Latar Belakang Notaris Syafnil Gani, SH, MHum

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pada tanggal 26 Desember 2004, gempa bumi dahsyat berkekuatan 9,0 pada skala Richter mengguncang kawasan pantai barat laut Sumatra. Menyusul gempa bumi tersebut, gelombang tsunami menghantam pantai barat laut Sumatra, terutama daerah Aceh dan Sumatera Utara, yang mengakibatkan kerusakan dahsyat serta kematian dalam jumlah sangat besar. Diperkirakan bahwa sedikitnya 131.000 orang meninggal dunia, 37.000 orang hilang, serta 550.000 warga harus mengungsi akibat bencana tersebut. 1 Pemerintah memperkirakan total kerugian harta benda yang terjadi adalah senilai 5,9 Miliar dollar Amerika Serikat. Kerusakan teramat parah terjadi di Banda Aceh serta kota-kota pesisir lainnya di kawasan barat laut Sumatra. Bencana alam tersebut menghancurkan banyak industri lokal, termasuk industri perikanan yang menjadi salah satu andalan mata pencaharian masyarakat dan ribuan rumah penduduk. Bencana tsunami dan gempa bumi yang teramat dahsyat tersebut mengundang simpati dan bantuan yang luar biasa besarnya dari seluruh penjuru dunia, baik donatur perseorangan maupun lembaga-lembaga donor, lembaga swadaya masyarakat, baik domestik maupun internasional, swasta maupun pemerintahan. Bantuan-bantuan 1 http:www.waspada.co.idindex.php?option=com_contentview=articleid=31859:badan rehabilitasi-dan-rekonstruksi-aceh-nias-catid=42:laporan-khususItemid=65 diakses tanggal 13 Februari 2009 Budi Hermanto : Tinjauan Hukum Atas Pengakuan Kepemilikan Hak Atas Tanah Oleh Penyewa Studi Kasus Di Kampung Jawa Banda Aceh, 2009 tersebut bertujuan untuk merekonstruksi dan merehabilitasi daerah yang terkena bencana tsunami, dengan membangun kembali jalan raya, perumahan, gedung sekolah dan rumah sakit. Maka untuk mempercepat rekonstruksi dan rehabilitasi terhadap daerah- daerah yang terkena bencana tsunami tersebut, pada tanggal 16 April 2005, berdasarkan Perpu nomor 2 Tahun 2005 yang sekarang telah ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2005, pemerintah Republik Indonesia membentuk Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi BRR untuk Aceh dan Nias dengan mandat sebagai koordinator tunggal untuk seluruh upaya rekonstruksi dan rehabilitasi di Aceh dan Nias. Sejak pembentukannya, BRR telah menunjukkan kepemimpinannya dalam proses rekonstruksi di Aceh dan Nias yang didasarkan pada partisipasi dan aspirasi masyarakat community driven reconstruction. Tahun 2006 menjadi tahapan yang sangat penting dari seluruh proses rekonstruksi jangka panjang di Aceh dan Nias. Sebagai suatu contoh, diproyeksikan bahwa sekitar 80.000 rumah akan harus selesai dibangun menjelang akhir 2006, dan seluruh rumah sejumlah 120.000 unit harus selesai dibangun sebelum akhir 2007. Jelaslah bahwa semua masalah dan hambatan yang teridentifikasi pada tahun pertama, tahun 2005, harus segera diatasi untuk menjamin percepatan rekonstruksi di Aceh dan Nias pada tahun 2006 dan tahun-tahun selanjutnya. Demikian halnya dengan pembangunan perumahan bagi pemukiman penduduk di Kampung Jawa juga dilakukan oleh BRR. Pembangunan perumahan untuk pemukiman ini diajukan oleh masyarakat Kampung Jawa kepada BRR. Pada Budi Hermanto : Tinjauan Hukum Atas Pengakuan Kepemilikan Hak Atas Tanah Oleh Penyewa Studi Kasus Di Kampung Jawa Banda Aceh, 2009 saat pengajuan permohonan untuk bantuan pembangunan perumahan tersebut terdapat 5 lima kepala keluarga dengan inisial Ma, MY, Jon, Joh dan Su yang mengaku sebagai pemilik tanah. Dimana surat-surat tanah serta dokumen-dokumen lainnya yang mereka miliki telah musnah karena bencana tsunami. Setelah melakukan penelitian dan pengukuran BRR yang dibantu oleh BPN maka pada tahun 2005 di bangunlah perumahan diatas tanah tersebut. Pada saat pembangunan perumahan sedang berlangsung di Kampung Jawa pada bulan April 2006, Sayid Muhammad Ibrahim salah seorang ahli waris dari Said Muchtar datang dari Jakarta ke Banda Aceh untuk melihat tanah dan rumah yang disewakannya itu yang terletak di Kampung Jawa. Disana ia bertemu dengan ke lima orang penyewa rumahnya dan mendapatkan pemberitahuan bahwa tanah beserta banguan yang sedang dibangun itu sudah menjadi milik ke lima penyewa tersebut. Para penyewa mengakui bahwa tanah tersebut telah mereka beli dari pemilik tanah sebelum tahun 2004. Namun karena bencana tsunami segala surat-surat yang berkaitan dengan jual beli tersebut telah