaan itu diperdagangkan oleh karena suatu peristiwa yang sama sekali diluar salahnya debitur maka kerugian yang timbul akibat musnahnya kebendaan itu dipikul oleh si kreditur, asal saja tiada kelalaian dipihak debitur untuk menyerahkannya. Kerugian yang timbul akibat musnahnya kebendaan itu dipikul oleh kreditur, kami simpulkan dari perkataan “hapuslah perjanjian”. Karena dengan perkataan ini berarti para pihak kembali kepada keadaan semula sebagaimana halnya sebelum perjanjian diadakan, yang jadi dalam hal yang satu dengan lainnya tidak dapat saling menuntut. Bahkan ayat 2 nya menambahkan, walaupun kelalaian ada pada pihaknya debitur pun tiada debitur dapat dimintakan Universitas Sumatera Utara 108 pertanggungjawabannya, asal saja barang tersebut toh juga akan musnah bila telah ada dalam kekuasaan si kreditur. Isi ketentuan pasal 1444 tersebut secara dengan menyimpulnya bahwa adalah didalam bentuk perjanjian itu selalu ditentukan suatu waktu tertentu kapan si debitur harus menyerahkan barang tersebut. Jadi dengan ketentuan waktu ini ada suatu keseimbangan kepentingan terhadap benda tersebut antara kreditur dengan debitur hal ini cukup jelas terlihat dari ketentuannya yang menyatakan “sebelum ia lalai untuk menyerahkannya.” Jadi ada dua alternatifnya yaitu : a. Bila si debitur lalai untuk menyerahkannya dalam waktu yang ditentukan, musnah, tak dapat lagi diperdagangkan kebendaan tersebut adalah atas tanggungan si debitur. b. Bila si debitur tidak lalai untuk menyerahkannya dalam waktu yang sudah ditentukan, musnah tak lagi dapat kebendaan itu diperdagangkan adalah atas tanggungannya kreditur. Dengan meniti uraian-uraian dua ketentuan pasal diatas maka cara untuk menentukan pasal ketentuan soal risiko yang mana harus diterapkan, harus terlebih dahulu menyimak bentuk-bentuk perjanjian sepihak itu dan seterusnya mengelompoknya. Sebagai bahan perbandingannya, kami akan ambil, perjanjian penitipan barang, perjanjian pinjam pakai, perjanjian penghibaan. Perjanjian penitipan barang adalah terjadi apabila seorang menerima barang dari orang lain dengan kewajiban untuk menyimpang barang itu dan kemudian hari mengembalikan barang itu sewujud seperti semula. Pasal 1694. Universitas Sumatera Utara 109 Perjanjian pinjam pakai adalah suatu perjanjian dalam mana suatu pihak memberikan kepada pihak lain suatu barang bergerak atau tidak bergerak untuk dipakai dengan percuma, sedang pihak lain berwajib mengembalikan barang itu, setelah memakainya, atau setelah lampau suatu waktu tenggang waktu tertentu. Pasal 1740 Perjanjian penghibaan adalah suatu perjanjian, dalam mana satu pihak, berdasar atas kemurahan hati berjanji dalam hidupnya memberikan hak milik atas suatu barang kepada pihak kedua secara percuma dan yang tidak dapat ditarik kembali sedang pihak kedua menerima baik penghibaan itu. Ketiga bentuk perjanjian sepihak diatas dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok : 1. Untuk bentuk perjanjian penitipan barang dan pinjam pakai adalah perjanjian untuk menerima barang bukan untuk dimiliki tetapi kemudian dikembalikan kepada pemilik. 