Ibid, hal. 190. 20. Muderis Zaini, op.cit., hal. 72. E.Utrecht , Moh.Saleh Djindang, op.cit., hal. 189.

9

BAB II SISTEM HUKUM PENGANGKATAN ANAK DI INDONESIA

A. Periode Pra Kemerdekaan R.I

Pra kemerdekaan R.I, berdasarkan SK Gubernur Jenderal Hindia Belanda tanggal 9 Mei 1769 dikenal lembaga pengangkatan anak termasuk bagi Golongan Eropa. Namun, sejak KUHPdt diberlakukan di Indonesia pada tahun 1848, Golongan Eropa tidak lagi memiliki dasar hukumnya. 19 Lembaga pengangkatan anak hanya dikenal pada sistem kekeluargaan golongan masyarakat adat yang yang berpedoman pada hukum adatnya masing- masing dan masyarakat Timur Asing Tionghoa yang berpedoman pada staatsblad 1917 nomor 129. Di beberapa daerah yang mayoritas penduduknya beragama Islam, sesuai dengan teori Receptio In Complexu yang dikemukakan Van Den Berg, hukum adat yang berlaku adalah hukum adat yang telah diresepsi Hukum Islam. 20 Berdasarkan hukum Islam, sesuai Al-Quran Surah Al Ahzab ayat 4 dan 5, pada prinsipnya agama Islam memperbolehkan dilakukan pengangkatan anak, sepanjang tidak diangkat sebagai anak kandung 21 juga tidak diperbolehkan pemutusan hubungan dan hak-hak orang tua kandungnya. Pengangkatan anak hanya dari segi kecintaan, pemeliharaan dan pendidikan. Juga tidak ada hubungan waris mewaris anak angkat dengan keluarga angkatnya karena berdasarkan Surat Al-Anfal ayat 75 bahwa sebab-sebab mempusakai hanya berdasarkan hubungan darah, perjodohan, persaudaraan dan kekerabatan menurut tertib mereka masing- masing. 22 Namun, sebagaimana penelitian H.Hilman Hadikusuma, di Lampung yang mayoritas masyarakatnya menganut agama Islam, masih ada hubungan waris mewaris antara anak angkat dengan keluarga angkat, tergantung dari latar belakang diadakannya pengangkatan anak. Anak angkat tegak tegi menciptakan hubungan waris mewaris sedangkan anak angkat pada lembaga perkawinan ambil lelaki ngakuk ragah tidak menciptakan hubungan waris mewaris sepanjang tidak diangkat sebagai anak tegak tegi 23 . Berbeda dari masyarakat Adat, sehubungan dengan kebutuhan dagang kolonial Belanda dengan golongan Timur Asing makin lama makin erat pada abad ke-19, pada awalnya Pemerintahan Belanda mencoba memberlakukan hukum kekayaan vermogensrecht Eropa saja 24 untuk keseluruhan golongan Timur Asing. Tahun 1919, Belanda memberlakukan keseluruhan hukum perdatanya untuk golongan Tionghoa dan membagi golongan Timur Asing menjadi Timur Asing Tionghoa dan Timur Asing lain India, Arab dan lain-lain.

19. Ibid, hal. 190. 20. Muderis Zaini, op.cit., hal. 72.

21. R.Soeroso, op.cit., hal. 196. 22. Ramlan Yusuf Rangkuti, Sistematika dan Methoda Pembagian Warisan Menurut Hukum Islam, penerbit UISUUSU, 1987, hal. 139. 23. H.Hilman Hadikusumah, Hukum Waris Adat, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hal. 80,82-83..

24. E.Utrecht , Moh.Saleh Djindang, op.cit., hal. 189.

9 Tetty Ruslie Naulibasa : PERANAN NOTARIS PADA LEMBAGA PENGANGKATAN ANAK, 2008. 10 Agar KUHPdt yang berasaskan monogami mutlak dapat diberlakukan sebagai satu kesatuan sistem pada masyarakat Tionghoa, Belanda harus menghapus lembaga concubine yaitu isteri-isteri lain disamping isteri sah yang dikenal pada hukum adat masyarakat Tionghoa sebelumnya. Salah satu fungsi lembaga ini adalah memenuhi kebutuhan keturunan anak laki-laki untuk sembahyang leluhur. Semua anak-anak yang lahir dari isteri-isterinya tersebut merupakan anak-anak sah. 25 Dengan dihapusnya lembaga concubine, untuk menampung kebutuhan anak laki-laki, dibentuklah peraturan tentang Adopsi. 26 Hal ini dituangkan melalui peraturan yang diundangkan pada Staatsblad 1917 nomor 129 yang memberlakukan bagi Golongan Timur Asing Tionghoa, keseluruhan KUHPdt terkecuali beberapa pasal dari buku I KUHPdt mengenai syarat-syarat yang harus dipenuhi sebelum perkawinan, memberlakukan kantor catatan sipil tersendiri burgelijke stand serta memberlakukan beberapa ketentuan-ketentuan baru pada bab dua staatsblad tersebut yaitu peraturan kongsi pada pasal 2-4 dan peraturan pengangkatan anak adopsi pada pasal 5-15. Latar belakang lembaga pengangkatan anak ini, tidak diuraikan pada staatsblad tersebut, namun Utrecht juga berpendapat bahwa lembaga adopsi bagi golongan Tionghoa adalah untuk memenuhi kebutuhan anak laki-laki berhubungan dengan lembaga sosial penghormatan nenek moyang voorouderverering. 27 Oleh karena itu, pada staatsblad tersebut tegas dinyatakan bahwa yang dapat diadopsi anak adopsi berdasarkan pasal 6 hanyalah orang- orang laki-laki Tionghoa yang belum menikah serta belum pernah diangkat oleh orang lain dengan ancaman batal demi hukum apabila unsur ini tidak dipenuhi. Peranan Notaris pada lembaga pengangkatan anak berdasarkan staatsblad ini amatlah penting karena sahnya pengangkatan anak cukup dengan akta notaris dengan ancaman batal demi hukum apabila unsur ini tidak dipenuhi tanpa campur tangan dari lembaga yudikatif badan Peradilan. Pengangkatan anak berdasarkan staatsblad ini melahirkan akibat-akibat hukum yaitu menimbulkan hubungan keperdataan sebagai anak sah bagi pihak yang diangkat dan orang tua atau wali bagi yang mengangkatnya sehingga pihak yang diangkat berhak memperoleh nama keturunan dari yang mengangkatnya. Disisi lain, gugurlah hubungan-hubungan keperdataan pihak yang diangkat tersebut dengan keluarga sedarahnya.

25. G.H.S.Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, Erlangga, Jakarta, 1983, hal.