Kerangka Teori Dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

F. Kerangka Teori Dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengenai gejala yang terdapat dalam dunia fisik tersebut tetapi merupakan suatu abstraksi intelektual di mana pendekatan secara rasional digabungkan dengan pengalaman empiris. Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai suatu kasus atau permasalahan yang menjadi bahan perbandingan di bidang hukum jaminan dan jaminan yang lahir karena ditentukan oleh undang- undang, sistem hukum benda dan perjanjian kredit bank, yang mana merupakan masukan eksternal bagi penulisan tesis ini. 6 Serta suatu kerangka teori bertujuan untuk menyajikan cara-cara untuk bagaimana mengorganisasikan dan menginterpretasikan hasil-hasil penelitian dan menghubungkannya dengan hasil-hasil penelitian yang terdahulu. 7 Kata lain kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai suatu kasus atau permasalahan yang menjadi bahan perbandingan atau pegangan teoritis dalam penelitian. 8 Fungsi teori dalam penelitian tesis ini untuk menjelaskan perubahan yang diamati dalam masyarakat. 6 M.Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Bandung : Mandar Maju, 1994, hlm 27 7 Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum Jakarata : Rineka Cipta, 1998, hlm 23 8 M.Solly Lubis, ibid,hlm 23 Budi Hermanto : Tinjauan Hukum Atas Pengakuan Kepemilikan Hak Atas Tanah Oleh Penyewa Studi Kasus Di Kampung Jawa Banda Aceh, 2009 Perjanjian atau persetujuan yang merupakan terjemahan dari Bahasa Belanda yaitu overeenkomst, dalam Pasal 1313 Buku III tentang Perikatan verbintenis yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. 9 Para sarjana hukum perdata pada umumnya berpendapat bahwa definisi perjanjian yang terdapat di dalam ketentuan di atas adalah tidak lengkap, dan pula terlalu luas. Tidak lengkap karena yang dirumuskan itu hanya mengenai perjanjian sepihak saja. Definisi tersebut dikatakan terlalu luas karena dapat mencakup perbuatan di dalam lapangan hukum keluarga, seperti janji kawin, yang merupakan perjanjian juga, tetapi sifatnya berbeda-beda dengan perjanjian yang diatur dalam KUH Perdata Buku III. Perjanjian yang diatur dalam KUH Perdata Buku III kriterianya dapat dinilai secara materiil, dengan kata lain dapat dinilai dengan uang. 10 Begitu juga halnya dengan pendapat yang dikemukakan oleh Abdulkadir Muhammad yang dikemukakan bahwa perumusan pengertian perjanjian atau persetujuan yang dikemukakan Pasal 1313 KUH Perdata pada dasarnya kurang memuaskan, karena ada beberapa kelemahan. Kelemahan-kelemahan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut: a. hanya menyangkut sepihak saja. Hal ini diketahui dari perumusan “satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya.” Kata kerja “mengikatkan” sifatnya hanya datang dari satu pihak saja, tidak dari kedua belah 9 R.Subekti, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta : Pradnya Paramita, 1986, hlm 304 yang menyebutkan Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. 10 Mariam Darus Badrulzamankawan-kawaan,Ibid,hlm 25 Budi Hermanto : Tinjauan Hukum Atas Pengakuan Kepemilikan Hak Atas Tanah Oleh Penyewa Studi Kasus Di Kampung Jawa Banda Aceh, 2009 pihak. Seharusnya perumusan itu “saling mengikatkan diri” jadi ada konsensus antara pihak-pihak. b. Kata perbuatan mencakup juga tanpa konsensus. Dalam pengertian “perbuatan” termasuk juga tindakan melaksanakan tugas tanpa kuasa zaakwaarneming, tindakan melawan hukum onrechtmatige daad yang tidak mengandung suatu konsensus. Seharusnya dipakai kata “persetujuan”. c. Pengertian perjanjian terlalu luas. Pengertian perjanjian dalam pasal tersebut diatas terlalu luas, karena mencakup juga pelangsungan perkawinan, janji kawin, yang diatur dalam lapangan hukum keluarga. Padahal yang dimaksud adalah lapangan harta kekayaan saja. Perjanjian yang dikehendaki oleh Buku III KUH Perdata sebenarnya hanyalah perjanjian yang bersifat personal. d. Tanpa menyebut tujuan. Dalam perumusan pasal itu tidak disebutkan mengadakan perjanjian, sehingga pihak-pihak mengikatkan diri itu tidak jelas untuk apa. 11 Atas dasar yang dikemukakan di atas, maka perlu dirumuskan kembali apa yang dimaksud dengan perjanjian itu. Untuk itu dapat dilihat perumusan atau definisi yang dikemukakan oleh beberapa para sarjana terhadap perjanjian tersebut, antara lain menurut Abdul Kadir Muhammad, menyatakan bahwa apa yang dimaksud dengan perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan harta kekayaan. 