Migrasi Batak Toba Ke Sumbul Pegagan, Dairi (1971-1990)

(1)

MIGRASI BATAK TOBA KE SUMBUL PEGAGAN,

DAIRI (1971- 1990)

Dikerjakan

O L E H

NAMA : REFI ROSLILA SIRINGO- RINGO

NIM : 030706021

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS SASTRA

DEPARTEMEN SEJARAH

MEDAN


(2)

MIGRASI BATAK TOBA KE SUMBUL PEGAGAN,

DAIRI (1971- 1990)

SKRIPSI SARJANA DIKERJAKAN O

L E H

NAMA : REFI ROSLILA SIRINGO- RINGO NIM : 030706021

Pembimbing,

Drs. Bebas Surbakti NIP 131571775

DEPARTEMEN ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

Lembar Persetujuan Ujian Skripsi

MIGRASI BATAK TOBA KE SUMBUL PEGAGAN,

DAIRI (1971-1990)

Yang diajukan Oleh

Nama : Refi Roslila Siringo- ringo NIM : 030706021

Telah disetujui untuk diujikan dalam ujian skripsi oleh : Pembimbing,

Drs. Bebas Surbakti Tanggal,……….

NIP 131571775

Ketua Departemen Ilmu Sejarah,

Dra. Fitriaty Harahap, S.U Tanggal,……….

NIP 131284309

DEPARTEMEN ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(4)

Lembar Pengesahan Pembimbing Skripsi

MIGRASI BATAK TOBA KE SUMBUL PEGAGAN,

DAIRI (1971- 1990)

SKRIPSI SARJANA DIKERJAKAN O

L E H

Nama : Refi Roslila Siringo- ringo Nim : 030706021

Pembimbing

Drs. Bebas Surbakti NIP 131571775

Skripsi ini diajukan kepada panitia ujian Fakultas Sastra USU Medan, Untuk melengkapi salah satu syarat ujian Sarjana Sastra

Dalam bidang Ilmu Sejarah

DEPARTEMEN ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(5)

Lembar Persetujuan Ketua

MIGRASI BATAK TOBA KE SUMBUL PEGAGAN,

DAIRI (1971- 1990)

DISETUJUI OLEH :

FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

DEPARTEMEN ILMU SEJARAH Ketua,

Dra. Fitriaty Harahap, S.U NIP 131284309


(6)

Lembar Pengesahan Skripsi Oleh Dekan dan Panitia Ujian PENGESAHAN :

Diterima Oleh :

Panitia Ujian Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Untuk melengkapi salah satu syarat ujian Sarjana Sastra Dalam Ilmu Sejarah pada Fakultas Sastra USU Medan

Pada :

Tanggal : 28 Maret 2008

Hari : Jumat

Fakultas Sastra USU Dekan,

Drs. Syaifuddin, MA,Ph. D NIP 132098531

Panitia Ujian :

No. Tanda Tangan

1. Dra. Fitriaty Harahap, SU (__________________)

2. Dra. Nurhabsyah, M. Si (__________________)

3. Drs. Bebas Surbakti (__________________)

4. Dra. Nina Karina, M. Si (__________________)


(7)

KATA PENGANTAR

Segala Puji dan Syukur saya ucapkan kepada Allah Bapa melalui Puteranya Yesus Kristus, atas berkat, kasih serta penyertaan-Nya, sehingga saya dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sastra di bidang Ilmu Sejarah pada Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Medan.

Adapun skripsi ini berjudul “MIGRASI BATAK TOBA KE SUMBUL PEGAGAN, DAIRI (1971-1990)”. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan sekaligus untuk meraih gelar kesarjanaan.

Saya sangat menyadari bahwa di dalam penulisan skripsi ini masih banyak memiliki kekurangan, oleh sebab itu saya mengharapkan masukan berupa kritik dan saran yang membangun untuk dapat mencapai kesempurnaan dari penulisan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi saya maupun bagi setiap orang yang membacanya.

Medan, Maret 2008 Penulis


(8)

Ucapan Terima Kasih

Segala puji dan syukur kepada Allah Bapa melalui putera-Nya Yesus Kristus, atas berkat, kasih serta penyertaan-Nya, sehingga saya dapat menyelesaikan perkuliahan dan skripsi ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sastra di bidang Ilmu Sejarah pada Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Medan.

Atas segala kritik, saran dan bantuan spiritual maupun materil yang telah diterima dari berbagai pihak yang membantu penyelesaian skripsi ini, saya ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Ayahanda, Alm. M. Siringo- ringo dan Ibunda, M. Silitonga yang selalu memberikan dukungan selama masa pendidikan hingga penulisan skripsi ini. Terima kasih atas doanya, apa yang telah kalian berikan pada saya tidak dapat dibalas dengan apapun. Kakanda Baik Siringo- ringo beserta istri, Kak Rostauli Siringo- ringo beserta suami, Kak Nurlida, dan beserta keponakan- keponakanku tersayang atas dukungan dan perhatiannya kepada saya selama menyelesaikan skripsi ini.

2. Bapak Drs. Syaiffudin, Ma, Ph.D selaku Dekan Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara.

3. Ketua Departemen Ilmu Sejarah, Ibu Dra. Fitriaty Harahap, SU dan Sekretaris Jurusan Ibu Dra. Nurhabsyah, M.Si atas bimbingan yang telah diberikan dalam masa perkuliahan maupun dalam proses menyelesaikan skripsi ini.

4. Bapak Drs. Bebas Surbakti, selaku Dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu dan pikiran dalam memberikan arahan dan bimbingan selama proses penulisan skripsi


(9)

ini, dan Bapak Drs. Samsul Tarigan selaku dosen pembimbing akademik saya yang telah memberikan masukan selama masa perkuliahan.

5. Seluruh Staff Pengajar di Departemen Sejarah, yang telah mendidik dan memberi pengetahuan selama ini, semoga dapat bermanfaat bagi saya.

6. Seluruh informan yang telah memberikan informasi maupun sumber-sumber yang berkaitan dengan penulisan skripsi ini.

7. Seluruh teman-teman stambuk 2003, Helda, Lia F.F.S, Eltrini, Christanty, Tika Anawanti, dan seluruh teman-teman stambuk ’03 Departemen Ilmu Sejarah.

Medan, Maret 2008 Penulis


(10)

DAFTAR ISI

Kata Pengantar………... i

Ucapan Terimakasih……… ii

Daftar Isi………...………... iii

Daftar Tabel………... iv

Abstrak... v

Bab I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan……….. 1

1.2 Rumusan Masalah……… 6

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian……… 7

1.4 Tinjauan Pustaka……….. 8

1.5 Metode Penelitian……… 12

Bab II GAMBARAN UMUM SUMBUL PEGAGAN 2.1 Letak Geografis Sumbul Pegagan………... 15

2.2 Komposisi Penduduk………... 20

2.2.1 Komposisi Berdasarkan Etnis……….. 20

2.2.2 Komposisi Berdasarkan Mata Pencaharian………. 24

2.2.3 Komposisi Berdasarkan Pendidikan……… 25

2.2.4 Komposisi Berdasarkan Agama……….. 28

Bab III MIGRASI BATAK TOBA KE SUMBUL PEGAGAN 3.1 Pengertian Migrasi………..………. 30


(11)

3.3 Faktor Pendorong Migrasi Batak Toba………...………. 44

3.3.1 Faktor Pendorong dari Daerah Asal……… 45

3.3.2 Faktor Penarik dari Daerah Tujuan……….. 56

Bab IV MIGRASI DAN MOBILITAS SOSIAL 4.1 Pengaruh Migrasi Terhadap Kehidupan Masyarakat..……… 62

4.1.1 Pengaruh Dalam Bahasa……….. 63

4.1.2 Pengaruh Dalam Ekonomi………... 67

4.1.3 Pengaruh Dalam Budaya………. 71

4.2 Komunitas Migran Batak Toba di Sumbul Pegagan………... 74

Bab V Kesimpulan……… 83

Daftar Pustaka

Daftar Informan


(12)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Klasifikasi Desa/Kelurahan Menurut Jenisnya Tabel 2 Tata Guna Tanah Kecamatan Sumbul Pegagan

Tabel 3 Komposisi Penduduk Sumbul Pegagan Berdasarkan Etnis Tabel 4 Komposisi Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin

Tabel 5 Komposisi Penduduk Sumbul Pegagan menurut Luas, Rumah Tangga, dan Rata-rata Penduduk Per Rumah Tangga menurut Desa/Kelurahan

Tabel 6 Komposisi Penduduk Sumbul Pegagan menurut Mata pencaharian Tabel 7 Komposisi Penduduk Sumbul Pegagan menurut Pendidikan

Tabel 8 Komposisi Penduduk Sumbul Pegagan menurut Agama Tabel 9 Jumlah Sarana Ibadah di Sumbul


(13)

ABSTRAK

Migrasi etnis Batak Toba ke Sumbul Pegagan diawali dengan kedatangan etnis Batak Toba yang bermarga Simbolon pada tahun 1928. Sejak saat itu, banyak etnis Batak Toba yang lain yang datang dan tinggal menetap di Sumbul Pegagan. Adapun faktor perpindahan etnis Batak Toba ke Sumbul Pegagan kaarena adanya faktor penarik dari daerah ini yaitu tersedianya masih lahan pertanian kosong yang dapat dimanfaatkan sebagai lahan pertanian dan faktor pendorong dari Tapanuli yaitu faktor ekonomi yang kurang baik sehingga mendorong etnis Batak Toba untuk mengadu nasib ke daerah yang lain.Seiring perjananan waktu, migrasi membawa perubahan bagi etnis Batak Toba yang ada di Sumbul Pegagan yakni etnis Batak Toba dapat diterima dan menguasai daerah tersebut dengan menjadi etnis yang mayoritas di Sumbul Pegagan.Bahkan mereka juga dapat mempertahankan adat dan budayanya Batak Toba yang telah mendarah daging.


(14)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Sejarah adalah mengulas tentang tiga hal penting yaitu pelaku, tematis, dan tempat.1

Setiap manusia pasti mengalami pertumbuhan penduduk di dalam menjalani kehidupannya.

Ketiga hal ini akan terlihat saling menjelaskan sehingga terbentuk sebuah peristiwa yang dinamakan dengan peristiwa sejarah. Mengenai pelaku akan diketahui siapa yang terlibat dalam peristiwa tersebut, sedangkan dari tematis akan menjelaskan peristiwa apa yang terjadi dan tempat, akan menjelaskan di mana peristiwa itu terjadi. Demikian juga tentang sejarah migrasi dimensi yang menjadi pokok permasalahan adalah tiga hal tersebut.

Migrasi merupakan sebuah perpindahan penduduk dari satu tempat ke tempat lain.Dalam hal ini penduduk sebagai pelaku terhadap peristiwa migrasi adalah Batak Toba yang melakukan migrasi dengan berbagai faktor sosial dan kondisi lingkungan dari daerah asal dan juga daerah tempat migrasi.

2

1

Louis Gottschalk, Mengerti Sejarah, (terj.) Nugroho Notosutanto, Jakarta: UI Press, 1985, hlm.27.

2

Budiarto Munir Rozi, Teori- teori Kependudukan, Jakarta: PT Bina Aksara, 1986, hlm. 45.

Begitu juga dengan etnis Batak Toba mengalami pertambahan penduduk secara alamiah yang terjadi di daerah Tapanuli (Tanoh Batak) membawa masyarakat harus berpikir keras untuk memenuhi kebutuhan


(15)

hidupnya. Masyarakat harus berusaha mencari lahan baru di luar Tapanuli karena lahan pertanian yang semakin sempit dan juga semakin meningkatnya persaingan hidup di antara sesama masyarakat. Budaya Batak Toba yang identik dengan marga- marga atau kelompok etnis yang bermukim pada sebuah Huta (kampung) di daerah pedalaman.

Perkembangan Huta (kampung) membuat suatu kampung penuh dengan penduduk dan juga keluarga- keluarga yang baru membentuk keluarga baru. Keluarga- keluarga baru ini ada yang tidak mempunyai lahan pertanian untuk diolah. Keluarga- keluarga baru ini membentuk keluarga sendiri dan memisahkan diri dari keluarganya atau dalam Batak Toba disebut Manjae. Mereka membentuk kampung baru serta membuka lahan- lahan pertanian yang baru yang sering disebut dengan Banjar atau Lumban.3

3

Batara Sangti Simanjuntak, Sejarah Batak, Balige, Karl Sianipar Company, 1977, hlm. 200.

Di Tapanuli masyarakat Batak Toba hidup dari sistem pertanian dimana Masyarakat Batak Toba memiliki keahlian dalam mengolah tanah dan juga dari segi fisik sangat kuat bekerja.Di daerah asalnya (Tapanuli) tanahnya tergolong tandus dan kurang menguntungkan ditanami tanaman pertanian. Hal ini mengakibatkan masyarakat selalu devisit dan kekurangan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.Cara yang dilakukan masyarakat untuk mengatasi lahan yang sempit di Tapanuli adalah dengan melakukan Migrasi.


