Pelaksanaan Pendaftaran Tanah Pasca Tsunami

BAB III ALAS HAK BAGI BADAN REHABILITASI DAN REKONSTRUKSI

BRR ACEH DALAM PEMBERIAN BANTUAN PERUMAHAN TERHADAP MASYARAKAT KORBAN BENCANA ALAM TSUNAMI DI KAMPUNG JAWA

A. Pelaksanaan Pendaftaran Tanah Pasca Tsunami

Pendaftaran tanah dilakukan oleh lembaga pemerintah secara sentralistik berdasarkan maksud Pasal 19 ayat 1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria, dimana pemerintah untuk melakukan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia. Dalam Pasal 1 Peraturan Pemerintah nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah menyebutkan pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya. Unsur-unsur pendaftaran tanah menurut Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tersebut adalah meliputi serangkaian kegiatan, dilakukan oleh pemerintah, terus menerus, berkesinambungan dan teratur. Rangkaian kegiatan pendaftaran tanah dilakukan secara sistematis, untuk kegiatan administrasi maupun kegiatan operasional yang meliputi pengukuran, pemetaan dan pembukuan tanah, serta pemberian sertifikat sebagai alat pembuktian yang kuat. Budi Hermanto : Tinjauan Hukum Atas Pengakuan Kepemilikan Hak Atas Tanah Oleh Penyewa Studi Kasus Di Kampung Jawa Banda Aceh, 2009 Pendaftaran tanah yang harus dilaksanakan melalui pendaftaran tanah secara sistematik dan pendaftaran tanah secara sporadik. Pendaftaran tanah secara sistematik yaitu pendaftaran tanah untuk pertama kali dilakukan secara serentak atas semua objek pendaftaran tanah yang belum didaftar dalam suatu wilayah desakelurahan atas prakarsa pemerintah. Sedangkan pendaftaran tanah secara sporadik merupakan kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama sekali mengenai satu atau beberapa objek pendaftaran tanah dalam wilayah atau bagian wilayah suatu desakelurahan secara individual atau massal. 85 Asas pendaftaran tanah dilaksanakan berdasarkan prinsip sederhana, aman, terjangkau, mutakhir dan terbuka untuk menjamin kepastian hukum di bidang pertanahan suatu rechtskadaster atau legal cadastre. 86 Adapun tujuan pendaftaran tanah menurut Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah, yaitu: a. Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak lain yang terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan. b. Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan termasuk pemerintah agar dengan mudah dapat memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun yang sudah terdaftar. c. Untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan. Pendaftaran tanah dilakukan atas tanah hak di atas permukaan bumi, sebagaimana dikemukakan oleh Oloan Sitorus dan H.M. Zaki Sierrad: 85 Lihat Pasal 1 angka 10 dan angka 11 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. 86 Boedi Harsono, op. cit., hlm 425 Budi Hermanto : Tinjauan Hukum Atas Pengakuan Kepemilikan Hak Atas Tanah Oleh Penyewa Studi Kasus Di Kampung Jawa Banda Aceh, 2009 Pasal 4 ayat 1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria, mengartikan tanah sebagai permukaan bumi the surface of the earth. Dengan demikian, hak atas tanah adalah hak atas permukaan bumi. Selanjutnya Pasal 4 ayat 2 menyatakan bahwa hak-hak atas tanah tersebut memberi wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan, demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang yang ada di atasnya sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut Undang-Undang Pokok- Pokok Agraria dan peraturan-peraturan hukum lainnya. Tegasnya, meskipun secara pemilikan hak atas tanah hanya atas permukaan bumi, penggunaannya selain atas tanah itu sendiri, juga atas tubuh bumi, air dan ruang yang ada di atasnya. Itu sangat logis, karena suatu hak atas tanah tidak akan bermakna apapun juga kepada pemegang haknya tidak diberikan kewenangan untuk menggunakan sebagian dari tubuh bumi, air dan ruang di atasnya tersebut. 