12 11 Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perikatan, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1990, hlm 78 12 Abdul kadir Muhammad, ibid,hlm 78 Budi Hermanto : Tinjauan Hukum Atas Pengakuan Kepemilikan Hak Atas Tanah Oleh Penyewa Studi Kasus Di Kampung Jawa Banda Aceh, 2009 Menurut W. Projodikoro, bahwa Perjanjian adalah suatu pehubungan hukum mengenai harta benda kekayaan antara dua pihak, dimana satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan suatu hal atau tidak melakukan suatu hal, sedang pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu. 13 Perikatan yang lahir dari perjanjian, memang dikehendaki oleh dua orang atau dua pihak yang membuat suatu perjanjian, sedangkan perikatan yang lahir dari undang-undang diadakan oleh undang-undang di luar kemauan para pihak yang bersangkutan. Apabila dua orang mengadakan suatu perjanjian, maka mereka bermaksud supaya antara mereka berlaku suatu perikatan hukum. Sungguh-sungguh mereka itu terikat satu sama lain karena janji yang telah mereka berikan. Hubungan antara perikatan dan perjanjian adalah bahwa perjanjian itu menerbitkan perikatan. Perjanjian adalah sumber perikatan, disamping sumber- sumber lain. Suatu perjanjian juga dinamakan persetujuan, karena dua pihak itu setuju untuk melakukan sesuatu. Dapat dikatakan bahwa dua perikatan perjanjian dan persetujuan itu adalah sama artinya. Perkataan kontrak, lebih sempit karena ditujukan kepada perjanjian atau persetujuan yang tertulis. Dalam hukum perjanjian dapat dijumpai beberapa asas penting yang perlu diketahui, antara lain : a. Asas Personalia Asas ini diatur dan dapat ditemukan dalam ketentuan Pasal 1315 KUH Perdata. 14 Dari hal tersebut dapat diketahui bahwa pada dasarnya suatu perjanjian 13 Wirdjono Projodikoro, Azas-Azas Hukum Perjanjian, Bandung : Sumur, 1973, hlm 9 14 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta : Liberty, 1986, hlm 33 Budi Hermanto : Tinjauan Hukum Atas Pengakuan Kepemilikan Hak Atas Tanah Oleh Penyewa Studi Kasus Di Kampung Jawa Banda Aceh, 2009 yang dibuat oleh seseorang dalam kapasitasnya sebagai individu, subyek hukum pribadi, hanya akan berlaku dan mengikat untuk dirinya sendiri. Meskipun secara sederhana dikatakan bahwa ketentuan Pasal 1315 KUH Perdata menunjuk pada asas personalia, namun lebih jauh dari itu, ketentuan Pasal 1315 KUH Perdata juga menunjuk pada kewenangan bertindak dari seseorang yang membuat atau mengadakan perjanjian. Secara spesifik ketentuan pasal tersebut menunjuk pada kewenangan bertindak sebagai individu pribadi sebagai subyek hukum pribadi yang mandiri, yang memiliki kewenangan bertindak untuk dan atas nama dirinya sendiri. b. Asas Konsensualitas Asas konsensualitas memperlihatkan bahwa pada dasarnya suatu perjanjian yang dibuat secara lisan antara dua orang atau lebih telah mengikat dan karenanya telah melahirkan kewajiban bagi salah satu atau lebih pihak dalam perjanjian tersebut, segera setelah orang-orang tersebut mencapai kesepakatan atau konsensus, meskipun kesepakatan tersebut telah dicapai secara lisan semata-mata. Ini berarti pada prinsipnya perjanjian yang mengikat dan berlaku sebagai perikatan bagi para pihak yang berjanji tidak memerlukan formalitas. Ketentuan yang mengatur mengenai asas konsensualits ini dapat ditemui dalam rumusan Pasal 1320 KUH Perdata. 