2. Untuk perjanjian penghibaan adalah perjanjian untuk menerima barang untuk dimiliki. Jika ada perjanjian sepihak untuk menerima barang bukan untuk dimiliki, maka menurut hemat kami pasal 1237, 1444, dapat diterapkan, tapi sebaliknya bila ada perjanjian sepihak untuk dimiliki, maka selama barang tersebut belum diserahkan secara yuridis tetap atas tanggungan si debitur. Sedang pasal yang bisa diterapkan menurut hemat kami bisa menerapkan ketentuan pasal 1237 dengan syarat perkataan “si berpiutang” ganti dengan Universitas Sumatera Utara 110 perkataan “si berhutang” dan di depan perkataan si berhutang ditambahkan perkataan hingga penyerahan dilakukan”. Ayat 2 nya dihilangkan. Begitupun kiranya dalam pembentukan Hukum Perjanjian Nasional, harus membedakan bentuk perjanjian sepihak antara menerima barang untuk dimiliki dan menerima barang bukan untuk dimiliki, agar secara tegas ditetapkan ketentuan pasal yang mengatur soal risikonya. 2 Perjanjian Timbal – Balik Dalam penyelesaian suatu perkara yang menyangkut persoalan risiko dalam perjanjian bertimbal balik, jika kita menerapkan pasal-pasal yang sudah kita bicarakan diatas tadi tentu pasal-pasal itu tidak tepat dan sesuai. Untuk itu kita pun harus melihat perbandingan ketentuan-ketentuan pasal – pasal soal risiko di dalam perjanjian bertimbal balik. Universitas Sumatera Utara 111 Adapun pasal-pasal yang kami buat bahan perbandingan adalah : 1. Pasal 1545 -------mengenai risiko di dalam tukar menukar 2. Pasal 1553 -------mengenai risiko di dalam sewa – menyewa. Pasal 1545 : Dalam hal timbulnya suatu perikatan untuk tukar menukar suatu barang tertentu yang telah disepakati untuk ditukar, musnah dengan tidak dikehendaki pemiliknya, adalah perjanjian menjadi gugur dan barang siapa dari kedua belah pihak telah memenuhi prestasinya, dapatlah ia menuntut kembali barang yang telah diberikannya dalam tukar-menukar. Pasal 1553 : Apabila dalam suatu tenggang waktu sewa berjalan, barang yang disewakan musnah sama sekali karena suatu peristiwa yang dengan tidak dikehendaki atau disengaja maka perjanjian gugur demi hukum. Dari isi kedua ketentuan pasal diatas kita melihat bahwa dalam halnya, tukar – menukar, barang yang menjadi objek perjanjian tukar-menukar musnah di luar kesalahan salah satu pihak, maka kerugian yang timbul akibat musnahnya kebendaan tersebut dipikul oleh masing-masing pihak, sehingga dari pihak siapa yang telah memenuhi prestasi ia dapat menuntut kembali kebendaan yang telah diberikannya. Dalam halnya sewa – menyewa barang yang menjadi objek perjanjian sewa – menyewa musnah diluar kesalahan salah satu pihak maka masing-masing pihak sudah tidak dapat menuntut sesuatu apa dari pihak lawannya dalam arti, bahwa pihak yang menyewakan tiada ia dapat menuntut ganti kerugian kepada si penyewa, demikian pun halnya dengan penyewa ia tidak dapat menuntut kembali uang sewa yang telah diserahkannya. Lain lagi dengan ketentuan yang diatur Universitas Sumatera Utara 112 dalam pasal 1460, dalam ketentuan ini hanya satu pihak saja yang memikul risiko yaitu pihak pembeli, malah ketentuan ini menetapkan walaupun kebendaan itu belum diserahkan si pembeli tetap menjadi pihak kewajibannya memikul risiko. Dengan penilaian kepada masing-masing ketentuan yang telah kami utarakan, maka dengan pengidentikan kedalam kepatutan yang kita rasakan dan keadilan yang kita inginkan serta tujuan dari sewa – menyewa, jual beli dan tukar- menukar, kemudian dengan sistim pemindahan hak milik, bila perjanjian itu memang bermaksud hendak memindahkan hak milik disatu pihak dan mendapatkan hak milik di lain pihak, maka menurut hemat kami adalah, sesuai dan sudah tepat ketentuan pasla yang mengatur soal risiko dalam tukar