Penelitian Sebelumnya TINJAUAN PUSTAKA

2.5. Penelitian Sebelumnya

Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Arsyad, dkk, 2002 yang berjudul “ Analisis Berbagai Upaya Dalam Perbaikan Produktivitas dan Mutu Hasil Kakao di Sulawesi Selatan “ menunjukkan hubungan yang sangat nyata antara pendidikan formal dengan produktivitas kakao dimana hal ini terlihat dari nilai Chi-Square 2 = 9,25 lebih besar dari nilai tabel untuk 2 0,05 ; 1 = 3,84 dan 2 0,01 ; 1 = 6,64. Umumnya semakin tinggi tingkat pendidikan formal seseorang semakin besar pula keterbukaannya untuk menerima inovasi baru yang dirasanya menguntungkan atau baik bagi dirinya. Selain itu petani yang berpendidikan formal tinggi biasanya memiliki wawasan pemikiran yang relatif lebih luas dalam mempertimbangkan segala sesuatunya dibandingkan dengan petani yang berpendidikan lebih rendah. Selanjutnya, hasil penelitian Arsyad, dkk, 2002 juga menunjukkan hubungan yang sangat nyata antara pengalaman berusahatani kakao dengan produktivitas kakao dimana hal ini terlihat dari nilai Chi-Square 2 = 42,57 lebih besar dari nilai tabel untuk 2 0,05 ; 1 = 3,84 dan 2 0,01 ; 1 = 6,64. Semakin lama petani memiliki pengalaman mengusahakan tanaman kakao maka semakin tinggi juga produktivitas kakao yang dihasilkan. Hal ini mudah difahami, karena dengan pengalaman yang mereka miliki petani dapat mengembangkan usaha-usaha yang mengarah kepada peningkatan produksi persatuan luas. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Priyono, dkk, 2003 yang berjudul “ Faktor-faktor Penentu Tingkat Adopsi Teknologi P engendalian Hama Terpadu PHT dan Hubungannya terhadap Produktivitas Usahatani Padi “ menunjukkan hubungannya yang tidak nyata antara Pendidikan Formal dengan tingkat adopsi teknologi PHT dimana hal ini terlihat dari nilai t- hitung untuk Pendidikan Formal yakni - 0,25583 lebih kecil dari t α2 ;2 = ± 2,05953 pada tingkat kepercayaan 95 α = 0,05. Namun sebaliknya, penelitian itu menunjukkan hubungan yang nyata antara Pengalaman Berusahatani Padi dengan tingkat adopsi teknologi PHT dimana hal ini terlihat dari nilai t-hitung untuk Pengalaman Berusahatani Padi yakni 3,00362 lebih besar dari t α2 ;2 = ± 2,05953 pada tingkat kepercayaan 95 α = 0,05. Hasil penelitian Priyono, dkk, 2003 juga menunjukkan hubungan yang nyata antara tingkat adopsi teknologi PHT dengan produktivitas usahatani padi dimana melalui uji korelasi Rank Spearman didapat nilai korelasinya sebesar 0,96643 dengan t hitung = 18,03952 lebih besar dari t tabelnya = 2,05953 pada taraf kepercayaan 95 α = 0,05. Maka dapat ditarik kesimpulan bahwa semakin tinggi tingkat adopsi teknologi PHT maka semakin tinggi produktivitas usahatani padi, sebaliknya semakin rendah tingkat adopsi teknologi PHT maka semakin rendah pula produktivitas usahatani yang didapat oleh petani. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Mahaputra, 2006 yang berjudul “ Kajian Iriga si Embung Terhadap Usahatani Jagung di Lahan Kering Kabupaten Buleleng “ menunjukkan tingkat pendidikan berpengaruh nyata terhadap produktivitas jagung pada kedua musim tanam dimana hal ini terlihat dari nilai t-hitung tingkat pendidikan pada musim tanam pertama I dan kedua II masing- masing sebesar 3,347 dan 4,982 lebih besar dari t-tabel sebesar 2,66 pada pada tingkat kesalahan 1. