BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengembangan Wilayah
Pada hakekatnya pengembangan development merupakan upaya untuk memberi nilai tambah dari apa yang dimiliki untuk meningkatkan kualitas hidup.
Menurut MT Zen dalam buku Tiga Pilar Pengembangan Wilayah 1999 pengembangan lebih merupakan motivasi dan pengetahuan daripada masalah
kekayaan. Tetapi bukan berarti bahwa kekayaan itu tidak relevan. Pengembangan juga merupakan produk belajar, bukan hasil produksi; belajar memanfaatkan
kemampuan yang dimiliki bersandar pada lingkungan sekitar untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Pada dasarnya proses pengembangan itu juga merupakan proses
belajar learning process. Hasil yang diperoleh dari proses tersebut, yaitu kualitas hidup meningkat, akan dipengaruhi oleh instrument yang digunakan Susilo, 2003.
Mengacu pada filosofi dasar tersebut maka pengembangan wilayah merupakan upaya memberdayakan stake holders masyarakat, Pemerintah,
Pengusaha di suatu wilayah, terutama dalam memanfaatkan sumberdaya alam dan lingkungan di wilayah tersebut dengan instrument yang dimiliki atau dikuasai, yaitu
teknologi. Dengan lebih tegas MT Zen menyebutkan bahwa pengembangan wilayah merupakan upaya mengawinkan secara harmonis sumberdaya alam, manusia dan
teknologi, dengan memperhitungkan daya tampung lingkungan itu sendiri Susilo, 2003.
Dalam Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur yang
terkait kepadanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan atau aspek fungsional. Menurut Rustiadi 2004 wilayah dapat
didefinisikan sebagai unit geografis dengan batas-batas spesifik tertentu dimana komponen-komponen wilayah tersebut satu sama lain saling berinteraksi secara
fungsional. Sehingga batasan wilayah tidaklah selalu bersifat fisik dan pasti tetapi seringkali bersifat dinamis. Komponen-komponen wilayah mencakup komponen
biofisik alam, sumberdaya buatan infrastruktur, manusia serta bentuk-bentuk kelembagaan. Dengan demikian istilah wilayah menekankan interaksi antar manusia
dengan sumberdaya-sumberdaya lainnya yang ada di dalam suatu batasan unit geografis tertentu. Konsep wilayah yang paling klasik Hagget, Clif f dan Frey, 1977
dalam Rustiadi, 2004 mengenai tipologi wilayah, mengklasifikasikan konsep wilayah ke dalam tiga kategori, yaitu: 1 wilayah homogen uniformhomogenous
region; 2 wilayah nodal nodal region; dan 3 wilayah perencanaan planning region atau programming region. Sejalan dengan klasifikasi tersebut, Glason, 1974
dalam Tarigan, 2005 berdasarkan fase kemajuan perekonomian mengklasifikasikan regionwilayah menjadi : 1. fase pertama yaitu wilayah formal yang berkenaan
dengan keseragamanhomogenitas. Wilayah formal adalah suatu wilayah geografik
yang seragam menurut kriteria tertentu, seperti keadaan fisik geografi, ekonomi, sosial dan politik. 2. fase kedua yaitu wilayah fungsional yang berkenaan dengan
koherensi dan interdependensi fungsional, saling hubungan antar bagian-bagian dalam wilayah tersebut. Kadang juga disebut wilayah nodal atau polarized region dan
terdiri dari satuan-satuan yang heterogen, seperti desa-kota yang secara fungsional saling berkaitan. 3. fase ketiga yaitu wilayah perencanaan yang memperlihatkan
koherensi atau kesatuan keputusan-keputusan ekonomi. Pembangunan atau pengembangan, dalam arti
development,
bukanlah suatu kondisi atau suatu keadaan yang ditentukan oleh apa yang dimiliki manusianya,
dalam hal ini penduduk setempat. Sebaliknya, pengembangan itu adalah kemampuan yang ditentukan oleh apa yang dapat mereka lakukan dengan apa yang mereka miliki,
guna meningkatkan kualitas hidupnya, dan juga kualitas hidup orang lain. Jadi, pengembangan harus diartikan sebagai keinginan untuk memperoleh perbaikan, serta
kemampuan untuk merealisasikannya. Disini, mulai kelihatan masalah dasarnya, yaitu motivasi. Ia lebih merupakan motivasi dan pengetahuan daripada masalah
kekayaan Zen, 2001. Jadi pengembangan wilayah itu tidak lain dari usaha mengkombinasikan
sumberdaya alam, manusianya, dan teknologi secara
harmonis dengan memperhitungkan daya tampung lingkungan itu sendiri. Kesemuanya itu disebut
memberdayakan masyarakat lihat Gambar 1.
