Disamping itu orang yang telah dinyatakan pailit berdasarkan putusan Pengadilan Niaga dan orang yang telah dinyatakan hilang afweizig berdasarkan putusan
Pengadilan Negeri juga tidak cakap melakukan perbuatan hukum.
3. Adanya Objek Perjanjian
Di dalam berbagai literatur disebutkan bahwa yang menjadi objek perjanjian adalah prestasi pokok perjanjian. Prestasi adalah apa yang menjadi kewajiban
debitur merupakan hak bagi kreditur, sebaliknya juga apa yang menjadi kewajiban kreditur merupakan hak bagi debitur. Prestasi terdiri atas:
1. Memberikan sesuatu
2. Berbuat sesuatu
3. Tidak berbuat sesuatu Pasal 1234 KUHPerdata.
4. Adanya causa yang halal Geoorloofde Oorzaak
Objek perjanjian berdasarkan Pasal 1332 KUHPerdata sampai dengan Pasal 1334 KUHPerdata adalah terdiri dari :
1. Objek yang akan ada kecuali warisan asalkan dapat ditentukan jenis dan dapat
dihitung 2.
Objek yang dapat diperdagangkan barang-barang yang dipergunakan untuk kepentingan umum tidak dapat menjadi objek perjanjian.
47
Mengenai syarat-syarat sah suatu perjanjian dimana dua syarat yang pertama dinamakan syarat-syarat subyektif, karena mengenai orang-orangnya atau subyeknya
yang mengadakan perjanjian. Sedangkan dua syarat yang terakhir dinamakan syarat- syarat obyektif karena mengenai perjanjian sendiri oleh obyek dari perbuatan hukum
47
Handri Raharjo, Hukum Perjanjian di Indonesia, yogyakarta : Pustaka Yustisia, 2009, hlm.56
Budi Hermanto : Tinjauan Hukum Atas Pengakuan Kepemilikan Hak Atas Tanah Oleh Penyewa Studi Kasus Di Kampung Jawa Banda Aceh, 2009
yang dilakukan itu. Perlu diperhatikan bahwa perjanjian yang memenuhi syarat menurut Undang-Undang diakui oleh Hukum. Sebaliknya apabila perjanjian tersebut
tidak memenuhi syarat menurut Undang-Undang, maka perjanjian tersebut tidak akan diakui oleh hukum walaupun diakui oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
48
Dengan demikian dapatlah disimpulkan bahwa, disaat pihak-pihak mengakui dan memenuhi perjanjian yang mereka buat walaupun tidak memenuhi syarat, maka
perjanjian itu tetap berlaku antara mereka, tetapi apabila sampai suatu ketika ada pihak yang tidak mengakui lagi maka hakim dapat membatalkan atau menyatakan
perjanjian itu batal. Yang dimaksud dengan persetujuan kehendak adalah, kesepakatan, seia-
sekata antara pihak-pihak mengenai pokok perjanjian yang dibuat itu. Subekti, mengatakan bahwa “Dengan sepakat atau juga dinamakan perizinan, dimaksudkan
kedua subyek ini yang mengadakan perjanjian itu harus sepakat, setuju atau seia- sekata mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang diadakan itu”.
49
Hal-hal yang dikehendaki oleh suatu pihak adalah juga dikehendaki oleh pihak lain, kedua belah pihak menghendaki sesuatu yang sama secara timbal balik,
misalnya dalam hal jual-beli, sipenjual menghendaki sejumlah uang sedangkan sipembeli menghendaki suatu barang dari si penjual.
Persetujuan kehendak itu sifatnya harus bebas, artinya betul-betul atas kemauan sukarela pihak-pihak, tidak ada paksaan sama sekali dari pihak manapun.
48
Ibid,. Hal 90.