(16)

Proses Migrasi yang dilakukan Batak Toba juga sebagai cara mewujudkan filosofi mereka yaitu 3H seperti Hagabeon, Hamoraon, dan Hasangapon. Filosofi ini adalah salah satu ciri yang sangat terlihat di dalam keseharian dan kehidupan etnis Batak Toba.4 Untuk menempuh filosofi ini, beberapa tindakan di lakukan oleh Orang Batak yaitu Hasangapon di tempuh dengan melanjutkan sekolah atau Pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi sehingga mereka nantinya dihargai dan dapat berkuasa dan juga Hagabeon di tempuh dengan mendambakan panjang umur dan mendapatkan keturunan dalam ikatan perkawinan khususnya anak laki- laki. orang Batak sangat mendambakan anak laki- laki. Hal ini dilatarbelakangi oleh sistem keturunan yang Patrinial, di mana anak laki- laki adalah sebagai penerus Marga. Yang ketiga adalah Hamoraon, bagian ini di tempuh dengan berusaha sekuat tenaga untuk mencari kekayaan dan kesejahteraan. Dalam bagian ini harta mempunyai peranan penting dalam kehidupan orang Batak, kesejahteraan hidup yang lebih baik sangat diimpikan oleh orang Batak Toba. Masing- masing orang Batak mengejar hal ini, sehingga tanpa disadari akan menimbulkan persaingan tidak sehat atau konflik- konflik di antara sesama keluarga maupun konflik dalam Huta(kampung). Latarbelakang inilah yang merupakan faktor masyarakat Batak Toba bermigrasi.5

4

Elvis. F. Purba., O. H. S., Purba, Migrasi Batak Toba: di Luar Tapanuli Utara (Suatu Deskripsi) , Medan, 1997, hlm. 1.

5


(17)

Daerah Migran yang di tempuh oleh migran Batak Toba pada umumnya adalah daerah yang identik dengan budaya dalam kesehariannya. Seperti Migrasi yang di lakukan Batak Toba ke tanah Dairi (tanah Pakpak) pada tahun 1910-1980. Dairi sebagai tempat bermigrasi adalah alasan Administratif, di mana wilayah Dairi pada tahun 1950- 1958 bergabung dengan wilayah Tapanuli Utara.

Sebagai alternatif lain tempat tujuan migrasi ke Dairi adalah karena unsur kemiripan budaya, sifat, dan juga keseharian orang Batak Toba yaitu sebagai masyarakat yang hidup tergantung dari sistem pertanian. Migrasi yang di lakukan Batak Toba tergolong sukses, hal ini dapat di lihat dari perubahan yang terjadi di daerah Sumbul Pegagan yang tergolong maju karena proses migrasi ke daerah ini. Sekitar tahun 1970-an pertanian di daerah Sumbul mencapai kemajuan yang sangat pesat, khususnya tanaman kopi yang hasilnya sangat berlimpah apabila di bandingkan dengan daerah sekitarnya. Hasil pertanian kopi tersebut adalah penanaman kopi Robusta yang melampaui eksport. Dalam hal ini Sumbul Pegagan menjadi daerah pertanian maju.6

Kemajuan ini merupakan proses dari migrasi yang mengarahkan masyarakat menuju persaingan sehat yang saling meniru. Hal ini berawal dari besarnya komposisi suku dan juga keahlian dari masing- masing etnis. Proses migrasi yang terlihat sangat positif membuat suku asli atau menetap dalam hal ini Pakpak Dairi menerima proses tersebut.Keterbukaan masyarakat Pakpak Dairi

6


(18)

khususnya Pakpak Pegagan adalah awal dari migrasi menuju sebuah kesuksesan. Masyarakat asli memberi peluang kepada kelompok migran (Batak Toba) untuk berusaha dan juga bekerja sama. Sebagai contoh adalah keterbukaan dalam memberikan tanah untuk dikelola. Kebebasan berusaha ini tidak mempunyai batas ataupun persyaratan yang membebani kelompok migran.

Migrasi Batak Toba ke Sumbul Pegagan membawa perubahan yang besar terhadap daerah ini. Daerah Sumbul Pegagan yang latarbelakang etnisnya adalah Pakpak Dairi khususnya Pakpak Pegagan, Tapi kelompok dominan di daerah Sumbul bukan lagi etnis Pakpak tetapi etnis Batak Toba.Hal ini bukan lagi diakibatkan oleh proses migrasi, sebab pada periode 1990-an sudah jarang ditemukan. Banyaknya jumlah Penduduk diakibatkan oleh proses perkawinan antara sesama suku Batak Toba dan perkawinan silang yang terjadi antara masyarakat menetap (Pakpak) dengan kelompok suku lainnya yang ada di Sumbul Pegagan. Dalam bidang lainnya terdapat perubahan seperti komunikasi dalam percakapan sehari- hari. Bahasa Batak Toba lebih sering di pakai dalam percakapan sehari- hari di Sumbul Pegagan.7

Dari proses migrasi menyebabkan sebuah perubahan yang sangat besar terjadi di daerah Sumbul Pegagan. Proses perubahan ini menjadi hal yang unik dan menarik untuk diteliti dari perspektif Ilmu Sejarah.Keunikan ini menjadi alasan penulis untuk memilih judul tulisan yaitu MIGRASI BATAK TOBA KE

7


(19)

SUMBUL PEGAGAN, DAIRI (1971- 1990). Sebagai kajian penulis di mana

peristiwa ini dekat dengan keseharian penulis dan masih memungkinkan untuk dikaji sebab pelaku, orang yang mengetahui, dan sumber- sumber masih ditemuka n.

Untuk mempermudah pembahasan dan penulisan sejarah ini, penulis membatasi waktu antara tahun 1971- 1990 karena pada awal tahun 1971 perekonomian Sumbul Pegagan mulai mengalami peningkatan seiring dengan penanaman kopi Robusta.Hasil pertanian kopi dari daerah ini mulai diperhitungkan di pasaran sehingga dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat baik etnis menetap maupun etnis pendatang. Sedangkan tahun akhir batasan penulisan ini yaitu pada tahun 1990 di mana pada tahun ini perpindahan spontan ke daerah ini sudah tidak ditemuka n lagi, diharapkan dengan pembatasan waktu ini mempermudah penulis dalam pengkajiannya.

1.2. Rumusan Masalah

Melihat latarbelakang yang telah diuraikan di atas maka penulis perlu untuk membuat pokok permasalahan yang dianggap penting dalam studi sejarah. Demikian pula penulisan mengenai “MIGRASI BATAK TOBA KE SUMBUL PEGAGAN (1971- 1990)” memiliki beberapa pokok permasalahan yang ingin dikaji antara lain:


(20)

1. Apa yang melatarbelakangi etnis Batak Toba bermigrasi ke Sumbul Pegagan?

2. Bagaimana pengaruh proses migrasi Batak Toba terhadap kehidupan sosial?

3. Komunitas etnis apa yang paling berkembang di Kecamatan Sumbul Pengagan?

1.3. Tujuan dan Manfaat penelitian

Secara Ilmiah untuk mengetahui kejadian yang pernah terjadi dalam masyarakat memerlukan proses perencanaan. Perencanaan penelitian yang dilakukan dengan Ilmiah akan memperoleh perspektif terhadap masyarakat tersebut.Dalam hal ini masyarakat Batak Toba yang melakukuan perpindahan ke Kecamatan Sumbul Pegagan. Oleh karena itu tujuan penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui latarbelakang migrasi Batak Toba ke ke Sumbul Pegagan.

2. Untuk mengetahui pengaruh yang diakibatkan dari proses migrasi Batak Toba bagi masyarakat asli (pakpak) dan masyarakat pendatang (Batak Toba).

3. Untuk mengetahui komunitas etnis apa yang paling berkembang dan mendominasi seiring terjadinya pembauran di tempat yang baru.


(21)

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Untuk dapat memberikan gambaran yang jelas tentang terjadinya migrasi Batak Toba ke Kecamatan Sumbul Pegagan.

2. Untuk memberikan keterangan yang benar tentang keberadaan etnis Batak Toba di Kecamatan Sumbul Pegagan dimana penduduk asli di daerah tersebut adalah etnis Pakpak.

3. Untuk menambah literatur penulisan sejarah khususnya Sejarah Lokal.

1.4. Tinjauan Pustaka

Setiap penelitian memerlukan kejelasan arah dan alur berpikir sebagai langkah awal atau landasan berpikir dalam melihat dan membahas suatu peristiwa. Untuk itu perlu sebuah kerangka teori yang memuat pokok- pokok pikiran dari sudut pandang mana masalah penelitian akan disorot.8

Berbicara tentang Batak Toba di Sumbul Pegagan dengan segala aspek kehidupannya, harus dilengkapi dengan tinjauan kepustakaaan sebagai sumber data, dengan cara mengumpulkan dan menyusun sumber sebanyak mungkin sehingga permasalahan yang ada dapat dijelaskan dengan baik. Selain Wawancara

Dengan cara ini maka pembahasan tentang Batak Toba yang bermigrasi ke Sumbul Pegagan akan menghasilkan tulisan seperti yang diharapkan.

8


(22)

dengan Etnis Batak Toba dan etnis menetap, cara yang lain adalah dengan mencari dan membaca buku- buku yang berkaitan dengan penelitian ini.

O. H. S. Purba dan Elvis F. Purba, dalam bukunya yang berjudul Migran

Batak Toba: di Luar Tapanuli Utara (Suatu Deskriptif) menjelaskan bahwa Batak

Toba keluar dari daerahnya (daratan tinggi Tapanuli) sekitar tahun 1900 menuju Dairi.Dua hal yang menyebakan orang Batak Toba datang ke Dairi, yaitu kehadiran kolonial Belanda di tanah Batak dan usaha missioner Jerman yang ingin memperluas wilayah kerjanya. Perang Batak yang dipimpin Sisingamangaraja XII untuk melawan Belanda ikut menjadi faktor alam sebab pejuang Batak Toba ikut membantu tentara kolonial masuk ke Dairi seiring dengan bergesernya wilayah perang dari Holbung ke Humbang selanjutnya ke Dairi.

Selain itu, Pembukaan jalan dari Dolok Sanggul ke Sidikalang pada saat itu memengkinkan orang datang ke Dairi.Mereka mulai membuka lahan persawahan dan berjualan. Kehadiran Missioner Jerman juga membawa pengaruh positif bagi kesejahteraan masyarakat setempat. Hal ini didukung oleh pemerintah kolonial Belanda seperti dalam bidang kerohanian yang akhirnya memberi teladan hidup kristiani. Di samping itu pendidikan modern, serta bidang pertanian diperkenalkan, akibatnya orang Batak Toba mampu mengolah persawahan bahkan sudah mampu menanam tanaman kopi sebagai salah satu upaya pemanfaatan lahan luas.

Penulisan migrasi juga dapat dilihat dalam tulisan Andi Ima Kesuma, dalam bukunya yang berjudul” Migrasi dan orang Bugis”, menjelaskan bahwa orang


(23)

Bugis khususnya orang Wajo yang memiliki filosofi “Dimana perahu sampai, di sana kehidupan ditegakkan.Artinya jika tidak mendapat tempat perantauan maka di negeri manapun itu hidup dapat dilanjutkan. Orang Bugis yang memiliki jiwa pelaut/berlayar memungkinkan mereka untuk menjelajahi samudera dan juga negara- negara lainnya.

Faktor lain yang melatarbelakangi migrasi orang Bugis adalah peristiwa yang terjadi di daerah asal seperti terjadinya perang, tuntutan ekonomi dimana mereka dilanda kemiskinan. Sehingga mereka berusaha mencari kehidupan yang lebih baik di tempat yang baru, yakni menyangkut semua aspek kehidupan termasuk ekonomi dan politik. Orang Bugis yang telah bermigrasi pada umumnya berhasil mencapai sukses, baik dalam bidang politik maupun bidang ekonomi. Banyak di antara mereka menjadi pejabat- pejabat pemerintah, bahkan di Johor keturunan Bugis dapat menjadi yang dipertuan Agung untuk Malaysia.

