Ibid. 12. Hak-hak dan kewajiban pada poin 1 disari dari Pasal 45 angka 1 UU Nomor 1 tahun

6 tersebut, sebagaimana dikemukakan oleh Van Apeldoorn, hukum bekerja sehingga akibat-akibatnya melahirkan atau menghapus hak-hak 11 . Hak-hak dan kewajiban-kewajiban para pihak yang lahir pada pengangkatan anak adalah sebagai berikut : 1. Kewajiban pihak yang mengangkat sebagaimana layaknya orang tua untuk memelihara dan mendidik anak-anak sedangkan disisi lain, anak angkat juga wajib menghormati pihak yang mengangkat serta jika ia telah dewasa, ia wajib memelihara menurut kemampuannya pihak yang mengangkatnya maupun keluarga pihak yang mengangkat dalam garis lurus ke atas. 12 2. Adanya hubungan waris mewaris antara pihak yang mengangkat dengan anak angkat beserta akibat-akibat hukumnya. Pengangkatan anak berdasarkan konsep Hukum Islam hanya melahirkan sebagian saja dari akibat-akibat hukum tersebut, karena menurut konsep hukum Islam, tidak ada hubungan waris mewaris antara pihak yang mengangkat dengan anak angkat. Berdasarkan hukum adat, akibat hukum pengangkatan anak bervariasi, ada yang sebagian saja yaitu dari sisi kecintaan dan pemeliharaan saja dan adapula yang seluruhnya tergantung dari daerah dan latar belakang dilakukannya pengangkatan anak. Sedangkan berdasarkan konsep staatsblad 1917 nomor 129 yang diperuntukkan bagi Golongan Timur Asing Tionghoa, akibat hukum meliputi baik segi pemeliharaan maupun dari segi waris mewaris seluruhnya. Berdasarkan perundang-undangan Nasional, pengaturan akibat hukum pengangkatan anak masih minim dan tidak jelas prinsip-prinsipnya. Berdasarkan pasal 39 angka 2 UU nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak telah ditegaskan bahwa pengangkatan anak tidak memutus hubungan darah antara anak yang diangkat dan orang tua kandungnya. Redaksi tersebut, menciptakan suatu ketidakjelasan sehubungan dengan hak anak angkat menggunakan nama keluarga angkatnya dan hubungan waris mewaris khususnya yang non Muslim. Di Indonesia. sistem hukum pengangkatan anak juga berbeda-beda tergantung kepada golongan penduduknya. Untuk golongan Eropa setelah lahirnya KUHPdt, lembaga pengangkatan anak tidak dikenal lagi. Terhadap Golongan Timur Asing Tionghoa diberlakukan Bab ke II dari Staatsblad tahun 1917 nomor 129 sedangkan untuk golongan Masyarakat adat diserahkan pengaturannya berdasarkan hukum adat masing-masing yang pada umumnya tidak tertulis. Dalam penelitian ini, sehubungan dengan variasi sistem hukum yang bekerja pada lembaga pengangkatan anak hingga saat ini, tanpa mengabaikan realitas hukum yang bekerja pada masyarakat, fokus penelitian lebih diarahkan kepada sistem hukum sebagai norma kaidah yang saat ini berlaku di Indonesia, baik hukum-hukum peninggalan kolonial Belanda yang masih berlaku atau disangsikan

11. Ibid. 12. Hak-hak dan kewajiban pada poin 1 disari dari Pasal 45 angka 1 UU Nomor 1 tahun

1974 tentang Perkawinan menyebut Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya. Sedang pada pasal 46 angka 1 menyebut anak wajib menghormati orang tua dan mentaati kehendak mereka yang baik; Pasal 46 angka 2 menyebut jika anak telah dewasa, ia wajib memelihara menurut kemampuannya, orang tua dan keluarga dalam gari lurus ke atas, bila mereka itu memerlukan bantuannya. 6 Tetty Ruslie Naulibasa : PERANAN NOTARIS PADA LEMBAGA PENGANGKATAN ANAK, 2008. 7 berlakunya maupun norma-norma peraturan pengangkatan anak yang disisip pada beberapa produk perundang-undangan setelah Indonesia merdeka. Selanjutnya, kerangka teori Notaris. Secara etimologi, istilah Notaris yang merupakan pengemban profesi pada lembaga kenotarisan berasal dari bahasa latin yaitu Notarius. Secara terminologi, berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah Notaris sebagai kata benda berarti orang yang mendapat kuasa dari Pemerintah dalam hal ini Departemen Kehakiman untuk mengesahkan dan menyaksikan berbagai surat perjanjian, surat wasiat, akta, dan sebagainya. 13 Untuk memahami lembaga Kenotarisan, perlu ditelusuri sistem hukum di dunia yang secara garis besar dipengaruhi sistem common law dan sistem civil law. Secara prinsip, perbedaan pada kedua sistem hukum tersebut adalah bahwa kerangka berpikir sistem civil law dari rasio dengan metode logika yang bersifat deduksi sedangkan common law bertitik tolak dari empiris dengan metode logika yang bersifat induksi. 14 Perbedaan sistem hukum tersebut, juga mempengaruhi lembaga Kenotarisan. Latin Style Notary merupakan notaris yang dikenal pada negara-negara yang dipengaruhi sistem civil law. Sedangkan yang dipengaruhi sistem common law, dikenal Anglo Saxon Notary Public selanjutnya disingkat Notary Public yang peranannya tidak terlalu berarti 15 dalam lalu lintas hukum. Banyak praktek hukum seperti pembuatan surat wasiat, pengurusan soal-soal yang menyangkut budel orang yang telah meninggal, jual beli rumah dan tanah, pendirian perseroan yang merupakan kompetensi para Notaris di Eropa daratan, di Inggeris justru dilakukan oleh para solicitor pengacara, advocat. 16 Hal tersebut, dilatarbelakangi sistem hukum pembuktian dan prinsip lain dalam pengadilan Inggeris.Sedangkan, di Indonesia yang secara prinsip masih dipengaruhi oleh sistem civil law, dengan sistem Peradilan yang berpedoman pada sistem logika deduksi dan orientasi sistem mengutamakan bukti-bukti tertulis, model lembaga kenotarisannya dipengaruhi oleh Latin Style Notary. J.A. Van Mourik dalam ceramahnya yang diucapkan di Jakarta pada tanggal 3 Maret 1992 di Sahid Jaya Hotel dihadapan para anggota IKAHI dan INI, sebagaimana dikutip oleh Tan Thong Kie 17 mencitrakan Latin Style Notary sebagai pejabat umum yang hakikat sifat profesinya impartiality tidak memihak. 13. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, op.cit., hal. 694. 14. G.Alan Tarr, Judicial Process and Judicial Policy Making, West Publishing Co., St.Paul-USA, 1994, hal. 8. 15. Tan Thong Kie I, op.cit., hal. 157 16. Tan Thong Kie II, Studi Notariat dan Serba Serbi Praktek Notaris-buku II,