Faktor- faktor Pendorong dan Penarik Migrasi Batak Toba

44 Jakarta mengatakan: bahwa dirinya telah termakan rayuan teman, sehingga apa yang ada dalam benaknya semasa di kampung berbeda dengan yang dialaminya di kota tersebut. Sehingga dia kembali ke kampung dan mengikuti temannya untuk menambah pengalaman di daerah Sumbul Pegagan. Maka untuk bertahan hidup dan dapat menwujudkan apa yang menjadi impian orang Batak Toba, lalu mereka mencari daerah lain yang sesuai dengan keahliannya sebagai petani dan salah satu daerah yang masih luas lahan pertaniannya adalah Sumbul Pegagan. Seperti yang dikemukakan oleh Sianturi yang bermigrasi dari daerah Muara yaitu: “Tumangon ma marhassit- hassit di taon di huta ni halak on daripada mulak muse tu huta,dang tarbereng annon dongan di huta molo pe ingkon pindah unang be tuhuta, niluluan ma huta na asing”. Bila diterjemahkan kira- kira artinya: lebih baik menderita di daerah perantauan dari pada harus kembali ke daerah asal, sebab kemungkinan besar akan mendapat ejekan dari teman- teman sekampung bila tidak berhasil.

3.3. Faktor- faktor Pendorong dan Penarik Migrasi Batak Toba

Pada dasarnya setiap individu mempunyai kebutuhan- kebutuhan yang ingin dipenuhi dan dicapai. Apabila kebutuhan tersebut tidak dapat dipenuhi dengan tetap tinggal di daerah asal, maka individu tersebut kemungkinan akan Universitas Sumatera Utara 45 melakukan migrasi. 20 Setiap proses migrasi berlangsung karena adanya sejumlah faktor pendorong dan faktor penarik serta sejumlah faktor- faktor lainnya yang turut menunjang proses migrasi tersebut. Begitu juga dengan migrasi Batak Toba untuk memenuhi kebutuhan hidupnya telah melakukan migrasi ke Sumbul Pegagan. Migrasi ini didasari oleh kemauan sendiri dan usaha sendiri. Artinya bahwa perpindahan yang dilakukan adalah diluar program dan bantuan pemerintah. 21 Letak geografis suatu daerah sangat mempengaruhi kehidupan masyarakatnya yang tinggal di daerah itu, sama halnya dengan masyarakat etnis Batak Toba yang secara geografis mempengaruhi kehidupan etnis Batak Toba dengan segala sistem kehidupannya. Dilihat secara geografis Kabupaten Tapanuli Faktor pendorong dan penarik migrasi merupakan dua hal yang saling berhubungan dan tidak dapat dipisahkan. Adanya permasalahan- permasalahan yang dihadapi di daerah asal menyebabkan mereka berkeinginan untuk keluar dari kampung halaman dan mencari kehidupan yang lebih baik di daerah yang baru. Untuk memudahkan pembahasan maka terlebih dahulu akan dibahas mengenai faktor- faktor pendorongnya. 3.3.1. Faktor Pendorong Dari Daerah Asal a. faktor geografis 20 . Aris Ananta, Ciri Demografis Kualitas Penduduk dan Pembangunan Ekonomi, Jakarta: Universitas Indonesia, 1993, hlm. 141. 21 Sudigno Hardjosudarno, Kebijaksanaan Transmigrasi dalam Rangka Penbangunan Masyarakat Desa di Indonesia , Jakarta: Bharata, 1965, Hlm. 24. Universitas Sumatera Utara 46 terletak pada 1 ˚-20¹- 2º4¹LU dan 98º 10¹ -99º 35¹ BT dengan luas seluruhnya 1.060.530 Ha. Sebagian besar daerahnya berupa dataran tinggi yang dikenal dengan dataran tinggi Toba dan berada pada punggung jajaran Bukit Barisan. Jika dilihat dari ketinggian permukaan laut maka daerah ini berada diantara 300 sampai dengan 1500 m di atas permukaan laut. Tofografi bergelombang sampai curam dengan kemiringan antara 0 sampai dengan diatas 40. Dengan melihat uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa keadaan permukaan tanah yang bergunung- gunung dan berlembah- lembah menyebabkan berbagai hambatan dalam usaha perkembangan usaha pertanian seperti perluasan