49
R. Subekti, Hukum Perjanjian, Jakarta: Intermasa, 1994, hlm 17
Budi Hermanto : Tinjauan Hukum Atas Pengakuan Kepemilikan Hak Atas Tanah Oleh Penyewa Studi Kasus Di Kampung Jawa Banda Aceh, 2009
Dikatakan tidak ada paksaan apabila orang melakukan perbuatan itu tidak berada dibawah ancaman, baik dengan kekerasan maupun dengan upaya yang bersifat
menakut-nakuti. Sebelum ada persetujuan biasanya pihak-pihak mengadakan perundingan,
yaitu pihak yang satu memberitahukan kepada pihak yang lain tentang obyek perjanjian dan syarat-syarat, sebaliknya pihak yang lain itu menyatakan pula
kehendaknya itu sehingga tercapailah persetujuan yang mantap. Persetujuan itu juga tidak ada kekhilafan dan tidak ada penipuan, demikian Pasal 1321, 1322, dan 1328
KUHPerdata menentukan Dikatakan tidak ada kekhilafan atau kekeliruan atau kesesatan, apabila salah
satu pihak khilaf tentang hal yang pokok, yang diperjanjikan atau tentang sifat-sifat penting barang yang menjadi obyek perjanjian, atau mengenai orang dengan siapa
diadakan perjanjian itu Dikatakan tidak ada penipuan, apabila tidak ada tindakan menipu menurut arti
Undang-Undang sebagaimana yang ditentukan oleh Pasal 378 KUHPidana. Dikatakan menipu menurut pengertian Undang-Undang ialah dengan sengaja
melakukan tipu muslihat, dengan memberikan keterangan palsu dan tidak benar untuk membujuk pihak lawannya agar menyetujui Pasal 1328 KUHPerdata.
Sebagai contoh ialah sebagai berikut : “Seorang menjual mobil dengan mengatakan kepada calon pembelinya bahwa
mobil itu baru betul, padahal sebelumnya ia telah memutar balik alat penghitung kilometernya, mengecat indah mobil itu, nomor mesinnya dipalsu,
Budi Hermanto : Tinjauan Hukum Atas Pengakuan Kepemilikan Hak Atas Tanah Oleh Penyewa Studi Kasus Di Kampung Jawa Banda Aceh, 2009
nomor akses dipalsu, sehingga ia memberi kesan yang memperdayakan seolah-olah keadaannya baru, sehingga pembeli tadi terjerumus karenanya”.
50
Menurut Yurisprudensi, tidak cukup dikatakan ada penipuan, apabila hanya
berupa kebohongan belaka mengenai suatu hal baru dan penipuan kalau disitu ada tipu muslihat yang memperdayakan, misalnya pedagang lazim memuji barang –
barang sebagai yang paling baik, hebat, padahal tidak demikian, ini hanya kebohongan belaka tidak termasuk penipuan.
Akibat hukum itu ada persetujuan kehendak karena paksaan, kekhilafan dan penipuan ialah bahwa perjanjian itu dapat diminta pembatalannya kepada hakim
voidable. Menurut ketentuan Pasal 1454 KUHPerdata, pembatalan dapat diminta dalam tenggang waktu 5 lima tahun, dalam hal paksaan dihitung sejak hari paksaan
itu berhenti, dalam hal ada kekhilafan dan penipuan dihitung sejak hari diketahuinya kekhilfan dan penipuan itu.
Orang yang membuat satu perjanjian harus cakap menurut hukum. Memang dari sudut rasa keadilan, perlulah bahwa orang yang membuat suatu perjanjian dan
nantinya akan terikat oleh perjanjian itu, mempunyai cukup kemampuan untuk menginsafi benar-benar akan tanggung jawab yang dipikulnya dengan perbuatannya
itu sedangkan dari sudut ketertiban hukum, karena seorang yang membuat suatu perjanjian itu berarti mempertaruhkan kekayaannya, maka orang tersebut haruslah
seorang sungguh-sungguh berhak bebas berbuat dengan harta kekayaannya.