87 Hal ini sejalan dengan pendapat Boedi Harsono yang menyatakan, yuridis tanah merupakan permukaan bumi, yang berdimensi dua dan dalam penggunaannya tanah berarti ruang yang berdimensi tiga. 88 Untuk mengatasi persoalan administrasi pertanahan Pasca Tsunami, maka pendaftaran tanah ulang dilakukan berdasarkan kebijakan Badan Pertanahan Nasional secara sistematis berbasis masyarakat melalui program RALAS Reconstruction of Aceh Land Administration System, Peraturan Menteri Negara AgrariaKepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah. Selanjutnya pada tahun 2007, pendaftaran tanah dilakukan menurut Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2007 tentang Penanganan Permasalahan Hukum Dalam Rangka Pelaksanaan Rehabilitasi Dan Rekonstruksi Wilayah Dan Kehidupan 87 Oloan Sitorus dan H.M. Zaki Sierrad, Hukum Agraria di Indonesia Konsep Dasar dan Implementasi, Yogyakarta: Mitra Kebijakan Tanah Indonesia, 2006, hlm 71. 88 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jilid I, Cetakan Kesembilan Edisi Revisi, Penerbit Djambatan, Jakarta, 2003, hal. 296. Budi Hermanto : Tinjauan Hukum Atas Pengakuan Kepemilikan Hak Atas Tanah Oleh Penyewa Studi Kasus Di Kampung Jawa Banda Aceh, 2009 Masyarakat Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatera Utara. Pada mulanya untuk mengatasi pemulihan hak keperdataan kepemilikan tanah masyarakat di Aceh dilaksanakan melalui kegiatan Reconstruction of Aceh Land Administration System RALAS untuk wilayah terkena Gempa dan Tsunami. Sistim berbasis masyarakat dalam pendaftaran tanah masyarakat di daerah Tsunami bertujuan untuk membangun kembali sistem administrasi pertanahan, meningkatkan jaminan kepastian hak atas tanah, meningkatkan efisiensi, transparansi dan kualitas pelayanan pertanahan, dan memperbaiki kapasitas pemerintah daerah untuk melaksanakan fungsi manajemen pertanahan secara efisien dan transparan. 89 Pendaftaran tanah melalui program RALAS Reconstruction of Aceh Land Administration System telah dilaksanakan oleh Badan Pertanahan Nasional dengan bantuan pembiayaan negara-negara Multi Donor Fund MDF dan Anggaran Pendapatan Belanja Negara APBN. 90 Akibat Gempa dan Tsunami tanggal 26 Desember 2004 telah mengaburkan administrasi pertanahan berupa hilangnya bukti dokumen kepemilikan tanah, batas- batas tanah, bukti fisik bangunan serta rusak dan hilangnya dokumen arsip pertanahan yang berada pada Kantor Pertanahan KotaKabupaten, maka sistim melibatkan 89 Fauzi Azhary, Penanganan Masalah Pertanahan Pasca Tsunami Dan Konflik di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Makalah, Seminar Nasional Penanganan Pertanahan di Nanggroe Aceh Darussalam, Seminar Sehari yang diselenggarakan oleh LBH Banda Aceh, Tanggal 20 September 2006, hlm 1-7. 90 Ibid, hlm 25 Budi Hermanto : Tinjauan Hukum Atas Pengakuan Kepemilikan Hak Atas Tanah Oleh Penyewa Studi Kasus Di Kampung Jawa Banda Aceh, 2009 masyarakat dalam melakukan pendaftaran tanah ulang merupakan solusi yang harus diambil oleh Badan Pertanahan Nasional. Pendaftaran tanah secara sistematis berbasis masyarakat merupakan kegiatan pendaftaran tanah yang dilakukan secara serentak meliputi semua obyek tanah yang berada di seluruh wilayah dalam suatu GampongKelurahan yang ditetapkan sebagai lokasi bencana. Dalam proses pendaftaran tanah berbasis masyarakat banyak mengalami kendala diantaranya ada tanah yang musnah, hilangnya tanda batas bidang tanah termasuk tanda batas alam dan titik dasar teknis TDT, meninggalnya pemilik tanah, atau pemilik tanah dan ahli waris yang belum bertempat tinggal di lokasi letak tanah dan tidak tersisa seorangpun pada wilayah bencana Tsunami. Lalu pemberian sertifikasi melalui program ini dihentikan akibat belum ada aturan hukum yang dapat menjadi dasar untuk penetapannya agar tidak terjadi sertifikasi ganda dan konflik di kemudian hari. 91 Walaupun sistim melibatkan masyarakat dalam melakukan pendaftaran tanah ulang merupakan solusi yang tepat diambil kebijakan oleh Badan Pertanahan Nasional tentunya hal ini tidak dapat dilaksanakan karena belum adanya aturan hukum sebagai dasar penerbitan sertifikat hak atas tanah masyarakat korban Tsunami. Setelah mengetahui dokumen tanah yang berada pada Kantor Pertanahan KabupatenKota