tanah pertanian, perluasan areal permukiman juga kesulitan untuk pembangunan jalan dan sarana pengairan. Daerah Tapanuli kurang menguntungkan menyebabkan dampak negatif terhadap lahan pertanian yang akhirnya mendorong penduduk, terutama pada petani yang pindah dan mencari daerah yang lebih baik. Selain itu kesuburan tanah yang kurang mendukung dan musim yang kurang baik mempengaruhi pertanian sehingga mempengaruhi panen di Tapanuli. Kegagalan musim panen pada masa dahulu sering terjadi karena musim kering yang berkepanjangan, seperti di daerah Humbang Samosir. Akibat musim seperti ini bukan hanya merusak tanaman tahunan tapi juga mengakibatkan penderitaan petani karena padi dan tanaman palawija lainnya menjadi layu dan akhirnya punah. 22 22 Elvis. F. Purba., O. H. S., Purba, Migrasi Batak Toba: di Luar Tapanuli Utara Suatu Deskripsi, Medan, 1997, hlm. 52. Universitas Sumatera Utara 47 Hasil pertanian seperti beras, jagung, dan ubi jalar yang merupakan kebutuhan pokok bagi penduduk semakin berkurang. Hal tersebut terjadi disebabkan semakin banyak lahan pengairan menjadi lahan kering, sehingga sektor pertanian tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan sub sistem penduduknya. Kondisi ini menjadi salah satu faktor pendorong perpindahan penduduk dari daerah ini ke daerah lain di luar Tapanuli. b. faktor 3H Berbicara mengenai motif dan faktor menyebab penduduk dari dataran Toba, kita tidak bisa lepas dari keinginan untuk mencapai nilai- nilai atau harapan yang terdapat dalam 3H Hamoraon, Hagabeon, dan Hasangapon. Sampai saat ini idaman 3H masih tetap dipertahankan bahkan disuarakan sebagai aspirasi pada adat masyarakat Batak Toba. 23 Hal ini dapat kita lihat dimana orang yang belum kaya mamora maupun orang yang belum berketurunan banyak gabe, akan berupaya untuk dihormati dimuliakansangap, idaman dan cita- cita di ataslah membekali orang- orang Batak Toba pada khususnya melakukan migrasi, karena di daerah asalnya Bonapasongit Sekalipun orang Batak Toba sudah menganut Kristen atau Islam dan sudah mempunyai GBHN secara nasional, nilai- nilai 3H itu masih ingin dicapai sekaligus. 23 Wawancara dengan Goklas Purba, Silalahi, tanggal 27 Agustus 2007. Universitas Sumatera Utara 48 untuk mencapai 3H itu sudah sangat sulit. Penyebabnya adalah letak geografis tanah Batak yang kurang menguntungkan dan kurang mendukung. Pada masyarakat agraris, tanah merupakan salah satu faktor produksi yang penting. Tanah merupakan lambang kekayaan dan kerajaan khususnya bagi etnis Batak Toba, dalam meningkatkan kesejahteraan keluarga, dimana setiap keluarga selalu ingin memperluas pertaniannya di dalam menempuh 3H. Pembukaan kampung- kampung baru terjadi akibat perkembangan jumlah penduduk atau warga Huta sehingga pada suatu saat mereka tidak dapat bertahan lebih lama di huta asal mereka. Suatu kampung baru yang merupakan perluasan kampung induk huta Sabungan, disebut dengan Lumban atau Sosor. 24 Pada dasarnya arti marserak ialah menyebar ke seluruh wilayah marga sendiri dan apabila tidak memungkinkan lagi perluasan wilayah berlangsung ke daerah- daerah lain yang tanahnya belum dimiliki oleh marga lain dan budaya yang beda, yang kemudian dapat dijadikan sebagai lahan pertanian dan perkampungan. Dalam jangka panjang pembentukan kampung- kampung baru akan menciptakan perpencaran dan makin sering berakibat jauh dari kampung asalnya. Mereka menyebar mula- mula ke daerah sekitar kampung- kampung induk dan akhirnya ke daerahnya yang lebih jauh di luar batas budaya sendiri. Proses dan kejadian seperti inilah disebut dengan marserak. Proses ini akan terus berlangsung sehingga terbentuk wilayah dari kelompok besar marga tertentu. 