Kasus Perdagangan anak Sebagian Bayi Diambil Organ Tubuhnya, Harian

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 beserta perubahan- perubahannya, pada dasarnya negara telah menjamin hak-hak dasar anak untuk tumbuh, berkembang dan melindunginya dari tindak kekerasan dan diskriminasi yaitu pada pasal 28B angka 2 dan pasal 34 angka 1 1 yang telah dijabarkan pula pada Undang-Undang Republik Indonesia selanjutnya disingkat UU yaitu UU nomor 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak dan UU Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Ironisnya, menurut mantan Ketua Gugus Tugas Penghapusan Perdagangan Anak dan Perempuan Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan Rachmat Sentika, Indonesia justru dinyatakan sebagai kawasan potensial untuk perdagangan anak dan perempuan. Tragisnya, adapula anak-anak yang diperdagangkan tersebut dengan tujuan untuk diambil organ tubuhnya. 2 Menurut Roediono Wakil Ketua I Bidang Anak dan Pendidikan Yayasan Pembinaan dan Asuhan Bunda, sebagai salah satu celah jual beli anak adalah adopsi pengangkatan anak ilegal. 3 Disinyalir perdagangan anak berkedok adopsi telah lama berlangsung. Pada skripsi Muderis Zaini yang ujian sidang meja hijaunya dilaksanakan sekitar 25 tahun silam, usulan pentingnya diterbitkan segera Undang-Undang tentang Pengangkatan Anak di Indonesia serta terbentuknya sebuah lembaga nasional untuk itu karena maraknya penjualan anak-anak negara miskin 4 telah diangkat kepermukaan. Berdasarkan UU nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak bahwa pengangkatan anak dapat dilakukan berdasarkan adat istiadat dan peraturan perundang-undangan. Menilik peraturan perundang-undangan yang ada sehubungan dengan pengangkatan anak, hingga saat inipun masih berkondisi sama, partial karena masih disisip pada beberapa perundang-undangan yang ada antara lain UU nomor 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, UU Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, UU Nomor 3 tahun 2006 tentang Peradilan Agama dan UU Nomor 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaran dan lemah kekuatan mengikatnya karena hanya berupa Surat Edaran Mahkamah Agung produk lembaga yudikatif dan Surat Keputusan Menteri Sosial produk lembaga eksekutif. Kondisi sistem hukum pengangkatan anak sebagaimana diuraikan di atas, mengakibatkan ketidakpastian hukum karena penerapan hukum berdasarkan 1. Pasal 28 B angka 2 Amandemen ke-2 dua Undang-Undang Dasar 1945 UUD 1945 menyebutkan bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Sedangkan pada pasal 34 UUD 1945 disebutkan bahwa Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara.

2. Kasus Perdagangan anak Sebagian Bayi Diambil Organ Tubuhnya, Harian

Sinar Harapan, 4 Agustus 2005. 3. Adopsi Legal dan Ilegal, www.hikmah.com, diakses tanggal 16 Januari 2005. 4. Muderis Zaini, op. cit., hal. 72-73. 1 Tetty Ruslie Naulibasa : PERANAN NOTARIS PADA LEMBAGA PENGANGKATAN ANAK, 2008. 2 interpretasi apalagi motivasi para pihaknya berbeda-beda. Akibatnya, lembaga ini rentan menimbulkan masalah baik bagi masyarakat maupun Pemerintah. 5 Serta dapat pula dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang beritikad tidak baik karena celah menjadi terbuka lebar terutama kejahatan terhadap anak. Namun, disisi lain, akan menimbulkan keragu-raguan bagi Pihak yang melakukan pengangkatan anak keluarga angkat yang beritikad baik, karena dapat dituduh terlibat penjualan atau perdagangan anak. Dengan kondisi hukum pengangkatan anak yang memprihatinkan, sedangkan kebutuhan masyarakat untuk melakukan pengangkatan anak selalu ada, maka untuk meminimalisasi kejahatan terhadap anak dan melindungi subyek hukum manusia pada pengangkatan anak yang beritikad baik, peranan sarana hukum lain yaitu lembaga kenotarisan yang sifat profesinya tidak memihak impartiality dapat lebih ditingkatkan untuk melengkapi peraturan-peraturan yang ada. Pada pengangkatan anak, adakalanya pihak yang menyerahkan anaknya adalah pihak yang lemah baik dari sisi ekonomis maupun dari sisi intelektual. Oleh karenanya, peningkatan peranan Notaris sebagai salah satu profesi hukum yang tidak memihak perlu. Sebagaimana dikemukakan oleh Tan Thong Kie : ada perjanjian yang harus diwajibkan dibuatkan dengan akta Notaril untuk melindungi kepentingan yang lemah dan kurang mengerti yaitu : 1. perjanjian nikah Pasal 147 2. pemisahan dan pembagian warisan yang salah satu pihak anak dibawah umur Pasal 1074 3. perjanjian hibah Pasal 1682 6 Memang lembaga kenotarisan bersumber dari hukum barat yang belum dapat dipaksakan berlaku terhadap seluruh masyarakat khususnya yang baginya dahulu tidak diberlakukan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata selanjutnya disingkat KUHPdt terutama pada bidang hukum keluarga. Namun, seiring perkembangan zaman, pendidikan dan tehnologi, telah terjadi pergeseran budaya dan cara pikir pada sebagian besar masyarakat Indonesia, sehingga lembaga kenotarisan bukanlah sesuatu yang asing lagi. Pada lembaga pengangkatan anak dewasa ini, bantuan Notaris juga dipergunakan masyarakat yang baginya dahulu tidak diberlakukan Staatsblad 1917 nomor 129. Salah seorang Notaris di kota Medan 7 , pernah melakukan terobosan hukum dengan membuat akta Berita Acara Pengangkatan Anak untuk masyarakat yang berasal dari suku Batak Toba berdasarkan permintaan para pihak yang datang menghadapnya. Terobosan hukum dilakukan Notaris tersebut, dengan dasar pemikiran, walaupun permasalahan yang dibawa kehadapannya belum jelas pengaturannya, namun maksud dan tujuan para pihak tersebut mulia karena ingin memperjelas status seseorang, sedangkan disisi lain seorang Notaris yang padanya

5. Irma Setyowati Sumitro, Aspek Hukum Perlindungan Anak, Bumi Aksara, Jakarta,