O. H. S. Purba dan Elvis F. Purba, dalam bukunya Migrasi Spontan Batak Toba (Marserak) Sebab, Motip, dan Akibat Perpindahan Penduduk dari Dataran

Tinggi Toba menjelaskan bahwa orang Batak Toba pada mulanya berdiam di

sekitar danau Toba. Perkampungan leluhur mereka(Siraja Batak) adalah Sianjur mula- mula, di kaki gunung Pusuh Buhit. Masuknya pengaruh dunia luar tarhadap masyarakat dan adat- istiadat suku Batak Toba antara lain melalui perdagangan.Bandar Barus sebagai pelabuhan eksport kapur barus dan kemenyan menjadi terkenal di dunia. Melalui Barus inilah kebudayaan asing mulai


(24)

mempengaruhi kebudayaan Batak. Bagi orang Batak Toba, tanah merupakan salah satu faktor produksi yang paling penting dan sumber penghasilan utama. Begitu pula adat- istiadat berhubungan erat dangan tanah dan usaha pertanian tersebut. Akibatnya lahan pertanian sudah mulai terasa sempit disebabkan peningkatan jumlah penduduk.

Penyebaran etnis Batak Toba ke luar daerah Tapanuli Utara melebihi jumlah penduduk yang ada di daerah asal. Pertambahan penduduk yang pesat di Tapanuli menimbulkan tekanan terhadap lahan pertanian dan perkampungan. Lahan yang semakin sempit dan kurang subur menjadi salah satu alasan mengapa orang Batak Toba berpindah. Selain itu keluarga- keluarga muda yang baru berumah- tangga (Manjae) mendorong penduduk mendirikan rumah- rumah baru dan bahkan membuka kampung baru. Kampung baru yang telah di buka menciptakan perpencaran dan jauh dari kampung induknya.Mereka mulai menyebar ke daerah yang lebih jauh di luar batas budaya sendiri.Inilah yang disebut dengan Marserak.

Seiring dengan perkembangan zaman, Marserak mengandung pengertian yang luas. Selain dari menyebar (perpindahan dari kampung halaman keluar wilayah budaya sendiri), marserak memiliki arti mobilitas sosial dan ekonomi, pendidikan. Kemajuan zaman yang berkembang dan kebutuhan manusia yang semakin banyak menyebabkan pola hidup penduduk harus disesuaikan dengan perkembangan zaman tersebut.


(25)

1.5. Metode Penelitian

Dalam mendeskripsikan sebuah tulisan yang bersifat ilmiah harus didukung oleh tehnik untuk mendapatkan data yang akurat. Adanya metode penelitian yang dilakukan penulis dalam memperoleh data- data harus berdasarkan seleksi sehingga melahirkan suatu tulisan yang bersifat ilmiah dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Dalam hal ini penulis menggunakan metode pengumpulan data sebagai berikut:

1. Penelitian Kepustakaan (Library Research)

Study kepustakaan ditujukan pada penggunaan buku- buku hasil karya para ahli. Namun dalam hal ini buku- buku yang mendukung masih jarang dijumpai. Tapi paling tidak ada buku yang membahas tentang penelitian tersebut untuk menghindari pemalsuan data.Study kepustakaan juga bisa dilakukan dengan laporan- laporan hasil kajian lembaga statistik, jurnal- jurnal ilmiah serta majalah yang sesuai dengan masalah yang dibahas.

2. Penelitian Lapangan (Field Research) dengan langkah- langkah sebagai berikut :

a.Wawancara

Kegiatan Wawancara dilakukan dengan penyaringan atau pengumpulan data yang cukup penting dalam suatu penelitian.Wawancara dilakukan kepada orang- orang yang mengetahui tentang permasalahan penelitian dalam hal ini migrasi Batak Toba ke Kecamatan Sumbul Pegagan. Orang


(26)

yang diwawancarai adalah orang yang melakukan migrasi ke daerah tersebut maupun penduduk asli yang dapat menjelaskan kedatangan serta pengaruh dari migrasi Batak Toba.Pengumpulan data melalui wawancara ini lebih menguntungkan karena akan terjadi interaksi dan komunikasi antara penulis dengan masyarakat yang bersangkutan sehingga diperoleh informasi yang lebih lengkap mengenai sikap, kelakuan, pengalaman dan harapan dari informan.

b.Observasi

Dalam penelitian ini observasi dilakukan dengan mengadakan pengamatan secara langsung terhadap kondisi daerah dan kehidupan masyarakat Sumbul Pegagan yang menjadi sasaran penelitian.

Setelah dilakukan observasi tahap selanjutnya adalah Heuristik yang merupakan langkah awal penelitian, penulis mengumpulkan informasi berupa sumber tertulis dan lisan yang yang berhubungan dengan objek yang diteliti.

Dari sumber sejarah yang didapat kemudian dianalisa kembali keakuratannya yaitu dengan kritik ekstern dan intern. Kritik ekstern bertujuan untuk membuktikan keaslian data tersebut, sedangkan kritik intern bertujuan untuk membuktikan bahwa isi dokumen tersebut adalah benar. Selanjutnya adalah tahap Interpretasi yaitu pemahaman terhadap data yang ada, disini kita menganalisa fakta yang telah didapat yang merupakan langkah akhir penulisan sejarah. Tahap Historiografi adalah penulisan sejarah dengan merangkaikan fakta- fakta yang


(27)

sudah ada sehingga menjadi sebuah kisah sejarah yang bermanfaat untuk orang lain.


(28)

BAB II

GAMBARAN UMUM SUMBUL PEGAGAN

2.1 Letak Geografis Sumbul Pegagan

Sumbul Pegagan adalah salah satu dari enam belas kecamatan di Kabupaten Dairi, Propinsi Sumatera Utara. Secara geografis Sumbul Pegagan terletak antara 02. 25˚- 02. 45˚LU dan 98. 00˚- 98. 30˚BT dengan luas 268, 20 Km² dan berada pada ketinggian1.400 m di atas permukaan laut. Sebagian besar arealnya terdiri dari pegunungan yang bergelombang dan hanya sebagian kecil yang datar dan rata, sebagian besar terdiri dari hutan, maka iklim daerah ini adalah sedang (Sub Tropis). Dalam penyebutan sehari- hari bagi masyarakat setempat bahwa tentang kecamatan Sumbul Pegagan lebih akrab dengan sebutan Sumbul Pegagan tanpa menyebut nama kecamatan didepannya.

Secara administratif pemerintahan Sumbul Pegagan memiliki batas wilayah sebagai berikut:

- Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Pegagan Hilir

- Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Karo dan Kabupaten Simalungun

- Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Parbuluan - Sebelah Barat berbatasan dengan Sidikalang


(29)

Kecamatan Sumbul Pegagan terdiri dari 14 Desa/Kelurahan, Yaitu: - Pegagan Julu V

- Pegagan Julu VI - Silalahi II - Silalahi I - Pegagan Julu II - Pegagan Julu I - Pegagan Julu III - Pegagan Julu IV - Paropo

- Pegagan Julu VII - Pegagan Julu VIII - Pegagan Julu IX

- Pegagan Julu X - Tanjung Beringin

Tingkat perkembangan Desa/Kelurahan menurut klasifikasi Desa terdiri dari 2 desa swakarya dan 12 desa swasembada yang dapat dijelaskan dalam tabel dibawah ini.


(30)

TABEL I

Klasifikasi Desa/Kelurahan Menurut Jenisnya

No. Desa/Kelurahan Desa Swadaya Desa Swakarya Desa Swasembada

1 Pegagan Julu V _ _ √

2 Pegagan Julu IV _ _ √

3 Silalahi II _ _ √

4 Silalahi I _ _ √

5 Pegagan Julu II _ _ √

6 Pegagan Julu I _ _ √

7 Pegagan Julu III _ √ _

8 Pegagan Julu VI _ _ √

9 Paropo _ _ √

10 Pegagan Julu VII _ _ √

11 Pegagan Julu VIII _ √ _

12 Pegagan Julu IX _ _ √

13 Pegagan Julu X _ _ √

14 Tanjung Beringin _ _ √

Jumlah _ 2 12


(31)

Kepadatan penduduk adalah sebanyak 156 jiwa/km dengan penyebaran yang tidak merata pada setiap desa/kelurahan. Dari 14 desa/kelurahan yang ada di kecamatan Sumbul Pegagan terdapat penduduk yang terpadat di Desa Pegagan Julu I yaitu dengan kepadatan sebanyak 1.551 jiwa/km persegi. Desa /Kelurahan yang terjarang Penduduknya adalah Desa Silalahi II dengan tingkat kepadatan 55 jiwa/ km persegi. Jumlah Rumah tangga di Kecamatan Sumbul sebanyak 8.676 Rumah tangga dengan penyebaran yang tidak merata. Rata- rata banyaknya jiwa per Rumah tangga adalah sebanyak 5 Jiwa.Luas wilayah kecamatan Sumbul Pegagan 268,20 hektar dan dimanfaatkan untuk berbagai kebutuhan penduduk yang terdiri dari Tanah Sawah, Tanah kering, bangunan/pekarangan, dan lain- lainnya.Untuk lebih jelasnya perincian penggunaan tanah di kecamatan Sumbul dapat dilihat pada tabel ini:


(32)

Tabel II

Tata Guna Tanah Kecamatan Sumbul Pegagan

No. Tata Guna Tanah Luas (ha)

1. Tanah Sawah 3.247

2. Tanah Kering 19.763

3. Bangunan/Pekarangan 3.010

4. Lain- lainnya 800

Jumlah 268,20

Sumber: Kantor Kecamatan Sumbul Pegagan, 1990.

Dari Tabel 2 dapat kita lihat bahwa tanah yang paling luas dari tata guna tanah adalah tanah kering. Tanah kering ini merupakan lahan perladangan yang ditanami dengan kopi, jagung, ubi kayu, ubi jalar, kacang tanah, kacang hijau, kedelai dan jenis buah- buahan untuk kebutuhan sehari- hari.Lahan perladangan lebih banyak digunakan dari semua lahan yang ada karena dianggap lebih menguntungkan. Hal ini dapat dilihat dari hasil panen kopi, hampir setiap rumah tangga di Sumbul Pegagan menanam tanaman kopi. Sedangkan untuk tanah sawah ditanami tanaman dengan padi yang panennya dua kali dalam satu tahun dengan sistem irigasi. Untuk tanah lainnya ini kebanyakan lahan yang kurang baik untuk dikelola karena faktor kesuburan dan kurang aman untuk mendirikan rumah sehingga tanah ini kurang diperhatikan.


(33)

Dalam hal pemilikan tanah, pada umumnya migran Batak Toba telah memilikinya seluas ½ km/ kk untuk dikelola, baik tanah ladang maupun sawah. Karena pada awal kedatangan mereka ke Sumbul Pegagan mereka diberi tanah secara sukarela oleh etnis menetap, yaitu Pakpak Dairi. Namun di antara etnis Batak Toba ini masih ada juga yang menyewa dari etnis menetap karena alasan pada saat mereka sampai ke Sumbul Pegagan tanah di daerah ini sudah tidak kosong lagi, caranya petani yang menyewa tanah wajib membayar sewa pada saat panen tiba.9

9

Wawancara dengan Jahilim Simbolon, Pegsgsn Julu I, 23 agustus 2007.

Pembangunan sarana jalan beraspal sudah ada, yaitu menghubungkan setiap desa.Lancarnya jalur transportasi mengakibatakan semakin meningkatnya perpindahan etnis Batak Toba ke Sumbul Pegagan.

2.2. Komposisi Penduduk

2.2.1.Komposisi Penduduk Berdasarkan Etnis

Menurut data dari kantor kecamatan Sumbul Pegagan tahun 1990, Sumbul Pegagan memiliki jumlah penduduk sebanyak 42.078 jiwa dengan jumlah kepala keluarga 8.679 kk. Penduduk Sumbul Pegagan terdiri dari berbagai etnis dan agama. Etnis yang terdapat di Sumbul Pegagan adalah Etnis Pakpak, Batak Toba, Simalungun, Karo, dan etnis lainnya.Untuk lebih jelasnya perhatikan tabel dibawah ini:


(34)

Tabel III

Komposisi Penduduk Sumbul Pegagan Berdasarkan Etnis

No. Etnis Jumlah (Jiwa)

1. Pakpak 5425

2. Toba 21.523

3. Simalungun 2023

4. Karo 2407

5. Etnis lainnya 5

Jumlah 42.078

Sumber: Kantor Kecamatan Sumbul Pegagan, 1990.

Berdasarkan data- data di atas dapat dilihat bahwa etnis Batak Toba sebagai penduduk pendatang adalah penduduk mayoritas, sedangkan etnis Pakpak (Menetap) sudah menjadi etnis minoritas bila dibandingkan dengan etnis migran yang datang ke Sumbul Pegagan.

Keseluruhan jumlah penduduk Sumbul Pegagan yang asli warga negara Indonesia menurut jenis kelamin adalah jumlah laki- laki sebanyak 21.041 Jiwa dan perempuan berjumlah 21.037 Jiwa. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini.


(35)

TABEL IV

Komposisi Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin

No. Jenis Kelamin Jumlah( Jiwa)

1 Laki- laki 21.041

2 Perempuan 21.037

Jumlah 42.078

Sumber: Kantor Kecamatan Sumbul Pegagan, 1990.