se Nanggroe Aceh Darussalam mengalami kerusakan hancur hilang hanya 20, selebihnya kemungkinan dapat diselamatkan dengan proses 91 Laporan ARRA Aceh Reconstruction And Rehabilitation Appraisal Kedua, Mei-Juli 2006, Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, FISIP Universitas Malikussaleh dan Yayasan Pengembangan Kawasan, hlm. 3. Budi Hermanto : Tinjauan Hukum Atas Pengakuan Kepemilikan Hak Atas Tanah Oleh Penyewa Studi Kasus Di Kampung Jawa Banda Aceh, 2009 restorasi 92 . Maka Badan Pertanahan Nasional dan Badan Arsip Nasional melakukan kerjasama dengan Japan International Coorporation Agency JICA dalam rangka menyelamatkan arsip-arsip pertanahan yang terendam dan rusak saat Tsunami 93 . Setelah berselang waktu lebih dari 2 dua tahun, tepatnya bulan Oktober 2008 dimana seluruh salinan arsip pertanahan telah berada kembali pada Kantor Pertanahan KabupatenKota se Nanggroe Aceh Darussalam. Tentunya memberikan harapan kepada masyarakat korban Tsunami untuk mendapatkan jaminan kepastian hak atas tanah Pasca Tsunami 94 . Pendaftaran tanah ulang pada lokasi bencana gempa dan Tsunami dengan sistim berbasis masyarakat dikenal dengan nama program RALAS Reconstruction of Aceh Land Administration System. Akibat program RALAS Reconstruction of Aceh Land Administration System, tidak dapat dilaksanakan maka dilakukan pendaftaran tanah sesuai maksud Pasal 19 dan Pasal 20 Peraturan Menteri Negara AgrariaKepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah yaitu membentuk Panitia Ajudikasi. 92 Serambi Indonesia, Permasalahan aministrasi pertanahan masyarakat korban Tsunami dapat diatasi, tanggal 12 Februari 2005 berdasarkan sumber yang dilansir oleh Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. 93 Proteksi Hukum Atas Status Tanah Korban Pasca Bencana Gempa Bumi dan Tsunami di Wilayah Banda Aceh dan Aceh Besar, Laporan Analisis Kebijakan Kata Hati Institut, Juli 2005, Banda Aceh, hlm 2 94 Wawancara dengan Bapak Yasril, SH, Kepala Kantor Pertanahan Kota Banda Aceh, pada tanggal 14 Oktober 2009 Budi Hermanto : Tinjauan Hukum Atas Pengakuan Kepemilikan Hak Atas Tanah Oleh Penyewa Studi Kasus Di Kampung Jawa Banda Aceh, 2009 Panitia Ajudikasi yang dibentuk akan melaksanakan tugas dengan mengacu pada Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 7 Tahun 2007 tentang Panitia Pemeriksaan Tanah, yaitu melaksanakan pemeriksaan, penelitian dan pengkajian data fisik maupun data yuridis baik di lapangan maupun di kantor dalam rangka penyelesaian permohonan pemberian Hak Milik, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai atas tanah Negara, Hak Pengelolaan dan permohonan pengakuan hak atas tanah. 95 Baru pada tahun 2007, pendaftaran tanah dilakukan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2007 tentang Penanganan Permasalahan Hukum Dalam Rangka Pelaksanaan Rehabilitasi Dan Rekonstruksi Wilayah Dan Kehidupan Masyarakat Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatera Utara. Hakekat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang yang diterbitkan oleh pemerintah apabila dalam keadaan memaksa dan segera dilaksanakan. Sebagai dasar pertimbangan penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No.2 Tahun 2007, sebagaimana tercantum dalam konsiderannya : a. bahwa bencana alam gempa bumi dan tsunami pada tanggal 26 Desember 2004 dan gempa bumi lanjutan pada tanggal 28 Maret 2005 di wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatera Utara telah mengakibatkan korban jiwa, harta benda dan kerusakan yang luar biasa di berbagai aspek kehidupan masyarakat dan pemerintahan; 95 Lihat, Pasal 1 angka 1 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 7 Tahun 2007 tentang Panitia Pemeriksaan Tanah. Lihat juga Pasal 1 angka 2, yang menyatakan Panitia Pemeriksaan Tanah B yang selanjutnya disebut “Panitia B” adalah panitia yang bertugas melaksanakan pemeriksaan, penelitian dan pengkajian data fisik dan data yuridis baik di lapangan maupun di kantor dalam rangka penyelesaian permohonan pemberian perpanjangan dan pembaharuan Hak Guna