24 Wawancara dengan Jahilim Simbolon, Silalahi, tanggal 23 Agustus 2007. Universitas Sumatera Utara 49 Dalam percakapan sehari- hari ditemukan beberapa perkataan tentang marserak yaitu:”manombang, mangaranto, marjalang, marlompong, mangombo, mangalului jampalan na lomak, atau masiampapaga na lomak”. Istilah- istilah ini pada umumya mempunyai tujuan yang sama yaitu pergi ke daerah lain, di luar kabupaten atau propinsi. Manombang yang berarti membuka lahan atau pemukiman baru, meninggalkan kampung halamannya untuk mencari sumber tambahan pendapatan. Perpindahan penduduk baik secara menetap didahului oleh perpindahan musiman. Perhitungan laba- rugi merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan manakala perpindahan musiman menjadi perpindahan menetap. c. faktor sosial dan demografi Dalam kehidupan tradisional adat Batak yang berkaitan dengan bidang agraris pada umumnya mereka tidak mempunyai dasar- dasar pemikiran yang telah melekat.Istilah lulu anak lulu tano yang berarti suka anak, suka tanah sihol di anak sihol di tano. “Pada masyarakat Batak Toba, tanah memegang peranan penting, karena di seluruh norma- norma di tujukan pada sistem pertanahan seperti halnya dalam adat pertunangan, dalihan natolu dan harajaon. Dampak partanoan ida ditujuhon luhut ruhut- ruhut harentaon nihalak Batak isara songon ruhut- ruhut Universitas Sumatera Utara 50 harentaon nihalak Batak isara songon ruhut- ruhut ni parmargaon, Dalihan natolu dohot harajaon”. 25 Sewaktu terjadi pengkristenan pada abad XIX, Etnis Batak Toba muncul sebagai golongan yang maju, dimana jumlah penduduk bertambah dengan cepat berkat usaha- usaha Zending dibidang kesehatan, karena setiap keluarga memiliki 10 anak atau lebih yang merupakan hal biasa dalam masyarakat Batak Toba. Dari uraian di atas dapat dilihat bahwa tanah sangat berperan penting dalam kehidupan Batak khususnya Batak Toba, itulah sebabnya setiap marga selalu mengusahakan agar memiliki tanah yang luas demi kesejahteraan dan kelangsungan hidupnya serta keturunannya dikemudian hari, tanah yang ada di Tapanuli saat ini merupakan tanah adat yang disesuaikan dengan marga yang memilikinya. Hal ini dipertegas lagi dengan tujuan yang mendasar bagi Batak Toba pada waktu gabe, dibarengi dengan kelimpahan ternak dan pertanian, karena hal itulah yang melambangkan hagabeon sejati. Untuk itulah etnis Batak Toba cenderung mencari tanah yang masih kosong, namun hal ini selalu didasari oleh faktor pertambahan penduduk yang semakin meningkat sehingga menyebabkan tekanan terhadap lahan pertanian dan lahan pemukiman, dimana lahan pertanian yang dikerjakan tidak memadai lagi untuk memenuhi kebutuhan keluarganya di kampung asal dan untuk itu mereka berkeinginan untuk mencari lahan yang masih kosong dengan migrasi. 25 Bupati KDH TK II Tapanuli Utara, Beberapa Informasi Mengenai Daerah TK II Tapanuli Utara, Bandung,1985,hlm. 21. Universitas Sumatera Utara 51 Seperti pepatah batak yang mengatakan maranak 16 marboru 17 halak. Salah satu akibat ynag ditimbulkan adalah tekanan terhadap lahan pertanian dan pemukiman. Keterbatasan lahan di daerah sendiri menyebabkan mereka mencari lahan kosong dan keluar dari Tapanuli. Mereka berpindah secara berkelompok dan individu seperti ke daerah Simalungun, Dairi, Tanah Alas dan sebagainya. Tekanan terhadap lahan pertanian bukan hanya akibat pertambahan jumlah penduduk tetapi juga oleh lahan adat yang dapat dimanfaatkan secara