Sejak Tahun 1970 jumlah penduduk semakin meningkat. Hal ini bukan karena tingginya angka kelahiran melainkan karena perpindahan penduduk dari daerah lain ke desa masih terus berlangsung hingga akhir tahun 1990. Selain mereka yang berkedudukan sebagai pegawai negeri seperti guru- guru sekolah, juga terdapat orang- orang yang sudah menjalani pensiun.mengenai tingkat kelahiran hanya sekitar 1%- 2% setahun. Sejak diperkenalkannya KB menyebabkan pertumbuhan penduduk merata. Mengenai Usia produktif dan usia tidak produktif hampir seimbang.

Penduduk Sumbul Pegagan berjumlah 42.078 jiwa yang diklasifikasikan menurut luas, rumah tangga, kepadatan, dan rata- rata penduduk per rumah tangga menurut desa/kelurahan.


(36)

Tabel V

Komposisi Penduduk Sumbul Pegagan menurut Luas, Rumah Tangga, dan Rata-rata Penduduk Per Rumah Tangga menurut Desa/Kelurahan

No .

Desa/Kelurahan Luas

(Km) Penduduk

R.T Kepad

atan

Rata-rata/RT

1. Pegagan Julu V 43,60 5.850 1.188 134 5

2. Pegagan Julu IV 39,60 5.576 1.197 140 5

3. Silalahi II 26,02 1.454 337 55 4

4. Silalahi I 25,50 2.236 409 87 5

5. Pegagan Julu II 14,26 2.649 468 185 6

6. Pegagan Julu I 3,78 5.869 1.203 1.552 5

7. Pegagan Julu III 8,10 1.439 299 177 5

8. Pegagan Julu VI 26,10 3.117 695 119 4

9. Paropo 24,10 1.603 328 66 5

10. Pegagan Julu VII 22,90 2.998 621 130 5

11. Pegagan Julu VIII 5,00 1.064 239 212 4

12. Pegagan Julu IX 5,50 1.800 392 327 4

13. Pegagan Julu X 6,00 1.855 397 309 5

14. Tanjung Beringin 17,74 4.568 906 257 5

Jumlah 268,20 42.,078 8.679 157 5


(37)

2.2.2.Komposisi Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian

Untuk mengetahui bagaimana kehidupan ekononi masyarakat Sumbul

Pegagan, maka perlu mengetahui jenis- jenis mata pencaharian

penduduk.Penduduk Sumbul Pegagan memiliki mata pencaharian yang beranekaragam antara lain sebagai Petani, Pedagang, Pengrajin Sapu, PNS, Supir, dan lain- lain. Pekerjaan yang paling utama dalam kehidupan sehari- hari penduduk suku Batak Toba adalah bertani. Etnis Batak Toba tidak dapat meninggalkan kebiasaan mereka yang masih tergantung dari lahan pertanian. Awal kedatangan mereka ke Sumbul Pegagan adalah dengan membuka lahan- lahan kosong dan mulai menanami jenis tanaman kopi. Setiap rumah tangga memiliki lahan pertanian untuk dikelola sehingga ekonomi rumah tangga ditopang oleh sektor pertanian.Dalam hal ini suami- istri dan anak bekerja sama untuk bekerja di sawah atau ladang. Di samping itu mereka mempunyai pekerjaan sampingan yaitu berjualan ke pasar atau di depan rumah tempat tinggalnya. Demikian juga dengan etnis menetap (Pakpak), yakni mengikuti kebiasaan Batak Toba dalam hal bertani, bahkan etnis- etnis lain seperti karo, simalungun, juga melakukan rutinitas yang sama dalam kehidupan sehari- harinya. Penduduk yang sudah menjadi PNS, pun masih berusaha menambah penghasilan dengan bertani dan berjualan, dengan demikian masyarakat Sumbul Pegagan mempunyai pekerjaan ganda. Maka tidak heran kalau penduduk Sumbul Pegagan mempunyai penghasilan yang lumayan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel VI berikut ini.


(38)

TABEL VI

Komposisi Penduduk Sumbul Pegagan menurut Mata pencaharian

No. Jenis Matapencaharian Jumlah

1. Pegawai Negeri Sipil 538

2. ABRI 11

3. Karyawan Swasta 34

4. Wiraswasta/Pedagang 52

5. Petani 899

6. Pertukangan/Pengrajin 23

7. Pensiunan 8

Jumlah 1565

Sumber: Kantor Kecamatan Sumbul Pegagan,1990.

Dari tabel di atas terlihat bahwa petani adalah pekerjaan yang paling banyak di lakukan penduduk dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Namun selain bertani, mereka juga mempunyai pekerjaan sampingan yang lain.

2.2.3.Komposisi Penduduk Berdasarkan Pendidikan

Dalam bidang pendidikan, penduduk sangat antusias sekali. Hal ini tidak terlepas dari sifat etnis Batak Toba yang masih memegang teguh cita- citanya untuk menyekolahkan anaknya ke jenjang pendidikan yang setinggi- tingginya. Pada umumnya Orangtua merasa wajib untuk menyekolahkan anak- anaknya.


(39)

Keadaan ini dapat dilihat dari minat anak- anak untuk sekolah karena mereka akan merasa minder kalau anak- anak tersebut tidak sekolah. Jika dilihat dari tahun ke tahun pendidikan di Sumbul Pegagan semakin meningkat, hampir dari setiap anak di Sumbul telah mengecap pendidikan sampai ke tingkat menengah atas, bahkan sebagian dari anak- anak ini melanjutkan pendidikan hingga ke perguruan tinggi. Pentingnya pendidikan semakin disadari oleh para orangtua, karena bila bahwa tidak bersekolah mereka menganggap akan bernasib seperti orangtua mereka yang pada umumnya menjadi petani. Sebaliknya dengan sekolah akan menambah pengalaman dan pengetahuan anak- anak sehingga mereka dapat berhasil melebihi orangtuanya, bahkan dapat menaikkan status sosial keluarga.

Dalam proses pendidikan dapat diartikan sebagai proses tingkah laku dengan tujuan untuk mencapai kematangan dalam segi- segi kehidupan. Juga dapat diartikan sebagai kesempatan pembinaan dari individu guna meningkatkan cara berpikir supaya mampu menilai dan mengambil keputusan dalam bertingkah laku dalam masyarakat.

Sarana pendidikan yang ada di kecamatan Sumbul Pegagan terdapat 46 unit Sekolah Dasar (SD) dengan jumlah murid sebanyak 8.239 dan tenaga pengajar(Guru) sebanyak 334 orang. Tingkat pendidikan SLTP , terdapat 9 unit Sekolah SLTP, dengan jumlah murid sebanyak3.035 orang dan tenaga pengajar (Guru) sebanyak 141 orang. Sedangkan sekolah untuk tingkat SLTA terdapat 6 buah sekolah, 1.508 orang murid dan 79 orang tenaga pengajar.


(40)

Tabel VII

Komposisi Penduduk Sumbul Pegagan menurut Pendidikan

Sumber: Kantor Kecamatan Sumbul Pegagan, 1990.

No. Desa/Kelurahan SD SLTP SLTA

1. Pegagan Julu V 912 168 -

2. Pegagan Julu IV 1.140 40 -

3. Silalahi II 340 - -

4. Silalahi I 370 310 -

5. Pegagan Julu II 332 - -

6. Pegagan Julu I 948 149.412 9.721

7. Pegagan Julu III 243 - -

8. Pegagan Julu VI 642 - -

9. Paropo 364 148 -

10. Pegagan Julu VII 563 344 182

11. Pegagan Julu VIII 197 - -

12. Pegagan Julu IX 386 - -

13. Pegagan Julu X 281 - -

14. Tanjung Beringin 980 532 141


(41)

2.2.4. Komposisi Penduduk Berdasarkan Agama

Penduduk Sumbul Pegagan pada umumnya menganut agama kristen, hanya sebagian kecil yang beragama Islam. Penduduk Sumbul Pegagan seluruhnya menganut agama, dengan demikian tidak dijumpai lagi masyarakat yang menganut kepercayaan yang lain.Agama kristen yang dianut penduduk sudah mereka percayai sejak kedatangan mereka ke Sumbul. Sedangkan penduduk menetap (Pakpak) juga telah menganut agama yang sama, namun sebagian kecil ada yang menganut agama Islam. Hal ini tidak terlepas dengan adanya penyebaran agama kristen oleh misionaris Jerman yang sampai ke Dairi.

Keadaan agama yang dianut oleh penduduk Sumbul Pegagan dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel VIII

Komposisi Penduduk Sumbul Pegagan menurut Agama

No. Agama yang Dianut Jumlah Jiwa

1. Islam 1.988

2. Kristen Katolik 7.363

3. Kristen Protestan 31.967

Jumlah 41.078

Sumber: Kantor Kecamatan Sumbul Pegagan, 1990.

Agama Kristen merupakan agama terbesar, walaupun demikian kerukunan beragama tetap terpelihara sehingga masing- masing umat beragama dapat


(42)

menjalankan ibadahnya sesuai dengan ajaran agamanya masing- masing dengan tenang.

Untuk meningkatkan ketaqwaan masing- masing umat beragama maka di desa ini terdapat beberapa buah sarana peribadatan. Rumah- rumah ibadat yang dibangun merupakan hasil swadaya masing- masing para penganut agama. Sarana ibadah di Sumbul Pegagan sudah memadai, yakni dengan adanya Gereja, Mushollah dan Mesjid.Untuk lebih jelasnya perhatikan tabel berikut:

Tabel IX

JUMLAH SARANA IBADAH DI SUMBUL PEGAGAN

No. Agama Jumlah

1. Gereja 86

2. Mesjid 5

3. Musholla 8

Jumlah 99


(43)

BAB III

MIGRASI BATAK TOBA KE SUMBUL PEGAGAN

3.1. Pengertian Migrasi

Migrasi Penduduk dalam kehidupan manusia bukanlah merupakan hal yang baru lagi melainkan sebaliknya telah terjadi dimana- mana. Migrasi dalam artian sederhana yaitu berpindah tempat tinggal tanpa disadari telah memainkan peranan penting dalam sejarah umat manusia yang disebabkan oleh bermacam- macam faktor.

“Migrasi dalam bentuknya yang manapun juga, selalu memainkan peranan penting dalam kehidupan manusia semenjak permulaan sejarah manusia”. “Sebab- sebab umumnya yang dapat diperhatikan pada migrasi primitif”, katanya terus berlaku sampai sekarang, meskipun dengan tekanan pengertian yang telah berubah dan dalam bentuk yang sedikit berlainan. Dixon mengelompokkan penyebab- penyebab itu ke dalam dua golongan fisik, seumpama bencana alam yang tiba- tiba dan perubahan iklim; dan golongan sosial ekonomis, seumpama pengusiran besar- besaran, kalah perang oleh pendatang yang menyerang dan motivasi- motivasi yang lebih suka rela seperti keinginan untuk mengeksploitasikan kemungkinan ekonomi baru atau menaklukkan negeri baru. Sebab itu migrasi sebagai bagian dari tabiat manusia secara difinitif ditentukan atau diarahkan oleh faktor- faktor lingkungan, baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosial”.10

Namun demikian, migrasi merupakan bagian tabiat manusia, tidaklah dapat dibenarkan tanpa diikuti sejumlah faktor.Alasannya adalah sifat manusia untuk hidup aman tenteram dan berkecukupan tanpa gangguan dari pihak lain. Bila pada

10

Muchtar Naim, Merantau : Pola Migrasi Suku Minangkabau, Yogyakarta: UGM Press, 1984, hal. 5-6.


(44)

suatu tempat yang dirasakan aman dan mencukupi kebutuhan hidupnya, manusia akan berpindah ke tempat itu. Namun jika terdapat gangguan keamanan dan kedamaian yang disebabkan faktor dari dalam dan luar maka perpindahan menjadi keharusan untuk selanjutnya mencari daerah yang lain sebagai pemukiman. Pada pihak lain, perpindahan telah menjadi suatu kebiasaan dari sifat manusia. Artinya gangguan dan keamanan berupa tantangan senantiasa sulit untuk dihadapi sebagai jawabannya adalah berpindah dari suatu tempat ke tempat yang lain pada setiap saat. Hal tersebut banyak terdapat di beberapa daerah di Indonesia.Mereka hidup secara nomaden karena merupakan kebiasaan atau yang lebih tepat adalah bagian dari kehidupan sosial budayanya.

Perpindahan penduduk dalam beberapa bagian tertentu selalu dihubungkan dengan kondisi sosial ekonomi di daerah asalnya. Meskipun sulit diterima secara keseluruhan tetapi baik dalam penelitian di lapangan maupun yang terdapat dalam sumber kepustakaan, hal tersebut merupakan faktor penentu.