menukar diterapkan terhadap perjanjian yang bertimbal balik, baik perjanjian bertimbal balik yang terdapat dalam Hukum Perjanjian yang tidak ada atau tidak adil pengaturan soal risikonya maupun perjanjian bertimbal balik yang timbul dari praktek. Prof. R. Subekti, SH, mengatakan, melihat peraturan tentang risiko, yang saling bertentangan ini, kita bertanya manakah yang dapat dijadikan pedoman bagi suatu perjanjian bertimbal balik pada umumnya dan manakah yang merupakan kekecualian. Pertanyaan ini harus dijawab, bahwa apa yang ditetapkan untuk perjanjian tukar – menukar itu harus dipandang sebagai azas berlaku umumnya dalam perjanjian yang bertimbal balik, karena peraturan yang diletakkan dalam pasal 1545 itu memang yang setepatnya dan seadilnya. 70 70 Prof. R. Subekti, SH Op Cit hal 57-58 Beliau mengatakan lagi, peraturan tentang risiko dalam perjanjian tukar-menukar ini Universitas Sumatera Utara 113 sudah tepat sekali untuk suatu perjanjian bertimbal balik, karena dalam perjanjian yang demikian itu seorang menjanjikan prestasi demi untuk mendapatkan suatu kontra prestasi. 71 Selayaknya dan seadilnya, bahwa apabila dalam suatu perjanjian bertimbal balik salah satu pihak tidak dapat memenuhi kewajibannya dengan sendirinya pihak yang lainnya juga dibebaskan dari kewajibannya. Memang, seorang hanya menyanggupi untuk memberikan suatu barang atau melakukan suatu perbuatan karena ia mengharapkan akan menerima juga suatu barang atau bahwa pihak lainnya akan melakukan suatu perbuatan juga. Kalau ia tak menerima barnag yang diharapkan, janganlah ia disuruh memberikan barangnya sendiri kepada lain orang yang tidak dapat menempati janjinya. Dan memang pada azasnya setiap pemilik menanggung segala risiko atas barang miliknya. Berdasarkan dari apa yang telah diutarakan diatas maka pasal 1545 dapat diterapkan terhadap pengaturan soal risiko dalam perjanjian bertimbal balik dan hendaknya dalam pembentukan hukum perjanjian nasional isi ketentuan pasal itu dapat dicontoh dan ditetapkan menjadi suatu pasal pengaturan dalam soal risiko bagi perjanjian bertimbal – balik. Sebagaimana kita ketahui bahwa Hukum Perjanjian dari Kitab Undang- Undang Hukum Perdata, menganut sistim terbuka dengan sistim ini kita diperbolehkan untuk mengadakan perjanjian yang berisi dan bermacam apa saja, asal tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan. 71 Prof. R. Subekti, SH. Loc cit hal 50 Universitas Sumatera Utara 114 Disampingnya itu sistim terbuka mengandung suatu pengertian ; bahwa perjanjian-perjanjian khusus yang diatur dalam undang-undang hanyalah merupakan perjanjian-perjanjian yang terkenal saja dalam masyarakat pada waktu Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dibentuk. Misalnya undang-undang hanya mengatur perjanjian-perjanjian jual - beli dan sewa – menyewa, tetapi dalam praktek timbul suatu macam perjanjian yang dinamakan “sewa – beli”, yang merupakan suatu campuran antara jual-beli dan sewa – menyewa. 72 Di Negara asal Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yaitu di Nederland semenjak tahun 1936 sudah dimasukkan dalam B.W. dan di Inggris telah diatur dalam suatu undang-undang tersendiri. Di Inggris perjanjian sewa beli ini diatur dalam suatu undang-undang yang bernama “Hire purchase Act 1965”, yang diadakan disamping “Sale of Goods Act”. Dalam “Hire-Purchase-Act 1965” tersebut diatas ia dikonstruksikan sebagai suatu “perjanjian sewa – menyewa dengan hak opsi dari si penyewa untuk membeli barang yang disewanya”. Maksudnya dari kedua belah pihak adalah ditujukan pada perolehan hak milik atas suatu barang disatu pihak dan perolehan sejumlah uang sebagai imbalannya harga di lain pihak. 