Ga mbar 1. Hubungan antara Pengembangan Wilayah, Su mberdaya Ala m, Su mberdaya Manusia dan Teknologi Zen, 2001
Secara konseptual pengertian pengembangan wilayah dapat dirumuskan sebagai rangkaian upaya untuk mewujudkan keterpaduan dalam penggunaan berbagai
sumber daya, merekatkan dan menyeimbangkan pembangunan nasional dan kesatuan wilayah nasional, meningkatkan keserasian antar kawasan, keterpaduan antar sektor
pembangunan melalui proses penataan ruang dalam rangka pencapaian tujuan pembangunan yang berkelanjutan dalam wadah NKRI. Berpijak pada pengertian
diatas maka pembangunan seyogyanya tidak hanya diselenggarakan untuk memenuhi tujuan-tujuan sektoral yang bersifat parsial, namun lebih dari itu, pembangunan
diselenggarakan untuk memenuhi tujuan-tujuan pengembangan wilayah yang bersifat komprehensif dan holistik dengan mempertimbangkan keserasian antara berbagai
sumber daya sebagai unsur utama pembentuk ruang sumberdaya alam, buatan, manusia dan sistem aktivitas, yang didukung oleh sistem hukum dan sistem
Pengembangan Wilayah
Sumberdaya Ala m Teknologi
Sumberdaya Manusia
L in
g k
u n
g a
n H
id u
p L
in g
k u
n g
a n
H id
u p
Lingkungan Hidup
kelembagaan yang melingkupinya Dirjen Penataan Ruang Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, 2003.
Pengembangan wilayah yaitu setiap tindakan pemerintah yang akan dilakukan bersama-sama dengan para pelakunya dengan maksud untuk mencapai suatu tujuan
yang menguntungkan bagi wilayah itu sendiri maupun bagi kesatuan administratif dimana wilayah itu menjadi bagiannya, dalam hal ini Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Pada umumnya pengembangan wilayah dapat dikelompokkan menjadi usaha- usaha mencapai tujuan bagi kepentingan-kepentingan di dalam kerangka azas :
a. Sosial Usaha-usaha mencapai pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dan peningkatan
kualitas hidup serta peningkatan kesejahteraan individu, keluarga, dan selur uh masyarakat di dalam wilayah itu diantaranya dengan mengurangi pengangguran
dan menyediakan lapangan kerja serta menyediakan prasarana-prasarana kehidupan yang baik seperti pemukiman, papan, fasilitas transportasi, kesehatan,
sanitasi, air minum dan lainnya. b. Ekonomi
Usaha-usaha mempertahankan dan memacu perkembangan dan pertumbuhan ekonomi yang memadai untuk mempertahankan kesinambungan dan perbaikan
kondisi-kondisi ekonomis yang baik bagi kehidupan dan memungkinkan pertumbuhan kearah yang lebih baik.
c. Wawasan Lingkungan Pencegahan kerusakan dan pelestarian lingkungan terhadap kesetimbangan
lingkungan. Aktivitas sekecil apapun dari manusia yang mengambil sesuatu dari, atau memanfaatkan potensi alam, sedikit banyak akan mempengaruhi
kesetimbangannya, yang apabila tidak diwaspadai dan dilakukan penyesuaian terhadap dampak-dampak yang terjadi akan menimbulkan kerugian bagi
kehidupan manusia, khususnya akibat dampak yang dapat bersifat tak berubah lagi
irreversible changes
. Untuk mencegah hal- hal ini maka di dalam melakukan pengembangan wilayah, program-programnya harus
berwawasan lingkungan
dengan tujuan mencegah kerusakan, menjaga kesetimbangan dan mempertahankan kelestarian alam Mulyanto, 2008.