hilang dan musnah. Namun Sayid Muhammad Ibrahim sebagai salah seorang ahli waris dari pemilik tanah tersebut tidak pernah mengetahui adanya jual beli tanah tersebut. Dengan menunjukkan segala surat-surat bukti kepemilikan hak atas tanah tersebut kepada pihak BRR, maka pihak BRR dengan segera menghentikan pembangunan terhadap lima rumah milik penyewa tersebut. Hal tersebut dilakukan karena pihak BRR tidak akan membangun rumah diatas tanah yang sedang dalam sengketa dan Budi Hermanto : Tinjauan Hukum Atas Pengakuan Kepemilikan Hak Atas Tanah Oleh Penyewa Studi Kasus Di Kampung Jawa Banda Aceh, 2009 rumah tersebut baru akan dibangun kembali apabila rumah tersebut sudah bebas dari sengketa. Untuk itu kemudian masalah ini dibawa ke Lembaga Bantuan Hukum untuk diselesaikan, dan oleh Lembaga Bantuan Hukum masalah ini kemudian diselesaikan secara musyawarah dengan jalan melakukan mediasi antara para pihak tersebut, yang kemudian diselesaikan dengan diterbitkannya surat perjanjian perdamaian diantara para pihak yang disetujui dan disepakati oleh para pihak tersebut, dengan disaksikan oleh pihak Lembaga Bantuan Hukum. Dalam KUH Perdata tidak ditemukan rumusan perjanjian dalam pasal- pasalnya, tetapi dari judul BAB II Buku III KUH Perdata tersebut ditemukan istilah perikatan-perikatan yang dilahirkan dari kontrak atau persetujuan. Istilah perjanjian di sini merupakan terjemahan dari contract atau overeenkomst. Dengan demikian secara logis dapat disimpulkan bahwa batasan atau arti perjanjian dapat dilihat dari Pasal 1313 KUH Perdata, yang berbunyi : ”Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikat dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.” Perjanjian merupakan sumber terpenting yang melahirkan perikatan, perikatan paling banyak diterbitkan oleh suatu perjanjian. Ada juga sumber-sumber lain yang melahirkan perikatan, sumber-sumber itu tercakup dalam undang-undang. Dari peristiwa tersebut timbullah suatu hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan. Dengan demikian hubungan perikatan dan perjanjian di mana perjanjian itu menerbitkan perikatan. Budi Hermanto : Tinjauan Hukum Atas Pengakuan Kepemilikan Hak Atas Tanah Oleh Penyewa Studi Kasus Di Kampung Jawa Banda Aceh, 2009 Secara yuridis, pengertian perjanjian sebagai sumber perikatan diartikan sebagai suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada seorang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Dari peristiwa ini timbullah suatu hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan. 2 Menurut pandangan Utrecht, suatu perbuatan hukum yang bersegi dua adalah tiap perbuatan yang berakibat hukumnya ditimbulkan oleh kehendak dua subjek hukum dua pihak atau lebih. Tiap perbuatan hukum yang bersegi dua adalah suatu perjanjian overeenkomst. 3 M. Yahya Harahap mengatakan, perjanjian adalah suatu hubungan hukum kekayaan atau harta benda antara dua pihak atau lebih memberikan kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan prestasi itu. 4 KUH Perdata mengenal berbagai jenis perjanjian 5 contoh dari perjanjian yang sering ditemui dalam kegiatan perekonomian sehari-hari antara lain seperti jual beli, sewa menyewa, tukar menukar, pinjam meminjam dan lain-lain. 2 Subekti, Aneka Perjanjian Buku II, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1995, hlm 1 3 Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1953, hlm 144 4 M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Bandung: Alumni, 1986, hlm 13 5 Ada 14 jenis perjanjian, antara lain: a. Perjanjian timbal balik; b. Perjanjian cuma-Cuma; c. Perjanjian atas beban; d. Perjanjian bernama; e. Perjanjian tidak bernama; f. Perjanjian obligatoir; g. Perjanjian kebendaan; h. Perjanjian konsensual; i. Perjanjin riil; j. Perjanjian liberatori; k. Perjanjian pembuktian; l. Perjanjian untung-untungan; m. Perjanjian publik; n. Perjanjian campuran. Mariam Darus Badrulzaman dkk, Kompilasi Hukum Perikatan Buku I, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001, hlm 66 Budi Hermanto : Tinjauan Hukum Atas Pengakuan Kepemilikan Hak Atas Tanah Oleh Penyewa Studi Kasus Di Kampung Jawa Banda Aceh, 2009 Pasal 1548 KUH Perdata mengatakan : ”Sewa menyewa adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikat dirinya untuk memberikan kepada pihak yang lain kenikmatan dari suatu barang selama suatu waktu tertentu dan dengan pembayaran sesuatu harga yang oleh pihak yang tersebut