73 Di Negara kita perjanjian sewa beli ini belum ditempatkan dalam suatu undang-undang. Jadi dalam pemakaiannya hanya didasarkan kepada kebiasaan saja dan bahkan telah pernah diperkarakan dimuka Pengadilan Negeri Surabaya duduk soal perkaranya tersebut telah kami berikan dalam punt 2 bab II dari skripsi ini. 72 Prof. R. Subekti, SH. Loc cit hal 14. 73 Prof. R. Subekti, SH. Aspek-aspek Hukum Perikatan Nasional Cet-Pertama Penerbit Alumni hal 45 tahun 1976. Universitas Sumatera Utara 115 Terdesak oleh kebutuhan di dalam masyarakat kita sehingga bentuk perjanjian sewa – beli menjadi sebuah bentuk perjanjian yang mendapat tempat di masyarakat. Namun sangat disayangkan bentuk perjanjian ini belum mempunyai peraturan sehingga agak menyulitkan instansi peradilan dalam penyelesaian bila sampai menimbulkan suatu perkara, yang tidak mustahil bisa menimbulkan ketidakadilan dalam putusannya. Dan yang akan lebih kita takuti, oleh karena banyaknya yang berminat mengadakan perjanjian seperti ini, dari pihak penjual tidak akan segan-segan untuk berbuat sewenang-wenang ketentuan-ketentuannya, yang tentu lebih menjurus untuk mencari untung yang sebesar-besarnya dipihaknya tanpa menghiraukan pihak lawannya, tentu juga bila timbul perselisihan agar pihaknya yang dimenangkan. Kita telah melihat putusan Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung yang penulis telah uraikan pada bab yang lalu. Putusan Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung kita rasakan kurang adil, hal ini dikarenakan tinjauan kita dari segi hukum, dan memang harus demikian, sebab permasalahan tersebut, permasalahan hukum. Pada putusan tersebut Pengadilan Tinggi dalam putusannya mempertimbangkan ; bahwa perjanjian sewa – beli adalah suatu jenis jual – beli, sehingga mengetrapkan pasal 1460. Dalam tingkat kasasi, Mahkamah Agung mempertimbangkan bahwa putusan Pengadilan Tinggi, bahwa menurut isi perjanjian sewa – beli risiko atas Universitas Sumatera Utara 116 hilangnya barang karena keadaan memaksa dipikul oleh penyewa – beli adalah mengenai suatu kenyataan. Dengan menarik kesimpulan dari putusan Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung, maka kita dapat mengatakan, keduanya instansi peradilan itu mengklasifikasikan perjanjian sewa beli sebagia perjanjian jual beli. Menurut hemat penulis dengan meninjau latar belakang timbulnya perjanjian sewa – beli dan menganalisanya dari segi hukum, kita akan mempunyai pandangan pendapat yang berlainan dengan putusan kedua instansi Peradilan tersebut. Sewa – beli pada mulanya timbul dalam praktek untuk menampung persoalan bagaimanakah caranya memberikan jalan ke luar apabila pihak penjual menghadapi banyak permintaan. Atau hasrat untuk membeli barang, tetapi calon- calon pembeli itu tidak mampu membayar harga sekaligus. Penjual bersedia untuk menerima bahwa harga barang itu dicicil atau diangsur tetapi ia memerlukan jaminan bahwa barangnya sebelum harga dibayar lunas tidak akan dijual lagi oleh si pembeli. Sebagai jalan keluar lalu ditemukan suatu macam perjanjian dimana selama harga belum dibayar lunas itu, si pembeli menjadi penyewa dahulu dari