produktif. d. faktor ekonomi Setiap manusia tidak ingin hidup dengan kondisi kemiskinan dan manusia itu tidak ada yang selalu merasa puas dalam hidupnya.Demikian pulalah halnya dengan setiap etnis Batak Toba yang selalu mendambakan Hamoraon dan Hasangapon, karena orang Batak Toba beranggapan bila hamoraon dan hagabeon sudah tercapai maka hasangapon juga akan tercapai. Akibat jumlah penduduk yang terus bertambah menyebabkan berkurangnya lahan pertanian dan sekaligus mengakibatkan kemiskinan ditengah- tengah keluarga etnis Batak Toba. Sektor pertanian sebagai sumber utama mata pencaharian sudah tidak dapat diharapkan lagi, namun adanya prinsip batak toba lulu Anak, lulu Tano yang merupakan jabaran dari hagabeon, hamoraon, dan hasangapon, maka sektor pertanian masih tetap bertahan. Karena dalam pandangan batak toba tanah merupakan lambang kekayaan dan kehormatan yang akan Universitas Sumatera Utara 52 mempertinggi status sosial yang baik ditengah- tengah masyarakat, bahkan pandangan ini sudah mendarah daging dalam kehidupan setiap etnis Batak Toba yang merupakan perjuangan hidup mereka. Pada waktu Missionaris Jerman sampai ke tanah Batak keadaan masyarakat Batak Toba masih berada dalam kemiskinan, hal ini disebabkan semakin sempitnya lahan pertanian. Namun untuk menjamin kelangsungan hidup anggota keluarga, maka masyarakat harus mencari lahan pertanian di daerah yang lain. Situasi ekonomi mendorong etnis Batak Toba untuk pindah agar dapat berdiri sendiri dalam menghidupi keluarga dan ingin lebih sejahtera dibandingkan dengan keadaan daerah asalnya. Alasan untuk meninggalkan kampung halaman pada umumnya disebabkan faktor ekonomi, selain itu adanya faktor georafi dimana untuk pembukaan lahan baru tidak memungkinkan lagi. Dengan demikian maka etnis Batak Toba akan melaksanakan migrasi ke daerah lain namun tidak akan meninggalkan adat yang telah mendarah daging bagi mereka sejak dari daerah asal. Dari uraian di atas ternyata masyarakat masih ingin untuk mencari kekayaan, selain itu faktor- faktor lain juga banyak mempengaruhi diantaranya mereka ingin dihormati, dimuliakan, sehingga mereka berusaha mencari jalan agar dihormati oleh orang lain. Hal ini merupakan tantangan terhadap pemerintah setempat atau Raja Huta dan kepada para Missionaris Jerman terlebih kepada Nomensen yang sejak semula menaruh perhatian terhadap kehidupan Rohani Universitas Sumatera Utara 53 Keagamaan dan terhadap masalah ekonomi yang dihadapi masyarakat.Hal inilah yang menjadi faktor sehingga pendidikan banyak diminati Etnis Batak Toba yang dibuka oleh Nomensen. e. pembukaan jaringan jalan Jalan darat merupakan satu- satunya sarana perhubungan utama di Tapanuli kecuali sekitar Danau Toba. Jalan-jalan setapak semakin penting untuk mempercepat arus perhubungan dari satu daerah ke daerah lain. Pemerintah kolonial Belanda bertindak sebagai pencipta skenario dengan mengarahkan banyak tenaga kerja untuk pembangunan jalan tersebut, baik untuk tujuan perluasan jajahan maupun untuk tujuan lain. Pada waktu hubungan lalu lintas masih mempergunakan jalan setapak, perpindahan penduduk dari Tapanuli ke Dairi ditempuh dalam beberapa hari perjalanan,tetapi pada tahun- tahun berikutnya, setelah kondisi jalan- jalan menjadi lebih baik dan lebih bagus maka hubungan antar daerah semakin lancar dan perjalanan ke Dairi semakin mudah. Tapanuli semakin terbuka dengan daerah luar akibat dibukanya jalan- jalan yang lebih baik antara lain dengan dibukanya jalan dari Tarutung- Sibolga 1915- 1922, Jalan Siborong- borong – Doloksanggul- Sidikalang 1930, jalan Tarutung- Pahae- Universitas Sumatera Utara 54 Padang Sidempuan dan jalan Doloksanggul- Pakkat-Barus-Sibolga merupakan jalan keluar utama dari Tapanuli. 