50
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perikatan, Alumni, Bandung, 1982, hlm 91
Budi Hermanto : Tinjauan Hukum Atas Pengakuan Kepemilikan Hak Atas Tanah Oleh Penyewa Studi Kasus Di Kampung Jawa Banda Aceh, 2009
“Pada umumnya orang itu dikatakan cakap melakukan perbuatan hukum, apabila ia sudah dewasa, artinya sudah mencapai umur 21 tahun atau sudah kawin walaupun
belum 21 tahun”.
51
Dalam Pasal 1330 KUHPerdata, disebut sebagai orang-orang yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian yaitu :
1. Orang-orang yang belum dewasa
2. Mereka yang ditaruh dibawah pengampunan
3. Orang perempuan dalam hal-hal yang ditentukan oleh Undang-Undang, dan
semua orang kepada siapa Undang-Undang telah melarang membuat perjanjian- perjanjian tertentu.
52
Disamping itu orang yang telah dinyatakan pailit berdasarkan putusan Pengadilan Niaga dan orang yang telah dinyatakan hilang afweizig berdasarkan
putusan Pengadilan Negeri juga tidak cakap melakukan perbuatan hukum. Yang dimaksud dengan orang-orang yang belum dewasa menurut Hukum
Perdata diatur dalam Pasal 330 KUHPerdata, yang menentukan bahwa : Belum dewasa adalah mereka yang belum berumur genap 21 tahun, dan tidak
lebih dahulu telah kawin. Apabila perkawinan itu dibubarkan sebelum umur mereka 21 tahun, maka mereka tidak kembali lagi dalam kedudukan belum
dewasa.
53
51
Ibid., h. 92
52
R.Subekti, ibid, hlm 90
53
R.Subekti I,R.Tjiptrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta: Pradnya Paramita, 1985, hlm 98
Budi Hermanto : Tinjauan Hukum Atas Pengakuan Kepemilikan Hak Atas Tanah Oleh Penyewa Studi Kasus Di Kampung Jawa Banda Aceh, 2009
Orang dewasa yang tidak sehat pikirannya, dungu, sakit ingatan, dan pemboros tidaklah mampu menginsafi tanggung jawab yang dipikulkan kepadanya,
oleh sebab itu pembuat Undang-Undang menyatakan bahwa orang yang tidak sehat pikirannya adalah tidak cakap bertindak dalam hukum. Ia berada dibawah
pengampuan, dan harus diwakili oleh pengampu dan kuratornya. Seorang perempuan yang telah bersuami juga tidak dapat bertindak untuk
mengadakan suatu perjanjian tanpa bantuan atau izin dari suaminya, demikian menurut Pasal 108 KUHPerdata, ketidakcakapan seorang perempuan yang bersuami
dalam KUHPerdata, ada hubungan dengan sistem hukum yang dianut dalam hukum Perdata Barat Negeri Belanda yang menyerahkan kepemimpinan dalam keluarga itu
kepada suami. Tetapi sejak dikeluarkan surat edaran Mahkamah Agung No. 3 Tahun 1963 tanggal 4 Agustus 1963, ketentuan Pasal 108 di atas tidak mempunyai kekuatan
hukum lagi. Dalam surat edaran tersebut, Mahkamah Agung menganggap bahwa Pasal
108 dan 110 KUHPerdata, tentang wewenang seorang istri untuk melakukan perbuatan hukum dan untuk menghadap di muka pengadilan tanpa izin dari suaminya
tidak berlaku lagi. Dengan demikian berarti sejak tanggal 4 Agustus 1963, seorang perempuan yang telah bersuami adalah cakap bertindak didalam hukum, meskipun
tanpa bantuan dari suaminya. Surat edaran Mahkamah Agung tersebut di atas adalah sejalan dengan
ketentuan yang berlaku di negeri Belanda, dimana peraturan tentang ketidak cakapan seseorang perempuan yang bersuami di Negeri Belanda sendiri sudah dicabut.