barang yang ingin dibelinya. Harga sewa yang dibayar sebenarnya adalah angsuran atas harga barang. Dengan dijadikannya “penyewa” dengan kontrak yang juga berjudul “sewa – menyewa “, si pembeli itu terancam oleh hukum pidana “penggelapan”. Dengan perjanjian seperti itu kedua belah pihak tertolong, artinya si pembeli dapat mengangsur harga yang ia tidak mampu membayar sekaligus dan seketika dapat menikmati barangnya, sedangkan di sebelah lain si Universitas Sumatera Utara 117 penjual merasa aman karena barangnya tidak akan dihilangkan oleh si pembeli selama harga belum dibayar lunas. Adapun penyerahan hak milik secara yuridis baru akan dilakukan pada waktu sudah dibayar angsuran yang terakhir, penyerahan mana dapat dilakukan suatu pernyataan saja karena barangnya sudah berada dalam kekuasaan dalam kedudukannya sebagai penyewa. 74 Dengan uraian diatas kita dapat memahami bahwa dalam perjanjian sewa – beli, si penyewa beli selama angsuran harga belum dibayar lunas; - Ia tiada lain hanya sebagai seorang penyewa terhadap barang yang dikuasainya. - Karenanya tiada ia diperbolehkan menjual barang tersebut. - Bila ia menjual barang tersebut ia akan dapat dituntut dengan bersalah melakukan tindak pidana penggelapan. Setelahnya angsuran harga telah dibayar lunas barulah : - Ia menjadi seorang pemilik terhadap barang tersebut. - Ia leluasa untuk menjualnya. Bertitik tolak akan apa yang telah diberikan diatas maka kami mempunyai pandangan pendapat bahwa, apabila terhadap barang yang disewa-beli musnah di luar salahnya satu pihak atau dengan kata lain musnah karena keadaan memaksa dalam tenggang waktu sewa – beli masih berjalan maka risiko di pikul oleh pihak yang menyewa – belikan dalam arti, bahwa bila selama tenggang waktu perjanjian sewa – beli masih berjalan ketentuan – ketentuan dari perjanjian sewa – menyewa yang berlaku padanya oleh karena itu untuk sementara hingga nantinya terbentuk 74 Prof. R. Subekti, SH. Op cit hal 46 Universitas Sumatera Utara 118 Hukum Perjanjian Nasional kita, demi untuk terlindunginya pihak ekonomi lemah dari kesewenangan pengusaha – pengusaha dan kepastian hukum maupun keadilan, maka bila mengadakan perjanjian sewa – beli, perjanjian harus dibuat memakai judul “sewa – menyewa”, dengan syarat ketentuan : 1. Si penyewa-beli mempunyai hak opsi untuk membeli barang yang disewanya, sebagaimana halnya yang dianut di Inggris. 2. Kemusnahan barang, kehancuran dan kehilangannya barang karena keadaan memaksa adalah tanggung jawab yang menyewa-belikan. 3. Si penyewa beli menunggak angsuran dengan telah mengangsur lebih dari sepertiganya harga barang, persetujuan sewa – beli. 75 4. Si penyewa – beli menunggak angsuran dengan telah mengangsur lebih dari sepertiganya harga barang harus dikembalikan setengah dari yang telah diangsur. 5. Si penyewa – beli menunggak angsuran dengan hanya baru mengangsur belum sepertiganya dari harga barang, maka uang menjadi hak milik yang menyewa – belikan bila dalam dua kali angsur berturut-turut si penyewa – beli tidak menunjukkan tanda- tanda untuk melanjutkan pembayaran angsuran, padahal ia sudah diberi tegoran. 6. Dalam hal punt 3,4, diatas maka tiada diperkenankan yang menyewa- belikan mengambil begitu saja, tetapi harus melewati hakim. 75 Prof. Dr. R. Wirjono. Prodjodikoro, SH. Loc cit hal 192. Universitas Sumatera Utara 119

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN-SARAN