Batasan waktu yang disepakati untuk seseorang yang pergi meninggalkan tempat tinggalnya yang lama ke tempat yang baru sehingga disebut sebagai migran belum ada. Perserikatan Bangsa Bangsa menyatakan bahwa seseorang yang bermigrasi adalah orang yang bermaksud tinggal di daerah yang baru lebih dari 12 bulan. Para ahli yang mengemukakan teori tentang migrasi tidak menyebutkan batasan temporal( perpindahan tempat tinggal) jauh atau dekat, dengan kemauan sendiri atau tidak, dan dengan kelompok atau perorangan.


(45)

Payung Bangun mengatakan bahwa “Huta (bahasa Batak Toba) biasanya merupakan teritorial yang dihuni oleh keluarga yang asal dari satu klen”. Namun di Sumbul Pegagan sudah sangat jarang dijumpai masyarakat Pakpak berdomisili dengan ciri khas budaya Pakpak yang dimiliki, karena Sumbul Pegagan sudah penuh dengan rumah penduduk Batak Toba (pendatang).

Menurut B.A. Simanjuntak mengemukakan beberapa alasan orang manjae dari desa induk, yakni: karena desa induk penuh penghuni, sehingga pertambahan rumah sudah tidak memungkinkan lagi dan sebagian orang merasa kurang sehat atau kurang memperoleh rejeki di desa induk sehingga berniat mengadu nasib di tempat yang baru baik dengan cara membuka desa/perkampungan baru.

Pada umumnya mereka membuka kampung baru sekitar kampung induk atau tidak jauh jaraknya dari kampung asal, kampung utama merupakan titik tolak dan pembukaan kampung- kampung baru ini makin sering berakibat lebih jauh dari kampung asal atau di luar batas budayanya sendiri. Dilihat dari sudut ekologi kebudayaan Batak, huta merupakan manifestasi konsep harajaon.

Pederson dalam bukunya Batak Blood and Protestand Soul menyatakan, “Jalan lain ke kerajaan ialah mendirikan sebuah kampung (huta) baru dengan merintis suatu daerah yang belum didiami”. Mendirikan sebuah huta adalah suatu cara yang diakui untuk mendapatkan kekayaan material tetapi lebih banyak untuk mendapatkan kedudukan sosial. Selain hal tersebut, bertambahnya jumlah perkampungan baru atau huta juga karena terjadinya perang antara satu kampung


(46)

dengan kampung yang lain atau marga yang satu dengan marga yang lain. Perang ini dapat terjadi karena perbedaan pendapat atau dikarenakan mengambil alih tanah kampung lain.

Salah satu usaha etnis Batak Toba untuk dapat berkembang dan meningkatkan taraf hidupnya adalah dengan melakukan migrasi ke daerah yang lain yang lebih dapat memberikan kehidupan lebih baik. Salah satu daerah tempat migrasi etnis Batak Toba di Sumatera adalah di daerah Sumbul Pegagan karena di kampung asal (Bonapasogit) kesempatan untuk memperoleh hidup yang lebih baik sangat minim, dan inilah alasan mereka untuk meninggalkan kampung halaman (asal) dan melaksanakan migrasi ke daerah lain, baik untuk jangka waktu tertentu maupun untuk untuk selama- lamanya.

Etnis Batak Toba merupakan penduduk pendatang yang pertama kali bermigrasi ke Sumbul Pegagan dari pendatang lain seperti Karo, Simalungun, dan lain- lainnya. Hal ini dikarenakan Sumbul Pegagan dengan daerah asal Batak Toba(Tapanuli) satu administratif, Dairi sebagai kabupaten pada tahun 1950- 1958 bergabung dengan keresidenan Tapanuli. Namun hal tersebut hanya masalah waktu, sebab seiring bergulirnya waktu etnis- etnis lain mulai berdatangan ke daerah ini. Migrasi mereka berlangsung baik karena keterbukaan masyarakatnya dari pengaruh luar seperti agama Kristen, pemerintahan Belanda di Tapanuli,dan pembukaan lahan- lahan kosong di Dairi untuk penanaman kopi.Agama Kristen terutama protestan berhasil bukan saja memperkenalkan agama tetapi juga


(47)

memperkenalkan pendidikan, dan organisasi dalam Gereja. Sedangkan pemerintahan Belanda memperkenalkan sistem pemerintahan baru yakni antar huta disatukan yang sebenarnya saling bermusuhan. Dengan memperkenalkan bentuk organisasi kemasyarakatan kedaerahan yang baru, maka desa- desa yang berdekatan dikumpulkan menjadi satu sekolah Gereja, akibatnya huta yang kecil dan merupakan dunia kecil yang berdiri sendiri, telah berganti menjadi suatu masyarakat yang lebih luas. Sistem ini diperkuat oleh Belanda dengan memperkenalkan pemerintahan yang mempunyai suatu kesatuan wilayah yang lebih luas, maka huta atau desa nantinya mempunyai wilayah administratif, dan memenuhi syarat- syarat yang diperlukan bagi seseorang yang memegang jabatan, termasuk termasuk ilmu pengetahuan tentang dunia luar.

Masyarakat Batak Toba terdiri dari petani- petani ulet yang mengerjakan tanah dengan caranya sendiri. .Mereka mengerjakan sawah dengan cangkul dan kemudian mendapat hasil yang memuaskan. Keberhasilan mereka di daerah dataran rendah karena dianggap penduduk setempat orang- orang Batak Toba berhasil membuat sawah dan lahan kopi sehingga mendorong masyarakat setempat menirunya.

Tanah merupakan salah satu yang paling penting bagi etnis Batak Toba. Migrasi mereka ke dataran rendah terutama ingin memperoleh tanah- tanah subur yang belum dimanfaatkan, tanah- tanah itu mereka tanami dengan padi, kopi,dan lain- lainnya. Etnis Batak Toba yang berada di Sumbul Pegagan merupakan bagian


(48)

dari migrasi setempat. Sebelumnya mereka atau setidaknya orangtua mereka telah bermigrasi ke daerah-daerah lain di Dairi.11

11

Wawancara dengan Gibson Samosir, Pegagan Julu III, tanggal 24 agustus 2007.

Evereet Lee menyatakan bahwa “Yang disebut dengan Migrasi adalah perubahan tempat tinggal secara permanen, dengan tidak ada pembatasan dan tidak berkeinginan untuk kembali lagi kedaerah asalnya. Alasan Migran tidak kembali karena keinginan hidupnya untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik telah terpenuhi di tempat yang baru seperti pemilikan tanah, rumah, pekerjaan, dan dapat menyekolahkan anak- anaknya sampai dapat mandiri. Sebagai contoh migrasi permanen ini adalah migrasi yang terjadi di Sumbul Pegagan.Hal ini dapat dilihat dari penduduk pendatang(Batak Toba) tidak pernah kembali ke daerah asal, mereka hanya sering berkunjung.

Sedangkan dalam kamus antropologi dikatakan bahwa migrasi adalah pemindahan/gerak penduduk secara tetap yang menempuh jarak tertentu melewati perbatasan tertentu ke tempat baru. Dari pendapat yang di kemukan di atas maka dapat diambil kesimpulan bahwa migrasi yaitu perpindahan penduduk dari suatu tempat ke tempat yang lain dengan melewati daerah asal untuk tujuan menetap dalam jangka waktu yang tidak ditentukan dan penyebab- penyebab yang beragam.


(49)

3.2. Proses Migrasi

Kehadiran kolonial Belanda dan usaha misioner Jerman yang ingin memperluas daerah kerjanya sangat berpengaruh terhadap etnis Batak Toba. Pemerintah kolonial yang ingin memperluas daerah kolonialnya dan ingin menguasai daerah- daerah Batak lainnya termasuk Dairi yang pada saat itu masih merdeka dari kekuasaan lain, akhirnya melakukan perang. Perang Batak pada waktu itu dipimpin oleh Raja Sisingamangaraja XII. Perang ini merupakan jawaban terhadap rencana Belanda yang mau menguasai seluruh Tanah Batak. Pada Tahun 1906 tentara Belanda membawa 400 orang pembantunya dari Tarutung yang pada umumnya adalah etnis Batak Toba, dengan tujuan untuk membantu Belanda.12

Setelah Dairi dikuasai dan tugas Civil Gezaghebber yang telah ditempatkan dua tahun sebelumnya di Dairi semakin banyak mengeluarkan tenaga kerja. Maka tahun1907 pemerintah kolonial membawa beberapa orang dari Tarutung menjadi pengawai pemerintahan ke Sidikalang.Hal ini mengakibatkan semakin banyak etnis Batak Toba yang tinggal di Dairi. Dalam kurun waktu dua tahun orang- orang dari Humbang. Silindung, maupun Toba Holbung datang ke Sidikalang untuk melihat keadaan sekaligus bertempat tinggal disana. Kehadiran mereka mempercepat Sidikalang menjadi kampung yang ramai.13

12

Elvis. F. Purba., O.H.S., Purba, Migrasi Batak Toba: di Luar Tapanuli Utara (Suatu Deskripsi), Medan, 1997, hlm. 50.

13


(50)

Pada tahun 1908 jumlah orang Batak Toba yang tinggal dan menetap di Dairi sudah ratusan dan tahun- tahun selanjutnya jumlah Batak Toba yang mengadakan migrasi ke Dairi terus meningkat, dari Sidikaling mereka berangkat menuju arah barat laut dan membentuk perkampungan baru seperti Buluduri,Kanopan, Kintara Jumahteguh dan ada yang sampai Tigalingga, dan kemudian ke Panji. Hingga dasawarsa (1916- 1925) jumlah pendatang Batak Toba sekitar 1.500 orang pertahunnya.

Semakin banyak jumlah pendatang semakin banyak sumber berita tentang Dairi kepada saudara- saudara mereka yang ada di Bonapasogit.Sejak tahun 1925 Dairi semakin di kenal sebagai daerah panombangan. Orang- orang dari Holbung, Silindung, dan Toba Holbung tidak hanya berbondong- bondong ke Sidikalang atau daerah- daerah yang sudah ditempati pendatang yang sudah lebih duluan, tetapi juga mencari daerah- daerah baru ke seluruh pelosok Dairi bahkan ada yang sampai ke Tanah Alas dan Singkil.Mereka mendirikan rumah- rumah sederhana di ladang- ladang mereka atau beberapa marga dari daerah asal yang sama mendirikan satu kampung di daerah yang baru ditempati. Maka tidak heran kalau di temukan pada satu tempat yang semuanya satu marga(klen). Pendatang dari Humbang dan Toba Holbung ada yang membuka lahan persawahan dan tentu lebih banyak yang membuka kebun kopi karena kondisi daerah.

Tahun 1929 dimulai pembukaan jalan Dairiweg dari Merek (Merek pada


(51)

Sumbul Pegagan dan kemudian Sidikalang. Arus perpindahan juga semakin meningkat setelah pembukaan jalan raya tersebut. Demikian juga dari Simalungun karena hubungan lalu lintas dari Pematang Siantar , Merek ke Sidikalang sudah semakin baik.14

Keanekaragaman suku bangsa yang tinggal di Dairi didominasi oleh etnis- etnis Batak Toba. Menurut data sensus 1930, penduduk utama Dairi adalah Batak Toba, Pakpak, dan Karo. Jumlah penduduknya pada waktu itu sebanyak 54.037 jiwa yang terdiri dari 53.307 orang Batak Toba, 277 orang Cina, dan 20 orang Eropah. Dari antara Etnis Batak, orang Toba sebanyak 24.893 jiwa, Pakpak sebanyak 18.888 jiwa, Karo sebanyak 8.892 jiwa, Simalungun sebanyak 548jiwa,

Memang tidak terjadi perpindahan besar- besaran seperti ke Sumatera Timur setelah pembukaan jalan tersebut karena tidak banyak dijumpai lahan persawahan. Namun dikemudian hari, keterbatasan lahan persawahan menjadi faktor pendorong bagi mereka untuk meninggalkan daerah yang baru ditempati di Dairi. Bagi sebagian orang, kebun kopi kurang menarik perhatian mereka, sehingga setelah beberapa tahun, yaitu tahun lima atau sepuluh tahun, berdomisili di suatu tempat mereka pindah lagi untuk mencari lahan persawahan yang lebih luas. Sementara itu Sidikalang sudah berubah menjadi kota dan paling ramai di Dairi. Kota ini menjadi daerah transit pendatang- pendatang baru dari Toba Holbung, Humbang, dan Silindung, untuk meneruskan perjalanan ke daerah lainnya.