15 15 R.Subekti Tjitrosudibio,ibid,hlm 305 Budi Hermanto : Tinjauan Hukum Atas Pengakuan Kepemilikan Hak Atas Tanah Oleh Penyewa Studi Kasus Di Kampung Jawa Banda Aceh, 2009 c. Asas Kebebasan Berkontrak Seperti halnya asas konsensualitas, asas kebebasan berkontrak dasar hukumnya terdapat pada rumusan Pasal 1320 KUH Perdata. Jika asas konsensualitas menemukan dasar keberadaannya ada pada ketentuan angka 1 dari Pasal 1320 KUH Perdata, maka asas kebebasan berkontrak mendapatkan dasar eksistensinya terdapat dalam rumusan angka 4 Pasal 1320 KUH Perdata. Dengan asas kebebasan berkontrak ini, para pihak yang membuat dan mengadakan perjanjian diperbolehkan untuk menyusun dan membuat kesepakatan atau perjanjian yang melahirkan kewajiban apa saja, selama dan sepanjang prestasi yang wajib dilakukan tersebut bukanlah sesuatu yang terlarang. Ketentuan Pasal 1337 KUH Perdata menyatakan bahwa “Suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang atau apabila berlawanan dengan kesusilaan dan ketertiban umum”. Ketentuan yang disebutkan dalam pasal ini memberikan gambaran umum kepada kita semua bahwa pada dasarnya semua perjanjian dapat dibuat dan diselenggarakan oleh setiap orang. Hanya perjanjian yang mengandung prestasi atau kewajiban pada salah satu pihak yang melanggar undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum saja yang dilarang. d. Perjanjian berlaku sebagai undang-undang Asas yang diatur dalam Pasal 1338 KUH Perdata yang menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Merupakan konsekuensi logis dari ketentuan Pasal Budi Hermanto : Tinjauan Hukum Atas Pengakuan Kepemilikan Hak Atas Tanah Oleh Penyewa Studi Kasus Di Kampung Jawa Banda Aceh, 2009 1233 KUH Perdata yang menyatakan bahwa setiap perikatan dapat lahir dari undang-undang maupun karena perjanjian. Jadi perjanjian adalah sumber dari perikatan. Sebagai perikatan yang dibuat dengan sengaja, atas kehendak para pihak secara sukarela, maka segala sesuatu yang telah disepakati, disetujui oleh para pihak harus dilaksanakan oleh para pihak sebagimana dikehendaki oleh mereka. Dalam hal salah satu pihak dalam perjanjian tidak melaksanakannya maka pihak lain dalam perjanjian berhak untuk memaksakan pelaksanaannya melalui mekanisme dan jalur hukum yang berlaku. Agak berbeda dari suatu peraturan perundang-undangan yang berlaku umum bagi seluruh anggota masyarakat, tanpa kecuali, perjanjian hanya berlaku di antara para pihak yang membuatnya. Jadi pemaksaan berlakunya dan pelaksanaan dari perjanjian hanya dapat dilakukan oleh salah satu atau lebih pihak dalam perjanjian terhadap pihak lainnya dalam perjanjian. Perjanjian yang dibuat secara sah, menurut ketentuan Pasal 1338 KUH Perdata berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Selanjutnya disebutkan bahwa perjanjian itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu, serta harus dilaksanakan dengan itikad baik. Perjanjian yang dibuat secara sah mengikat para pihak yang membuatnya dan tidak dapat ditarik kembali kecuali atas sepakat kedua belah pihak atau apabila alasan-alasan yang cukup menurut undang-undang. Budi Hermanto : Tinjauan Hukum Atas Pengakuan Kepemilikan Hak Atas Tanah Oleh Penyewa Studi Kasus Di Kampung Jawa Banda Aceh, 2009 Adapun alasan-alasan yang diberikan undang-undang sebagaimana dimaksud di atas, antara lain : 1. Perjanjian sewa-menyewa yang dibuat tidak tertulis sebagaimana diatur dalam Pasal 1571 KUH Perdata, dapat dihentikan secara sepihak dengan memperhatikan tenggang waktu yang diharuskan menurut kebiasaan setempat. 2. Perjanjian pemberian kuasa menurut ketentuan Pasal 1814 KUH Perdata pemberi kuasa dapat menarik kembali kuasanya jika ia menghendakinya. 3. Perjanjian pemberian kuasa menurut ketentuan Pasal 1817 KUH Perdata, bahwa penerima kuasa dapat membebaskan dirinya dari kuasa dengan pemberitahuan penghentian kepada si pemberi kuasa. Selanjutnya, menurut ketentuan Pasal 1338 KUH Perdata bahwa suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Menanggapi ketentuan Pasal 1338 KUH Perdata ini Abdul Kadir Muhammad, mengemukakan pendapatnya yang menyatakan: ”Yang dimaksud dengan itikad baik dalam Pasal 1338 ayat 3 KUH Perdata bukanlah dalam arti subjektif, melainkan pelaksanaan perjanjian itu harus berjalan dengan mengindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan”. 16 Di samping ketentuan di atas, berdasarkan Pasal 1339 KUH Perdata maka perjanjian-perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan dan undang-undang. Dengan adanya 16 Abdul Kadir Muhammad,op.cit,hlm 99 Budi Hermanto : Tinjauan Hukum Atas Pengakuan Kepemilikan Hak Atas Tanah Oleh Penyewa Studi Kasus Di Kampung Jawa Banda Aceh, 2009 perjanjian ini maka lahirlah apa yang disebut dengan perikatan antara para pihak yang membuatnya.

2. Konsepsi