26 Dalam pembukaan jalan- jalan tersebut pemerintah kolonial Belanda membutuhkan banyak pekerja yang berasal dari penduduk pribumi. Masyarakat dipaksa dengan kerja keras rodi yang menyebabkan penderitaan bagi rakyat. Menurut beberapa informan, bahwa sebagian orang Batak Toba ada yang berpindah ke daerah lain untuk menghindarkan diri dari kerja rodi. 27 Dampak lain dari pembukaan jaringan jalan yang semakin luas itu ialah masyarakat daerah Tapanuli semakin terbuka dari pengaruh- pengaruh dan akibat- akibat yang beranekaragam sifatnya. Pada masa kolonial Belanda jaringan jalan di daerah pedalaman diikuti oleh pembangunan jalan besar. Seperti dari perbatasan Aceh melalui kota Pangkalan Berandan, Tanjung Pura, Binjai, Medan, Lubuk Pakam, Tebing Tinggi, Kisaran sampai ke Rantau Prapat. Selain jalan utama Mereka menganggap bahwa rodi merupakan jenis perbudakan sehingga mereka kurang suka pindah atau memasuki daerah lain dimana akan diadakan pembukaan jalan baru. Hal seperti ini diantaranya terjadi pada waktu membuka jalan antara Barus- Sibolga- Lumut-Batangtoru dan Angkola – Mandailing, yang pada waktu itu sudah termasuk wilayah Keresidenan Tapanuli. 26 Elvis. F. Purba., O.H.S., Purba, Migrasi Spontan Batak Toba Marserak, Sebab, Motif,dan Akibat Perpindahan Penduduk dari Dataran Tinggi Toba. Medan, 1997, hlm. 91. 27 Wawancara dengan Jaspin Sihombing, Pegagan Julu VII, tanggal 25 Agustus 2007. Universitas Sumatera Utara 55 tersebut, jalan Berastagi dan Kabanjahe di Dataran Tinggi Karo dan Jalan melalui Simalungun ke Danau Toba yang terus ke Tapanuli dan Sibolga. 28 f. perang Sisingamangaraja XII Pembangunan jalan di sekitar Danau Toba memberi kemudahan bagi penduduk Batak Toba meninggalkan kampung halamannya menuju Dairi, Simalungun, dan lain- lainnya. Pembukaan jalan dari Siborong- borong melalui Doloksanggul- Hariara Pintu ke Sidikalang mempercepat orang- orang Batak Toba dari daerah Silindung pindah ke Dairi. Kehadiran Kolonial Belanda di daerah Tanah Batak dan usaha missioner Jerman yang ingin memperluas daerah kerjanya, menyebabkan orang- orang Tapanuli, terutama Batak Toba memasuki Dairi. Pemerintah kolonial Belanda yang berusaha untuk memperluas wilayah koloninya dan ingin menguasai daerah- daerah Batak, akhirnya menimbulkan rasa tidak aman bagi masyarakat Batak Toba. Perang yang dipimpin Sisingamangaraja XII merupakan perlawanan masyarakat T apanuli terhadap rencana Belanda yang ingin menanamkan kekuasaan di seluruh Tanah Batak. Sentrum peperangan bergeser dari wilayah Toba Holbung ke Humbang dan akhirnya ke Dairi, yang menyebabkan masing- masing pejuang Batak Toba masuk ke Dairi. Pejuang- pejunag yang tergabung dalam barisan Sisingamangaraja XII, demikian pula 28 Ibid. hlm. 94. Universitas Sumatera Utara 56 dengan pembantu- pembantu tentera Belanda dari kalangan Batak Toba masuk ke Dairi seiring dengan pergeseran sentrum peperangan tersebut. Tentara Belanda membawa 400 orang pembantunya dari Tarutung, kebanyakan berasal dari Silindung ke Sidikalang dengan tujuan membantu tentara Belanda mematahkan pejuang- pejuang Batak yang menentang Kolonial.P 3.3.2. Faktor- Faktor Penarik Dari Daerah Tujuan Sebagai faktor penarik yang menyebabkan daerah Sumbul Pegagan menjadi pilihan para migran Batak Toba adalah kesempatan dalam bidang ekonomi sangat luas. Migrasi Batak Toba ke Sumbul Pegagan dipengaruhi oleh kondisi geografis dan