14


(52)

Angkola sebanyak 42 jiwa, Mandailing sebanyak 29 jiwa dan Batak lainnya 15 jiwa. Pada waktu itu penduduk kota Sidikalang sudah ada sekitar 3.000 jiwa. Dilihat dari agama yang dianut penduduk Dairi terdapat 13.561 yang menganut agama Kristen, 6.449 menganut agama Islam, dan 33.246 menganut agama suku.Angka- angka ini menunjukkan bahwa 46 persen dari penduduk Dairi adalah etnis Batak Toba, yang jumlahnya lebih banyak dari penduduk setempat(Pakpak). Disamping itu banyak di antara mereka yang belum menganut agama Kristen sewaktu datang, tetapi setelah sampai di Dairi sebagian ada yang telah belajar kekristenan dan pendatang yang lebih belakangan sudah lebih banyak yang beragama sehingga mempercepat munculnya jemaat- jemaat baru.15

Semasa kolonial Belanda banyak orang Batak pindah dari Dairi ke Tanah Alas, sebagian kecil ke Singkil (Aceh Selatan). Salah satu penyebabnya adalah lahan persawahan yang terbatas. Banyak dari antara petani Batak Toba di Dairi adalah para peladang yang sering tidak dapat bertahan lama di satu- satu daerah. Tahun 1931 telah ada 38 jemaat HKBP di seluruh Dairi, yang tersebar di seluruh pelosok daerah. Banyaknya jemaat tidak terlepas dari banyaknya pendatang- pendatang baru.Tidak ketinggalan juga dengan missi Katolik, yang kebanyakan datang dari Simalungun dan Sumatera Timur yang pindah karena mutasi pegawai ke Sidikalang.Sebaliknya yang datang dari Humbang atau Samosir juga mempercepat jemaat- jemaat Katolik muncul dan tersebar di Dairi.

15


(53)

Tanaman kopi mendominasi tanaman penduduk, sementara orang- orang yamg datang dari Toba Holbung dan Silindung lebih suka bekerja di persawahan. Dari daerah- daerah yang tidak memiliki lahan persawahan yang luas, sebagian penduduknya pindah ke Tanah Alas dan Sumatera Timur.16

Migrasi Batak Toba ke Sumbul Pegagan terjadi pada tahun 1910. Migrasi Batak Toba pada awal kedatangannya ke Sumbul Pegagan berjumlah 25-40 kepala keluarga. Kedatangan mereka ada yang berkelompok, individu dengan ikatan persaudaraan yang sama dan juga ada yang berbeda marga. Misalnya migran yang tinggal di Pegagan Julu I kebanyakan bermarga Simbolon. Sedangkan di daerah Silalahi hampir seluruhnya bermarga Silalahi sehingga desa ini di sebut desa Silalahi. 17

Melalui wawancara dengan anak dari orang yang pertama sekali datang ke Sumbul Pegagan yang masih hidup adalah migran yang meninggalkan kampung halamannya karena semakin sempitnya lahan pertanian di Silindung menjadikan mereka harus bergerak untuk mencari lahan yang bisa di tanami lagi. Hal ini di sebabkan karena hampir tiap Rumah tangga memiliki 10 orang anak mengakibatkan sempitnya lahan. Kondisi tanah yang kurang subur mengakibatkan hasil panen padi tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari- hari termasuk untuk menyekolahkan anak- anak mereka.Didorong rasa tidak puas dan keinginan untuk maju maka mereka meninggalkan kampung halaman mereka dan

16

Wawancara dengan Viktor Sianipar, Tanjung Beringin, tanggal 27 agustus 2007. 17


(54)

keluarga- keluarga lainnya dengan harapan mendapatkan kehidupan yang lebih baik dan mapan. Sumbul Pegagan menjadi tujuan maereka karena daerah ini masih memungkinkan untuk didiami melihat daerah ini masih banyak lahan yang kosong dan subur.18

Proses migrasi etnis Batak Toba ke Sumbul Pegagan dari Tapanuli terjadi tahun 1910 dan terjadi secara langsung ke daerah tujuan dan ada pula migrasi yang terjadi secara tidak langsung atau migrasi ke daerah lain terlebih dahulu baru

Selain itu Sumbul Pegagan sangat strategis wilayahnya karena menghubungkan jalan ke Merek sampai ke Sidikalang hingga ke Singkil (Aceh). Lahan di Sumbul Pegagan masih banyak yang belum dijamah atau masih hutan belukar. Kondisi tanah di daerah ini cukup bagus, hanya saja lahan di daerah ini kebanyakan lahan kering yang hanya cocok untuk tanaman kopi dan sayur- sayuran. Hal ini membuat para petani Batak Toba yang datang ke daerah ini harus mencocokkan diri untuk mulai beralih ke perladangan. Awal kedatangan petani Batak ini mereka menebang hutan untuk lahan pertanian. Mereka bekerja keras untuk membuka lahan baru untuk di tanami tanaman kopi. Hal ini merupakan pekerjaan yang biasa bagi mereka karena di kampung halamannya Batak Toba sudah biasa bekerja keras. Dengan cara seperti ini memberi harapan baru kepada para migran Batak Toba, sehingga mereka gigih bekerja untuk mendapatkan hasil yang lebih baik yang akan memperbaiki hidup dan dapat memenuhi kebutuhan hidup mereka dan anak- anaknya.

18


(55)

bermigrasi ke Sumbul Pegagan. Dalam proses bermigrasi langsung maupun secara tidak langsung biasanya para migran yang sudah berumah tangga tidak langsung memboyong keluarganya ke daerah tujuan migrasi, tetapi di antara mereka yang terlebih dahulu bermigrasi adalah para suami karena mereka belum mempunyai tempat tinggal menetap dan biasanya mereka tinggal di rumah- rumah saudaranya dan di rumah penduduk Asli (Pakpak) yang mempunyai ladang yang luas untuk dijadikan sebagai pekerjanya.19

a. migrasi etnis Batak Toba secara langsung

Setelah dirasa mampu untuk membiayai keluarganya, maka mereka menjemput istri dan keluarganya untuk pindah ke tempat tujuan yaitu ke Sumbul. Untuk lebih jelasnya proses migrasi tersebut akan dibahas dalam dua cara yakni:

Migrasi ini terjadi akibat dibukanya seperti jaringan perrhubungan dan pembukaan jalan- jalan yang menghubungkan daerah Sumbul Pegagan dengan daerah lainnya sehingga turut mempermudah dan mempercepat arus perpindahan secara langsung bagi etnis Batak Toba ke daerah ini. Selain faktor di atas faktor penyebab migrasi Batak Toba di daerah ini secara langsung yaitu keadaan ekonomi karena keterbatasan lahan pertanian di daerah asalnya dimana peduduk sudah semakin banyak, sementara di daerah Sumbul Pegagan lahan pertanian masih sangat luas. Disamping itu yang tidak bisa diabaikan adalah falsafah hidup atau nilai budaya yang

19


(56)

dianut Batak Toba yang di kenal dengan istilah 3H seperti yang dijabarkan di atas,yaitu hamoraon, hagabeon, dan hasangapon, hal inilah yang sekarang ini memotivasi etnis Batak Toba melakukan migrasi.

b. migrasi etnis Batak Toba secara tidak langsung

Keputusan untuk bermigrasi yang diwujudkan dalam tindakan untuk meninggalkan kampung halamannya, dan biasanya diambil dengan tidak memperhitungkan bahwa kehidupan mereka yang baru akan lebih baik dari pada di tempat asalnya (baik dalam arti jasmani, sosial maupun kejiwaan). Namun kadang kala apa yang diidamkan itu lain dari kenyataannya yang mereka alami. Terutama mereka yang bermigrasi tidak memiliki pendidikan atau pengetahuan khusus seperti buruh tani. Sehingga mereka mencari daerah yang sesuai dengan keahlian mereka. Begitu jugalah halnya dengan para migran Batak Toba, karena alasan keadaan lingkungan, keadaan ekonomi, sosial budaya di daerah Toba mempersulit kehidupan mereka sehingga mendorong mereka meninggalkan kampung halaman, Bahkan diantara mereka ada yang tanpa memperhitungkan lebih dulu atau tidak mempersiapkan diri sebelum merantau ke daerah lain. Para migran Batak Toba baik yang sudah berumah tangga maupun yang belum, banyak diantara mereka yang terlebih dahulu bermigrasi ke daerah lain tetapi karena beberapa alasan mereka meninggalkan daerah tersebut. Seperti pengalaman seorang Responden yang bermigrasi pertama sekali ke kota


(57)

Jakarta mengatakan: bahwa dirinya telah termakan rayuan teman, sehingga apa yang ada dalam benaknya semasa di kampung berbeda dengan yang dialaminya di kota tersebut. Sehingga dia kembali ke kampung dan mengikuti temannya untuk menambah pengalaman di daerah Sumbul Pegagan. Maka untuk bertahan hidup dan dapat menwujudkan apa yang menjadi impian orang Batak Toba, lalu mereka mencari daerah lain yang sesuai dengan keahliannya sebagai petani dan salah satu daerah yang masih luas lahan pertaniannya adalah Sumbul Pegagan. Seperti yang dikemukakan oleh Sianturi yang bermigrasi dari daerah Muara yaitu:

“Tumangon ma marhassit- hassit di taon di huta ni halak on daripada mulak muse tu huta,dang tarbereng annon dongan di huta molo pe ingkon pindah unang be tuhuta, niluluan ma huta na asing”.

Bila diterjemahkan kira- kira artinya: lebih baik menderita di daerah perantauan dari pada harus kembali ke daerah asal, sebab kemungkinan besar akan mendapat ejekan dari teman- teman sekampung bila tidak berhasil.

3.3. Faktor- faktor Pendorong dan Penarik Migrasi Batak Toba

Pada dasarnya setiap individu mempunyai kebutuhan- kebutuhan yang ingin dipenuhi dan dicapai. Apabila kebutuhan tersebut tidak dapat dipenuhi dengan tetap tinggal di daerah asal, maka individu tersebut kemungkinan akan


(58)

melakukan migrasi.20

Setiap proses migrasi berlangsung karena adanya sejumlah faktor pendorong dan faktor penarik serta sejumlah faktor- faktor lainnya yang turut menunjang proses migrasi tersebut.

Begitu juga dengan migrasi Batak Toba untuk memenuhi kebutuhan hidupnya telah melakukan migrasi ke Sumbul Pegagan. Migrasi ini didasari oleh kemauan sendiri dan usaha sendiri. Artinya bahwa perpindahan yang dilakukan adalah diluar program dan bantuan pemerintah.

21

Letak geografis suatu daerah sangat mempengaruhi kehidupan masyarakatnya yang tinggal di daerah itu, sama halnya dengan masyarakat etnis Batak Toba yang secara geografis mempengaruhi kehidupan etnis Batak Toba dengan segala sistem kehidupannya. Dilihat secara geografis Kabupaten Tapanuli Faktor pendorong dan penarik migrasi merupakan dua hal yang saling berhubungan dan tidak dapat dipisahkan. Adanya permasalahan- permasalahan yang dihadapi di daerah asal menyebabkan mereka berkeinginan untuk keluar dari kampung halaman dan mencari kehidupan yang lebih baik di daerah yang baru. Untuk memudahkan pembahasan maka terlebih dahulu akan dibahas mengenai faktor- faktor pendorongnya.

3.3.1. Faktor Pendorong Dari Daerah Asal

a. faktor geografis

20

. Aris Ananta, Ciri Demografis Kualitas Penduduk dan Pembangunan Ekonomi, Jakarta: Universitas Indonesia, 1993, hlm. 141.

21

Sudigno Hardjosudarno, Kebijaksanaan Transmigrasi dalam Rangka Penbangunan Masyarakat Desa di Indonesia, Jakarta: Bharata, 1965, Hlm. 24.


(59)

terletak pada 1˚-20¹- 2º4¹LU dan 98º 10¹ -99º 35¹ BT dengan luas seluruhnya 1.060.530 Ha. Sebagian besar daerahnya berupa dataran tinggi yang dikenal dengan dataran tinggi Toba dan berada pada punggung jajaran Bukit Barisan. Jika dilihat dari ketinggian permukaan laut maka daerah ini berada diantara 300 sampai dengan 1500 m di atas permukaan laut. Tofografi bergelombang sampai curam dengan kemiringan antara 0 sampai dengan diatas 40%.

Dengan melihat uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa keadaan permukaan tanah yang bergunung- gunung dan berlembah- lembah menyebabkan berbagai hambatan dalam usaha perkembangan usaha pertanian seperti perluasan tanah pertanian, perluasan areal permukiman juga kesulitan untuk pembangunan jalan dan sarana pengairan. Daerah Tapanuli kurang menguntungkan menyebabkan dampak negatif terhadap lahan pertanian yang akhirnya mendorong penduduk, terutama pada petani yang pindah dan mencari daerah yang lebih baik. Selain itu kesuburan tanah yang kurang mendukung dan musim yang kurang baik mempengaruhi pertanian sehingga mempengaruhi panen di Tapanuli. Kegagalan musim panen pada masa dahulu sering terjadi karena musim kering yang berkepanjangan, seperti di daerah Humbang Samosir. Akibat musim seperti ini bukan hanya merusak tanaman tahunan tapi juga mengakibatkan penderitaan petani karena padi dan tanaman palawija lainnya menjadi layu dan akhirnya punah.22

22

Elvis. F. Purba., O. H. S., Purba, Migrasi Batak Toba: di Luar Tapanuli Utara (Suatu Deskripsi), Medan, 1997, hlm. 52.