Budi Hermanto : Tinjauan Hukum Atas Pengakuan Kepemilikan Hak Atas Tanah Oleh Penyewa Studi Kasus Di Kampung Jawa Banda Aceh, 2009
Mahkamah Agung adalah tepat, oleh karena hukum di negeri kita adalah bersumber dari Negeri Belanda. Lagi pula ketentuan Pasal 108 dan 110 KUHPerdata, tidak
sesuai lagi dengan kehidupan masyarakat Indonesia diabad ke 21 ini. Sehubungan dengan surat edaran Mahkamah Agung No. 3 Tahun 1963
tanggal 4 Agustus 1963, tentang wewenang seorang istri untuk melakukan perbuatan hukum, Abdulkadir Muhammad, mengatakan bahwa :
“Menurut hukum nasional Indonesia sekarang, wanita bersuami sudah dinyatakan cakap melakukan perbuatan hukum jadi tidak perlu lagi izin
suaminya. Perbuatan hukum yang dilakukan istri itu sah menurut hukum dan tidak dapat dimintakan pembatalan kepada hakim”.
54
Akibat hukum ketidak-cakapan atau ketidak–wenangan membuat perjanjian
ialah bahwa perjanjian yang telah dibuat itu dapat dimintakan pembatalannya kepada hakim voldable. Jika pembatalan itu tidak dimintakan pihak yang berkepentingan,
maka perjanjian itu tetap berlaku bagi pihak-pihak.
55
Sebagai syarat ketiga disebut suatu perjanjian harus mempuyai suatu hal tertentu, artinya apa yang diperjanjikan harus cukup jelas. Syarat ini adalah perlu
untuk menentukan hak-hak dan kewajiban kedua belah pihak di dalam suatu perjanjian. Suatu hal tertentu merupakan pokok perjanjian, merupakan prestasi yang
perlu dipatuhi dalam suatu perjanjian dan merupakan objek perjanjian. Oleh Subekti disebutkan bahwa, “Barang yang dimaksudkan dalam perjanjian
paling sedikit harus ditentukan jenisnya, bahwa barang itu sudah ada atau sudah
54
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993, hlm 92
55
Sudikno Metrokusumo, Rangkuman Kuliah Hukum Perdata, Yogyakarta: Fakultas Hukum Pascasarjana, Universitas Gajah Mada, 1987, hlm 57.
Budi Hermanto : Tinjauan Hukum Atas Pengakuan Kepemilikan Hak Atas Tanah Oleh Penyewa Studi Kasus Di Kampung Jawa Banda Aceh, 2009
berada di tangannya si berutang pda waktu perjanjian dibuat, tidak diharuskan oleh Undang-undang.”
56
Begitu juga mengenai jumlahnya tidak perlu disebutkan, asal saja kemudian dapat dihitung atau ditetapkan. Misalnya, suatu perjanjian jual-beli
mengenai panen padi dari suatu ladang dalam tahun yang akan datang adalah sah tetapi jika suatu perjanjian jual-beli kopi untuk seribu rupiah dengan tidak memakai
penjelasan yang lebih terang lagi, dianggap tidak cukup jelas untuk dinyatakan sah. Selanjutnya Pasal 1332 KUHPerdata, menetapkan bahwa hanya barang-
barang yang dapat diperdagangkan sajalah yang dapat dijadikan objek perjanjian. Jika prestasi yang diperjanjikan itu kabur sehingga perjanjian tidak dapat dilaksanakan,
maka objek perjanjian dianggap tidak ada. Akibat tidak dipenuhinya syarat ketiga ini, maka perjanjian yang dilaksanakan batal demi hukum. Demikian Pasal 1333
KUHPerdata menentukan.
57
Oleh Pasal 1329 KUHPerdata, ditetapkan sebagai syarat keempat untuk sahnya suatu perjanjian karena suatu sebab atau causa yang halal.