Usaha. Budi Hermanto : Tinjauan Hukum Atas Pengakuan Kepemilikan Hak Atas Tanah Oleh Penyewa Studi Kasus Di Kampung Jawa Banda Aceh, 2009 b. bahwa bencana alam tersebut selain mengakibatkan korban jiwa, harta benda dan kerusakan yang luar biasa juga menimbulkan permasalahan hukum dalam penyelenggaraan administrasi pemerintahan, hak keperdataan, perwalian, pertanahan, dan perbankan; c. bahwa permasalahan hukum sebagaimana dimaksud pada huruf b, sangat mendesak untuk segera ditangani, guna mengembalikan kondisi psikologis penduduk, kehidupan sosial ekonomi dan normalisasi pemerintahan melalui usaha rehabilitasi dan rekonstruksi; d. bahwa dalam penanganan permasalahan hukum sebagaimana dimaksud pada huruf c perlu dilakukan dengan melibatkan masyarakat dan memperhatikan aspirasi masyarakat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatera Utara; e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c dan huruf d, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang tentang Penanganan Permasalahan Hukum dalam Rangka Pelaksanaan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatera Utara. Berdasarkan pertimbangan lahirnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang, secara tegas disebutkan bencana Tsunami telah menimbulkan permasalahan hukum dalam kaitan administrasi pertanahan yang sangat mendesak untuk segera ditangani oleh BRR NAD-Nias. Dimana keberadaan BRR NAD-Nias diatur kewenangannya dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2005 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2005 tentang Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatera Utara menjadi Undang-Undang Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4550. Pendaftaran tanah ulang pasca Tsunami di Aceh dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2007, dilaksanakan sejalan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh, yang secara tegas Budi Hermanto : Tinjauan Hukum Atas Pengakuan Kepemilikan Hak Atas Tanah Oleh Penyewa Studi Kasus Di Kampung Jawa Banda Aceh, 2009 dinyatakan bahwa setiap warga negara Indonesia yang berada di Aceh memiliki hak atas tanah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pemerintah Aceh danatau Pemerintah KabupatenKota berwenang mengatur dan mengurus peruntukan, pemanfaatan dan hubungan hukum berkenaan dengan hak atas tanah dengan mengakui, menghormati, dan melindungi hak-hak yang telah ada termasuk hak-hak adat sesuai dengan norma, standar, dan prosedur yang berlaku secara nasional. 96 Pendaftaran tanah ulang pasca Tsunami menurut Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No.2 Tahun 2007, Tentang Penanganan Permasalahan Hukum Dalam Rangka Pelaksanaan Rehabilitasi Dan Rekonstruksi Wilayah Dan Kehidupan Masyarakat Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatera Utara, bertujuan untuk mengatasi konflik pertanahan : 1 Tanah yang terkena bencana alam gempa bumi dan tsunami terdiri atas tanah yang masih ada dan tanah musnah. 2 Penetapan dan pengumuman tanah musnah dilakukan oleh Kepala Kantor Pertanahan berdasarkan asas transparansi, akuntabilitas, dan keadilan. 3 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penetapan dan pengumuman tanah musnah ditetapkan dengan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional. 97 Pengaturan atas tanah korban bencana Tsunami yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No.2 Tahun 2007, yaitu : a Hak atas tanah musnah dan hak yang membebani tanah musnah menjadi hapus. Buku tanah, tanda bukti hak atas tanah, dan dokumen yang berkaitan dengan tanah atau bukti kepemilikan lain atas tanah musnah termasuk tanah yang belum terdaftar, dinyatakan tidak berlaku lagi sebagai tanda bukti hak yang sah. 98 96 Pasal 213 ayat 1 dan ayat 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintah Aceh. 97 Pasal 3 Perpu No. 2 Tahun 2007. 