(60)

Hasil pertanian seperti beras, jagung, dan ubi jalar yang merupakan kebutuhan pokok bagi penduduk semakin berkurang. Hal tersebut terjadi disebabkan semakin banyak lahan pengairan menjadi lahan kering, sehingga sektor pertanian tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan sub sistem penduduknya. Kondisi ini menjadi salah satu faktor pendorong perpindahan penduduk dari daerah ini ke daerah lain di luar Tapanuli.

b. faktor 3H

Berbicara mengenai motif dan faktor menyebab penduduk dari dataran Toba, kita tidak bisa lepas dari keinginan untuk mencapai nilai- nilai atau harapan yang terdapat dalam 3H (Hamoraon, Hagabeon, dan Hasangapon). Sampai saat ini idaman 3H masih tetap dipertahankan bahkan disuarakan sebagai aspirasi pada adat masyarakat Batak Toba.23

Hal ini dapat kita lihat dimana orang yang belum kaya (mamora) maupun orang yang belum berketurunan banyak (gabe), akan berupaya untuk dihormati dimuliakan(sangap), idaman dan cita- cita di ataslah membekali orang- orang Batak Toba pada khususnya melakukan migrasi, karena di daerah asalnya (Bonapasongit) Sekalipun orang Batak Toba sudah menganut Kristen atau Islam dan sudah mempunyai GBHN secara nasional, nilai- nilai 3H itu masih ingin dicapai sekaligus.

23


(61)

untuk mencapai 3H itu sudah sangat sulit. Penyebabnya adalah letak geografis tanah Batak yang kurang menguntungkan dan kurang mendukung.

Pada masyarakat agraris, tanah merupakan salah satu faktor produksi yang penting. Tanah merupakan lambang kekayaan dan kerajaan khususnya bagi etnis Batak Toba, dalam meningkatkan kesejahteraan keluarga, dimana setiap keluarga selalu ingin memperluas pertaniannya di dalam menempuh 3H. Pembukaan kampung- kampung baru terjadi akibat perkembangan jumlah penduduk atau warga Huta sehingga pada suatu saat mereka tidak dapat bertahan lebih lama di huta asal mereka. Suatu kampung baru yang merupakan perluasan kampung induk (huta Sabungan), disebut dengan Lumban atau Sosor.24

Pada dasarnya arti marserak ialah menyebar ke seluruh wilayah marga sendiri dan apabila tidak memungkinkan lagi perluasan wilayah berlangsung ke daerah- daerah lain yang tanahnya belum dimiliki oleh marga lain dan budaya yang beda, yang kemudian dapat dijadikan sebagai lahan pertanian dan perkampungan. Dalam jangka panjang pembentukan kampung- kampung baru akan menciptakan perpencaran dan makin sering berakibat jauh dari kampung asalnya. Mereka menyebar mula- mula ke daerah sekitar kampung- kampung induk dan akhirnya ke daerahnya yang lebih jauh di luar batas budaya sendiri. Proses dan kejadian seperti inilah disebut dengan marserak. Proses ini akan terus berlangsung sehingga terbentuk wilayah dari kelompok besar marga tertentu.

24


(62)

Dalam percakapan sehari- hari ditemukan beberapa perkataan tentang marserak yaitu:”manombang, mangaranto, marjalang, marlompong, mangombo, mangalului jampalan na lomak, atau masiampapaga na lomak”. Istilah- istilah ini pada umumya mempunyai tujuan yang sama yaitu pergi ke daerah lain, di luar kabupaten atau propinsi. Manombang yang berarti membuka lahan atau pemukiman baru, meninggalkan kampung halamannya untuk mencari sumber tambahan pendapatan.

Perpindahan penduduk baik secara menetap didahului oleh perpindahan musiman. Perhitungan laba- rugi merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan manakala perpindahan musiman menjadi perpindahan menetap.

c. faktor sosial dan demografi

Dalam kehidupan tradisional adat Batak yang berkaitan dengan bidang agraris pada umumnya mereka tidak mempunyai dasar- dasar pemikiran yang telah melekat.Istilah lulu anak lulu tano yang berarti suka anak, suka tanah (sihol di anak sihol di tano). “Pada masyarakat Batak Toba, tanah memegang peranan penting, karena di seluruh norma- norma di tujukan pada sistem pertanahan seperti halnya dalam adat pertunangan, dalihan natolu dan harajaon. Dampak partanoan ida ditujuhon luhut ruhut- ruhut harentaon nihalak Batak isara songon ruhut- ruhut


(63)

harentaon nihalak Batak isara songon ruhut- ruhut ni parmargaon, Dalihan natolu

dohot harajaon”. 25

Sewaktu terjadi pengkristenan pada abad XIX, Etnis Batak Toba muncul sebagai golongan yang maju, dimana jumlah penduduk bertambah dengan cepat berkat usaha- usaha Zending dibidang kesehatan, karena setiap keluarga memiliki 10 anak atau lebih yang merupakan hal biasa dalam masyarakat Batak Toba.

Dari uraian di atas dapat dilihat bahwa tanah sangat berperan penting dalam kehidupan Batak khususnya Batak Toba, itulah sebabnya setiap marga selalu mengusahakan agar memiliki tanah yang luas demi kesejahteraan dan kelangsungan hidupnya serta keturunannya dikemudian hari, tanah yang ada di Tapanuli saat ini merupakan tanah adat yang disesuaikan dengan marga yang memilikinya. Hal ini dipertegas lagi dengan tujuan yang mendasar bagi Batak Toba pada waktu (gabe), dibarengi dengan kelimpahan ternak dan pertanian, karena hal itulah yang melambangkan hagabeon sejati. Untuk itulah etnis Batak Toba cenderung mencari tanah yang masih kosong, namun hal ini selalu didasari oleh faktor pertambahan penduduk yang semakin meningkat sehingga menyebabkan tekanan terhadap lahan pertanian dan lahan pemukiman, dimana lahan pertanian yang dikerjakan tidak memadai lagi untuk memenuhi kebutuhan keluarganya di kampung asal dan untuk itu mereka berkeinginan untuk mencari lahan yang masih kosong dengan migrasi.

25

Bupati KDH TK II Tapanuli Utara, Beberapa Informasi Mengenai Daerah TK II Tapanuli Utara, Bandung,1985,hlm. 21.


(64)

Seperti pepatah batak yang mengatakan maranak 16 marboru 17 halak. Salah satu akibat ynag ditimbulkan adalah tekanan terhadap lahan pertanian dan pemukiman. Keterbatasan lahan di daerah sendiri menyebabkan mereka mencari lahan kosong dan keluar dari Tapanuli. Mereka berpindah secara berkelompok dan individu seperti ke daerah Simalungun, Dairi, Tanah Alas dan sebagainya. Tekanan terhadap lahan pertanian bukan hanya akibat pertambahan jumlah penduduk tetapi juga oleh lahan adat yang dapat dimanfaatkan secara produktif.

d. faktor ekonomi

Setiap manusia tidak ingin hidup dengan kondisi kemiskinan dan manusia itu tidak ada yang selalu merasa puas dalam hidupnya.Demikian pulalah halnya dengan setiap etnis Batak Toba yang selalu mendambakan Hamoraon dan Hasangapon, karena orang Batak Toba beranggapan bila hamoraon dan hagabeon sudah tercapai maka hasangapon juga akan tercapai.

Akibat jumlah penduduk yang terus bertambah menyebabkan berkurangnya lahan pertanian dan sekaligus mengakibatkan kemiskinan ditengah- tengah keluarga etnis Batak Toba. Sektor pertanian sebagai sumber utama mata pencaharian sudah tidak dapat diharapkan lagi, namun adanya prinsip batak toba lulu Anak, lulu Tano yang merupakan jabaran dari hagabeon, hamoraon, dan hasangapon, maka sektor pertanian masih tetap bertahan. Karena dalam pandangan batak toba tanah merupakan lambang kekayaan dan kehormatan yang akan


(65)

mempertinggi status sosial yang baik ditengah- tengah masyarakat, bahkan pandangan ini sudah mendarah daging dalam kehidupan setiap etnis Batak Toba yang merupakan perjuangan hidup mereka.

Pada waktu Missionaris Jerman sampai ke tanah Batak keadaan masyarakat Batak Toba masih berada dalam kemiskinan, hal ini disebabkan semakin sempitnya lahan pertanian. Namun untuk menjamin kelangsungan hidup anggota keluarga, maka masyarakat harus mencari lahan pertanian di daerah yang lain. Situasi ekonomi mendorong etnis Batak Toba untuk pindah agar dapat berdiri sendiri dalam menghidupi keluarga dan ingin lebih sejahtera dibandingkan dengan keadaan daerah asalnya.

Alasan untuk meninggalkan kampung halaman pada umumnya disebabkan faktor ekonomi, selain itu adanya faktor georafi dimana untuk pembukaan lahan baru tidak memungkinkan lagi. Dengan demikian maka etnis Batak Toba akan melaksanakan migrasi ke daerah lain namun tidak akan meninggalkan adat yang telah mendarah daging bagi mereka sejak dari daerah asal.

Dari uraian di atas ternyata masyarakat masih ingin untuk mencari kekayaan, selain itu faktor- faktor lain juga banyak mempengaruhi diantaranya mereka ingin dihormati, dimuliakan, sehingga mereka berusaha mencari jalan agar dihormati oleh orang lain. Hal ini merupakan tantangan terhadap pemerintah setempat atau Raja Huta dan kepada para Missionaris Jerman terlebih kepada Nomensen yang sejak semula menaruh perhatian terhadap kehidupan Rohani


(66)

(Keagamaan) dan terhadap masalah ekonomi yang dihadapi masyarakat.Hal inilah yang menjadi faktor sehingga pendidikan banyak diminati Etnis Batak Toba yang dibuka oleh Nomensen.

e. pembukaan jaringan jalan

Jalan darat merupakan satu- satunya sarana perhubungan utama di Tapanuli (kecuali sekitar Danau Toba). Jalan-jalan setapak semakin penting untuk mempercepat arus perhubungan dari satu daerah ke daerah lain. Pemerintah kolonial Belanda bertindak sebagai pencipta skenario dengan mengarahkan banyak tenaga kerja untuk pembangunan jalan tersebut, baik untuk tujuan perluasan jajahan maupun untuk tujuan lain. Pada waktu hubungan lalu lintas masih mempergunakan jalan setapak, perpindahan penduduk dari Tapanuli ke Dairi ditempuh dalam beberapa hari perjalanan,tetapi pada tahun- tahun berikutnya, setelah kondisi jalan- jalan menjadi lebih baik dan lebih bagus maka hubungan antar daerah semakin lancar dan perjalanan ke Dairi semakin mudah. Tapanuli semakin terbuka dengan daerah luar akibat dibukanya jalan- jalan yang lebih baik antara lain dengan dibukanya jalan dari Tarutung- Sibolga (1915- 1922), Jalan Siborong- borong – Doloksanggul- Sidikalang (1930), jalan Tarutung- Pahae-


(67)

Padang Sidempuan dan jalan Doloksanggul- Pakkat-Barus-Sibolga merupakan jalan keluar utama dari Tapanuli. 26

Dalam pembukaan jalan- jalan tersebut pemerintah kolonial Belanda membutuhkan banyak pekerja yang berasal dari penduduk pribumi. Masyarakat dipaksa dengan kerja keras (rodi) yang menyebabkan penderitaan bagi rakyat. Menurut beberapa informan, bahwa sebagian orang Batak Toba ada yang berpindah ke daerah lain untuk menghindarkan diri dari kerja rodi.27

Dampak lain dari pembukaan jaringan jalan yang semakin luas itu ialah masyarakat daerah Tapanuli semakin terbuka dari pengaruh- pengaruh dan akibat- akibat yang beranekaragam sifatnya. Pada masa kolonial Belanda jaringan jalan di daerah pedalaman diikuti oleh pembangunan jalan besar. Seperti dari perbatasan Aceh melalui kota Pangkalan Berandan, Tanjung Pura, Binjai, Medan, Lubuk Pakam, Tebing Tinggi, Kisaran sampai ke Rantau Prapat. Selain jalan utama Mereka menganggap bahwa rodi merupakan jenis perbudakan sehingga mereka kurang suka pindah atau memasuki daerah lain dimana akan diadakan pembukaan jalan baru. Hal seperti ini diantaranya terjadi pada waktu membuka jalan antara Barus- Sibolga- Lumut-Batangtoru dan Angkola – Mandailing, yang pada waktu itu sudah termasuk wilayah Keresidenan Tapanuli.