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Mahaputra, 2006, juga menunjukkan bahwa tingkat pendidikan yang meningkat 1 pada kedua musim tanam, maka menaikkan produktivitas jagung masing- masing sebesar 0,0061 dan 0,0094 . Tingkat pendidikan sangat berpengaruh pada kualitas dan kemampuan kerja seseorang. tingkat pendidikan memberikan pengetahuan bukan saja yang langsung dengan pelaksanaan tugas, akan tetapi juga landasan untuk lebih mengembangkan diri serta memanfaatkan semua sarana yang ada disekitar lingkungan untuk kelancaran aktivitas usaha tani. Sehingga semakin tinggi tingkat pendidikan akan semakin tinggi pula produktivitas yang dihasilkan. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Hafizah, dkk, 2003 yang berjudul “ Aktivitas Penyuluhan Sebagai Bentuk Komunikasi Untuk Meningkatkan Pengetahuan P etani “ Studi Kasus di Desa Sambirejo Kecamatan Selupu Rejang Kabupaten Rejang Lebong menunjukkan pendidikan formal tidak berpengaruh nyata terhadap tingkat partisipasi petani dalam kegiatan penyuluhan dimana dari hasil uji korelasi Rank Spearman diperoleh nilai t-hitung sebesar 0,1916 lebih kecil dari nilai t-tabel sebesar 0,24395 pada tingkat kepercayaan 95 α = 0,05. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Purwoko dan Sumantri, 2007 yang berjudul “ Faktor-Faktor Penentu Tingkat Adopsi Teknologi Pemeliharaan Sapi di PT. Agricinal Kabupaten Bengkulu Utara “ diperoleh koefisien regresi variabel pendidikan formal nilainya sebesar -5.31E-02 dan tidak berpengaruh nyata terhadap tingkat adopsi teknologi pemeliharaan ternak sapi. Artinya tinggi rendahnya tingkat pendidikan formal pemanen tidak mempunyai pengaruh nyata terhadap tingkat adopsi teknologi pemeliharaan teknak sapi. Hasil penelitian sebelumnya menyatakan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan akan menyebabkan petani lebih responsif terhadap teknologi pertanian, dan sebaliknya tingkat pendidikan yang rendah akan menjadi kendala dalam proses adopsi teknologi pertanian Rogers dan Shoemaker, 1987; Mardikanto1993; Prasmatiwi, 1997; 2000. Hasil penelitian ini bertentangan dengan hasil- hasil penelitian tersebut, karena pendidikan formal bukan merupakan salah satu kriteria dalam perekrutan tenaga pemanen dan pendistribusian ternak sapi kredit kepada pemanen oleh PT. Agricinal. Pada umumnya, semakin lama petani berusahatani maka petani akan mempunyai sikap yang lebih berani dalam menanggung resiko penerapan teknologi pertanian. Artinya semakin lama berusaha tani, petani lebih respon dan cepat tanggap terhadap gejala yang mungkin akan terjadi dengan penerapan teknologi pertanian dan apabila terjadi kegagalan dalam penerapannya maka yang bersangkutan lebih siap untuk menanggulanginya. Penelitian Gultom et al . 1997 dan Zulfikri 2003, menyimpulkan bahwa pengalaman berusahatani berpengaruh nyata terhadap adopsi teknologi pertanian. Hasil estimasi variabel pengalaman beternak sapi menghasilkan koefisien regresi sebesar 9.882E-02, artinya jika pemanen makin berpengalaman dalam beternak maka akan semakin tinggi tingkat adopsi teknologi pemeliharaan ternak sapinya. Uji statistik juga menunjukkan bahwa pengalaman beternak berpengaruh nyata terhadap tingkat adopsi teknologi pemeliharaan ternak sapi. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa selain berasal dari petugas peternakan, maka pengetahuan dan ketrampilan pemanen yang belum berpengalaman dalam pemeliharaan sapi juga diperoleh dari pemanen yang sudah berpengalaman. Hal ini menyebabkan terjadinya transfer teknologi pemeliharaan sapi dari pemanen yang berpengalaman kepada pemanen yang belum berpengalaman.

2.6. Kerangka Berpikir