98 Pasal 4 Perpu No. 2 Tahun 2007. Budi Hermanto : Tinjauan Hukum Atas Pengakuan Kepemilikan Hak Atas Tanah Oleh Penyewa Studi Kasus Di Kampung Jawa Banda Aceh, 2009 b Terhadap tanah yang masih ada baik terdaftar maupun tidak terdaftar, yang dapat diidentifikasi maupun tidak, dilakukan pengukuran kembali dan penetapan batas berdasarkan penunjukkan batas oleh pemegang hak atas tanah atau ahli waris bersama masyarakat, pejabat kelurahan, gampong, atau desa setempat, dan Kepala Kantor Pertanahan, untuk kemudian dibuatkan sertifikat hak atas tanah. 99 c Tanah yang sudah terdaftar tetapi tanda bukti haknya rusak, hilang, atau musnah, diterbitkan tanda bukti hak pengganti dengan sistem penomoran identitas bidang. Dengan penerbitan tanda bukti hak pengganti maka tanda bukti hak atas tanah yang lama dinyatakan tidak berlaku lagi. Sedangkan tanah yang belum terdaftar yang berasal dari bekas tanah hak milik adat, dapat dilakukan pengakuan atau penegasan hak oleh Kantor Pertanahan untuk diterbitkan tanda bukti hak. Kemudian, tanah yang belum terdaftar yang berasal dari tanah Negara dapat diberikan hak atas tanah berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pendaftaran tanah sebagaimana dimaksud di atas dilaksanakan dengan sistem penomoran identitas bidang. 100 Dokumen pertanahan dapat berupa dokumen tertulis atau dokumen elektronik. Di mana dokumen pertanahan dalam bentuk elektronik itu juga berlaku sebagai alat bukti yang sah dan memiliki kekuatan pembuktian yang sama dengan dokumen tertulis. Apabila dokumen pertanahan dalam bentuk elektronik akan diterbitkan sebagai produk hukum tertulis maka dapat dilakukan pencetakan dokumen elektronik. Hasil cetak dari dokumen elektronik merupakan alat bukti yang sah dan merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia. Akan tetapi setiap hasil pencetakan dokumen elektronik itu wajib dilegalisasi oleh Kepala Kantor Pertanahan KabupatenKota atau pejabat yang ditunjuk dengan dibuatkan Berita Acara. 101 Dengan demikian pengaturan atas tanah korban bencana Tsunami sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 99 Pasal 6 Perpu No. 2 Tahun 2007. 100 Pasal 7 Perpu No. 2 Tahun 2007. 101 Pasal 14 Perpu No. 2 Tahun 2007. Budi Hermanto : Tinjauan Hukum Atas Pengakuan Kepemilikan Hak Atas Tanah Oleh Penyewa Studi Kasus Di Kampung Jawa Banda Aceh, 2009 Tahun 2007 sangat terlambat diterbitkan oleh Pemerintah. Walaupun kehadirannya untuk mengatasi permasalahan pertanahan pasca tsunami, khususnya untuk melakukan pendataan dan pengukuran ulang terhadap tanah yang masih ada baik terdaftar maupun tidak terdaftar, masih dapat diidentifikasi maupun tidak, tetap dilakukan pengukuran kembali dan penetapan batas berdasarkan penunjukkan batas oleh pemegang hak atas tanah atau ahli waris bersama masyarakat, pejabat kelurahan, gampong, atau desa setempat, dan Kepala Kantor Pertanahan KabupatenKota untuk selanjutnya dibuatkan sertifikat hak atas tanah. 102 Dalam hal ini masih adanya kekurangan kelengkapan atas permohonan pemegang hak atas tanah baik pada bidang tanah yang sudah terdaftar, dan telah dilakukan pengukuran dilapangan dengan melibatkan pemohon hak atas tanah dan menunjukkan batas-batas tanah dan turut dihadiri oleh saksi-saksi sesuai pernyataan pemohon dalam melakukan peninjauan kelapangan. Dalam peninjauan kelapangan panitia ajudikasi tidak didampingi oleh pemohon. Semestinya Panitia Ajudikasi setelah mempelajari maksud pemohon, maka perlu dimintakan pada pemohon ,untuk memperlihatkan alas hak ats tanah tersebut diatas serta melakukan koordinasi dengan Kantor Pertanahan Kota Banda Aceh untuk mendapatkan alas hak atas tanah tersebut. 102 Pasal 6 Perpu No. 2 Tahun 2007. Budi Hermanto : Tinjauan Hukum Atas Pengakuan Kepemilikan Hak Atas Tanah Oleh Penyewa Studi Kasus Di Kampung Jawa Banda Aceh, 2009 Hal ini tidak dilakukan oleh Panitia Ajudikasi berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Yasril, SH 103 , dimana disebutkan Panitia Ajudikasi dalam melakukan tugasnya tidak pernah meminta klarifikasi alas hak yang tersedia pada Kantor Pertanahan Kota Banda Aceh dan setelah diproses oleh Panitia Ajudikasi maka diserahkan pada Kepala Kantor Pertanahan Kota Banda Aceh untuk dikeluarkan sertifikat tanda bukti hak.

B. Proses Pendaftaran Tanah Pasca Tsunami