Pembangunan ekonomi wilayah memberikan perhatian yang luas terhadap keunikan karakteristik wilayah ruang. Pemahaman terhadap sumberdaya alam,
sumberdaya manusia, sumberdaya buataninfrastruktur dan kondisi kegiatan usaha dari masing- masing daerah di Indonesia serta interaksi antar daerah termasuk
diantara faktor- faktor produksi yang dimiliki merupakan acuan dasar bagi perumusan upaya pembangunan ekonomi nasional ke depan Menteri Permukiman
dan Prasarana Wilayah, 2003. Menurut Jhon Glasson 1977, pertumbuhan wilayah dapat terjadi sebagai
akibat dari penentu endogen atau eksogen, yaitu faktor- faktor yang terdapat di dalam wilayah yang bersangkutan ataupun faktor-faktor di luar wilayah, atau kombinasi dari
keduanya. Dalam model- model ekonomi makro disebutkan bahwa ekonomi penentu intern pertumbuhan wilayah adalah modal, tenaga kerja, tanah sumberdaya alam,
dan sistem sosio-politik, sedangkan menurut model ekspor pertumbuhan, industri ekspor dan kenaikan permintaan adalah penentu pokok pertumbuhan wilayah yang
bersifat ekstern Sirojuzilam, 2005. Sejarah mencatat bahwa negara yang menerapkan paradigma pembangunan
berdimensi manusia telah mampu berkembang meskipun tidak memiliki kekayaan sumber daya alam yang berlimpah. Penekanan pada investasi manusia diyakini
merupakan basis dalam meningkatkan produktivitas faktor produksi secara total. Tanah, tenaga kerja, modal fisik bisa saja mengalami diminishing returns, namun
tidak dengan pengetahuan Kuncoro, 2004. Dalam membangun suatu wilayah, minimal ada tiga pilar yang perlu
diperhatikan, yaitu sumberdaya alam, sumberdaya manusia dan teknologi. Pilar sumberdaya manusia SDM memegang peranan sentral karena mempunyai peran
ganda dalam sebuah proses pembangunan. Pertama, sebagai obyek pembangunan,
SDM merupakan sasaran pembangunan untuk disejahterakan. Kedua, SDM berperan sebagai subyek pelaku pembangunan. Dengan demikian, pembangunan suatu
wilayah sesungguhnya merupakan pembangunan yang berorientasi kepada manusia
people center development
, dimana SDM dipandang sebagai sasaran sekaligus sebagai pelaku pembangunan Suhandojo, 2002.
Salah satu pilar yang cukup penting adalah sumberdaya manusia SDM, karena dengan kemampuan yang cukup akan mampu menggerakkan seluruh
sumberdaya wilayah yang ada. Berbeda dengan sumberdaya alam yang mempunyai keterbatasan, semakin lama semakin berkurang dan habis. Disamping itu sumberdaya
manusia mempunyai peran ganda dalam sebuah proses pembangunan, dapat sebagai obyek maupun subyek pembangunan. Sebagai obyek pembangunan, SDM merupakan
sasaran pembangunan untuk disejahterakan, dan sebagai subyek pembangunan SDM berperan sebagai pelaku pembangunan. Keberhasilan pembangunan ditentukan oleh
pelaku-pelaku pembangunan itu sendiri. Dengan demikian konsep pembangunan itu sesungguhnya adalah pembangunan manusia
human development
, dimana manusia dipandang sebagai sasaran sekaligus sebagai pelaku pembangunan Nachrowi
dan
Suhandojo, 2001.
2.2. Pendidikan