58
Undang-Undang tidak memberikan pengertian yang jelas mengenai sebab Oorzaak, causa tersebut. Sudah jelas bahwa yang dimaksud dengan causa bukanlah
hubungan sebab akibat, sehingga pengertian causa disini tidak mempunyai hubungan sama sekali dengan ajaran causalitet. Adapun yang dimaksud dengan pengertian
‘causa’ bukan sebab yang mendorong para pihak untuk mengadakan perjanjian.
56
R. Subekti I, op.cit, 1994,, hlm 19
57
A. Pitlo, Tafsiran Singkat Tentang Beberapa Bab Dalam Hukum Perdata, Jakarta: Intermasa, 1984, hlm 18.
58
Sudikno Metrokusumo, Rangkuman Kuliah Hukum Perdata, Yogyakarta: Fakultas Hukum Pascasarjana, Universitas Gajah Mada, 1987, hlm 26.
Budi Hermanto : Tinjauan Hukum Atas Pengakuan Kepemilikan Hak Atas Tanah Oleh Penyewa Studi Kasus Di Kampung Jawa Banda Aceh, 2009
Sehubungan dengan causa ini Prof. Subekti mengatakan bahwa : “Dengan segera harus dihilangkan suatu kemungkinan salah sangka,bahwa
sebab itu adalah suatu yang meyebabkan seseorang membuat perjanjian yang termaksud. Bukan itu yang dimaksudkan oleh Undang-Undang oleh sebab
yang halal itu. Sesuatu yang menyebabkan seseorang membuat suatu perjanjian pada azasnya tidak diperdulikan oleh Undang-Undang”.
59
Hukum pada hakikatnya tidak menghiraukan apa yang berada dalam
keinginan seseorang atas apa yang dicita-citakannya, yang penting bagi hukum adalah tindakan orang-orang dalam masyarakat, jadi yang dimaksud dengan causa yang halal
dari suatu perjanjian adalah ‘isi dan tujuan’ dari perjanjian itu sendiri, yang menyebabkan adanya perjanjian itu. Misalnya dalam suatu perjanjian jual-beli isinya
adalah pihak yang satu menghendaki uang, jika salah satu dari isi perjanjian jual-beli ini tidak dipenuhi, maka dalam hal ini Subekti, mengemukakan pendapatnya sebagai
berikut : “Dalam hal ini harus dibedakan antara syarat subyektif dengan syarat
obyektif. Dalam hal syarat obyektif, kalau syarat itu tidak terpenuhi, perjanjian itu batal demi hukum, artinya dari semula tidak pernah dilahirkan
suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan. Tujuan para pihak yang mengadakan perjanjian tersebut untuk melahirkan suatu perikatan hukum
adalah gagal. Dengan demikian, maka tiada dasar untuk saling menuntut di depan hakim. Dalam hal suatu syarat subyektif, jika syarat itu tidak dipenuhi,
perjanjiannya bukan batal demi hukum, tetapi salah satu pihak mempunyai hak untuk meminta supaya perjanjian itu dibatalkan”.
60
Namun demikian pembentuk Undang-Undang mempunyai pandangan bahwa,
perjanjian-perjanjian mungkin juga diadakan tanpa sebab atau dibuat karena suatu sebab yang terlarang. Suatu sebab adalah terlarang apabila dilarang oleh Undang-
59
Ibid., hlm 18
60
Ibid., h. 20
Budi Hermanto : Tinjauan Hukum Atas Pengakuan Kepemilikan Hak Atas Tanah Oleh Penyewa Studi Kasus Di Kampung Jawa Banda Aceh, 2009
Undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilan atau ketertiban umum, demikian Pasal 1337 KUHPerdata menentukan. Perjanjian yang dibuat dengan sebab yang
terlarang tidak mempunyai kekuatan, sebagaimana yang ditentukan oleh Pasal 1335 KUHPerdata.
61
4. Tempat Lahirnya Perjanjian