terakhir itu disanggupi pembayarannya”. Dari definisi tersebut, maka dapat ditelaah bahwa : a. Perjanjian sewa menyewa merupakan suatu persetujuan timbal balik antara pihak yang menyewakan dengan pihak penyewa, di mana pihak yang menyewakan menyerahkan sesuatu kepada penyewa yang berkewajiban membayar sejumlah harga sewa. b. Pihak yang menyewakan menyerahkan sesuatu barang kepada si penyewa untuk sepenuhnya dinikmati atau dipakai dan bukan dimiliki. c. Penikmatan berlangsung untuk suatu jangka waktu tertentu dengan pembayaran sejumlah harga sewa yang tertentu pula. Perjanjian sewa menyewa ini merupakan perjanjian yang termasuk dalam jenis perjanjian timbal balik, bernama, obligatoir dan konsensuil. Hal ini karena dalam perjanjian sewa menyewa menimbulkan hak dan kewajiban pada dua pihak. Perjanjian sewa menyewa merupakan perjanjian yang bertujuan untuk menyerahkan penguasaan objek untuk digunakan dan dinikmati oleh pihak lain penyewa. Di sini yang diperjanjikan bukan penyerahan hak milik atas benda, namun hak untuk menikmati atas suatu benda dalam kurun waktu tertentu yang disebut juga Budi Hermanto : Tinjauan Hukum Atas Pengakuan Kepemilikan Hak Atas Tanah Oleh Penyewa Studi Kasus Di Kampung Jawa Banda Aceh, 2009 hak sewa. Sebagai konsekwensi hukumnya, pihak yang diserahkan penyewa berkewajiban melakukan kontra prestasi dengan membayar sejumlah uang sewa. Penyewa memiliki hak untuk menikmati benda yang disewanya selama waktu tertentu. Meskipun demikian, peraturan tentang sewa menyewa yang termuat dalam bab ke tujuh dari Buku III KUH Perdata berlaku untuk segala macam sewa menyewa, mengenai semua jenis barang baik bergerak maupun tidak bergerak, baik yang memakai waktu tertentu, oleh karena ”waktu tertentu” bukan syarat mutlak untuk perjanjian sewa menyewa. Hal tersebut di atas berkaitan dengan perjanjian sewa menyewa yang terjadi di Aceh dimana sebelum terjadinya bencana alam tsunami sewa menyewa itu berjalan lancar-lancar saja akan tetapi setelah datangnya bencana alam tsunami yang menghancurkan segala tapal dan batas-batas rumah yang ada di Aceh serta menghilangkan sertifikat perumahan yang ada di Aceh sehingga terjadi permasalahan pertanahan yang sangat rumit. Belum lagi adanya permasalahan pengakuan tentang kepemilikan hak atas tanah oleh orang yang tidak berhak, disini termasuk juga pengakuan kepemilikan hak atas tanah oleh mantan penyewa pasca tsunami, dengan mana penyewa memanfaatkan keadaan yang ada pada saat adanya bencana alam tsunami dengan mengklaim dan mengaku sebagai pemilik hak atas tanah diatas tanah yang disewa sebelum tsunami itu terjadi. Bahkan menyatakan telah membeli tanah yang disewanya itu dengan pihak yang berkaitan dengan pemilik atas tanah yang Budi Hermanto : Tinjauan Hukum Atas Pengakuan Kepemilikan Hak Atas Tanah Oleh Penyewa Studi Kasus Di Kampung Jawa Banda Aceh, 2009 sesungguhnya tanpa dapat menunjukkan bukti-bukti yang sah berupa surat-surat ataupun dokumen-dokumen mengenai pembelian tanah tersebut, dengan alasan surat- suratnya sudah musnah akibat tsunami misbruik van omstandigheden Hal tersebut dapat saja terjadi karena orang yang sesungguhnya memiliki tanah tersebut juga telah meninggal dunia karena bencana alam tsunami. Namun demikian sipenyewa ini tidak dapat menunjukkan bukti-bukti pembelian tanah tersebut karena menurut mantan penyewa tersebut bahwa pembelian tanah itu dilakukan secara cicilan dan tidak dibuat dalam suatu kuitansi atau surat perjanjian. Oleh karena para penyewa ini tidak dapat menunjukkan bukti-bukti pembelian atas tanah tersebut sehingga posisinya sangat tidak menguntungkan, sementara pemilik tanah yang baru datang dari Jakarta tersebut dapat menunjukan segala surat- surat bukti kepemilikan hak atas tanah tersebut sehingga secara yuridis pemilik tanah tersebut merupakan pihak yang lebih berhak dan berwenang atas tanah tersebut. Dengan demikian sesuai Pasal 1338 ayat 1 KUH Perdata jo Pasal 1320 KUH Perdata mengenai kebebasan berkontrak ditentukan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Dengan demikian suatu kontrak yang telah memenuhi syarat menurut undang-undang sebagaimana diatur dalam pasal di atas, maka diakui oleh hukum atas pelaksanaannya dan mnegikat para pihak yang membuat perjanjian tersebut. Budi Hermanto : Tinjauan Hukum Atas Pengakuan Kepemilikan Hak Atas Tanah Oleh Penyewa Studi Kasus Di Kampung Jawa Banda Aceh, 2009

B. Perumusan Masalah