sulitnya masalah ekonomi Tapanuli. Sumbul Pegagan menjanjikan berbagai kemudahan dan fasilitas yang dapat dimanfaatkan demi meningkatkan pendapatan migran. Faktor penarik lainnya adalah kondisi jalan di Sumbul Pegagan sudah lebih baik, sehingga dapat memperlancar arus lalu lintas yang tidak dapat dilalui dengan kenderaan bermotor, bahkan dengan sepedapun. Keadaan ini sangat jauh berbeda bila dibandingkan dengan daerah asal Tapanuli yang keadaannya belum membaik. Lahan pertanian keadaannya datar sehingga dapat dikerjakan dengan memakai tenaga hewan bajak dengan demikian hasilnya akan lebih baik dan banyak. Faktor lain yang menyebabkan Migrasi etnis Batak Toba Ke Sumbul Pegagan adalah masih murahnya nilai jual tanah di tempat tersebut, bahkan ada Universitas Sumatera Utara 57 yang diberikan dengan Cuma- Cuma oleh Raja Tano Pakpak. Keadaan ini mendorong para petani dari Tapanuli berlomba- lomba datang ke Sumbul Pegagan untuk menggarap tanah dengan tujuan bercocok tanam padi. Tetapi karena kebanyakan lahan pertanian di Sumbul Pegagan adalah lahan perladangan maka mereka beralih ke jenis tanaman tua, yakni menanam kopi.. 29 Penjualan tanah oleh Raja Tano terhadap kaum pendatang ini dilatarbelakangi karena atas dasar kepercayaan kepada setiap etnis pendatang tersebut. Harga yang ditawarkan ke etnis pendatang untuk mendapatkan 1-2 hektar tanah adalah antara lima ratus rupiah sampai tujuh ratus rupiah. Syarat- syarat Berita mengenai adanya tanah di Dairi disampaikan dari mulut ke mulut oleh orang- orang yang pernah datang ke Dairi saat terjadinya perang Sisingamangaraja XII. Pada waktu itu etnis Batak Toba ada yang ikut bergabung membantu kolonial Belanda dalam perang yang sampai ke daerah Dairi, sehingga pada saat perang selesai mereka pulang ke Tapanuli, mereka menceritakan keadaan di Dairi yang kosong. Selain itu berita dari orang- orang yang singgah di Sidikalang dalam perjalanannya ke Tanah alas, Simalungun, Sumatera timur, karena mereka melihat Dairi sangat cocok untuk lahan pertanian kemudian menceritakannya ke orang lain. Mendengar cerita dari orang- orang tadi maka banyaklah yang tertarik dan sekaligus ingin membuktikan kebenaran cerita tersebut lalu mereka mencobanya. 29 Wawancara dengan Jahilim Simbolon, Pegagan Julu I, tanggal 12 Nopember 2007. Universitas Sumatera Utara 58 untuk memperoleh tanah ini hanya dengan melaporkan kedatangan mereka kepada kepala desa selanjutnya kepala desa akan mengurus semua administrasinya Sedangkan pemberian tanah secara cuma- cuma oleh Raja tano kepada sebagian pendatang ditujukan bagi pendatang lebih awal tiba di Sumbul Pegagan, selain itu mereka juga telah ikut bekerja di lahan etnis menetap Pakpak sehingga dianggap sudah ada ikatan persaudaraan di antara mereka. Faktor penarik lainnya, adalah adanya hubungan keluarga dan teman sekampung. Migrasi karena faktor hubungan keluarga di alami oleh sebagian migran. Menurut keterangan yang diperoleh pindahnya mereka karena sudah ada keluarga yang terlebih dahulu bermigrasi ke Sumbul Pegagan, sehingga tidak sulit untuk mencari tempat tinggal untuk sementara. Adanya hubungan darah antara sesama migran baik itu hubungan sebagai abang, adik, paman, atau hubungan saudara lainnya mendorong mereka datang untuk menjumpai saudaranya yang kemudian tertarik untuk bertempat tinggal di Sumbul Pegagan. Sumbul Pegagan merupakan daerah yang memiliki banyak daya tarik dan hal- hal yang menjanjikan. Luasnya tanah dan kodisinya yang subur menjadi pusat perhatian migran Batak Toba untuk datang ke Sumbul Pegagan, letak Sumbul Pegagan sangat strategis dan merupakan jalan lintas menuju Sumatera timur dan Simalungun sampai ke Aceh. Selain itu keterbukaan dan sifat menerima dari etnis menetap pakpak dalam menerima pedatang yang ingin tinggal di Sumbul Universitas Sumatera Utara 59 Pegagan merupakan faktor yang memudahkan bagi etnis pendatang dalam bermigrasi. 