26

Elvis. F. Purba., O.H.S., Purba, Migrasi Spontan Batak Toba (Marserak), Sebab, Motif,dan Akibat Perpindahan Penduduk dari Dataran Tinggi Toba. Medan, 1997, hlm. 91.

27


(68)

tersebut, jalan Berastagi dan Kabanjahe di Dataran Tinggi Karo dan Jalan melalui Simalungun ke Danau Toba yang terus ke Tapanuli dan Sibolga. 28

f. perang Sisingamangaraja XII

Pembangunan jalan di sekitar Danau Toba memberi kemudahan bagi penduduk Batak Toba meninggalkan kampung halamannya menuju Dairi, Simalungun, dan lain- lainnya. Pembukaan jalan dari Siborong- borong melalui Doloksanggul- Hariara Pintu ke Sidikalang mempercepat orang- orang Batak Toba dari daerah Silindung pindah ke Dairi.

Kehadiran Kolonial Belanda di daerah Tanah Batak dan usaha missioner Jerman yang ingin memperluas daerah kerjanya, menyebabkan orang- orang Tapanuli, terutama Batak Toba memasuki Dairi.

Pemerintah kolonial Belanda yang berusaha untuk memperluas wilayah koloninya dan ingin menguasai daerah- daerah Batak, akhirnya menimbulkan rasa tidak aman bagi masyarakat Batak Toba. Perang yang dipimpin Sisingamangaraja XII merupakan perlawanan masyarakat T apanuli terhadap rencana Belanda yang ingin menanamkan kekuasaan di seluruh Tanah Batak. Sentrum peperangan bergeser dari wilayah Toba Holbung ke Humbang dan akhirnya ke Dairi, yang menyebabkan masing- masing pejuang Batak Toba masuk ke Dairi. Pejuang- pejunag yang tergabung dalam barisan Sisingamangaraja XII, demikian pula

28


(69)

dengan pembantu- pembantu tentera Belanda dari kalangan Batak Toba masuk ke Dairi seiring dengan pergeseran sentrum peperangan tersebut. Tentara Belanda membawa 400 orang pembantunya dari Tarutung, kebanyakan berasal dari Silindung ke Sidikalang dengan tujuan membantu tentara Belanda mematahkan pejuang- pejuang Batak yang menentang Kolonial.P

3.3.2. Faktor- Faktor Penarik Dari Daerah Tujuan

Sebagai faktor penarik yang menyebabkan daerah Sumbul Pegagan menjadi pilihan para migran Batak Toba adalah kesempatan dalam bidang ekonomi sangat luas. Migrasi Batak Toba ke Sumbul Pegagan dipengaruhi oleh kondisi geografis dan sulitnya masalah ekonomi Tapanuli. Sumbul Pegagan menjanjikan berbagai kemudahan dan fasilitas yang dapat dimanfaatkan demi meningkatkan pendapatan migran. Faktor penarik lainnya adalah kondisi jalan di Sumbul Pegagan sudah lebih baik, sehingga dapat memperlancar arus lalu lintas yang tidak dapat dilalui dengan kenderaan bermotor, bahkan dengan sepedapun. Keadaan ini sangat jauh berbeda bila dibandingkan dengan daerah asal (Tapanuli) yang keadaannya belum membaik. Lahan pertanian keadaannya datar sehingga dapat dikerjakan dengan memakai tenaga hewan (bajak) dengan demikian hasilnya akan lebih baik dan banyak.

Faktor lain yang menyebabkan Migrasi etnis Batak Toba Ke Sumbul Pegagan adalah masih murahnya nilai jual tanah di tempat tersebut, bahkan ada


(1)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan

Migrasi etnis Batak Toba ke Sumbul Pegagan karena adanya faktor pendorong dari daerah asal dan faktor penarik dari daerah tujuan. Faktor pendorong yang paling mendasar adalah karena kemiskinan di daerah Tapanuli yang ditandai dengan lahan pertanian yang kurang subur dan kurangnya lahan yang bisa dikelola. Sedangkan faktor penarik adalah tersedianya tanah yang cukup luas dan subur di Sumbul Pegagan dengan kesempatan kerjanya.

Terjadinya hubungan yang harmonis antara etnis Pakpak dengan etnis Pendatang karena dari awal kedatangan etnis Batak Toba ke Sumbul Pegagan, etnis Pakpak menerima sehingga terjadi suatu interaksi dan interaksi itu mendatangkan suatu kontak hubungan. Kontak hubungan terjadi karena adanya penyesuaian atau saling menerima dalam bahasa dan budaya.

Adaptasi menimbulkan proses saling mempengaruhi antara Batak Toba dan penduduk Pakpak, dimana migran Batak Toba sangat mempertahankan kebudayaannya sehingga kebudayaan penduduk Pakpak terabaikan. Pakpak lebih banyak menyerap kebudayaan etnis Batak Toba, tapi tidak menghilangkan begitu saja budaya Pakpak karena budaya mereka masih tetap jalan.

Pada akhirnya migrasi etnis Batak Toba ke Sumbul Pegagan mencapai sukses seperti yang telah diidam- idamkan oleh mereka. Etnis Batak Toba dapat


(2)

bertahan di daerah migran dan telah mendominasi jumlah penduduk di Sumbul Pegagan.

5.2. SARAN

1. Hendaknya sifat keterbukaan masyarakat Pakpak tetap dipertahankan dalam menerima kedatangan etnis- etnis lain ke Sumbul Pegagan.

2. Pelestarian nilai- nilai budaya dari setiap etnis sangat diharapkan khususnya penduduk Pakpak, dimana nilai- nilai budaya Pakpak mulai terabaikan seiring pengaruh yang kuat dari etnis Batak Toba.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Taufik, (ed.), Sejarah Lokal di Indonesia, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1996.

Abdullah, Adhan, Transmigrasi dan Penduduk Setempat di Aceh Suatu Studi Mengenai Hubungan Sosial Diantara Mereka, Darusssalam: Proyek Research Depdikbud, 1976.

Abustam, Muhammad Idrus, Gerak Penduduk, Pembangunan, dan Perubahan (Kasus tiga komunitas Padi Sawah di Sulawesi Selatan), Jakarta: Univesitas Indonesia. 1989.

Ananta, Aris, Ciri Demografis Kualitas Penduduk dan Pembangunan Ekonomi, Jakarta: Universitas Indonesia, 1993.

Ahmad, Sahur, dkk.,Migrasi, Kolonisasi, Perubahan Sosial, Jakarta: PT Pustaka Grafido Kita.1988.

Berutu,Lister dan Nurbaini Padang, (ed.), Tradisi dan Perubahan (Konteks Masyarakat Pakpak Dairi), Medan: C. V Monora. 1998.

Barth, Frederich. Kelompok Etnis dan Batasannya. Jakarta: UI-Press. 1998.

Berutu, Kadim, Eksistensi Bahasa Pakpak dan Peranannya dalam Pembangunan Masa Depan, Medan: Yayasan Bina Budaya Bangsa. 1993.

Bupati KDH TK. II Tapanuli Utara, Beberapa Informasi Mengenai Daerah TK. II Tapanuli Utara, Bandung:_______, 1985.

Cunningham, Clack E., The Postwar Migration of The Toba Bataks to East Sumatera, New Haven Coon: Yale University Southeast Asia Studies, 1958.

Gottschalk, Louis, Mengerti Sejarah, Nugroho Notosusanto (Terj.) Jakarta: Gramedia, 1986.

Hadawi, Nanawi, Metode Penelitian Sosial, Yogyakarta: UGM Press, 1996. Kuntowijoyo, Pengaruh Ilmu Sejarah, Yogyakarta: Benteng Budaya, 1999.

Latuihalmallo, Mancel, Migrasi Orang Bugis, dalam Jurnal Penelitian Sosial, Bandung: FIS UI, 1981.


(4)

Munir Rozi, Budiarto, Teori-Teori Kependudukan, Jakarta: PT. Bina Aksara, 1986. Naim, Muchtar, Merantau Pola Migrasi Suku Minangkabau, Yogyakarta: UGM, 1984. Nainggolan, Togar, Batak Toba di Jakarta (Kontinuitas dan Perubahan Indentitas),

Medan: Bina Media, 1996.

Payung, Bangun, Tradisi dan Perubahan: Konteks Masyarakat Pakpak Dairi, Medan: Monora, 1997.

Purba Elvis F, Purba O.H.S., Migrasi Batak Toba: Diluar Tapanuli Utara (Suatu Deskrips), Medan: Monora. 1998.

______ Migrasi Spontan Batak Toba (Marserak), Sebab, Motif, dan Akibat Perpindahan Penduduk dari Dataran Tinggi Toba, Medan: Monora. 1997.

Siahaan, E.K., Survei Monografi Kebudayaan Pakpak Dairi, Depdikbud Sumatera Utara. 1965.

Siahaan, Nalom, Adat Dalihan NA Tolu Prinsip dan Pelaksanaannya, Jakarta: Grafina, 1982.

Situmorang, Sitor, Toba NA Sae, Jakarta: Pustaka Harapan, 1992.

Simanjuntak, B.A, Pemikiran Tentang Batak Toba, Pusat Dokumentasi dan Pengkajian Kebudayaan Batak, Medan: Universitas HKBP Nomensen, 1986.

Soekanto, Soerjono. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Press, 1990.

Sudigno, Hardjosudarmo, Kebijaksaan Transmigrasi dalam Rangka Pembangunan Masyarakat Desa di Indonesia, Jakarta: Bharata, 1965.


(5)

DAFTAR INFORMAN

1. Nama : Jahilim Simbolon Umur : 79

Pekerjaan : Pensiunan Pegawai Negeri ( Mantan Camat Sumbul Pegagan) Alamat : Pegagan Julu I

2. Nama : Binsar Lingga Umur : 60

Pekerjaan : Pegusaha Panglong Alamat : Pegagan Julu X 3. Nama : Gibson Samosir Umur : 75

Pekerjaan : Bertani

Alamat : Pegagan Julu III 4. Nama : Goklas Samosir Umur : 73

Pekerjaan : Bertani Alamat : Silalahi

5. Nama : Viktor Sianipar Umur : 68

Pekerjaan : Pensiunan Pegawai Negeri ( Mantan pengajar SMP N I Sumbul Pegagan) Alamat : Tanjung Beringin

6. Nama : Simon Silalahi Umur : 72

Pekerjaan : Bertani

Alamat : Pegagan Julu IV 7. Nama : Jaspin Sihombing Umur : 80

Pekerjaan : Pensiunan Pegawai Negeri ( Mantan pegawai kantor Camat) Alamat : Pegagan Julu VII

8. Nama : Julius Gurning Umur : 76

Pekerjaan : Bertani


(6)

LAMPIRAN I ASPEK SOSIAL BUDAYA BUDAYA PAKPAK BUDAYA BATAK TOBA PERBEDAAN BUDAYA HASIL PERUBAHAN 1. Upacara adat perkawinan 1. Martandang (mencari jodoh 2. Tukar tanda 3. Pemberitahuan kepada orangtua laki- laki dan perempuan 4. Marhata sinamot 5. Mangalap ari (penentuan hari pernikahan) 6. Pelaksanaan pesta adat - Pemberian ulos kepada hula- hula oleh boru

- Pemberian barang- barang rumah tangga kepada

pengantin oleh pihak

perempuan - Pemberian silua

1. Mangaririt (mencari jodoh)

2. Tanda hata olo (tukar cincin)

3. Marhusip

4. Marhata sinamot (perkenalan

keluarga) sekaligus mangalap ari

5. Mangalap jual (pihak laki- laki menjemput pengantin perempuan dari rumahnya)

6. Pemberian ulos oleh hula- hula kepada boru

7. Paulak panaru(memulangkan

pengiring pengantin) 8. Paulak une (berkunjung ke rumah perempuan)

1. Pada Batak Toba acara mangalap ari tidak ada pemberian ayam, pisang, lemang, dan lain- lainnya dari pihak laki- laki, cukup dengan makan bersama.

2. Pada Batak Toba tidak ada pemberian todoan (barang ganti boru yang diberikan kepada ibi si perempuan) 3. Pada adat Pakpak

pemberian ulos diberikan oleh boru kepada hula- hula, sedangkan

pada Batak Toba pihak hula- hula yang memberikan ulos pada boru.

1. Acara adat perkawinan

etnis Batak Toba,

seluruhnya diterima oleh etnis Pakpak di Sumbul Pegagan, sebaliknya juga etnis Batak Toba juga menerima adat Pakpak dalam melaksanakan adatnya seperti dalam pemberian todoan kepada pihak keluarga perempuan.