30 Cunningham membagi gerak migrasi ke dalam dua bentuk, pertama: gerak migrasi secara kedaerahan lokal. Kelompok pertama ini dipusatkan dalam satu Adanya berita- berita serta ajakan teman sekampung, menjadikan beberapa kemudahan untuk memperoleh tanah dan fasilitas lainnya di tempaaat tujuan migran. Persoalan tanah bagi para migran merupakan hal yang sangat penting, karena dengan adanya tanah dan sekaligus kepemilikan membuat mereka lebih yakin untuk melaksanakan tujuannya. Selanjutnya Hadi Prayitno mengatakan, sekalipun tanah merupakan faktor pendorong dan penarik utama, namun yang benar- benar dapat menggerakkan orang untuk mau bermigrasi adalah proses pengambilan keputusan bagi migran itu sendiri untuk melakukan migrasi. Maka dapat disimpulkan bahwa keputusan untuk bermigrasi tergantung pada masing- masing migran. Kalau seseorang telah menentukan untuk tidak bermigrasi, maka bagaimanapun dorongan dan rayuan yang datang untuk mempengaruhinya mereka tidak akan bermigrasi, kecuali hal lain misalnya ancaman atau paksaan. Berdasarkan keputusan yang diambil oleh para migran itu sendiri, mereka nantinya tidak akan merasa menyesal apabila keadaan didaerah tujuan tidak seperti apa yang diharapkan. Migran tersebut akan menghadapi keadaanya dengan tegar didaerah tujuan. 30 Wawancara dengan Jahilim Simbolin, Pegagan Jwulu I, tanggal 12 Nopember 2007. Universitas Sumatera Utara 60 daerah yaitu Silalahi dan Jumaramba. Salah satu alasan daerah ini yang dipilih sebagai daerah pemukiman adalah setelah melihat daerah ini sangat subur. Di daerah ini mereka bersatu sesama etnis Batak Toba yang mempunyai keinginan dan cita- cita yang sama untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik. Nama daerah yang dihuni etnis Batak Toba di Sumbul Pegagan ini diubah dengan nama marga yang pertama kali datang dan menempati daerah ini. Kedua, migran kelompok keluarga yang lebih umum bila dibandingkan dengan gerak migrasi secara kedaerahan. Keluarga merupakan sistem komunikasi yang baik dan sangat berarti dalam mmbuka lahan ynag baru. Kelompok inti bekerja sebagai satu tim untuk membuka daerah baru, saling membantu di tempat tinggal baru. Ikatan keluarga menjadi kekuatan dalam mencapai keinginan- keinginan di daerah tujuan. Setelah migran Batak Toba tinggal dan menetap di Sumbul Pegagan menurut keterangan informan mereka masih mempunyai hubungan dengan keluarga di daerah asal. Sebagian informan menyatakan tidak berkeinginan untuk kembali ke daerah asalnya atau pindah ke daerah lain. Mereka ingin menetap tinggal di Sumbul Pegagan karena terikat keluarga dan pekerjaan. Selain itu ada hal- hal yang mengikat seperti pemilikan rumah, tanah, yang mereka peroleh setelah tinggal lama dan bekerja keras di Sumbul Pegagan sehingga memperkuat keterikatan mereka terhadap daerah tersebut. Ikatan kesukuan di daerah yang baru juga menjadi dasar pertimbangan untuk tidak meninggalkan desa ini, karena jika dalam suasana pesta atau berkumpul dalam urusan adat di organisasi kesukuan, Universitas Sumatera Utara 61 mereka sudah merasa berada dikampungnya sendiri sehingga kerinduan untuk pulang ke kampung halaman dapat teratasi. Universitas Sumatera Utara 62

BAB IV MOBILITAS SOSIAL ETNIS BATAK TOBA